"Dion?!" Renata hampir berteriak menyuarakan keterkejutannya. "Kok lo bisa ada di sini?" "Bisa dong. Di mana ada Sera, di situ pasti ada gue," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata, sengaja menggoda seperti biasanya. Aku melenggang pergi dari sana, menghindari tatapan pria yang pernah mengajakku berumah tangga. Dia bersedia jadi Papa buat Aiden katanya. Hih! Apaan coba? "Sera Adriana, buka blokiran nomor gue, dong. Udahan ngambeknya. Nggak capek apa?" Dion mengikutiku, berjalan ke kanan-kiri seperti anak kecil yang tengah membujuk temannya bermain bersama. Tentu saja aku tidak peduli. Dia itu laki-laki, tapi mulutnya banyak omong seperti perempuan. Berisik! "Dion, jangan becanda deh!" Renata menarik tangan pria itu, membuatnya tertinggal dua langkah di belakangku. Meski tak melihatnya, aku yakin Renata memelotot untuk minta penjelasan. Sebenarnya, Renata jatuh hati pada putra semata wayang Madame Erina sejak dulu. Namun, dia masih tahu diri dan menyembunyikan perasaann
“Gue nggak nyangka Mas Rian sebadas itu di depan orang-orang. Ya ampun, Ra. Untung gue nggak kena serangan jantung tadi.”Aku mengabaikan ocehan Renata, berjalan cepat meninggalkan restoran dan kafe berlantai dua yang membuatku sesak napas rasanya. Tatapan Dika, Dion, dan pria itu membuatku tidak leluasa melakukan apa pun.“Lo beneran jadian sama Bang Rian?” tanya Dion setelah briefing selesai. Dia menuntut penjelasan saat Renata pergi ke gudang menukar seragamnya yang kebesaran. Gadis itu memang selalu memakai baju pas badan yang menampilkan lekuk tubuhnya.“Kalau aku jawab itu cuma lelucon, kamu percaya?”“Ra ….” Dion sudah membuka mulutnya, tapi tak mengatakan apa pun. Pertama, dia syok dengan nada bicaraku yang dingin dan tanpa perasaan. Kedua, aku mempertahankan bahasa aku-kamu, bukan lo-gue seperti saat kami masih berpasangan dulu.“Mbak Sera, dipanggil Pak Bagas. Suruh ke ruangannya sekarang.”Aku menghela napas. Belum selesai urusan dengan Dion, Dika sudah memanggil. Pasti dia
“Kacau, Ra. Kacau!”Aku menyeruput kopi di cangkir, membiarkan Renata berjalan ke sana kemari seperti setrikaan. Lebih baik membiarkannya seperti itu sampai dia lelah daripada mendengar ocehannya yang tidak lebih merdu dari tukang obat herbal di pinggir jalan.“Dion nanya ke gue terus gimana lo sama Mas Rian bisa jadian. Udah gue tinggal pergi, tetep aja chat gue, tanya lagi.”“Ya udah biarin aja, sih. Nggak usah dibalas.”“Nggak dibalas gimana? Gue kan pengen ngobrol yang lain.”“Bilang ngga boleh cerita sama gue.”“Udah. Tetep tanya juga kenapa.”Aku menarik napas dalam, sedikit menundukkan kepala menatap kutek di kaki yang belum kering. Pikiranku melanglang buana, mengingat Dika juga terus menanyakan hal yang sama. Mereka tidak percaya pada pernyataan pria itu, tapi tidak berani bertanya secara langsung.Seminggu telah berlalu sejak launching restoran. Aku sendiri bingung bagaimana menjelaskannya. Pada Dion, aku bisa saja jujur dan dia mungkin bisa memaklumi alasanku tidak menyangk
"Punya hair dryer?"Bahuku turun, kembali bernapas lega saat pria itu tak melakukan apa pun. Tanganku sigap membuka laci dan mengambil benda bulat warna hitam dari sana. Tanpa aba-aba, dia mencari stop kontak dan mulai mengeringkan helai rambutku yang agak basah.“Hari ini mau ke mana?” tanyanya di sela dengung pengering rambut di tangan.“Terserah.”“Yakin terserah? Berarti kalau kubawa ke hotel La Luna, nggak masalah?”Mataku memelotot tajam dan mengundang tawa renyah di mulutnya. Dia sengaja melakukan itu agar aku marah. Astaga. Kenapa aku selalu mudah tersulut oleh satu dua kalimat ambigu darinya, ya? Sepertinya aku harus membersihkan otakku yang terkontaminasi cerita dewasa ala Renata.“Aku mau ajak Aiden ke taman bermain, mungkin dia suka. Di dalamnya ada restoran Jepang kesukaan kamu. Kita makan siang di sana nanti.”Lagi-lagi aku tidak peduli. Kalau saja bukan permintaan Aiden yang ingin kami pergi bersama, aku juga malas meladeni pria ini. Hari libur lebih baik digunakan untu
“Kenapa? Takut ketemu mantan calon suami kamu?”“Kamu pikir kita batal nikah karena siapa?”“Takdir. Kalian emang nggak jodoh!”Aku dongkol mendengar jawabannya. Mungkin benar kalau aku dan Dika memang tidak berjodoh. Mau diusahakan bagaimana pun juga, kami tetap akan terpisah. Tetap saja, kalau dia tidak sengaja membuat ulah, aku tidak akan sengsara diusir keluargaku sendiri.Dan seperti pertemuanku dengan pria ini, ditolak sekuat apa pun, dia dengan tidak tahu malu terus mendekatiku. Astaga. Aku benar-benar harus menambah stok kesabaran saat bicara dengannya. Semua keluhanku seolah bisa dia putar balik dengan mudahnya.Dia bersikap begitu lembut di depan Aiden, berperan sebagai malaikat. Namun, di saat hanya berdua saja denganku, mode iblis yang kembali dipasang olehnya. Sungguh menyebalkan. Aku benar-benar muak dan ingin berteriak. Sayangnya, aku masih waras dan tidak ingin membangunkan buah hatiku dari tidur lelapnya.“Kenapa diem? Aku bener, kan? Dika nggak cocok buat kamu. Kalau
"Sera, ada masalah?"Detik itu juga aku menegakkan badan, berdeham untuk melegakan dada yang terasa sesak. Saatnya fokus bekerja dan tidak mencampuradukkan urusan pribadi di sini. “Nggak ada.” “Ok. Kita mulai sekarang.” Aku berdiri, menatap satu persatu karyawan yang duduk memenuhi kursi di sekitar meja berbentuk oval ini. Mereka menatapku dan Dika bergantian. "Ini laporan minggu pertama pembukaan restoran kita. Overall, sambutan orang-orang cukup baik. Mereka puas dengan layanan kita, juga suka sentuhan baru setiap menu yang ada. Give applause buat Dion dan kawan-kawan yang udah bikin terobosan baru!" Tanganku naik ke udara, bertepuk tangan mengapresiasi ide pemuda 20 tahun itu. Dia tersenyum canggung, mengangguk. “Tapi, target pencapaian kita tergolong masih jauh dari angka total penjualan bulan ini. Promosi yang kita lakukan belum menjangkau semua kalangan. Mereka datang ke sini karena memang biasa makan di sekitar sini.” Kulihat semua mengangguk setuju, termasuk pria dengan
Renata mengerjap beberapa kali, meneguk botol warna biru berisi minuman isotonik dari kulkas. Dia kesulitan mencerna penjelasan dariku sesaat lalu. Bahkan, walau kepalanya sudah dimiringkan sekali pun, tetap masih belum paham juga."Gue bilang mau nikah sama ayahnya Aiden dan minta Dika panggil gue Kakak ipar. Itu intinya. Bisa dimengerti tidak, Nona?" Aku mengetuk jidatnya tiga kali dengan jari telunjuk, berharap itu bisa sedikit melegakan isi kepalanya yang berantakan."Lo beneran ngomong gitu? Terus, respons Dika gimana? Dia kaget nggak?""Nggak kaget, tapi dia anggep aku lagi becanda.""Emang becanda, kan?"Aku menggeleng."Itu yang terbaik buat Aiden, Re. Selama dia bahagia, gue rela lakuin apa aja. Gue nggak mau dia tumbuh jadi anak yang kurang kasih sayang dan akhirnya lari ke hal-hal nggak bener. Udah cukup Gue aja yang dikecewakan sama Ayah, sama Ibu. Aiden jangan. Harusnya dia punya keluarga utuh yang bahagia."Gue udah mikir 27x, hasilnya sama. Belum ada laki-laki yang segi
"Kok gelap? Lampu di kamar gue rusak, ya, Re? Perasaan tadi masih nyala."Lagi-lagi tak ada jawaban. Bahkan lampu di kamar mandi pun ikut padam dan membuatku dalam kegelapan total. Untung saja aku bukan tipikal wanita yang akan berteriak-teriak histeris karena takut gelap."Renata, jangan main-main, deh. Nggak lucu. Nyalain lampunya, dong. Gue baru selesai mandi, nih."Ditunggu-tunggu, tetap tidak ada jawaban apa pun dari Renata. Aku mendengus kesal dan memutuskan keluar dari sana hanya dengan memakai kain basahan yang menutupi dada sampai paha. Tetesan airnya luruh ke lantai, akan kubersihkan nanti. Ibu selalu mewanti-wanti tidak boleh telanjang bulat meskipun mandi seorang diri dan aku masih menurutinya sampai sekarang meskipun hukumnya sunah saja."Kamu sengaja mau goda aku?"Langkahku terhenti, tubuhku menegang di tempat. Padahal, hanya tersisa dua langkah saja sebelum tanganku bisa meraih kain putih untuk mengeringkan tubuhku. AC yang menyala membuatku kedinginan."Kayaknya, aku
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun
"Cantik, sih, tapi kelakuannya kayak utusan Dajjal. GILA!"Renata masih belum bisa meredam emosinya, terus meracau sejak membawaku naik ke lantai dua. Dia masih belum terima karena Angela sudah mengungkapkan rahasia pekerjaanku sebelumnya di depan semua orang."Aw!" Aku mengaduh saat Renata menempelkan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik ke muka. Pisau lipat itu sempat menggores wajahku meskipun tidak dalam. Dia minta maaf, memintaku menahan sakit.Untung saja pria itu datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku sekarang sudah berbaring di rumah sakit untuk mendapat perawatan."Asli heran banget gue, Ra. Bisa-bisanya Dika diem aja lihat lo disiksa gitu. Harusnya dia bantuin, dong. Yang lain sama juga. Nonton doang. Gue harus aduin hal itu ke Mas Rian, biar dipecat tuh mereka semua!"Sinta yang kebetulan berdiri di depan pintu, langsung terlihat pucat wajahnya. Dia mendekat dengan takut-takut sambil membawa botol air dingin di tangannya."Ada apa, Sin?" tanyaku sebisa mungkin.
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, membuat panas dan perih segera terasa di sana. Aku menatap wanita dengan rambut pirang itu dengan kening berkerut. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba datang dan menamparku?"Dasar pelakor! Berani-beraninya rebut calon suami orang."Aku meneguk ludah, berpikir cepat pernyataannya barusan. Perebut laki orang? Apa gadis ini tunangan yang Dion sebutkan malam itu?Orang-orang yang semula bersiap pergi, jadi menonton kami. Seorang pramusaji yang melihat keadaan itu segera naik ke lantai dua dan melaporkannya pada Dika. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi dan baru menyadari Renata sudah pasang badan di depanku, tidak terima."Maaf, Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini, ya. Ini tempat makan, bulan tempat cari masalah.""Nggak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama manajer lo itu. Udah bener jadi pelacur aja di La Luna, nggak usah sok-sokan pakai baju tertutup buat goda calon suami orang. Sekali pelacur tetap pelacur!" Bahasa wanita itu mulai
"Ra, minta sunblock-nya dong. Punya gue nggak tahu di mana."Renata membuka pintu kamarku dengan tergesa saat aku sedang sibuk memandikan Aiden di kamar mandi. Tanpa menunggu jawabanku, dia mendekat ke arah meja rias dan duduk di sana. Kemeja slimfit warna putih melekat di tubuhnya, berpadu dengan celana jeans navy yang menonjolkan lekuk sampai mata kaki."Lo nyetok B Erl banyak banget?" tanyanya heran saat membuka laci.Aku keluar dari kamar mandi sambil menggendong Aiden dan mengeringkan rambutnya yang basah."Ayahnya Aiden yang bawain waktu itu. Katanya biar nggak perlu ke store lagi.""Widih, mantap Mas Rian. Udah bener deh lo nerima tawarannya. GM mah nggak masalah bawa skin care satu box demi ayang tercinta.""Nggak usah banyak omong. Kalau mau pakai, pakai aja. Dia bayar loh itu, nggak ambil gitu aja!"Aku mengambil bantal di belakang Aiden bersiap melemparnya ke arah Renata. Untung saja sepersekian detik terakhir aku ingat, tidak boleh memberikan contoh buruk di depan bocah du
Nah, singkat cerita Om Aldi ini jatuh cinta sama kembaran Mami, namanya Mami Erika.""Bentar, bentar." Renata mengangkat tangan, membuat Dion menghentikan kalimatnya. "Kok kita nggak tahu Madame punya kembaran? Terus, kok namanya kayak orang Jepang?"Aku menyentuh bahu Renata, memintanya bersabar dan tidak mengganggu Dion bercerita."Aduh, sorry. Gue penasaran banget soalnya.""Sama, Bambang! Udah diem. Lanjut ceritanya."Dion mengangguk, mengambil Aiden untuk berpindah ke pangkuannya. Bocah itu menurut, bahkan meminum cola miliknya tanpa sungkan. Kubiarkan saja karena hanya mencicipi sedikit sekali."Bener, Mba. Mami sama Mami Erika memang keturunan Jepang. Panjang deh ceritanya kenapa mereka bisa hidup di Indonesia. Singkatnya, Om Aldi jatuh cinta sama maminya Bang Rian. Mereka mau nikah, tapi Tante Nia sebagai istri pertama nggak mau tanda tangan. Dia nggak mau dimadu, apalagi Mami Erika lebih cantik. Kalah jauh deh sama dia."Aku mengangguk setuju. Madame Erina memang masih terlih
"Kamu ngapain masih di sini?" Aku terkejut saat melihat Dion tiba-tiba muncul mendekatiku dan Dika yang baru keluar dari restoran. Seharusnya, dia sudah pulang sejak satu jam yang lalu."Biasa, disuruh jadi bodyguard ukhti cantik. Amanat dari calon suami tercinta, Bang Adrian Mahendra."Sekali lagi aku melihat Dika membuang muka. Seminggu ke belakang dia benar-benar bersikap dingin padaku, membuatku overthinking. Lagi-lagi tanpa sapa atau sekadar ajakan basa-basi, dia melenggang begitu saja. Mobil SUV miliknya melesat cepat seperti ingin melampiaskan kemarahan."Jyaa, Pak Bagas marah. Cemburu nih, ye," celoteh Dion yang selalu ceplas ceplos, ditambah gerakan kakinya yang seolah ingin menendang udara kosong sekuat tenaga."Dipecat baru tahu rasa kamu!" Aku mencubit lengan atasnya yang tertutup jaket warna biru, senada dengan skuter matik yang terparkir di pelataran restoran, bersebelahan dengan milikku yang berwarna hitam. Demi memudahkan mobilisasi, aku memutuskan membeli kendaraan ro