"Kok gelap? Lampu di kamar gue rusak, ya, Re? Perasaan tadi masih nyala."Lagi-lagi tak ada jawaban. Bahkan lampu di kamar mandi pun ikut padam dan membuatku dalam kegelapan total. Untung saja aku bukan tipikal wanita yang akan berteriak-teriak histeris karena takut gelap."Renata, jangan main-main, deh. Nggak lucu. Nyalain lampunya, dong. Gue baru selesai mandi, nih."Ditunggu-tunggu, tetap tidak ada jawaban apa pun dari Renata. Aku mendengus kesal dan memutuskan keluar dari sana hanya dengan memakai kain basahan yang menutupi dada sampai paha. Tetesan airnya luruh ke lantai, akan kubersihkan nanti. Ibu selalu mewanti-wanti tidak boleh telanjang bulat meskipun mandi seorang diri dan aku masih menurutinya sampai sekarang meskipun hukumnya sunah saja."Kamu sengaja mau goda aku?"Langkahku terhenti, tubuhku menegang di tempat. Padahal, hanya tersisa dua langkah saja sebelum tanganku bisa meraih kain putih untuk mengeringkan tubuhku. AC yang menyala membuatku kedinginan."Kayaknya, aku
"Maksudnya, dia yang gendong gue dari kamar mandi?"Renata meringis, tidak berani bersuara. Hanya anggukan kepalanya saja yang terlihat sebagai jawaban. Aku menariknya keluar dari selimut setelah memastikan Aiden kembali terlelap."Kok bisa?""Jadi, sekitar jam 10 malem Mas Rian dateng anter Aiden dan nyariin lo. Pas gue ketuk-ketuk, nggak ada jawaban. Karena khawatir, akhirnya gue minta tolong dia buat dobrak pintu kamar mandi.""Dobrak?" Aku bergegas mengecek pintu putih yang slot kuncinya sudah rusak karena didorong dengan paksa."Kan ada kunci cadangan di laci, Re. Kok main dobrak aja?" Bibirku mengerucut, sebal dengan sikapnya yang seringkali terlalu spontan tanpa berpikir lebih dulu."Aduh, sorry. Gue panik, Ra. Mana sempet mikir kunci cadangan. Takutnya lo bunuh diri kayak—""Sembarangan!" Aku keluar dari kamar, meraih gelas di atas meja dan mengisinya dengan air bening dari dispenser. Dalam hitungan detik, aku duduk di kursi sambil menyesap air hangat perlahan.Sejujurnya, ak
"Kapan Ibu terakhir bertemu dengan ketiga orang yang ada dalam mimpi?" Wanita dengan lesung pipi di kedua sisi wajahnya itu tersenyum, berusaha membuatku nyaman."Sekarang setiap hari bertemu. Mungkin itu yang membuat mimpi saya jadi aneh. Campur aduk."Lagi-lagi dia tersenyum. Kali ini mengangguk lagi sambil menyodorkan botol air mineral yang masih tersegel."Betul. Saya juga memikirkan hal yang sama. Silakan Ibu, diminum dulu biar sedikit rileks."Aku menurut, meneguknya untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering setelah bercerita panjang lebar. Melalui ujung mataku, kulihat arloji di pergelangan tangan menunjukkan pukul 10.45 WIB. Tiga perempat jam aku habiskan untuk menceritakan beban karena mimpi buruk itu."Bisa kita mulai analisanya, Ibu?"Aku mengangguk, memperbaiki posisi duduk."Kasus yang Anda alami, cukup banyak terjadi dewasa ini. Pertama-tama, saya turut berduka untuk kisah pilu tiga tahun lalu. Saya tahu pasti berat rasanya. Bersyukur sekali Anda sudah berhasil mel
"Kamu ngapain masih di sini?" Aku terkejut saat melihat Dion tiba-tiba muncul mendekatiku dan Dika yang baru keluar dari restoran. Seharusnya, dia sudah pulang sejak satu jam yang lalu."Biasa, disuruh jadi bodyguard ukhti cantik. Amanat dari calon suami tercinta, Bang Adrian Mahendra."Sekali lagi aku melihat Dika membuang muka. Seminggu ke belakang dia benar-benar bersikap dingin padaku, membuatku overthinking. Lagi-lagi tanpa sapa atau sekadar ajakan basa-basi, dia melenggang begitu saja. Mobil SUV miliknya melesat cepat seperti ingin melampiaskan kemarahan."Jyaa, Pak Bagas marah. Cemburu nih, ye," celoteh Dion yang selalu ceplas ceplos, ditambah gerakan kakinya yang seolah ingin menendang udara kosong sekuat tenaga."Dipecat baru tahu rasa kamu!" Aku mencubit lengan atasnya yang tertutup jaket warna biru, senada dengan skuter matik yang terparkir di pelataran restoran, bersebelahan dengan milikku yang berwarna hitam. Demi memudahkan mobilisasi, aku memutuskan membeli kendaraan ro
Nah, singkat cerita Om Aldi ini jatuh cinta sama kembaran Mami, namanya Mami Erika.""Bentar, bentar." Renata mengangkat tangan, membuat Dion menghentikan kalimatnya. "Kok kita nggak tahu Madame punya kembaran? Terus, kok namanya kayak orang Jepang?"Aku menyentuh bahu Renata, memintanya bersabar dan tidak mengganggu Dion bercerita."Aduh, sorry. Gue penasaran banget soalnya.""Sama, Bambang! Udah diem. Lanjut ceritanya."Dion mengangguk, mengambil Aiden untuk berpindah ke pangkuannya. Bocah itu menurut, bahkan meminum cola miliknya tanpa sungkan. Kubiarkan saja karena hanya mencicipi sedikit sekali."Bener, Mba. Mami sama Mami Erika memang keturunan Jepang. Panjang deh ceritanya kenapa mereka bisa hidup di Indonesia. Singkatnya, Om Aldi jatuh cinta sama maminya Bang Rian. Mereka mau nikah, tapi Tante Nia sebagai istri pertama nggak mau tanda tangan. Dia nggak mau dimadu, apalagi Mami Erika lebih cantik. Kalah jauh deh sama dia."Aku mengangguk setuju. Madame Erina memang masih terlih
"Ra, minta sunblock-nya dong. Punya gue nggak tahu di mana."Renata membuka pintu kamarku dengan tergesa saat aku sedang sibuk memandikan Aiden di kamar mandi. Tanpa menunggu jawabanku, dia mendekat ke arah meja rias dan duduk di sana. Kemeja slimfit warna putih melekat di tubuhnya, berpadu dengan celana jeans navy yang menonjolkan lekuk sampai mata kaki."Lo nyetok B Erl banyak banget?" tanyanya heran saat membuka laci.Aku keluar dari kamar mandi sambil menggendong Aiden dan mengeringkan rambutnya yang basah."Ayahnya Aiden yang bawain waktu itu. Katanya biar nggak perlu ke store lagi.""Widih, mantap Mas Rian. Udah bener deh lo nerima tawarannya. GM mah nggak masalah bawa skin care satu box demi ayang tercinta.""Nggak usah banyak omong. Kalau mau pakai, pakai aja. Dia bayar loh itu, nggak ambil gitu aja!"Aku mengambil bantal di belakang Aiden bersiap melemparnya ke arah Renata. Untung saja sepersekian detik terakhir aku ingat, tidak boleh memberikan contoh buruk di depan bocah du
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, membuat panas dan perih segera terasa di sana. Aku menatap wanita dengan rambut pirang itu dengan kening berkerut. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba datang dan menamparku?"Dasar pelakor! Berani-beraninya rebut calon suami orang."Aku meneguk ludah, berpikir cepat pernyataannya barusan. Perebut laki orang? Apa gadis ini tunangan yang Dion sebutkan malam itu?Orang-orang yang semula bersiap pergi, jadi menonton kami. Seorang pramusaji yang melihat keadaan itu segera naik ke lantai dua dan melaporkannya pada Dika. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi dan baru menyadari Renata sudah pasang badan di depanku, tidak terima."Maaf, Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini, ya. Ini tempat makan, bulan tempat cari masalah.""Nggak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama manajer lo itu. Udah bener jadi pelacur aja di La Luna, nggak usah sok-sokan pakai baju tertutup buat goda calon suami orang. Sekali pelacur tetap pelacur!" Bahasa wanita itu mulai
"Cantik, sih, tapi kelakuannya kayak utusan Dajjal. GILA!"Renata masih belum bisa meredam emosinya, terus meracau sejak membawaku naik ke lantai dua. Dia masih belum terima karena Angela sudah mengungkapkan rahasia pekerjaanku sebelumnya di depan semua orang."Aw!" Aku mengaduh saat Renata menempelkan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik ke muka. Pisau lipat itu sempat menggores wajahku meskipun tidak dalam. Dia minta maaf, memintaku menahan sakit.Untung saja pria itu datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku sekarang sudah berbaring di rumah sakit untuk mendapat perawatan."Asli heran banget gue, Ra. Bisa-bisanya Dika diem aja lihat lo disiksa gitu. Harusnya dia bantuin, dong. Yang lain sama juga. Nonton doang. Gue harus aduin hal itu ke Mas Rian, biar dipecat tuh mereka semua!"Sinta yang kebetulan berdiri di depan pintu, langsung terlihat pucat wajahnya. Dia mendekat dengan takut-takut sambil membawa botol air dingin di tangannya."Ada apa, Sin?" tanyaku sebisa mungkin.
“Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun
"Cantik, sih, tapi kelakuannya kayak utusan Dajjal. GILA!"Renata masih belum bisa meredam emosinya, terus meracau sejak membawaku naik ke lantai dua. Dia masih belum terima karena Angela sudah mengungkapkan rahasia pekerjaanku sebelumnya di depan semua orang."Aw!" Aku mengaduh saat Renata menempelkan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik ke muka. Pisau lipat itu sempat menggores wajahku meskipun tidak dalam. Dia minta maaf, memintaku menahan sakit.Untung saja pria itu datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku sekarang sudah berbaring di rumah sakit untuk mendapat perawatan."Asli heran banget gue, Ra. Bisa-bisanya Dika diem aja lihat lo disiksa gitu. Harusnya dia bantuin, dong. Yang lain sama juga. Nonton doang. Gue harus aduin hal itu ke Mas Rian, biar dipecat tuh mereka semua!"Sinta yang kebetulan berdiri di depan pintu, langsung terlihat pucat wajahnya. Dia mendekat dengan takut-takut sambil membawa botol air dingin di tangannya."Ada apa, Sin?" tanyaku sebisa mungkin.
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, membuat panas dan perih segera terasa di sana. Aku menatap wanita dengan rambut pirang itu dengan kening berkerut. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba datang dan menamparku?"Dasar pelakor! Berani-beraninya rebut calon suami orang."Aku meneguk ludah, berpikir cepat pernyataannya barusan. Perebut laki orang? Apa gadis ini tunangan yang Dion sebutkan malam itu?Orang-orang yang semula bersiap pergi, jadi menonton kami. Seorang pramusaji yang melihat keadaan itu segera naik ke lantai dua dan melaporkannya pada Dika. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi dan baru menyadari Renata sudah pasang badan di depanku, tidak terima."Maaf, Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini, ya. Ini tempat makan, bulan tempat cari masalah.""Nggak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama manajer lo itu. Udah bener jadi pelacur aja di La Luna, nggak usah sok-sokan pakai baju tertutup buat goda calon suami orang. Sekali pelacur tetap pelacur!" Bahasa wanita itu mulai
"Ra, minta sunblock-nya dong. Punya gue nggak tahu di mana."Renata membuka pintu kamarku dengan tergesa saat aku sedang sibuk memandikan Aiden di kamar mandi. Tanpa menunggu jawabanku, dia mendekat ke arah meja rias dan duduk di sana. Kemeja slimfit warna putih melekat di tubuhnya, berpadu dengan celana jeans navy yang menonjolkan lekuk sampai mata kaki."Lo nyetok B Erl banyak banget?" tanyanya heran saat membuka laci.Aku keluar dari kamar mandi sambil menggendong Aiden dan mengeringkan rambutnya yang basah."Ayahnya Aiden yang bawain waktu itu. Katanya biar nggak perlu ke store lagi.""Widih, mantap Mas Rian. Udah bener deh lo nerima tawarannya. GM mah nggak masalah bawa skin care satu box demi ayang tercinta.""Nggak usah banyak omong. Kalau mau pakai, pakai aja. Dia bayar loh itu, nggak ambil gitu aja!"Aku mengambil bantal di belakang Aiden bersiap melemparnya ke arah Renata. Untung saja sepersekian detik terakhir aku ingat, tidak boleh memberikan contoh buruk di depan bocah du
Nah, singkat cerita Om Aldi ini jatuh cinta sama kembaran Mami, namanya Mami Erika.""Bentar, bentar." Renata mengangkat tangan, membuat Dion menghentikan kalimatnya. "Kok kita nggak tahu Madame punya kembaran? Terus, kok namanya kayak orang Jepang?"Aku menyentuh bahu Renata, memintanya bersabar dan tidak mengganggu Dion bercerita."Aduh, sorry. Gue penasaran banget soalnya.""Sama, Bambang! Udah diem. Lanjut ceritanya."Dion mengangguk, mengambil Aiden untuk berpindah ke pangkuannya. Bocah itu menurut, bahkan meminum cola miliknya tanpa sungkan. Kubiarkan saja karena hanya mencicipi sedikit sekali."Bener, Mba. Mami sama Mami Erika memang keturunan Jepang. Panjang deh ceritanya kenapa mereka bisa hidup di Indonesia. Singkatnya, Om Aldi jatuh cinta sama maminya Bang Rian. Mereka mau nikah, tapi Tante Nia sebagai istri pertama nggak mau tanda tangan. Dia nggak mau dimadu, apalagi Mami Erika lebih cantik. Kalah jauh deh sama dia."Aku mengangguk setuju. Madame Erina memang masih terlih