Sevia pergi ke gedung Mahesa Grup setelah mendengar cerita Tere tentang Adhitama yang memutuskan kontraknya menjadi Brand Ambassador. Wanita tak tahu malu itu cuek dengan banyaknya orang yang menatap padanya. Dia berjalan santai melewati meja resepsionis begitu saja dengan gaya angkuh dan sombong. Namun, Sevia tak menduga ternyata resepsionis itu tidak tinggal diam. Si resepsionis mengejar lalu menghentikan langkahnya. “Apa maksudnya ini? Apa kamu berani padaku?” Sevia menghardik sambil menatap kesal. “Maaf, Anda mau menemui siapa?” Resepsionis itu bertanya dengan sangat sopan meski tahu kalau Sevia pasti ke sana mencari Adhitama. Sevia tertawa hambar mendengar pertanyaan resepsionis, lantas membalas, “Apa aku perlu menjelaskan padamu?” Resepsionis itu masih memulas senyuman ramah kemudian menjelaskan, “Begini Bu, Pak Adhitama bilang kalau beliau hari ini hanya akan menemui orang yang sudah membuat janji dengannya. Jadi, jika Anda belum membuat janji, lebih baik Anda memb
Saat pintu terbuka, tidak hanya Risha yang kaget melihat pemandangan di ruang kerja Adhitama. Andre yang berdiri di sebelah Risha bahkan membungkam mulut menggunakan sebelah tangan.Mereka syok menyaksikan apa yang sedang Sevia dan Adhitama lakukan.“Risha!” Adhitama mendorong tubuh Sevia menjauh. Wajahnya merah menahan amarah dan takut jika Risha kecewa.“Ini tidak seperti apa yang kamu lihat,” kata Adhitama.Risha diam, tangannya mengepal erat di sisi badan.Pikiran Risha sejenak kosong, beruntung dia tidak sampai limbung atau pingsan.Tidak!Tidak mungkin Risha jatuh hanya karena melihat hal semacam ini. Risha terlalu kuat jika hanya untuk menghadapi ular betina seperti Sevia.“Kamu bisa meninggalkan kami,” kata Risha ke Andre lalu melangkah masuk.Tatapan mata Risha tertuju pada Adhitama kemudian Sevia yang terlihat jelas di matanya sedang tersenyum miring.Risha menghentikan langkah, dia kemudian menoleh Andre dan memberi perintah ke sekretaris Adhitama itu,” Tolong, tutup rapat
Adhitama menggeleng, sedangkan Risha masih saja menatap curiga. “Aku benar-benar tidak pernah bersentuhan dengan Sevia,” ucap Adhitama. Kini dia berusaha sebisa mungkin menjelaskan pada Risha untuk menghindari kesalahpahaman. “Tidak pernah bersentuhan apa? Niki pernah mengirim foto Mas Tama sedang memapah Sevia masuk klinik!” bantah Risha yang kesal. "Aku bahkan sempat berpikir dia hamil." Adhitama diam mendengar ucapan Risha, dia ingin menceritakan kebodohannya, tapi urung dan malah berakhir menyipitkan mata curiga. “Kamu memata-mataiku?” tanya Adhitama penasaran. “Buat apa mata-matain Mas Tama! Tidak usah mengalihkan pembicaraan, Mas mengelak karena tidak mau disalahkan!” amuk Risha. “Sekarang maunya Mas Tama bagaimana?” tanya Risha dengan nada suara tinggi. Belum juga Adhitama membalas, tapi Risha sudah ingin berdiri. Menyadari hal itu Adhitama tak tinggal diam dan langsung mencekal pergelangan tangan Risha. Adhitama masih mendapatkan tatapan kesal dari Risha, kemudian wanit
Adhitama kaget dan agak tak percaya mendengar tawarannya diterima oleh Haris. Dia berharap pria itu bercanda dan berujung meninggalkannya bersama Risha.Namun, sayangnya Haris benar-benar sedang menebalkan muka. Pria itu malah bertanya ingin pergi menggunakan mobil siapa.Risha bingung menjawab, dia memandang Adhitama yang pertama mencari gara-gara."Ayo kita pergi!" ucap Haris. Dia sampai membuka jalan untuk Adhitama dan Risha."Apa kamu tidak ada kerjaan yang lebih penting?" Adhitama bertanya lagi, mencoba mengubah pikiran Haris, agar tidak jadi ikut mereka.Namun, Haris malah menggeleng kemudian menjawab,” Tidak, lagipula kalaupun ada bisa dikerjakan nanti.”Adhitama memandang Risha, wanita itu malah tersenyum seolah sedang meledeknya.‘Beginilah akibatnya jika mencari gara-gara.’Risha melepaskan tangan yang masih ada dalam genggaman Adhitama, dia berjalan mendahului pria itu dan Haris sambil mengulum tawa.“Ayo cepat kita pergi!” ucap Haris sambil membuat gerakan tangan mempersil
Sevia masih saja emosi saat meninggalkan gedung Mahesa, bahkan dia mengemudikan mobil secara ugal-ugalan sampai membahayakan keselamatan pengendara lain. Sevia memilih pergi ke klub di siang bolong, bahkan tidak takut kelakuannya ini ketahuan awak media dan diberitakan miring. Sevia tidak peduli karena baginya sekarang meluapkan emosi jauh lebih penting. Saat berada di klub, Sevia menghubungi Jordan agar datang menemuinya di sana. Dia butuh orang untuk bicara dan mengeluarkan unek-unek. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Jordan datang ke klub menemui Sevia. Sevia mengekori langkah Jordan yang baru saja muncul. Dia memegang rokok yang sedang diisap di sela jarinya, lalu melepas dari bibir dan mengepulkan asap rokok ke udara. “Kenapa kamu di sini? Siang-siang mau mabuk?” tanya Jordan sambil menatap heran. Sevia kembali menghisap rokoknya, lalu meniup asapnya di hadapan Jordan. “Kalau ini soal Adhitama, aku tidak mau bekerjasama lagi denganmu menghadapi dia. Aku kap
Hari itu Risha dan Adhitama pergi ke rumah sakit bersama Lily. Di sana mereka menemui dokter yang menangani kondisi kesehatan Lily untuk melakukan konsultasi kembali. “Jadi, apa Anda berdua sudah memutuskan?” tanya dokter memastikan. Risha dan Adhitama saling tatap setelah mendengar pertanyaan dokter, hingga akhirnya Adhitama yang menjawab. “Kami memilih menggunakan metode yang dokter jelaskan itu, memberi adik untuk Lily,” ujar Adhitama menjelaskan. Dokter itu tersenyum kecil mendengar jawaban Adhitama. Dia berpikir rencana Kakek Roi berhasil. “Baiklah, selama kita menunggu, saya akan terus memantau perkembangan kondisi Lily. Mungkin tanda-tanda memburuknya penyakit Lily tidak akan begitu kentara di stadium sekarang, tapi kita tetap harus waspada,” ujar dokter agar kebohongannya tidak terbongkar. Dokter tahu jika dia langsung lepas tangan begitu saja selama menunggu Risha hamil tentu saja akan sangat mencurigakan. Adhitama dan Risha mengangguk bersamaan. Setelah berdiskusi,
Risha perlahan menjauhkan kelopak mata saat Adhitama melepas tautan bibir mereka. Pria itu kembali mengusap pipi Risha, lantas menyentuhkan kening mereka. "Aku mencintaimu, Sha. Jangan pergi lagi dariku ya!" Risha mengangguk menyentuh pipi Adhitama dan merasa sangat bahagia. "Kita akan sama-sama terus, membesarkan Lily dan adik-adiknya nanti." Adhitama tersenyum dan menjauhkan wajah mereka, dia memandang penuh kasih sebelum menyentuh tali kimono baju tidur Risha. Dalam sekali tarikan Adhitama membuat tali kimono itu terlepas. Di hatinya Adhitama merasa bersalah, karena yang dia ingat, dirinya sama sekali tidak pernah memperlakukan lembut Risha di atas ranjang. Bahkan saat malam pertama mereka, Adhitama memperlakukan Risha sedikit kasar. "Kamu milikku 'kan?" tanya Adhitama. Senyuman penuh rasa pasrah Risha berikan, dia membiarkan Adhitama meloloskan bajunya kemudian mengecup lembut pundaknya. Darah Risha terasa berdesir, dia hanya bisa memejamkan mata sambil menggigit
Hari itu hari di mana Risha dan Lily berangkat ke Jogja. Mereka diantar Adhitama sampai bandara. “Mas Tama pulang saja, tidak usah menunggu kami. Aku akan langsung mengajak Lily masuk ke ruang tunggu,” ucap Risha. “Baiklah, aku akan pergi setelah kalian masuk,” balas Adhitama. Risha mengangguk mendengar balasan Adhitama. Dia meminta Lily pamit dan anak itu bergegas mencium pipi sang papa, lalu melambaikan tangan saat diajak Risha masuk ruang tunggu. Setelah memastikan Risha dan Lily masuk, Adhitama pergi meninggalkan bandara. “Bunda, kenapa Papa tidak ikut kita?” tanya Lily. “Papa sedang banyak kerjaan, jadi tidak bisa ikut,” jawab Risha. Risha sebenarnya sedikit kecewa, padahal Adhitama bisa saja meninggalkan pekerjaan demi mereka dan liburan bersama. Namun, Risha menepis pikirannya itu, mencoba berpikir positif. Saat sudah berada di ruang tunggu, Risha membiarkan Lily bermain di ruang tunggu agar tidak bosan sambil menunggu jadwal keberangkatan pesawat mereka. Risha
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin