"Astagfirullah, aku bangun terlambat. Harusnya aku tidur dua jam saja kenapa malah sampai tiga jam? Bagaimana kalau Weni marah?" Faridah gelagapan takut Weni akan memarahinya. Faridah gegas menyiapkan makan malam, sedangkan Keynan bermain sendiri di kamar. Keynan tak pernah mengganggu pekerjaan neneknya.
Weni juga tertidur akibat meminum obat pereda nyeri. Faridah bersyukur karena Weni tak sampai memarahinya karena terlambat bangun. Diambilnya beberapa bahan makanan yang akan digunakan untuk menu makan malam. Tak berapa lama menu makan malam selesai, kini Faridah harus memandikan Keynan dan menyuapi setelah mandi."Cucu nenek sudah ganteng!" Senyum Keynan mengembang karena Faridah selalu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Keynan. Meski lelah namun melihat Keynan tersenyum, sudah cukup membuatnya bahagia."Bu!" Teriakan Weni menggema di penjuru ruangan. Gegas Faridah segera menghampiri Weni setelah mengurus Keynan."Ada apa, Wen?" Wajah Weni memperlihatkan amarah yang besar, kedua tangannya berkacak pinggang."Ibu itu harus masak yang banyak, mulai sekarang ibu harus masak porsi besar! Karena ibu mertuaku juga maunya menu yang sama dengan Weni!" Yang ditakutkan benar-benar terjadi. Memasak dalam jumlah besar tentu saja memakan waktu yang cukup banyak. Belum lagi mengurus semua pekerjaan rumah tanpa bantuan siapapun."Ibu tidak bisa, Wen. Ibu.."Ibu tidak boleh membantah Weni, ibu itu numpang jadi harus nurut sama Weni!" Benar-benar hancur perasaan Faridah. Ingin sekali kembali ke kampung, namun melihat Keynan akan menjadi terlantar karena ibunya tak memperhatikannya membuat Faridah mengurungkan niatnya kembali ke kampung dan menerima keadaan. Terpaksa Faridah memasak lagi menu yang sama dengan Weni. Tenaga renta dipaksa mengerjakan tugas yang cukup berat.Weni berlalu begitu saja saat Faridah kembali memasak untuk mertua Weni. Tak ada rasa ingin membantu supaya cepat selesai. Keynan keluar dari kamar dan menghampiri Weni."Ma, Keynan mau es krim!" Keynan merengek menatap ibunya penuh harap."Tidak bisa, nanti gigimu sakit!" Suara Weni terdengar keras membuat Keynan takut hingga mundur beberapa langkah.Keynan lari ke kamar dan menangis di sudut kamar. Faridah menghampiri Keynan sejenak untuk menenangkannya. Ucapan Faridah selalu membuat Keynan tenang dan kembali tersenyum."Nek, kita tinggal di rumah bibi, yuk!" Miris hati Faridah mendengar permintaan Keynan. Tak salah jika Keynan lebih nyaman bersama Fatma daripada ibunya sendiri."Kita disini saja, Nak. Kasihan kalau Mama ditinggal!" Faridah mengusap kepala Keynan memberi pengertian untuknya."Tapi Mama jahat, Nek. Enak sama bibi Fatma, orangnya baik," Keynan memuji sosok bibinya. Weni kesal mendengar ucapan Keynan yang membandingkan dirinya dengan Fatma."Oh, jadi bibi Fatma lebih baik dari mama?" Keynan ketakutan melihat Weni berkacak pinggang di depannya. Diraihnya telinga Keynan dan dijewer hingga menangis. Faridah berusaha melerai Weni namun kenyataannya Weni semakin kalap menjewer Keynan."Ampun, Ma!" Keynan menangis kesakitan karena cubitan di telinga Keynan.Setelah puas, Weni meninggalkan Keynan meringkuk kesakitan begitu saja seakan tak bersalah sama sekali. Faridah memeluk Keynan dalam dekapannya. Faridah tak bisa berbuat banyak, hanya bisa menenangkan Keynan saja."Bu, besok bantu-bantu masak di rumah Mama. Di sana mau ada acara keluarga besarnya Mama. Lagian, ibu sangat pantas jadi tim bantu-bantu!" Faridah tak hentinya beristighfar setelah mendengar ucapan Weni. Besok ada tugas berat menunggunya. Anak kandungnya memperlakukannya seperti pembantu gratisan."Kuatkan hambamu, Ya Allah!" Hanya kepadaNya, Faridah meminta kekuatan untuk dirinya.Benar saja, keesokan harinya lebih tepatnya pukul empat pagi, Faridah diantar Weni ke rumah mertuanya. Di sana sudah disuguhi banyak sekali bahan makanan yang akan dijadikan beberapa menu makanan. Terdapat sebuah catatan menu makanan yang diminta."Bu Besan, agak cepat ya masaknya. Jam sepuluh acara dimulai!" Tak ada yang bisa Faridah lakukan kecuali melakukannya. Meli benar-benar keterlaluan kepada Faridah.Faridah mulai memilih bahan untuk menu makanan tertentu. Tak ada yang mau membantu mengurus beberapa jenis makanan yang diminta, hanya dibantu satu asisten rumah tangga untuk mengerjakan ini semua."Ratna, Kamu bersihkan ruang tamu! Urusan makanan biar Bu Faridah yang urus!" Teriak Weni saat Ratna baru saja hendak membantu mengupas bawang."Maafkan Ratna karena tak bisa membantu ya, Bu?""Tidak apa-apa, Nak!" Faridah bersusaha tersenyum meski batin tengah menangis.Ratna sebenarnya kasihan dengan Faridah, wanita yang seharusnya dihormati malah sebaliknya. Besan majikannya diperlakukan layaknya pembantu. Sedangkan Meli sedang asik bercengkerama bersama Keynan dan Weni di ruang tengah.Pukul sembilan, semua makanan sudah siap. Faridah dibantu Ratna menata semua makanan di meja makan. Perut melilit karena sedari pagi belum ada makanan yang masuk ke perutnya."Ibu lapar?" Ratna mendengar suara perut Faridah. Faridah jadi malu karena teriakan perutnya diketahui orang lain. Ratna buru-buru ke kamarnya dan mengambil dua roti tawar yang sudah diolesi selai."Bu, makanlah!" Faridah menerima roti dari Ratna dan segera memakannya di dapur. Ratna juga membuatkan susu untuk Faridah supaya kondusinya tetap bugar tidak mudah sakit"Terima kasih, Nak!" Ratna tersenyum ketika tangan Faridah membelai rambut Ratna."Ratna tak tega Bu Faridah diperlakukan seperti ini. Maafkan Ratna tak bisa membantu Bu Faridah!" Hampir saja air mata memenuhi pelupuk mata melihat kondisi Faridah. Bahkan sarapan saja mereka tidak ada yang memberi. Untung saja Ratna selalu menyediakan beberapa camilan di kamarnya jika lapar."Bu, selama acara jangan pernah nongol ya? Tetaplah di dapur. Penampilan ibu cocok sekali menjadi pembantu!" Ratna terkesiap mendengar ucapan Weni. Apalagi Meli dengan pongahnya berkacak pinggang di belakang Weni seolah mendukung ucapan Weni."Bu Besan bisa sarapan gulai nangka sisa kemarin di lemari es. Tinggal dipanaskan saja sudah bisa dimakan!" Ratna mengusap dadanya, begitu teganya Faridah diberi lauk sisa kemarin. Ratna meraih dan membungkusnya dengan kantong plastik sebelum membuangnya. Kondisi gulai nangka benar-benar tak bisa dimakan. Aromanya sudah berbeda ditambah warnanya sudah memucat tandanya sayur gulai sudah rusak."Jangan pernah makan makanan basi selagi kita masih bisa menyediakannya, Bu," Faridah hanya menatap yang Ratna lakukan. Ratna benar-benar membuangnya ke tong sampah yang berada di luar rumah. Ratna kembali ke dapur membawa dua bungkus nasi uduk untuk Faridah dan dirinya."Nak, tak apa jika memang sayur kemarin masih bagus. Ibu malu harus merepotkanmu seperti ini!" Faridah sungkan karena sudah merepotkan Ratna pagi ini."Bu, Ratna tidak suka saat Bu Faridah diperlakukan seperti itu. Bu Faridah jangan protes lagi ya, sebaiknya Bu Faridah segera sarapan!" Keduanya menikmati sebungkus nasi uduk yang dibeli Ratna di depan rumah. Kebetulan ada penjual nasi uduk keliling yang sedang melayani pembeli. Ratna berinisiatif membeli untuk Faridah dan dirinya.Acara arisan berlangsung lancar hingga mereka begitu menikmati jamuan makan siang di kediaman Meli."Enak banget, pembantu kamu jago masak nih!" Salah satu teman arisan benar-benar memuji masakan yang dibuat Faridah."Iya, pembantu baru rumah ini pintar memasak!" Balas Meli. Ratna hanya menggeleng pelan mendengar pengakuan Meli."Faridah!" Meli memanggil Faridah tanpa embel-embel Bu atau sejenisnya. Faridah keluar dari dapur setengah berlari menghampiri mereka di ruang makan."Kenalkan, ini namanya Faridah. Pembantu baruku!" Bagai disambar petir saat disebut sebagai pembantu di depan teman arisan besannya. Dilihatnya Weni ikut menertawakan dirinya. Tak ada yang bisa Faridah katakan kecuali menunduk saat dipermalukan. Mulut tak hentinya melantunkan istighfar supaya hatinya tetap tenang.Tanpa dikomando, air mata yang ditahan sedari tadi akhirnya jatuh juga. Weni sama sekali tak kasihan kepada ibu kandungnya yang dipermalukan di depan teman ibu mertuanya."Ya sudah, kembali masuk kedalam, Faridah!" Faridah gegas ke dapur. Ratna geram melihat majikan serta menantunya tak memiliki hati sama sekali. Tega sekali menghina Faridah tanpa mau tahu perasaannya.Ratna memergoki Faridah menangis di teras belakang. Ratna memahami saat ini hati Faridah benar-benar hancur."Bu, apakah tidak ada lagi keluarga ibu yang lain?" Faridah merasakan pelukan hangat dari perempuan muda seusia Fatma."Ibu sebenarnya punya satu anak lagi namun ibu tidak mau merepotkan mereka."Teringat kehidupan Fatma serba pas pasan namun tak pernah sama sekali mengeluh atau meminta bantuan kepada ibunya sendiri. Fatma hanya berbelanja sesuai kebutuhan, kebutuhan sayur dan beberapa bumbu sengaja ditanam sendiri di halaman belakang rumahnya. "Ratna kesal melihat Bu Faridah dihina terus seperti ini, andai Bu F
"Ibu nggak perlu mengada-ngada deh, apa Ibu mau hidup merepotkan Fatma yang penghasilan suaminya aja kurang!" Sengaja Weni mengintimidasi Faridah supaya mau menyetujui permintaannya. "Tapi itu kenangan ayahmu!" Faridah mencoba memberi pengertian pada Weni. Weni tak melanjutkan perdebatan dan pergi bekerja begitu saja. Faridah terisak, Weni begitu keras kepala tanpa memahami perasaanya. Disinilah Faridah mulai bimbang, ucapan Weni benar-benar menguji pendirian Faridah. Tidak mungkin dirinya tinggal di kampung dan merepotkan Fatma. Tinggal sendirian di rumah peninggalan suaminya seorang diri pun tak akan mungkin. Fatma pasti akan tahu keadaanya dan membawanya tinggal bersamanya.Hanya istigfar yang bisa diucapkan. Tak berselang lama, Meli datang ke rumah Weni seakan seperti rumahnya sendiri."Faridah, belanjakan bahan untuk membuat tongseng dong! Sekalian kamu masak juga!" Meli tanpa basa basi memberikan sejumlah uang kepada Faridah."Bu, maaf! Saya repot mengasuh Keynan, jadi.."Oh! K
"Nek, Keynan mau sosis," Keynan tergiur saat Meli begitu lahap menikmati sosis bersama telur dan beberapa lauk lain sedangkan dirinya hanya mendapat jatah satu telur ceplok."Tidak usah, anak kecil jangan makan banyak-banyak!" Terlihat rakus sekali saat Meli makan. Keynan terpaksa menahan air liur saat makanan kesukaannya dilahap habis oleh Omanya. Sangat berbeda dengan Faridah, Faridah akan selalu mengedepankan cucunya daripada dirinya. Tak berapa lama terdengar deru mobil Weni memasuki halaman rumah. "Heh, Bocah. Kamu masuk ke kamar sekarang! Makan di kamar sekalian!" Keynan terpaksa membawa piringnya ke kamar atas perintah oma nya. Terlihat sekali wajah Weni begitu muram saat pulang kerja."Ma, maaf ya sudah merepotkan mama menjaga Keynan. Emang dasar wanita tak berguna, mengasuh cucunya saja tidak mau!" Weni emosi ketika pulang kerja. Kini dirinya harus mencari Day Care untuk Keynan jika ibunya tak mau kembali. Untuk itu, Weni harus membayar lebih jika Keynan harus dititipkan k
Faridah berpikir sejenak, ada rasa ingin kembali ke kota demi Keynan dan ada rasa ragu ketika harus bersama dengan menantunya."Bu, tolonglah Weni. Keynan tak ada yang menjaga, Bu!" Weni mulai bersandiwara memperlihatkan wajah memelas. Fatma malah mencebik ke arah Weni yang pasang wajah memelas."Kalau Keynan dibawa ke kampung saja bagaimana, Mbak? Disini Keynan bisa belajar mengaji, daripada di kota cuma diem aja di rumah!" Andai tidak sedang bersandiwara, ingin sekali Weni menampar mulut Fatma. "Jangan dong! Masa cucuku mau dibawa ke kampung!" Meli terdengar sewot dengan ucapan Fatma. "Disana juga nggak ada yang jaga, lebih baik di kampung saja!" Ucapan Fatma lagi-lagi memancing emosi Weni dan Meli. Dua wanita beda generasi tersebut saling melirik karena kesal dengan ucapan Fatma."Tidak bisa, Keynan tetap tinggal di kota!" Akhirnya Weni memutuskan jika Keynan tetap di kota. Fatma kembali menyimak ucapan Weni dan Meli."Berikan wantu untuk ibu dulu, Nak. Ibu ingin tinggal di kampu
Teriakan Keynan membuat Weni semakin geram. Bagaimana tidak, Keynan memutuskan tinggal bersama Faridah. "Dengar tuh, Bu. Keynan minta tetap bersama Neneknya tapi Weni tidak setuju kalau tinggal di kampung. Ibu harus kembali tinggal disini!" "Supaya bisa jadi babu gratisan? Ingat, Mbak! Nggak seharusnya Mbak Weni kayak gitu pada ibu!" Fatma angkat bicara membela ibunya. Weni berjalan ke arah Fatma dan tiba-tiba mendorongnya hingga Fatma mundur beberapa langkah ke belakang."Jangan pernah ikut campur urusanku lagi! Tau apa kamu susahnya hidup di kota?" "Aku tak akan ikut campur selama ibu bahagia. Kalau kamu memperlakukan ibu seperti pembantu, aku akan tetap ikut campur!" Fatma mendorong balik Weni. Tenaga Fatma tak kalah besar dari Weni meski postur tubuh Fatma hampir sama dengan Weni."Sudah kalian jangan bertengkar! Ibu akan bawa Keynan ke kampung!" Keputusan Faridah saat itu juga. Meli seakan kebakaran jenggot karena Keynan lebih memilih neneknya dari kampung daripada dirinya. M
Faridah senang sekali masih ada rejeki untuk membayar biaya rumah sakit Keynan. Tak ada perhatian sedikitpun dari Weni selama anaknya di rawat. Hanya Faridah yang selalu menemani Keynan. Fatma sesekali datang membawa baju ganti dan membawa makanan untuk Faridah."Nenek pijit ya," Faridah memijit pelan kaki Keynan, tak lupa dilantunkannya sholawat. Sholawat yang selalu Faridah lantunkan menjadi candu bagi Keynan.Seminggu sudah Keynan dirawat dan keadaan mulai membaik. Faridah memutuskan membawa Keynan pulang ke kampung. Melihat sikap dan rasa tidak peduli semakin membuat Faridah mantap membawa dan merawat Keynan ke kampung."Nanti kalau di kampung, Keynan bisa ikut Paman Ridho mengaji ya?" Keynan tersenyum sambil mengangguk cepat. Keynan bersemangat sekali belajar mengaji. Saat Faridah masih mengasuhnya, Faridah selalu mengaji di samping Keynan membuat Keynan ingin bisa mengaji seperti Faridah."Nek, bagus banget ya?" Faridah tersenyum melihat Keynan penuh semangat melihat pemandangan
Dua hari berselang, tidak ada tanda-tanda Weni mengirim pesan atau sekedar menghubungi Fatma melalui ponselnya. Meski tidak menghubungi namun Fatma tetap khawatir akan rencana yang dilakukan Weni. Apalagi Fatma mencurigai Meli di balik perubahan sikap Weni.Fatma asik mengawasi Keynan bermain dengan teman sebaya di halaman rumah Faridah. Sehari-hari Fatma selalu membantu Faridah menjaga Keynan disaat Faridah sedang bekerja di sawah tetangga atau sedang berjualan sayur di pasar. Ridho bahkan lebih senang karena Fatma memiliki sosok teman yaitu keponakannya sendiri. "Bibi, Keynan capek!" Keynan setengah berlari ke arah Fatma. "Jagoan Bibi lelah ternyata," Fatma menggendong Keynan masuk ke rumah Faridah dan memintanya beristirahat. Wajah Keynan begitu ceria, tidak ada lagi wajah sedih yang biasanya ditunjukkan. Keynan membaringkan tubuhnya di dipan bambu samping jendela. Angin sejuk di siang hari membuat kedua mata Keynan perlahan terpejam. Keynan mudah sekali tidur siang jika berada
Keesokan paginya, Fatma bersama Ridho berangkat ke kantor polisi tempat Faridah ditahan. Fatma begitu bersemangat sekali, berharap Ibunya segera bebas. Sesampai di sana, Faridah terlihat duduk bersila di tahanan sementara. Mulut Faridah hanya bisa berdzikir dan beristighfar atas musibah yang menimpanya. "Lapangkan hati hamba, Ya Allah," gumam Faridah di sela-sela dzikirnya. Fatma diijinkan bertemu dengan Faridah. Pertemuan mengharukan, Faridah memeluk Fatma yang menangis di depannya. Faridah berusaha tetap tegar di depan Fatma. Faridah yakin jika Fatma adalah orang yang paling terpukul atas musibah yang menimpanya. Ridho dan salah satu temannya mengurus kasus Faridah dengan menunjukkan beberapa bukti. Bukan itu saja, rekan Ridho juga berhasil mencari bukti data Keynan di rumah sakit dan puskesmas dalam waktu semalam saja. Beberapa polisi mendalami kasus Faridah sejenak. Memastikan bukti yang dibawa pihak Faridah bisa membebaskan Faridah dari tuduhan palsu. "Ibu, Fatma tidak terima
Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te
Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih
Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d
Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka
"Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu
Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku
Pagi ini Fatma melihat Faridah sedang duduk melamun di pekarangan rumah. Tatapannya kosong seperti memikirkan beban teramat berat. Fatma menghentikan pekerjaanya dan menghampiri Faridah."Ibu," Faridah terkejut melihat Fatma sudah di sampingnya."Fa-Fatma!" "Ibu sedang memikirkan apa?" Fatma mencoba bertanya kepada Faridah. "Tidak ada apa-apa. Fat, Ibu mau bertanya padamu." Fatma mengernyitkan dahinya. Ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Faridah."Apa Ibu salah jika ingin mencari keberadaan Kakak kamu? Ibu merasa Kakak kamu sedang berada di dalam lembah hitam. Ibu khawatir jika Kakakmu salah jalan." Andai jika diijinkan, Fatma ingin mengatakan untuk tidak mengijinkan Ibunya ke kota sendirian, apalagi sudah dipastikan akan mendapatkan hinaan dari Weni maupun orang yang kenal dengannya. Namun, Fatma sama sekali tidak punya hak atas keinginan Ibunya terhadap Weni."I-Ibu tidak salah. Hanya saja Fatma takut jika Mbak Weni menyakiti hati Ibu ketika bertemu," Fatma terpaksa mengungkapk
Meli kesal melihat gelang baru milik Weni. Gelang yang pernah diinginkan. Bahkan sampai sekarang, hanya saja Weni ternyata lebih dulu mendapatkan gelang yang diimpikan."Kok bisa dia punya gelang itu. Gelang itu harganya sangat mahal. Mustahil jika Weni bisa memilikinya!" Meli tidak hentinya menggerutu menuju ke meja. Tanpa disengaja Meli melihat menantu dan anaknya sedang makan siang. Bibir seketika tersenyum, ada niat tersembunyi saat ini. Kebetulan sekali Meli ingin gelang yang lebih cetaf dari yang dimiliki Weni."Halo, anak dan menantuku!" Kedatangan Meli yang tidak disengaja mengejutkab mereja berdua. Termasuk Aris saat ini. Sedangkan Marisa terlihat biasa saja saat Meli kini berada di depannya."Mama pesan dulu gih!" Tanpa pikir panjang, Meli memesan sesuai permintaan Marisa. Sesekali Meli berpikir untuk merangkai kata yang akan digunakan membujuk Marisa. Meli benar-benar tidak ingin kalah saing dari Weni."Marisa, bagaimana kandunganmu? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan. Mis
Suhu tubuh Keynan semakin tinggi membuat Keynan mengigau. Fatma, Ridho dan juga Faridah bergantian menenangkan Keynan. Hingga menjelang dini hari, Keynan barulah merasa tenang."Alhamdulillah, sudah lebih tenang daripada tadi!" Gumam Fatma sedikit lebih lega melihat perubahan keadaan Keynan. Begitu pula dengan Faridah, cukup tenang melihat Keynan sudah kembali tenang. Tidak lagi memanggil Ibunya yang tidak pernah ingin menemuinya."Fat, istirahatlah! Biar Ibu saja yang menjaga Keynan!" Fatma duduk bersandar di sebuah kursi sedangkan Faridah duduk di samping brankar Keynan. Keduanha begitu lelah hingga dengan cepat kedua mata mereka terpejam.Ridho berjaga di depan ruang rawat inap Keynan memastikan jika terjadi apa-apa di dalam ruangan. Keesokan harinya, Fatma berpamitan untuk menjual gelang sebagai biaya untuk pengobatan Keynan. Meski tidak besar namun cukup untuk membayar tagihan rumah sakit. Faridah bersyukur sekali masih ada salah satu anaknya yang selalu ikhlas menolongnya tanp