“Red mungkin mencariku, King.” Sudah dua jam berlalu sejak keluar hutan, dibawa ke rumah persembunyian King yang lain. Mina yakin suaminya pasti curiga dan setidaknya mencari tahu apa belajar menembak yang diikutinya berjalan lancar atau tidak.“Mungkin.” King melepas paksa blus Mina. Sempat ada perlawanan, walau akhirnya dia yang jelas menang.“Indila pasti memberitahu Red tentang apa yang terjadi.”“Indi justru senang kau tidak ada, Mina.” Tawa King mengundang kemarahan Mina. Saat kaki kiri Mina yang tidak ikut terkilir menendangnya, cepat ditangkap dan dicengkeram. “Hmm ... mau coba?”“Jangan coba-coba.” Tahu percuma bicara pada King, apalagi mengancam, Mina hanya berusaha menegaskan bahwa dirinya tidak ingin diperlakukan seenaknya. “Hei!”“Jangan berlagak seperti perawan.” King tidak tertawa kali ini. Ditariknya paksa celana Mina agar keluar dari kedua kaki, meski yang kanan tetap menggunakan cara yang lebih sopan.“Kau kecewa?” ejek Mina. Mengingat betapa gencar King mengajaknya
Red melihat tatapan putus asa Indila. “Aku tidak percaya kemampuan bertahan tubuhmu cuma sebatas itu.”“Aku tidak bohong,” rengek Indila. Sudah lama tidak bertingkah. Jika bukan dengan Red, dia tak sudi bermanja konyol begini. “Bisa kau rasakan? Aku demam, Red.”Membenarkan dalam hati, Red merasakan hangat di atas normal, ketika Indila meletakkan telapak tangannya di kening wanita itu.“Kuantarkan kau pulang.” Red menarik tangannya dari kening indila.“Aku tidak mau.” Melemah putus asa suara Indila disertai gelengan kepala. Wajahnya memerah, matanya sayu mengerjap.Ketika Red siap pergi meninggalkannya, Indila sampai terjatuh dari sofa karena menangkap lengan Red.“Hei ....” Red kehabisan kata-kata. Melihat Indila yang biasanya kuat dan tegar, kini lemah tidak berdaya. Dibantunya Indila agar kembali berbaring di sofa. “Aku harus mencari istriku.”“Dia tidak ada di rumahnya King, Red. Sebelum ke sini, sudah kupastikan terlebih dulu.”“Ke mana King membawanya?”“Kau saja tidak tahu, apa
Mina tertawa mengejek, daripada terbawa perasaan. “Kau tahu kalau aku tidak cuma tidur denganmu. Faktanya, aku istri adikmu.”King membalas tawa Mina sambil mengecup-ngecup leher kecil itu. “Memang. Tapi kenyataannya kau juga milikku.”“Karena kau suka saat aku melawanmu, akan kulakukan habis-habisan ketika kakiku sudah sembuh.”“Sekarang saja,” bisik King dengan lidah menjilati telinga Mina. “Lawan aku, Mina.”“King!” Mina panik, karena King lagi-lagi menarik lepas blusnya.Ah, iya. Blus yang robek di bagian dada telah berganti dengan yang baru. King-lah yang memberikan Mina baju baru, setelah tadi mereka selesai berperang brutal.“Jangan lagi, King.” Mina kehabisan tenaga melawan kakak iparnya. Perut kenyang, kaki masih berdenyut dan mata sudah ingin terpejam.“Semakin kau tidak mau, makin kupaksa.” King menyeringai, menelusuri menggunakan ujung jari ke tiap jengkal kulit tubuh Mina yang terbuka.Mereka berkeringat banyak setelahnya. Posisi yang dilakukan bahkan dibuat King senyaman
King mengendus aroma lembut dari rambut istrinya. “Kukirimkan video saat kita bersumpah tadi pada suamimu yang lain.”Mina meninju punggung King. Sungguh-sungguh, sekuat tenaga yang tersisa. Tetap memeluk erat kemudian. Kalau menangis tidak bisa dilakukan, sebaiknya lampiaskan saja amarahmu lewat apa pun.“Bajingan! Berengsek!” Berbagai umpatan lain pun menyusul.Rasa sesak setelahnya Mina dapatkan karena King menciumnya dengan pemaksaan. Awalnya sungguh tidak sudi, perlahan-lahan tinju Mina mengendur, jadi menyentuh King di sana-sini.Beragam suara dari mulut King dan Mina bergema di ruangan. Mereka benar-benar bercinta dalam beragam perasaan, berpakaian lengkap setelan pernikahan.“King, huft ...” Mina menghela napas. “Pelankan ... gerakanmu.” Kesakitan. Bagian selangkangan Mina terasa sakit.“Aku suka.” Meski suka, senyum King terukir prihatin. Gerakannya melambat, namun tetap memberi rasa sakit bagi Mina.Kesadaran Mina mengabur, namun dipaksakan agar tetap fokus. Kenikmatan nyari
King itu serba cepat. Apa-apa seperti kilat. Bahkan ketika Mina lama berkemas, langsung digendong ala karung beras.“King!” Mina tidak berniat protes, cuma memanggil karena kesal.“Kita bisa ketinggalan pesawat.” Santai King membawa Mina masuk bandara. Kali ini diubahnya posisi. Menggendong seperti bayi.Semua mata memandangi mereka. Bahkan kalimat-kalimat berlebihan mengatai, menyindir dan mengejek Mina serta King silih berganti terdengar.“Mereka tidak tahu saja siapa kau sebenarnya. Kalau tahu, kuyakin tidak ada yang berani buka mulut untuk berkomentar tentang apa yang kau lakukan.”King terkekeh pelan. Suasana hatinya tidak pernah setenang dan sedamai ini. Nyaman, menyenangkan. Berkat Mina? Coba tebak.Dikecupnya puncak kepala Mina. Diendusi aroma shampo-nya.“Saat keramas tadi aku pakai shampo-mu,” jelas Mina karena sadar sedang diendusi.“Bahkan kau boleh pakai celana dalamku.” King meraba Mina, dicubit, tapi tetap dipaksa tangannya masuk ke balik kaos longgar si istri cuma untu
“Bu ....” Cuma itu yang Mina bisa katakan, kala berjumpa Jemima di depan sebuah rumah bernuansa klasik.Ibunya King memang sudah menunggu kedatangan mereka. Disambut keduanya seperti biasa, penuh kehangatan, tanpa ada perubahan sikap sama sekali.“Pasti sulit menghadapi kedua putraku. Maafkan aku karena mereka tidak tumbuh dengan kasih sayang senormal yang bisa kuberikan.” Jemima memeluk Mina, menyesalinya dengan kesungguhan hati.“Tidak, Bu. Justru aku yang tidak termaafkan karena telah membohongi Ibu soal kehamilanku, menikahi kedua putra Ibu seolah itu boleh dilakukan. Aku ....”Jemima melepas pelukan. Tersenyum bijaksana, seakan menerima pemakluman. “Dua putraku memang tidak biasa. Terlibat dengan mereka saja sudah merepotkan, apalagi menjalani kehidupan dalam jangka waktu yang lama, pasti sangat sulit untukmu ke depannya nanti.”“Percintaan kami rumit, Bu.” King berkata, membuat Mina heran kenapa suaminya tidak tertawa saat mengatakannya. Padahal biasanya, King selalu tertawa di
Mina lupa pada kepanikannya, langsung menatap langit. Benar, beberapa titik salju mulai berjatuhan. Menjadi salah satu alasan bagus menargetkan tempat ini sebagai tujuan bulan madu, meski sedang musim dingin yang mungkin mengejutkan bagi tubuh mereka untuk merasakan peralihan.“Kau sadar kau itu tampan?” Spontan terucap. Mina melihat perpaduan keseluruhan King di bawah turunnya salju, sungguh menawan. Apalagi dengan mantel panjang berwarna gelap yang dikenakan, menyempurnakan penampilan King.“Tampan tapi mengerikan?” King sudah sering dikatai sebagai pria berwajah kematian, jarang dipuji tampan.“Yap. Monster besar berengsek sialan yang tampan.” Mina memang membenci King dengan segala sikap kurang ajarnya, namun semakin ke sini, dia ragu untuk banyak hal.“Tapi dia suamimu.” King terkekeh. Menadahkan tangan, menunggu salju jatuh di telapaknya.“Ya, ya. Suami pemaksa.” Mina ikut-ikutan menunggu salju. “Oh, ponselmu bergetar, King.”Padahal King sengaja membiarkannya. Di silent pun tid
Seperti biasa. Dengan ekspresi bengis di wajahnya, King tengah ‘menghukum’ pelaku yang menyebabkan Mina terjatuh ke sungai beku. Dia menemukannya beberapa jam setelah kejadian.Kaki kanannya menginjak perut pelaku yang terus menerus berteriak kesakitan. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut King, selain dua anggota tubuh—kaki dan tangan—yang aktif bergerak.“Separah apa pun kau menyiksaku, tidak akan kuberitahu siapa yang telah memerintahkanku melakukannya.” Masih sempat-sempatnya tertawa menyeringai, memprovokasi King yang kini berdiri tegak menatap tajam.Pelaku terbatuk ketika menyelesaikan ucapannya. Ketakutan yang dirasakan oleh sekujur tubuhnya seolah memperingati untuk berhenti bicara yang tidak perlu.Namun rupanya, dia begitu menyukai momen-momen bersama salah satu pria terkejam yang dimiliki oleh keluarga Blackwood.“Wanita itu tidak akan bisa hidup normal seperti kebanyakan orang. Ditakdirkan—mmph!” Si pelaku terkejut karena King tiba-tiba mencengkeram rahangnya
Red terlihat terkejut, lalu menunduk, menghindari tatapan Mina. “Mina ... aku minta maaf. A-aku tidak pernah bermaksud begini. Aku tidak mau kau pergi. Aku cuma ... butuh waktu untuk ini.”“Waktu?” Mina melangkah lebih dekat. “Waktu tidak akan menunggu anak-anak kita tumbuh. Mereka butuh stabilitas sekarang, Red. Kita harus jadi tim. Kalau kalian mencintaiku, kalian akan mencintai mereka juga. Menerima keputusan dan rencana yang ingin kulakukan untuk kita semua.”Sunyi melingkupi ruangan beberapa detik sebelum King mendekat, memegang erat tangan Mina. “Aku akan melakukan apa pun yang kau katakan, Mina. Tapi jangan coba-coba mengambil keputusan untuk meninggalkanku.”Mina menarik napas dalam, menatap King dan Red. “Bukan aku yang harus memutuskan, King. Itu ada di tangan kalian berdua. Ikuti aturanku atau tidak sama sekali. Aku bebas pergi, jika kalian memutuskan tidak setuju dengan aturanku.”***Mina merasa kontradiksi saat kontraksi pertama datang. Di satu sisi, dia merasa ketakutan
King menarik napas panjang sebelum tiba-tiba menyeringai penuh kepuasan. “Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu kau akan memilihku. Kau pun tidak tahan untuk tidak mengandung bayi dariku.” Nadanya menggoda, tapi jelas sangat bangga.Namun, momen itu segera terganggu oleh suara pintu lain yang terbanting. Red masuk dengan wajah kecewa, menekan semua emosi sekuat tenaga. Dia memang masih Red Blackwood yang dulu, namun sejak Ophelia hadir, hubungan King dan Mina yang terlalu intim di matanya, tidak lagi terasa mengganggu.“Begitu rupanya.” Suaranya sedikit bergetar, tapi Red tertawa. “Aku dengar dari ibu, kalau kau mau mengandung bayi hasil dari hubungan dengan pria yang paling kau cintai. Itu artinya dia?”Mina berdiri, mencoba memberi penjelasan. “Red, ini bukan cuma soal cinta. Karena aku pun menyayangimu. Kalau kau ingin kita berpisah, aku tidak bisa melakukannya, karena itu artinya Ophelia harus bersamaku.”Mina menambahkan, agar tidak ada lagi kesalahpahaman. Sejak awal, bukan dia ya
King tentu menggunakan kesempatan itu untuk menyusup masuk.King memasuki kamar Jemima tanpa ragu, hampir tanpa suara. Dia ahli dalam bertindak begini. Sebelum pada tujuannya, ditatapnya sejenak bayi Mina dan Red.“Ophelia, jangan sampai terbangun, apalagi berisik kalau tidak ingin aku marah dan membawamu pada ayahmu. Tetap tenang,” ucap King dalam suara pelan dan berat.Kini matanya langsung tertuju pada Mina yang terlelap di sisi ranjang. Wajah si istri terlihat begitu tenang, rambutnya sedikit berantakan menyentuh pipi. Sesuatu di dalam dada King bergemuruh, seperti kebahagiaan kecil yang sulit dijelaskan. Belakangan, entah kapan tepatnya, ada banyak perasaan ‘brutal’ pada Mina jadi melemah, bukan berkurang, tapi seakan melembut dengan sendirinya.King berjalan mendekat, mengatur langkahnya agar tidak terlalu berat.Duduk di tepi ranjang, membiarkan ujung jarinya dengan lembut menyentuh rambut Mina, menyelipkannya ke belakang telinga. Reaksi Mina sedetik kemudian—menggeliat pelan,
Sudah dua hari berlalu dari seks agak lama di mobil dan kembali hal serupa terulang.Kali ini, tangga. Tangga menuju kamar atap, menjadi saksi selanjutnya. Mina sedang naik duluan, membawa sekeranjang pakaian kotor, saat King tiba-tiba menarik pinggangnya dari belakang.Mina hampir jatuh, tapi King memegangnya erat-erat, mendorong sampai punggung Mina menempel ke dinding tangga.King menarik celana Mina dengan cepat, tangannya masuk ke dalam, menyentuh Mina sampai si istri mengerang pelan. Mina mencengkeram pegangan tangga, mencoba menahan diri.King tidak bicara, langsung membuka celananya sendiri. Dia mengangkat satu kaki Mina, meletakkan di bahunya, lalu masuk ke dalam Mina dengan gerakan keras.Selain tangganya sempit, mereka harus cepat karena situasi tidak mendukung. Mina menggigit bibirnya agar tidak bersuara, tapi King menarik dagunya, mencium bibirnya kasar ketika akhirnya ada desah yang sempat lolos sedetik lalu.Mereka bergerak bersama, membawa getaran hebat yang menjalar p
Mina tahu perasaannya tak sederhana. Antara King dan Red. Ada dorongan yang tak bisa dibendung, perasaan yang terjebak antara dua dunia, dua suami yang sangat berbeda. Kali ini lebih menantang karena mereka berbaur bersama di satu atap. Beruntung sekarang Jemima sering berada di tengah-tengah mereka, mengurangi kegiatan sosialnya demi untuk cucu tercinta.Jemima-lah yang membuat jarak di antara King, Mina dan Red benar-benar punya celah. Dan itu sungguh bagus.Red sedang keluar, katanya bertemu Logan sementara Jemima tengah membawa Ophelia jalan-jalan di seputaran rumah—halaman depan, juga memamerkan si cucu pada tetangga.Mina ditarik King ke sini. Ditatapnya ke depan, mata terfokus pada pintu garasi yang tertutup rapat.Suasana di dalam mobil terasa sunyi. Cuma ada suara debar jantung Mina yang berdetak lebih cepat. King duduk di sampingnya, jarak mereka begitu dekat, namun tidak ada kata-kata yang keluar seperti kenakalan dan kebrutalan King yang biasa. Mungkin belum.“Kenapa harus
Red dan Mina masih duduk. Tanpa jarak di antara mereka. Mina menyandarkan kepalanya ke bahu Red, sementara pria itu menggenggam tangan si istri begitu erat—tidak menyakiti. Mereka menunggu, terus menanti.“Harusnya aku selalu ada di sisinya,” gumam Mina akhirnya, suaranya dipenuhi rasa bersalah. Dalam situasi dan kondisi begini, segala perasaan marah serta bencinya pada Zara, benar-benar hilang entah ke mana.Red menoleh, menatap Mina dengan sorot yang lembut tetapi tegas. “Sekarang kau sudah di sini. Kita akan melewati ini bersama."Sebelum Mina sempat menjawab, pintu ruang bersalin terbuka, dan seorang perawat keluar. Mereka berdua langsung bangkit serempak.“Bagaimana dia?” tanya Mina, nadanya nyaris panik.“Zara melewati masa kritisnya. Perdarahannya sudah teratasi, dan kondisinya mulai stabil,” kata perawat itu dengan senyum menenangkan. “Bayi perempuan, sehat dan sempurna.”Mina menutup wajah dengan kedua tangannya, terisak lega. Sementara Red entah bagaimana merasa sangat berbe
“Mina.” Suara King terdengar tegas dari luar mobil. Pria itu membuka pintu pengemudi dengan gerakan cepat, membuat Mina terkejut.“Hei, ada apa, King?” King menatapnya dalam, mata kelamnya dipenuhi ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Kau tidak akan menyetir dalam kondisi seperti itu,” katanya sambil menarik tubuhnya menjauh dari pintu. “Pindah ke kursi penumpang.”“Seperti apa?” Mina tertawa, tawa yang kering.“Tanganmu gemetar, kau gelisah.”“Aku baik-baik saja.” Mina tetap bergeming, meski tahu argumennya tidak akan bertahan lama—King tidak pernah bisa dibantah.King mendekat lebih jauh, satu tangannya bersandar pada atap mobil, menciptakan bayangan besar di atas Mina. “Aku tidak akan mengulanginya, Mina. Pindah sekarang.” Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Mina segera menyerah tanpa banyak perlawanan.Mina menelan sisa protesnya, membuka sabuk pengaman, dan keluar dari mobil. “Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran?” tanyanya, menatap King yang kini mengambil alih posisi p
Langkahnya terseok-seok menuju tempat tidur, mencoba meraih kursi dekat jendela, berpegangan pada meja kayu yang sudah mulai terlihat lusuh. Semua terasa begitu mencekam. Seperti ada banyak hal yang terpendam dalam dirinya, tapi rasa sakit itu memaksa dia untuk mengabaikannya. Semua terfokus pada satu hal—bayi yang semakin mendekat.Detik demi detik terasa lambat. Dia mengumpulkan kekuatan, meskipun lututnya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lelah. Sejak awal hamil, dia sudah terbiasa mandiri—tanpa bantuan Logan, tanpa banyak orang. Tapi ini berbeda. Inilah ujian terberatnya.Pikiran tentang Logan kembali menghantui. Bayangan wajahnya muncul di pikirannya, tetapi segera dia buang jauh-jauh. Tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya menunggu sesuatu yang tidak pasti.Hingga akhirnya, sebuah teriakan keluar dari tenggorokannya. Sebuah teriakan yang penuh keputusasaan, namun di saat yang sama, penuh dengan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dengan setiap tarikan napas ya
“Em, sepertinya begitu.” Berusaha tidak memperlihatkan kekesalan beserta kekecewaan, Red mengangguk, merelakan istrinya pergi menemui kakaknya. Mina sudah melepas diri sepenuhnya dari Red, tapi kemudian mengingat Zara. Didekatinya Red dengan cepat sambil berkata, “Jaga dia. Ingat, bayi kita ada padanya. Pastikan semua yang dia butuhkan terpenuhi. Andai kau keberatan, beritahu aku.”Red mengangguk, merebut wajah Mina sambil dihadiahkan sebuah ciuman kilat.Red menahan napas sejenak setelah bibirnya meninggalkan Mina. Matanya menelusuri wajah istrinya, mencoba menghafal setiap detail sebelum harus melepaskannya lagi—meskipun ini bukan pertama kalinya.“Pergilah,” katanya akhirnya, suaranya terdengar datar, tapi genggaman di pinggang Mina sedikit lebih erat sebelum dia benar-benar melepaskan.Mina menatap si suami pertama sejenak, seperti ingin memastikan semuanya baik-baik saja, lalu akhirnya berbalik, meninggalkan Red seperti biasa.Red menatap punggung Mina yang menjauh. Berat di dad