Hari ini pertunangan benar-benar digelar di kediaman keluarga Marisa. Acara hanya dihadiri beberapa keluarga terdekat karena acara sangat tertutup apalagi dari media. Semua dilakukan karena beredarnya video viral yang dibuat oleh Weni. Penjagaanpun terbilang ketat, apalagi keluarga Marisa terbilang keluarga terpandang dan kaya.Weni sedari tadi di mobil memperhatikan situasi di depan rumah Marisa. Rumah mirip dengan istana yang berhasil membuat Aris tergila-gila pada Marisa."Rupanya kamu matre sekali, Mas!" Gumam Weni. Weni segera meninggalkan kediaman rumah Marisa. Kini tinggal seseorang yang diajak kerja sama oleh Weni dan menyusup diam-diam ke dalam kediaman keluarga Marisa.DuarSeketika terjadi ledakan di meteran listrik kediaman rumah Marisa hingga semua aliran listrik terputus dan gelap. Acara terganggu karena mendadak gelap. Terlihat asap tebal keluar dari meteran listrik membuat salah satu asisten rumah tangga ikut panik."Pak, meteran listrik terbakar!" Aris dan juga Marisa
Pagi-pagi Weni dikejutkan dengan keberadaan Aris di ruang kerja Weni. Raut wajah terlihat tidak menyenangkan sama sekali melihat keberadaan Weni."Kamu ngapain kemari?" Weni begitu gugup dengan tatapan Aris kepadanya. Aris berjalan mendekati Weni sedangkan Weni mundur beberapa langkah ke belakang hingga menyentuh dinding."Aku hanya ingin memperingatkanmu, Mantan istriku!" Aris hendak membelai rambut Weni namun segera ditepisnya. "Kita sudah tidak ada hubungan apa lagi, jadi keluar dari ruanganku!" Kata Weni dengan nada memberi tekanan kepada Aris."Tapi urusan kita belum selesai, Mantan istriku. Aku tahu jika kejadian saat pertunangan itu kamu adalah dalangnya."Weni terkejut dengan tebakan Aris. Namun, Weni berusaha tetap tenang meski dugaan Aris adalah benar. Dirinya adalah dalang di balik kejadian saat prosesi pertunangan Aris dengan Marisa."Apa karena aku mantan istrimu, sehingga kamu menuduhku telah merusak hari kebahagiaanmu? Apakah kamu pernah memberitahu kapan waktu pertuna
Ridho turut prihatin dengan sikap yang dimiliki Weni. Kakak iparnya begitu tega memperlakukan Ibu mertuanya seperti bukan seorang Ibu. Berkali-kali menyakiti Ibunya tanpa berpikir tang akan terjadi padanya nanti."Paman, Keynan boleh, kan tinggal disini?" Ridho tersenyum dan menggendong Keynan. "Paman akan selalu mengijinkan Keynan tinggal bersama Paman!" Faridah tersentuh melihat kedekatan Ridho dengan Keynan. Begitu juga dengan Fatma lebih mirip Ibu pengganti untuk Keynan.Faridah merapikan beberapa lembar pakaiannya ke dalam lemari yang berbahan dasar plastik. Hanya ini yang bisa Fatma lakukan, membeli lemari dari kayu juga uangnya tidak cukup. Fatma kembali sibuk dengan bolu pisang pesanan tetangga yang sedang ada hajatan. Faridah sadar diri sehingga turun tangan membantu pekerjaan Fatma."Ibu, tidak perlu begini! Fatma bisa mengerjakan semuanya!" Fatma memegang tangan Faridah supaya menghentikan pekerjaanya membantu Fatma."Ibu tidak mau berpangku tangan disaat kamu sibuk, Nak!
PrankTidak sengaja Weni menyenggol pramusaji yang membawa minuman. Tentu saja suasana menjadi gaduh karena sebuah kecelakaan kecil yang terjadi. Banyak mata yang tertuju ke arah Weni dengan gaun cantik yang berakhir terkena minuman. Bima mengambil kesempatan untuk membantu Weni. Kedua mata Marisa memanas melihat Bima begitu dekat dengan Weni, begitu juga dengan Aris."Dasar orang kampung! Kamu ngapain kemari sih?" Tidak disangka, pemilik suara itu adalah Meli, mantan mertuanya yang terang-terangan menghinanya di depan banyak tamu.Aris tidak bisa banyak bicara saat Weni mendapat hinaan dari Meli. Aris hanya bisa melihat tanpa bisa membantunya."Orang kampung ini telah memberikan banyak pengabdian kepada anakmu, Nyonya. Orang kampung ini telah kau bohongi bahkan kau mendukung anak lelakimu berselingkuh dengan orang kaya!" Weni berdiri dan menatap lurus ke arah Meli. Kedua mata saling bertatapan penuh amarah. Nafas saling memburu melihat satu sama lain. Weni merasa tertipu dengan soso
Pagi-pagi usai Aris berangkat bekerja, diam-diam Marisa menghubungi Bima secara sembunyi-sembunyi. Marisa khawatir akan ada asisten rumah tangga yang mendengar percakapannya dan melaporkan kepada orang tuanya. Setelah memastikan situasi aman dan terbebas dari tangkapan cctv, maka Marisa mulai melanjutkan rencananya.Panggilan pertama tidak diterima oleh Bima. Marisa tidak patah arang dan mulai memanggilnya kembali. Panggilan keduanya tidak mendapat jawaban seperti panggilan sebelumnya. Hingga panggilan ketiga, barulah Bima menerima panggilannya. "Ha-halo, Bima!" Suara Marisa terkesan pelan-pelan. Marisa berharap Bima mau mendengarkan ucapannya kali ini."Ada perlu apa?" Ucapan Bima terkesan dingin. Marisa berulang kali menelan ludah ketika harus berbicara dengan Bima."A-aku rindu padamu!" Meski tergagap, namun Marisa tetap berani mengungkapkan isi hatinya kepada Bima."Jangan kau bilang rindu jika hanya untuk menyakiti dirimu sendiri, Risa. Bersenang-senanglah dengan suamimu. Aku ju
Kian hari tubuh Faridah semakin ringkih. Tubuhnya yang semula bugar, kini sering sakit-sakitan. Fatma yang selalu merawat Ibunya setiap hari tanpa ada campur tangan dari Weni. Setiap kali Fatma menghubungi Weni, tidak pernah sekalipun dijawab. Selalu diabaikan seperti tidak memiliki saudara."Bu, Fatma rindu belaian Ibu!" Fatma mengusap air mata yang hampir saja menetes membasahi pipinya. Faridah menatap sayu anak bungsu yang selalu menemaninya."Bu, apakah Ibu tidak sayang Keynan dan Fatma? Ibu harus sembuh ya?" Faridah hanya diam mendengar bujuk rayu Fatma. Selama sakit, tidak pernah sekalipun Faridah mau dibawa ke rumah sakit. Hanya obat sesuai resep dokter yang datang memeriksa Faridah."Ibu tidak apa-apa, hanya butuh istirahat saja. Ibu hanya lelah, kamu tidak perlu sekhawatir ini," Faridah menghibur anak bungsunya. Keynan mulai terbiasa dengan kegiatan bersama Ridho. Sehingga, Faridah tidak terlalu mengkhawatirkan Keynan. Ridho memperlakukan Keynan dengan sangat baik. Tak berap
Keesokan harinya, Weni dikejutkan dengan sebuah paket tanpa nama pengirim. Weni ragu untuk membukanya, khawatir jika akan terjadi sesuatu padanya. Weni tidak langsung membukanya melainkan membiarkannya begitu saja sampai ada orang yang mengirim pesan kepadanya tentang paket yang diterima."Aku curiga dengan paket ini."Usai meletakkan paket itu tanpa ingin membukanya dulu, Weni kembali bersantai sebelum waktu bekerja. Sebatang rokok dan segelas bir kini menjadi teman kesehariannya. Hanya dua benda itu yang bisa mengobati keresahannya.Ting nungWeni beranjak dari kursi menuju ke pintu untuk membuka tamu pagi-pagi yang datang menemuinya."Mas Aris?" Weni terkejut saat membuka pintu dan melihat seseorang di hadapannya. Aris datang tiba-tiba ke apartemennya pagi-pagi. Weni hendak menutupnya lagi namun kaki Aris digunakan untuk menahan pintu supaya tetap terbuka."Apa maumu?" Weni terjungkal ke belakang ketika Aris dengan spontan mendorongnya. Aris menutup pintu dan menghampiri Weni yang
BrukFaridah tidak sengaja menabrak dinding saat hendak ke kamar mandi. Kepalanya yang masih terasa berat dipaksakan mengambil air untuk berwudhu. Alhasil, kepalanya terbentur dinding kamar mandi"Ibu kenapa?" Fatma yang kebetulan sedang menyapu mendengar benturan dan seketika berlari ke arah suara benturan tersebut. Terlihat Faridah sedang terduduk sambil memegangi kepalanya."Ibu hanya kebentur sedikit, kamu tenang saja!" Faridah berusaha bisa berdiri sendiri namun tetap saja tidak bisa. Kepalanya semakin berputar-putar dan berat."Ibu hanya ingin berwudhu saja," Fatma membantu Faridah mengganti pakaiannya sebelum berwudhu kemudian membantu Faridah berwudhu. Fatma juga memapah Faridah sampai ke kamar dan membantu memakaikan mukenah. Melihat Ibunya begitu khusu menjalankan ibadah meski hanya mampu sambil duduk di atas ranjang. Fatma berharap, Weni bisa segera sadar dan kembali pulang ke kampung. Fatma ingin sekali Ibunya bisa segera sembuh.Usai shalat, Faridah mulai mengurutkan biji
Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te
Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih
Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d
Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka
"Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu
Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku
Pagi ini Fatma melihat Faridah sedang duduk melamun di pekarangan rumah. Tatapannya kosong seperti memikirkan beban teramat berat. Fatma menghentikan pekerjaanya dan menghampiri Faridah."Ibu," Faridah terkejut melihat Fatma sudah di sampingnya."Fa-Fatma!" "Ibu sedang memikirkan apa?" Fatma mencoba bertanya kepada Faridah. "Tidak ada apa-apa. Fat, Ibu mau bertanya padamu." Fatma mengernyitkan dahinya. Ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Faridah."Apa Ibu salah jika ingin mencari keberadaan Kakak kamu? Ibu merasa Kakak kamu sedang berada di dalam lembah hitam. Ibu khawatir jika Kakakmu salah jalan." Andai jika diijinkan, Fatma ingin mengatakan untuk tidak mengijinkan Ibunya ke kota sendirian, apalagi sudah dipastikan akan mendapatkan hinaan dari Weni maupun orang yang kenal dengannya. Namun, Fatma sama sekali tidak punya hak atas keinginan Ibunya terhadap Weni."I-Ibu tidak salah. Hanya saja Fatma takut jika Mbak Weni menyakiti hati Ibu ketika bertemu," Fatma terpaksa mengungkapk
Meli kesal melihat gelang baru milik Weni. Gelang yang pernah diinginkan. Bahkan sampai sekarang, hanya saja Weni ternyata lebih dulu mendapatkan gelang yang diimpikan."Kok bisa dia punya gelang itu. Gelang itu harganya sangat mahal. Mustahil jika Weni bisa memilikinya!" Meli tidak hentinya menggerutu menuju ke meja. Tanpa disengaja Meli melihat menantu dan anaknya sedang makan siang. Bibir seketika tersenyum, ada niat tersembunyi saat ini. Kebetulan sekali Meli ingin gelang yang lebih cetaf dari yang dimiliki Weni."Halo, anak dan menantuku!" Kedatangan Meli yang tidak disengaja mengejutkab mereja berdua. Termasuk Aris saat ini. Sedangkan Marisa terlihat biasa saja saat Meli kini berada di depannya."Mama pesan dulu gih!" Tanpa pikir panjang, Meli memesan sesuai permintaan Marisa. Sesekali Meli berpikir untuk merangkai kata yang akan digunakan membujuk Marisa. Meli benar-benar tidak ingin kalah saing dari Weni."Marisa, bagaimana kandunganmu? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan. Mis
Suhu tubuh Keynan semakin tinggi membuat Keynan mengigau. Fatma, Ridho dan juga Faridah bergantian menenangkan Keynan. Hingga menjelang dini hari, Keynan barulah merasa tenang."Alhamdulillah, sudah lebih tenang daripada tadi!" Gumam Fatma sedikit lebih lega melihat perubahan keadaan Keynan. Begitu pula dengan Faridah, cukup tenang melihat Keynan sudah kembali tenang. Tidak lagi memanggil Ibunya yang tidak pernah ingin menemuinya."Fat, istirahatlah! Biar Ibu saja yang menjaga Keynan!" Fatma duduk bersandar di sebuah kursi sedangkan Faridah duduk di samping brankar Keynan. Keduanha begitu lelah hingga dengan cepat kedua mata mereka terpejam.Ridho berjaga di depan ruang rawat inap Keynan memastikan jika terjadi apa-apa di dalam ruangan. Keesokan harinya, Fatma berpamitan untuk menjual gelang sebagai biaya untuk pengobatan Keynan. Meski tidak besar namun cukup untuk membayar tagihan rumah sakit. Faridah bersyukur sekali masih ada salah satu anaknya yang selalu ikhlas menolongnya tanp