Hayo siapa yang bisa nebak apa yang akan terjadi?? :)
Hari berikutnya. Satu per satu tamu Kakek Roi akhirnya tiba di pulau itu. Mereka terlihat senang saat disambut sendiri oleh Kakek Roi, apalagi mereka akan menikmati pesta dengan konsep liburan yang pasti menyenangkan.“Bagaimana penerbangannya?” tanya Kakek Roi saat salah satu direktur perusahaan menyapanya.“Sangat menyenangkan, ini akan jadi akhir pekan yang sangat memuaskan,” balas direktur itu.Kakek Roi tertawa kecil, lalu meminta semua orang pergi ke kamar yang sudah disiapkan agar bisa beristirahat. Satu undangan untuk dua orang, sehingga ada yang membawa pasangan, atau mengajak anak.Sementara Kakek Roi dan Adhitama sibuk menyambut tamu, Risha memilih menemani dan mengawasi Lily bermain di pantai.Risha terus berada di dekat Lily, sedikit pun tidak berpaling dari anak itu.“Bu Risha.”Seseorang tiba-tiba menyapa Risha dan membuatnya menoleh.Ternyata Alma yang menyapa. Alih-alih istirahat, sekretaris Haris itu malah memilih langsung berjalan-jalan.Risha membalas sapaan Alma d
Adhitama syok dan berlari masuk untuk melihat apa yang terjadi. Dia kaget melihat Kakek Roi yang tergeletak sedang berusaha diangkat oleh beberapa orang. “Apa yang terjadi?” tanya Adhitama panik. “Nanti saya jelaskan, kondisi Tuan buruk, seseorang sepertinya sudah menaruh racun di minuman Tuan Roi.” Penjelasan asisten Kakek Roi membuat Adhitama terkejut bukan kepalang, dia menggenggam erat botol obat yang diberikan Rara padanya tadi. Adhitama masih mematung sampai Haris mendekat dan berbisik ke telinganya,”Jangan bilang kalau kamu mungkin dijebak membunuh Kakekmu sendiri.” Tanpa menoleh Haris, Adhitama menjawab,” Wanita itu, akan kubunuh dia jika sampai terjadi hal buruk ke Kakek.” Adhitama geram, berjanji akan membalas kejahatan orang-orang itu dengan lebih kejam. Tak lama Risha datang, dia bingung melihat orang-orang tampak panik lantas mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Risha mendekat ke Adhitama dan Haris. “Ada apa ini?” tanya Risha sambil menatap cemas A
Malam harinya semua tamu undangan sudah berkumpul di ruang pesta untuk merayakan ulangtahun Kakek Roi.Meski berada di sana tapi terlihat jelas kalau mereka bingung dengan apa yang terjadi. Kecurigaan mereka bertambah kuat karena tidak ada satupun keluarga Mahesa yang menyambut kedatangan mereka."Pasti memang terjadi sesuatu.""Apa benar Pak Roi diracuni cucunya sendiri?" Mereka saling berbisik dan tak ayal menyebabkan kesimpangsiuran kabar.Sementara itu, di kamarnya Adhitama dan Risha tampak sama-sama diam. Risha duduk di tepi ranjang sedangkan Adhitama berdiri di dekat jendela.Adhitama baru saja menceritakan soal rencana buruk Sevia, tapi bukan meracuni Kakek Roi seperti ini, tapi membuatnya menenggak obat perangsang. "Dia licik sekali, dengan siapa dia mau menjebakku? Mungkin dia pikir Kakek akan mengundangnya," kata Adhitama.Risha hanya diam, karena sebelumnya Adhitama berkata bisa saja Risha lah yang dijebak bersama Haris. Risha menahan gemuruh di dada, merasa geram membaya
"Buyut!" Lily memeluk Kakek Roi yang terlihat begitu sehat. Hingga Semua orang terkejut apalagi Arin yang seketika itu gemetar ketika melihat Kakek Roi baik-baik saja. “Maaf kalau aku sedikit terlambat,” ucap Kakek Roi ke semua tamu yang ada di sana. Adhitama menatap tak percaya Kakek Roi yang ternyata sehat. Dia sangat bahagia saat sang kakek berjalan menghampirinya. Kakek Roi mengusap lengan Adhitama. Dia tahu kalau cucunya itu pasti sangat mencemaskan dirinya. Arin yang ketakutan menjadi gelagapan sampai tanpa sadar bertanya, “Papa tidak mati?” Pertanyaan bodoh dari Arin membuat Kakek Roi langsung menoleh dengan tatapan tidak senang. “Apa kamu ingin aku mati?!” Suara Kakek Roi terdengar tegas, apalagi tatapan mata pria tua itu sangat tajam ke Arin. Arin megap-megap kebingungan. Rencananya berantakan dan dia kini merasa nyawanya terancam."Kenapa Papa bicara seperti itu?" tanya Arin. “Berhenti memanggilku papa karena kamu bukan anakku!” tandas Kakek Roi tegas. Se
Pesta Kakek Roi tetap meriah meski sebelumnya terjadi hal yang kurang menyenangkan. Selesai pesta, Kakek Roi menemui Arin di ruang khusus tempat Arin ditahan bersama Rara dan Rico. Pria tua itu ke sana bersama yang lain. Saat melihat Kakek Roi datang, Arin panik dan takut. “Berikan obat yang dibilang berisi racun itu padanya,” perintah Kakek Roi sambil menatap Arin. Asisten Kakek Roi mengangguk lalu memberikan botol obat batuk itu ke Arin. Arin gelagapan dan semakin panik. “Minum!” perintah Kakek Roi dengan tatapan tanpa ampun. Arin langsung berlutut mendengar perintah Kakek Roi. “Aku minta maaf. Aku benar-benar tidak berniat melakukan itu semua.” Arin bersujud sambil memohon. Kakek Roi masih menatap datar, lalu bertanya ke Roshadi. “Wanita seperti ini sebaiknya diapakan?” Kakek Roi benar-benar sudah geram dengan kelakuan Arin. Roshadi menatap Arin yang bersujud di lantai lalu menjawab, “Terserah Papa, aku benar-benar merasa bersalah dan malu sudah membawanya ke keluarga ki
Sevia berjalan dengan sombong menuju ruangan privat di sebuah restoran yang sengaja dia pesan. Wanita itu tersenyum miring melihat mobil milik Arin sudah terparkir di depan, yang menandakan bahwa wanita itu artinya sudah berada di dalam. Sevia masuk ke ruangan itu setelah pelayan membukakan pintu. Namun, alangkah terkejutnya Sevia saat melihat siapa yang duduk menunggunya. “Mas Adhitama!” Sevia ketakutan, dia mundur ke arah pintu lantas berbalik. Sevia berusaha membuka pintu itu tapi ternyata sudah dikunci dari luar. “Kenapa kamu takut? Apa kamu pikir sudah berhasil membunuh Kakek Roi dan menjebloskanku ke penjara?” Adhitama memulas seringai, dia menatap penuh kebencian ke Sevia yang berdiri dengan sedikit gemetaran. Sevia merasa terjebak, foto yang dia minta ke Arin semalam untuk membuktikan Kakek Roi sudah meninggal ternyata palsu. “Apa yang Mas bilang, aku tidak tahu apa-apa, aku tidak mengerti maksudnya.” Sevia masih saja mengelak. “Kamu pikir kejahatanmu itu akan selaman
Sevia masih terus memberontak saat dibawa ke kantor polisi. “Kalian tidak bisa memperlakukanku seperti ini! Aku mau pengacaraku datang, kalian tidak bisa menjebloskanku ke penjara begitu saja!” teriak Sevia. “Anda bisa menghubungi pengacara Anda dan Anda berhak diam sampai pengacara Anda datang.” Polisi memaksa Sevia masuk. “Tidak bisa! Aku tidak mau! Aku mau menghubungi pengacaraku! Aku tidak terima!” teriak Sevia meronta saat akan dimasukkan ke sel tahanan sementara. Polisi sampai menghela napas, lalu akhirnya membiarkan Sevia menghubungi pengacara. Sevia melirik ke polisi yang menjaganya, kemudian segera menghubungi pengacara kepercayaannya. Namun, ternyata panggilannya tidak dijawab, bahkan beberapa pengacara yang dihubungi pun menolak untuk mengurusi kasus Sevia. Sevia akhirnya menghubungi Tere. “Bantu aku, polisi menangkapku padahal aku tidak berbuat apa-apa,” ucap Sevia saat Tere menjawab panggilannya. “Kali ini aku tidak mau lagi ikut campur dengan urusanmu. Kamu su
Pagi itu Risha pergi melihat ruko untuk dijadikan offline store dan kantor My Lily di Jakarta. Dia melihat tempat itu bersama pemilik ruko dan merasa sedikit tertarik.“Bagaimana keamanan di sini?” tanya Risha memastikan lebih dulu.“Sejauh ini, lingkungan di sini aman. Dekat dengan beberapa fasilitas publik juga, jadi area sini selalu ramai bahkan di malam hari.” Pemilik ruko menjelaskan.Risha mengangguk-angguk. Dia melihat sampai ke lantai dua untuk memastikan jika bangunan itu masih layak dan bagus.Saat Risha masih melihat-lihat, tak dia sangka Haris menghubungi. Risha mohon diri ke si pemilik ruko lalu menjawab panggilan itu.“Halo, Kak.” Risha langsung bicara begitu benda pipih itu menempel di telinga.“Apa siang ini kamu mau makan bersamaku?” tanya Haris di seberang panggilan.Risha agak terkejut mendengar ajakan Haris lalu dia menjawab, “Aku harus izin Mas Tama dulu.”Di kantor, ternyata Haris baru saja selesai rapat dengan Adhitama. Mendengar jawaban Risha, Haris langsung me
Haris tak punya pilihan selain pergi ke Mahesa. Setelah sarapan dia pamit ke Alma yang tampak masih saja mencemaskan kondisinya. Tanpa Haris tahu, Alma takut jika sampai Haris kenapa-napa. Dia khawatir dan berpikiran negatif pada Adhitama. 'Bagaimana kalau setelah sampai di sana tiba-tiba sudah ada polisi dan Haris ditangkap?' Sebaik-baiknya Adhitama yang dia tahu, tapi mengingat bagaimana sikap Risha tempo hari membuat Alma khawatir. "Kabari aku kalau sudah sampai Mahesa ya," ucap Alma. Dia berdiri di depan Haris yang tampak gagah seperti biasa. "Aku pasti akan mengabarimu, baik-baik di rumah dan jangan pergi ke mana-mana, aku akan menyelesaikan masalah secepatnya dan langsung pulang," kata Haris. Alma mengangguk, dia meminta Haris hati-hati sesaat sebelum pria itu naik ke taksi online yang sudah dipesan. Alma melambaikan tangan, dia berniat masuk ke dalam setelah taksi yang suaminya tumpangi pergi, akan tetapi tetangganya yang kebetulan melintas lebih dulu menyapa.
Meski curiga dengan kedatangan Rara dan sikap Haris setelahnya, tapi Alma masih bisa bersikap biasa. Seperti saat menjelang tidur malam ini, Alma yang baru saja memastikan semua pintu sudah tertutup mendekat ke lemari untuk mengambil selimut. Dia tersenyum pada Haris yang tampak bersandar pada kepala ranjang sambil menonton berita dari televisi berukuran tak seberapa. "Kamu pasti merasa aneh, karena TV di kamarku hanya sebesar tempe," kata Alma. Dia mendekat ke ranjang lalu membentangkan selimut menutupi kakinya dan Haris. Mendengar ucapan merendah Alma yang lucu, Haris hanya tertawa. "Masih bagus masih bisa nonton TV," balas Haris. Alma hanya tersenyum simpul, dia mengatur bantalnya lalu tiduran miring memandang Haris yang masih duduk. "Pak Haris!" Alma iseng memanggil suaminya lalu terkekeh kecil. Haris menoleh sambil menekuk bibir, tangannya terulur melewati kepala Alma lalu membelai pipi wanita itu. "Bapak kenapa bisa ganteng banget? Makan apa dulu waktu kecil?" Haris ma
Rara menatap Alma yang berdiri di hadapannya. Dia sengaja datang ke sana karena kesal Adhitama memecatnya. Bahkan Rara berniat memberitahukan kebohongan Haris pada Alma, juga taruhan mereka. “Ada perlu apa?” tanya Alma lagi karena Rara tidak kunjung menjawab. Saat Rara hendak bicara, dia melihat Haris keluar dan membuat Rara memilih menahan diri. Sementara itu Haris jelas terkejut melihat Rara berada di sana. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Haris tanpa basa-basi. Dia takut jika Rara sampai bicara macam-macam ke Alma. “Oh, aku ke sini ingin mengantar dokumen saja. Tadi mampir ke rumahmu, tapi kata pembantumu kamu pergi dan mungkin ada di rumah Alma,” jawab Rara. Alma tidak memiliki perasaan curiga sama sekali. Dia malah mempersilakan Rara masuk. “Aku buatkan minum dulu,” ucap Alma setelah Rara duduk. Haris memandang Alma yang berjalan ke dapur, begitu Alma sudah menghilang dari pandangan, Haris langsung menatap benci pada Rara. “Apa maksudmu datang ke sini?” Haris mengam
Beberapa saat berselang Alma sudah selesai berbelanja di warung. Dia langsung pulang sambil tersenyum membawa belanjaan yang dibelinya. “Aku sudah beli kebutuhan kita, kamu jangan cemas,” ucap Alma dengan bangga memperlihatkan apa yang dibawanya pada Haris. Haris merespon dengan senyuman saat melihat Alma tersenyum lepas. Alma pergi ke dapur untuk memasak, lalu Haris menyusul. “Biar aku bantu,” ucap Haris sambil membuka kantong plastik berisi belanjaan Alma. “Tidak usah, kamu tunggu saja,” tolak Alma. “Aku bisa bantu,” kekeh Haris. Alma menatap Haris yang memaksa, lalu akhirnya membiarkan saja Haris membantu. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Haris.Alma sejenak tampak berpikir sebelum menjawab, “Bantu saja aku mengupas bawang." “Bawang yang mana?” tanya Haris menatap bawang putih dan merah di meja. “Semuanya, bawang merahnya lima biji, bawang putihnya empat,” jawab Alma. Haris mengangguk. Dia mulai mengupas bawang merah lebih dulu. Awalnya biasa saja, tapi saat mengupas
Perasaan Haris tak karuan, apalagi Alma tak langsung menjawab pertanyaannya. “Aku baik-baik saja. Lagi pula aku sudah biasa hidup sederhana,” ujar Alma menjawab pertanyaan Haris. Haris terkejut. Dia malah tampak seperti orang putus asa di mata Alma, hingga istrinya itu tiba-tiba memeluk dirinya. “Kita pasti bisa melewati ini semua, semua akan baik-baik saja,” ucap Alma sambil mengusap lembut punggung Haris. Alma bahkan masih bisa memulas senyuman hangat. Haris tiba-tiba merasa bersalah karena sudah membohongi Alma, tapi mau bagaimana lagi, dia harus membuat Rara kalah dan pergi jauh dari kehidupannya dan Alma untuk selamanya. ** Keesokan harinya. Haris dan Alma sudah mengemas barang mereka, keduanya menemui pembantu dan membuat mereka bingung karena Haris dan Alma membawa koper. “Kami pamit dulu, Bi,” kata Haris. “Memangnya Tuan mau ke mana? Liburan?” tanya pembantu. Haris dan Alma saling tatap, lalu Haris menjawab, “Mulai saat ini kami akan pindah dari rumah ini.”
Hari itu karena masih belum mendapat sekretaris pengganti, Haris pergi makan siang di kantin. Saat sedang makan. Rara tiba-tiba mendekati Haris karena melihat pria itu duduk sendirian. “Kamu sendirian?” tanya Rara lalu langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Haris. Haris terkejut Rara muncul di sana dan langsung duduk, tapi dia membiarkan saja. “Selamat untuk pernikahanmu,” ucap Rara. “Terima kasih,” balas Haris singkat. Haris melanjutkan makan. Dia tidak memedulikan keberadaan Rara di depannya. Namun, saat Haris masih sibuk makan, tiba-tiba Rara kembali bicara. “Apa kamu yakin kalau Alma mencintaimu bukan karena hartamu?” tanya Rara memancing. Haris melirik tajam pada Rara, lalu membalas, “Jangan berpikiran buruk apalagi menjelek-jelekkan istriku.” “Aku tidak menjelekkan, hanya saja semua orang juga berpikir sama denganku,” ujar Rara sambil melirik ke samping. Rara yakin karyawan yang berada di sana sedang memperhatikannya dan Haris. Haris ingin mengaba
Pagi itu, Haris sedang menatap layar laptopnya. Ketukan pintu pelan membuatnya menoleh. Kepala HRD Mahesa melangkah masuk dengan membawa map tebal."Selamat pagi, Pak Haris," sapa wanita itu sopan."Pagi. Silakan duduk, Bu Mira," jawab Haris sambil berdiri dari kursi empuknya menuju sofa.Haris bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Padahal dulu dia pernah marah ke wanita itu.Mira tersenyum kecil sambil membuka map di tangannya. "Saya ke sini untuk membahas soal sekretaris baru yang akan ditugaskan ke Bapak. Ada beberapa kandidat yang sudah kami seleksi, tapi kami ingin tahu lebih detail mengenai kriteria yang Bapak inginkan."Haris menyandarkan punggung dan melipat tangan di depan dada. "Maaf, aku lupa bilang semoga tidak terlambat memberitahu, yang paling penting aku ingin sekretarisku berjenis kelamin laki-laki."Mira terlihat sedikit terkejut. "Oh, apakah ada alasan khusus, Pak?""Alasannya simpel," jawab Haris dengan nada tenang. "Aku lebih nyaman bekerj
Pagi pertama sebagai pengantin baru terasa berbeda. Haris membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya yang masih berat. Sinar matahari yang menyusup melalui sela-sela tirai kamar membuat Haris menyadari bahwa hari baru telah tiba. Di sisinya, Alma masih terlelap dengan posisi miring ke arahnya, wajah wanita itu terlihat damai dan polos. Haris tersenyum sendiri, tangannya bergerak lembut membelai rambut istrinya. "Alma, bangun, ini sudah pagi," bisik Haris. Suaranya hangat namun cukup untuk membuat Alma mengerutkan kening kecil. "Hmm... ya ampun, maaf aku bangun kesiangan," jawab Alma sambil bergeser sedikit sambil berusaha membuka matanya. "Tidak apa-apa! Hari ini spesial, hari pertama kita jadi suami-istri," kata Haris sambil terkekeh. Mendengar itu, Alma membuka matanya lebar, dia menatap Haris yang tersenyum penuh cinta di depannya. Pipi Alma langsung merona. "Kita sudah menikah ya? Rasanya masih seperti mimpi buatku." Haris mengangguk sambil mera
Haris benar-benar menunggu Alma. Dia berdiri di kamar sambil melihat Alma mengambil baju di lemari juga beberapa barang pribadi lainnya.“Sudah?” tanya Haris ketika Alma berjalan ke arahnya.“Sudah,” jawab Alma dengan kedua tangan penuh pakaian.Haris membantu membawa pakaian Alma dan kembali ke kamarnya.“Aku mau mandi dulu, setelah itu nanti kamu,” kata Alma sambil meletakkan pakaiannya di sofa.Haris hanya mengangguk dan menuruti keinginan Alma.Alma masuk kamar mandi dan membersihkan diri, baru setelahnya bergantian dengan Haris. Alma agak canggung, apalagi saat keluar dari kamar mandi Haris memandangnya tanpa berkedip.Alma tak mau menatap wajah Haris, dia langsung duduk dan membiarkan pria itu masuk ke kamar mandi.Saat Haris masih di kamar mandi, Alma bingung harus melakukan apa. Bahkan dia takut naik ke ranjang, sehingga memilih duduk di sofa yang ada di kamar sambil menyalakan televisi.Alma merasa aneh. Jantungnya berdegup tak karuan, sampai-sampai dadanya berdebar cepat kar