Aku terperanjat saat pintu kamar diketuk. “Buka pintunya, kamu baik-baik aja, kan? Suara Kak Sarah terdengar cemas. Sepertinya amarahnya sudah mereda. Sekali pun sikapnya terkadang keras padaku tapi sesungguhnya dia amat penyayang. Dia selalu mengkhawatirkan aku apalagi saat aku berlama-lama mengurung diri di kamar. Pernah ada satu kejadian yang membuatku sangat percaya akan kasih sayang Kak Sarah padaku. Masih teringat saat minggu-minggu pertama usai perceraian, yang menurutku adalah hari-hari yang paling kritis dalam hidup. Aku pernah mengunci diri di kamar mandi dari pagi sampai malam. Sejak Kak Sarah berangkat kerja hingga dia pulang, aku tak kunjung keluar. Dia sangat panik dan menangis sembari menggedor-gedor pintu memanggilku tapi aku tak kunjung bersuara. Akhirnya dia memanggil tetangga untuk mendobrak pintu kamar mandi dan mendapati aku terkulai lemas di bawa shower yang menyala. Aku di bawa ke rumah sakit dan menjalani perawatan selama satu minggu lantaran hypothermia. Tubu
"Aku mengerti saat kita sudah sedekat nadi kau malah memilih untuk pergi. Sungguh menyakitkan. Aku hanya berharap semoga setelah ini tidak ada hari untukmu datang kembali dengan sesal yang sudah lama basi."___“Pulang jangan terlalu malam, ya. Hati-hati. Bilangin sama dia jangan lupa anterin kamu sampai rumah.”“Iiih, Kakak Sarah apa-apaan?!”Dia terkikik lagi. Terdengar senang sekali. Sepertinya dia sangat berharap aku kembali menemukan hidupku. Dan seharusnya memang begitu. Tapi aku tidak mau memaksakan diri. Menginginkan segala hal berjalan apa adanya. Kalau memang kembali dipertemukan dengan orang berikutnya yang berhak mendapat tempat di hati mungkin aku tidak akan menghalanginya.“Maaf, lama ya nunggu?”Dia tersenyum, menarik kursi lalu duduk dan meletakkan dua cangkir kopi. Cappuccino dalam cangkir berkapasitas 88 mililiter dia dorong kehadapanku. Sedangkan secangkir espresso dengan crema di atasnya tetap di depannya. Dari teksturnya terlihat pekat dan pahit. Aneh, padahal tadi
“Kamu?” Dia terpana. Tatapannya terpaku beberapa saat di wajahku. Rasanya ingin pingsan detik ini juga. Kenapa dia lagi?“Bintang. Senang sekali bisa ketemu disini. Apa kabar? Apa sudah baikan sekarang?”Bintang? Dia masih memanggilku Bintang? Pikiranku tiba-tiba kosong.Saking bingungnya merespon pertanyaannya, aku terdiam di tempat. Tubuhku membeku mendadak. Untunglah hanya berlangsung sebentar. Aku cepat tersadar memasang mimik datar.“Oh, iya. Saya baru ingat ternyata Anda lagi. Bumi memang tak selebar daun pisang, ya? Ada banyak manusia di kota ini, tapi bisa-bisanya kita dipertemukan di sini. Menurutku ini sedikit aneh.”Tawanya berderai setelah mendengar penuturanku. Sementara aku mendengus samar. Memangnya apa yang lucu? Apa dia seorang yang kaku sehingga mendengar kalimat seperti itu saja membuatnya geli? Orang aneh. Kedua matanya yang besar kemudian menyipit seakan ingin menyelami pikiranku.“Kamu bisa bercanda juga. Saya kira Cuma bisa marah-marah.” Ah, aku tidak tahan. Ku
‘Sayang, nanti kalau kita menikah aku mau kita punya banyak anak.’Keinginan yang dia diutarakan padaku dua bulan sebelum kami menikah. Saat itu aku tak melihat mendung sedikit pun meski mungkin ketika dia mengatakan itu saat langit sedang sangat muram. Bumi serasa terang benderang. Segala yang ada di bawah matahari terlihat menyenangkan hati. Kunikmati kebahagiaan yang begitu sempurna sampai tiba hari dia menghalalkan. Bagiku ikatan suci kami adalah surga dunia. Dia laki-laki yang nyaris tanpa cela di mataku. Empat tahun kebersamaan tak sekalipun dia menyakiti, berkata kasar apalagi. Dia seorang yang lemah lembut dan pandai menyenangkan hati. Aku merasa beruntung bisa memilikinya. Sampai-sampai beberapa rekan wanitanya terangan-terangan menyatakan kecemburuan mereka saat hadir di resepsi pernikahan kami. Meski disampaikan dengan nada bercanda.Hal yang sangat wajar, aku menyadari itu. Dia tampan, dengan mata yang bulat cemerlang. Terlihat cerdas dan berwawasan. Dan yang terpenting di
"Tak butuh waktu lama untuk bisa mencintai. Tapi mengapa butuh waktu yang begitu panjang untuk bisa melupakan."___"Ya Allah, apa kabar?"Dia memeluk sangat erat. Wanita paru baya yang kupanggil Bu Tamy memandangiku lekat-lekat. Ribuan pertanyaan terpancar dari sorot matanya yang di bingkai alis tebal itu.“Alhamdulilah, aku baik, Bu. Bu Tamy sehat?”Dia mengangguk antusias. “Udah kangen banget. Ke mana aja selama ini?”“Ada Bu, biasa sibuk bantu Kak Sarah di restoran. Anak-anak gimana masih suka nginep di rumah?”Dia mengangguk lagi. Yang kumaksud anak-anak adalah empat cucunya yang hampir setiap hari beliau urus saat orang tua mereka bekerja.Bu Tamy tetangga terdekatku. Sebenarnya aku betah tinggal di kompleks ini. Lingkungannya yang nyaman, teratur dan bersih juga orang-orangnya yang ramah dan saling peduli. Betapa berat saat aku harus meninggalkan kehidupan disini. Tapi apa mau di kata, ada keputusan yang lebih penting yang harua segera diambil.Kami mengobrol kurang dari setenga
Kuhempaskan kepala pada sandaran jok. Apa-apaan ini? Jangan ... Jangan mogok. Ya Allah tolonglah jangan mogok sekarang apa lagi malam begini. Aku gelapan. Terserang panik mendadak. Mencari ponsel dalam benak berpikir cepat siapa yang bisa membantuku dalam keadaan darurat.Ryu ...?Dialah orang pertama yang harus kuhubungi ketika aku terjebak dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan seperti ini. Tapi itu dulu ... Kupejamkan mata dengan sedih.Jangan ingatkan aku padanya. Dia dan aku tidak lagi saling mengenal.Jemariku sibuk mencari memilih nama di daftar kontak sampai tak menyadari seseorang mendekat dan mengetuk kaca mobil. Aku terperanjat. Jantungku berdegup kencang. Rupanya aku terlalu cemas. Suara sepelan itu pun nyaris membuat jantungku melorot ke mata kaki.Aku menoleh dengan gerakan cepat membuka pintu mobil tetapi kemudian lebih terkejut lagi ketika kudapati yang berdiri di depanku adalah laki-laki itu.“Anda ...?!”Dia menyungingkan senyum di bibirnya membuat lubang di
"Ketika kau memilih pergi, kau harus tahu; jalan kembali memang akan selalu ada, tapi tempat untuk pulang seringkali sudah tak lagi tersedia."_____“Euh, iya. Ada yang menunggu saya. Jadi saya harus segera tiba di rumah,” aku menyahut dengan geragapan. Berharap dia tidak mengajukan pertanyaan berikutnya. Tapi aku salah.“Siapa. Apa suami kamu?” Raut kecewa terlihat samar di garis wajahnya. Ya, jika aku tidak salah.Ini menyebalkan sekali. Aku paling benci memberi jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Seakan membongkar aib yang seharusnya tersimpan rapi.“Maikana, jawablah. Saya menunggu.”“Memangnya apa kepentingan anda terhadap saya. Terserah saya mau jawab apa nggak,” tukasku dengan geram. Apa-apaan dia? Dia kira siapa merasa punya hak memaksa orang?“Baiklah. Kalau kamu nggak mau jawab. Saya tahu kok jawabannya.” Dia menyengir menjengkelkan membuatku refleks menoleh padanya.“Apa maksud Anda?!”Dia terkekeh menampakan deretan giginya yang rata. Namun sebelum dia merespon terdengar
“Sepertinya bekas lukanya nggak terlihat lagi.”Matanya yang besar berubah seperti bulan sabit ketika mengamati pelipisku. Maksudku dia mengamati bekas luka sewaktu aku membenturkan kepala di rumahnya. Ah, menyebalkan kenapa dia masih saja ingat. Bukankah sangat memalukan? Apa mau dikata, sudah terlanjur.Setelah menghabiskan menu yang mungkin bisa dibilang makan malam, kami beranjak. Sekaleng minuman soda dingin dia lemparkan padaku dari jarak dekat yang mendarat mulus dalam genggamanku. Di ikuti tawanya yang berderai sebelum dia mendorong pintu kedai. Lalu kami keluar dengan langkah yang berjauhan. Aku sengaja berjalan cepat-cepat. Tak sudi beriringan dengannya. “Ternyata konsentrasi kamu masih bagus. Buktinya kamu sigap dengan gerakan tak terduga.”Senyumnya melebar. Aku tak menimpali hanya menyengir sepintas. “Besok saya hubungi kamu kalau mobil kamu sudah selesai diperbaiki. Euh. Tapi saya nggak punya nomor kontak yang sekiranya bisa dihubungi.”Dia mendongak ke atas menghentika
Di rumah aku menjadi tidak bersemangat. Segala hal kukerjakan setengah hati. Meski begitu aku berusaha tetap tersenyum dihadapan Kang Imam. Dan malam hari adalah siksaan bagiku. Sewaktu Kang Imam memeluk bayangan Akhtar mengikat kuat ingatanku. Aku disergap perasaan bersalah. Di mataku Kang Imam menjadi sosok lain, sosok orang yang kucintai. Apalagi ketika Kang Imam melayaninya, aku semakin tersiksa imajinasiku bergerak liar. Aku tak mampu menepisnya, Akhtar menguasaiku. Dan puncaknya malam ini, saat jemariku mencengkeram punggung Kang Imam tiba-tiba nama Akhtar terlontar dari bibirku. Aku terkesiap. Kang Imam menatapku meradang. Dia berguling ke samping tak menuntuskan hasratnya.Aku menangis. Menangisi ketidakberdayaanku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Sepanjang malam itu kami sama-sama diam."Jujurlah dengan perasaan kamu, Neng?" ucap Kang Imam malam berikutnya. Dia menatapku dalam-dalam. Seakan ingin mengorek apa yang tersembunyi di balik mataku."Maafkan aku, Kang." Air mata
Tiga bulan berjalan rumah tanggaku dan Kang Imam tampak baik-baik saja. Aku tetap melayani dia selayaknya istri yang baik. Meskipun Kang Imam tidak mengizinkan aku bekerja, sesekali dia mengizinkan aku membantu Kak Sarah. Di sela-sela itulah diam-diam aku mencuri waktu menemui Shaila dan Shaili. Mereka berteriak histeris saat aku datang. Aku tak kuasa membendung air mata. Kupeluk mereka erat-erat seolah-olah tidak mau berpisah."Kita kangen sama Mama Mai." Shaili sesegukan di bahuku. Shaila memegang erat bahuku."Mama juga Sayang. Kalian sehat kan?"Keduanya mengangguk. Ibu Akhtar menyembunyikan air mata. Aku memeluknya dengan perasaan frustasi. Apakah cinta harus menyakiti banyak hati. Andai aku dan Akhtar menikah mungkin air mata ini tak akan pernah ada."Papa Akhtar, di Itali Mama. Katanya dua minggu lagi pulang."Aku mengangguk mengusap air mata keduanya."Tapi Papa baik-baik aja kan?""Papa Akhtar baik Ma."Aku dan Ibu Akhtar tak banyak bicara. Beliau seakan tahu perasaanku. Di b
Satu jam berikutnya setelah Randy meninggalkan ruangan, aku masih tepekur di tempat yang sama. Mendengarkan dengan seksama kata-kata Randy yang masih menggema di kepala. Impotensi. Napasku kembali tersekat. Gemetar. Susah payah menghapus pikiran buruk mengenai dia. Ingin sekali tidak mempercayai ini. Bisa jadi hanya gangguan psikis sementara di sebabkan dia sering kelelahan. Aku yakin bisa disembuhkan. Kenapa dia harus mengambil keputusan sepihak? Andai aku tahu sejak awal mungkin aku tidak akan rela menjauh darinya. Lebih memilih tetap bersamanya. Memberinya kekuatan agar bisa melewati hari-hari yang berat, waktu-waktu yang sulit. Dengan saling melepaskan seperti ini sama artinya saling menyakiti. Aku tidak mengerti kenapa dia begitu yakin menyangka aku menderita jika tetap memilih bersamanya. Padahal seterjal apa pun jalan yang mesti dilewati asalkan langkah tetap searah aku percaya semua bisa teratasi.Tapi kenapa seterlambat ini. Aku tak bisa mundur begitu saja. Pernikahanku
Randy mengatakan sudah dua malam dia tidak pulang ke rumah. Aku mendatangi bengkelnya tapi salah seorang karyawannya memberitahuku kalau Akhtar baru saja pulang. Dengan hati yang di penuhi harap cemas aku kembali melajukan mobil, aku tahu ke mana dia pergi.Dari jalan aku menatap bangunan dua tingkat itu, tampak lampu menyala. Dengan langkah yang semakin gemetar aku masuk cahaya suram dari lampu yang menempel di dinding dekat tangga membentuk siluet panjang tubuhku . Kutarik napas, menegarkan hati andai Akhtar tetap menolak aku akan siap. Anak tangga demi anak tangga kulewati dengan jantung yang kian bergemuruh. Sekujur tubuhku lemas. Kini aku tiba di puncak tangga kulihat dia sedang berdiri melamun dekat jendela. Pandangannya terlempar jauh. Seakan tak menyadari kehadiranku.Aku berjalan mendekat. Namun betapa kagetnya sewaktu mendengar suaranya."Mau apa kamu ke sini. Nggak ada yang perlu kita bahas lagi."Air mataku hampir jatuh bahkan sebelum aku menyampaikan maksudku."Akhtar, R
"Kesetiaan tak ubahnya seperti cahaya lampu-lampu yang redup. Menyala sekejap lalu padam dengan cepat."____Aku pernah mengira-ngira apa yang dinamakan cinta sejati. Apa semacam perasaan mendalam pada seseorang, hingga tak ada hal yang bisa menggantikan atau menghentikannya? Sebuah cinta yang hakiki yang akan dibawah sampai mati? Semacam itukah? Tapi kupikir itu tidak benar. Nyatanya perasaan cinta seringkali hanya singgah sebentar untuk kemudian berubah seiring masa dan pergantian waktu. Seperti halnya yang terjadi padaku, mencintai seseorang dengan begitu mendalam. Sempat aku menyangka bahwa dialah belahan jiwa yang Tuhan kirimkan untuk menemaniku mengarungi luasnya samudera kehidupan. Demi dia seakan-akan aku sanggup melakukan apapun agar tetap dibersamakan dengannya selamanya. Akan tetapi apa yang terjadi tidaklah segemilang yang ada dibayangkan.Dia memilih pergi.Meruntuhkan segenap kekuatan, meluruhkan rasa hingga tiada lagi yang tersisa selain kebencian yang sama besarnya.Dan
POV Akhtar.Terkadang tak butuh sebuah alasan mengapa kita bersedia menunggu. Menunggu demi sesuatu yang sudah pasti tidak akan terjadi. Menunggu untuk satu hal yang sudah jelas dan terang benderang kenyataannya. Bukan sebuah kemungkinan, antara 'iya' dan 'tidak'. Namun secara sadar menerima dengan kelapangan hati bahwa tidak ada yang salah. Tak mengapa jika memang ingin melakukannya. Ego sering kali butuh ruang untuk itu Laksana menyimpan harapan-harapan yang patah atau mendekap mimpi-mimpi yang rapuh lagi semu. Yang tiada lain kata akhirnya ada kesia-siaan. Tapi aneh aku tetap mampu tersenyum. Tak ada rasa kecewa. Tentu saja, aku sudah merelakannya.Aku bahagia melihatnya hari itu. Dia tersenyum memandang lelaki yang kini berstatus suaminya. Senyum yang amat manis yang sudah puluhan kali ia berikan padaku. Sekali pun aku tidak tahu apa itu senyum yang sama.Berbahagialah Mai. Aku akan turut bahagia.Kau terlalu berharga untuk sebuah cinta yang tidak sempurna seperti diriku. Di kehi
Dia akan membangunkanku jika waktu subuh datang. Lalu tak lupa bertanya seperti yang sudah-sudah, “Apa mau shalat subuh berjamaah?” Sekali pun tahu akan menerima jawaban yang sama tapi dia tidak bosan mengajukan pertanyaan yang sama. “Nggak, Kang. Saya mau shalat sendiri aja.”Meski begitu dia tetap mengulas senyum. Kemudian undur diri untuk berjamaah di masjid. Sebenarnya aku mulai berpikir untuk memenuhi permintaannya, kenapa tidak. Sebaiknya aku mulai membiasakan diri dengannya. Dia suami sekaligus imam bagiku jadi kenapa tidak belajar banyak hal dan menimba ilmu darinya? Tapi masalahnya aku masih merasa serba canggung.Dua minggu berlalu. Kang Imam akan mengawali aktivitas barunya sebagai dosen di sebuah Universitas Islam di Bandung. Aku agak tersentak mendengarnya dan baru ingat bahwa Kang Imam pernah menyampaikan ini sebelumnya. Hanya saja aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Jadi aku tidak ingat. Namun dia mengatakan tidak akan serta-merta membawaku pindah ke kotanya. D
"Sekoyak apa pun luka, seiring waktu ia kan sembuh. Jadi jangan pernah meminta untuk kembali bertemu."_________Hari itu tiba. Didampingi Kak Sarah dan Papa aku menuju ke ruang tamu dimana keluarga Kang Imam dan Penghulu sudah menunggu. Kak Sarah membantuku duduk disamping Kang Imam yang beberapa menit lagi akan menjadi suamiku. Beberapa saat tatapannya terpaku padaku. Wajahnya menyemburat. Terlihat gugup. Dia tampak elegan dan berwibawa dalam balutan pakaian khas sunda berwarna putih tulang. Sedangkan aku berusaha mengenakan gaun syar'i sesuai permintaan Kang Imam. Dengan hijab panjang yang hampir menutupi seluruh tubuh. Tentu saja aku harus memantaskan diri dengan keluarga Kang Imam yang notabene religius untuk menjadi bagian dari mereka.Dalam suasana yang sederhana prosesi sakral kami berlangsung khidmat. Dihadiri kerabat dan sahabat dekat saja. Sekali pun sempat gugup namun Kang Imam mampu menyempurnakan kalimat ijab-qabul. Dan berakhir dengan ucapan “Sah!” dari saksi. Aku tid
Tapi aku membuat kesepakatan dengan Kak Sarah bahwa aku tidak mau direpotkan segala hal yang bersangkutan dengan ritual sakral itu. Apalagi harus mencari dan memilih gaun pengantin. Bagiku tidak penting. Aku ingin acara ijab-qobul dilaksanakan sesederhana dan sesingkat mungkin. Kak Sarah mengangguk setuju.Dua hari berikutnya keluarga besar Kang Imam datang. Membawa berbagai hantaran. Aku tak begitu mendengar apa yang dibicarakan. Yang terpenting sudah tercapai kesepakatan. Lagi pula aku malas menceritakan bagian ini. Terserah bagaimana baiknya menurut mereka. Wajah Kang Imam tampak sumringah. Garis bibirnya melengkung mengulas senyum. Meski belum menempatkannya di bagian tertentu di sudut hatiku. Tapi aku sama sekali tak meniatkan diri untuk menolaknya. Bagiku dia tak perlu menjadi seperti sosok yang kuinginkan. Cukup menjadi lelaki yang baik dan bertanggung jawab.Hari senin di pilih Ustaz Husni untuk meresmikan hubungan kami. Dan berati 6 hari dari sekarang. Tak ada lagi keraguan.