Aku terhenyak dengan todongan tiba-tiba dari ibu. Betapa pertanyaan yang tidak pernah kubayangkan kini mendera telinga. Ibu menatapku nyalang, raut marah dan kecewa itu ditunjukkannya padaku segera setelah kepergian Ridwan.
“Bu?”“Kamu enggak suka sama Si Ridwan?” Ibu bertanya usai menghela napas. Sepertinya beliau sadar telah salah mengambil langkah, mengenalkanku pada pria tak jelas sikap dan sifatnya meski dia mapan sekalipun.“Iya, Bu. Gina enggak suka kalau kelakuannya model begini. Belum menikah saja sudah banyak aturannya, bagaimana dengan nanti? Memangnya dia siapa, Bu? Dia bilang Gina harusnya diam saja di rumah, biar urusan gudang itu dia dan keluarganya yang turun tangan. Coba Ibu bayangkan sekarang, apa pantas ucapan seperti itu diucapkan? Kami baru bertemu sekali dan belum juga sehari, tapi nuntutnya sudah macam ini!” jelasku pada ibu.Aku ikut menghembuskan napas, lalu melirik Lidya“Gina? Bikinin minum buat tamu!” ulang bapak sekali lagi. Aku masih tetap berdiri di balik jendela rumah, menyibak gorden demi melihat wajah si cambang panjang itu.Benar-benar menyebalkan sekali pria ini! Apa aku harus membawa gunting sekalian nanti? Mencukur habis cambang yang begitu dibanggakannya itu agar dia tahu kalau aku tidak pernah bercanda dengan perkataanku semalam.“Gina?” Bapak menjerit lagi. Alhasil, ibu yang sedang menyulam muncul dari halaman belakang. Dia menatapku yang masih berdiri diam, lalu mendekat dengan tangan yang terulur dan ctak! Ibu menarik keras anak rambutku yang tergerai.“Aw, Bu! Aku sudah tua, Bu! Kenapa masih dijambak juga!”“Tahu sudah tua, kan? Tapi masih tega bikin bapakmu teriak-teriak!” omelnya dengan bibir bergetar. Bedak ibu yang terlalu putih itu mencong sana-sini, bukannya menurut aku malah sibuk mengusap wajah ibu dengan ibu jariku sendiri.
Aku memicing saat sosok yang begitu kukenal telah berdiri di halaman rumah. Berbalut kemeja hijau gelap dengan jeans hitam yang sedikit longgar. Gagah tersenyum ke arahku. Dia menyapa dengan sorot mata, juga lambaian tangan, serupa dengan pria kasmaran.Aneh, aku merasakan gelagat aneh dari Gagah. Pria yang belum lama ini kembali hadir di hidupku, lalu lalang karena berurusan dengan pekerjaan, tiba-tiba muncul di depan rumah ibu dan bapak. Tak ada angin dan hujan, bahkan tak ada kaitannya dengan pekerjaan.“Ka-kamu ngapain kemari, Gah?” sambutku seraya menuruni dua anak tangga di teras. Aku melompat cepat, berdiri di depan pria tinggi itu dan menelisik setiap ekspresi yang tertera di wajahnya.Apa-apaan pria ini? Ada urusan apa dia kemari?“Kamu habis ketemu siapa, Gin?” Gagah balik menanyaiku. Dia lagi-lagi tersenyum, lalu menggulung kedua lengan kemejanya hingga otot-otot baja bermunculan di lengan.
Saat ini, aku memutuskan untuk bersikap tenang. Ibu, bapak, Ibu Juleha dan Gagah, mereka semua kupersilahkan duduk di sofa lebih dulu. Membicarakan sesuatu dengan emosi apalagi saling memaki seperti tadi tidak akan memperbaiki masalah, yang ada aib demi aiblah yang terus mengudara.Kulirik Lidyana dan si bungsu yang berdiri di belakang sofa ibu, dua anak itu bukannya gegas membuatkan minum malah tertarik dengan pembicaraan para suhu. Lihat saja ekspresi Lidyana yang mengerut ke arahku, gadis itu jelas-jelas tidak mau beranjak agar tidak melewatkan gosip meski hanya satu baris kalimat.Sekali lagi aku menatap Lidyana dan si bungsu, menggertakkan gigi dan terus memberi kode agar mereka lekas beranjak. Tetapi bukannya mendapatkan inginku, ibu malah menampar angin di depan wajahku.“Enggak perlu tawarin minum! Teh di rumah abis, gulanya mau Ibu buatkan donat.”“Bu ... jangan begitu sama tamu,” pintaku hampir mem
Aku memarkir Si Gagah begitu sampai di rumah Anha jam lima sore. Langit mulai membiru di pucuk sana ke tiba aku tiba, para burung bergantian pulang menuju sarang, serupa denganku yang kembali datang.Wajahku terasa lebih bersinar sore ini. Bukan karena semata-mata menyadari jika Gagah menyimpan niat mulia untukku, tetapi lebih dari itu, empat bungkus martabak yang kutenteng bersama saat ini menjadi alasan paling besar rasa bahagia yang terus merebak di hati.Ekspresi girang dari Ahnalah yang begitu kunanti. Gadis baik dengan seribu rasa sakit yang dipendamnya sendirian selama ini, memang terlihat begitu tegar dan tangguh. Meski nyatanya aku tahu jika Anha menyimpan segalanya seorang diri.Ada malam dimana dia duduk sendirian di ruang tamu, menangis di bawah gelapnya malam sembari memeluk lutut. Aku berpura-pura tidak tahu demi menjaga perasaannya. Aku sadar, meski sudah lama ditinggalkannya dunia kelam itu, tetap saja ada luka yang masih bersar
Aku masih sibuk menyapu lantai yang baru saja menghadapi badai tornado itu saat ketukan pelan dipintu menghentikanku. Gegas aku melirik, seorang pria paruh baya dengan istrinya yang baru saja pulang dari masjid mampir ke rumah kami.Wajah keduanya begitu teduh, melambangkan kebaikan hati dan ketulusan di dalamnya. Mereka tersenyum ke arahku yang masih memeluk gagang sapu, bingung karena tidak terlalu mengenali dua sosok itu.“Assalamualaikum Dik Gina?” Istrinya menyapa lembut.Aku mengernyitkan dahi, sungguh luar biasa jika dua orang yang terasa asing itu bisa mengenaliku dengan cepat. Padahal, aku sudah meninggalkan rumah ini sejak dua tahun lalu setelas melepas status lajang kepada Bang Teguh.“Boleh kami masuk, Dik Gina?” imbuhnya lagi.Lekas aku mengangguk, kemudian meletakkan sapu di sudut ruangan dan menyambut dua tamuku itu. “Silahkan masuk, Pak ... Bu?” sapaku ragu-ragu.
“Terima kasih banyak, Gah! Kamu banyak bantuin aku selama proses pengurusan perkaranya Anha,” ucapku siang ini pada pria bernama Gagah.Ini sudah ketiga kalinya dia menemaniku membereskan permasalahan yang menimpa Anha. Kasus dari gadis yang disiksa habis-habisan oleh lima orang sekaligus memang berakhir damai, ketiganya meminta maaf pada kami usai mendapat panggilan dari pihak kepolisian.Aku tahu, ini terdengar tidak memuaskan. Aku sudah meminta rujukan untuk melakukan visum dan hasilnya kuserahkan kepada pihak kepolisian. Tetapi nyatanya memang perkara begini harusnya diselesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan. Anha memang tertekan, tapi menurut dokter mentalnya akan berangsur membaik dengan cepat, seiring dengan luka-luka yang ada di tubuhnya.“Sama-sama , Gin! Ini laporan terakhir ke polisi, kan?” balas Gagah.“Iya, Gah. Aku kira bakalan naik pengadilan. Ternyata semuanya diselesaikan secara d
Aku menghentikan Si Gagah, kemudian lekas menurunkan kaca jendela. Gagah berlari menghampiriku, wajahnya memerah dan terlihat jelas jejak kakegatan di sana.“Gin, turun!” pintanya setengah berteriak.Gagah membukakan pintu mobil, menuntunku turun dari Si Gagah yang tinggi ini. Aku gegas berlari bersama Gagah, dan apa yang kulihat saat ini telah membuat jejak yang dalam di hati.“Astagfirullah!” Aku menjerit sekeras mungkin, lalu berbalik bersembunyi pada Gagah.Tubuh seorang pria tergeletak pingsan di belakang mobilku, kepalanya terluka dan darah mengucur pelan. Di sebelah sang pria, ada gadis kecil yang merengek, menangis dan terus memanggil nama dari pria itu.“Papa ... Papa!” Tangan mungilnya mengguncang tubuh sang pria. Hingga Gagah memintaku melepas dirinya.“Gin, lepas dulu. Kita harus bawa dia ke rumah sakit!” ucap Gagah.Aku memaksakan di
Aku berdiri di depan unit UGD dengan tangan masih menggenggam erat si gadis kecil. Anggrek— begitulah dia mengaku. Tak pernah kutanyakan apa kelanjutan namanya, mungkin saja anggrek bulan yang selalu hits itu atau anggrek jenis apapun. Tetapi kuakui, namanya memang secantik parasnya.Dia berdiri di sampingku, menatap ke arah pria berbaju putih yang masih berbicara dengan Gagah. Si kecil tidak bereaksi apapun, bahkan merintih memanggil nama pria di dalam sana pun tidak lagi dia lakukan. Anggrek diam, menggenggam satu jemariku lebih erat.“Kamu kenapa, Nak?” tanyaku padanya saat menyadari perbedaan itu. Aku mencoba berbasa-basi, mungkin Anggrek masih menyimpan khawatir dengan apa yang terjadi pada papanya.“Macih ama? Angyek lapar,” akunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Aku tergelak mendengar penuturan si kecil, menyebabkan Gagah dan pria berprofesi mulia itu ikut melirik ke arah kami. Gagah menegu
Ting ... ting ... ting ....Suara adukan teh menjadi nada pengiring di antara aku dan ibu. Wanita yang berusaha menguatkan dirinya usai diterpa kenyataan itu terus memaksa untuk membuatkan minum.Deru napasnya terdengar lebih jelas dari pada biasanya sejak tadi. Aku sadar, umur ibu dan bapak kian bertambah setiap harinya. Resah yang dirasakan tidak lagi soal ikan yang terlalu mahal atau uang yang tak pernah cukup hingga hari esok, melainkan tentang anak-anaknya, terutama aku yang belum lama ini bercerai.“Ya-yakin mau jadi istrinya?” Ibu terbata-bata saat menanyaiku. Kalimat yang mungkin ingin ditanyainya sejak pertama kali melihat Mas Zildi.Wanita itu memutuskan untuk diam sesaat. Cangkir-cangkir di depannya dibiarkan kosong, padahal Mas Zildi sudah duduk di ruang tamu selama beberapa waktu.“Bu ... kemarin, Ibu keberatan karena Gagah tidak punya pekerjaan yan
Aku memastikan sekali lagi pintu rumah sudah terkunci rapat sebelum meninggalkan hunian. Sesuai dengan janji semalam, aku akan mengantar Adinda menuju kampung halamannya meski hati kecil ini dongkol luar biasa.Setelah subuh tadi, salah satu admin mengantarkan mobil Jazz merahku yang manis. Sebab, beberapa jam usai kami berangkat kemarin, Range Roverku dijemput oleh salah satu pekerja di bengkel Mas Zildi untuk dipoles kembali. Walau nantinya akan utuh seperti semula, nyatanya tetap tidak terasa sempurna.Terkadang, aku ingin meluapkan hal ini pada Adinda, yang sedang duduk diam di teras rumah seperti orang kehilangan jiwanya. Tetapi sekali lagi kutegaskan di dalam hati, jika Adinda juga korban dari kekejaman Bang Teguh dan ibunya. Dia tidak bersalah, hanya dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bayinya.“Berangkat sekarang, Din?” tawarku sebab Adinda masih diam di kursi. Dia memandang ke
Aku berseru, kemudian berjalan secepat mungkin menuju Adinda. Wanita yang masih menyusui bayinya itu terlihat tidak mengerti dengan teguranku barusan. Dia sibuk meninabobokan si kecil, sesekali menggodanya dengan botol susu meski sudah mendengar teriakanku sekalipun.Di depan netra ini, Adinda menyajikan pemandangan yang membuat jakun pria manapun akan bergetar. Adinda menyusui bayinya, membiarkan bagian dari tubuhnya yang berharga itu terlihat di depan siapapun. Tidak ada sehelai kain pun yang digunakannya untuk menutupi, setidaknya menghalangi, mengingat ada Mas Zildi di sini.Lekas aku berdiri di depan Adinda, menghindarkan Mas Zildi dari pemandangan yang mampu menodai matanya itu. Berulang kali aku menegur Adinda, geram sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia bersikap begitu sembrono di depan seorang pria walau sedang dalam keadaan sulit sekalipun?“Mau pamer kamu, Din? Hah?” sergah Anha tanpa mau menanti.Dia menyerang
Proses pemeriksaan berjalan dengan lancar, meski awalnya perilakuku yang terkesan kasar karena merusak pintu rumah Bang Teguh sempat disinggung oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengenai adegan pengrusakan pintu itu, namun semua detail yang kutahu dan Adinda ingat, kami jabarkan tanpa cela. Semuanya harus berakhir di sini, tidak boleh lagi ada korban berikutnya yang muncul akibat dendam yang bersarang di hati Bang Teguh.Setelah berjam-jam berlalu, kami keluar dari kantor kepolisian dengan perasaan lega. Tugasku hanyalah menyerahkan rekaman CCTV dan bukti mobil yang tergores ke pihak kepolisian. Begitu juga dengan Adinda, semua kesaksiannya akan memperkuat hukuman untuk Bang Teguh nantinya ... semoga.Pamit dari kantor kepolisian, aku membawa Adinda dan bayinya pulang dengan menumpang mobil Mas Zildi. Wajah Adinda kusam dan lelah, sedang bayinya sesekali merengek tak nyaman dalam tidur.Mas Zildi memberi kami tumpangan hingga berhenti di sebua
“Adinda!” Bang Teguh menjeritkan nama wanita yang telah memberinya bayi mungil itu.Kami yang sedari tadi menjadi saksi lekas menolehkan wajah. Berharap di dalam hati jika Adinda tidak akan lagi bisa digoyahkan oleh pria yang telah menghancurkan hidupnya, juga berdo’a agar Adinda tidak lagi dibohongi oleh Bang Teguh.Aku menanti harap-harap cemas, wanita yang terlihat begitu bimbang didekat istri Pak RW itu. Dia memeluk bayi mungilnya yang terus merengek lapar. Bahkan bibir bayi itu mengering, tubuhnya pun pucat dan kecil. Aku yakin benar, si mungil yang dilahirkan Adinda tidak mendapatkan gizi yang cukup. Parahnya lagi, saat Adinda melepas dekapan bayinya, kutemukan sesuatu yang mencengangkan. “Adinda!” seruku sebelum dia kembali tergugah dengan suaminya yang sedang menanti akhir kisah.Mas Zildi serta dua wanita dewasa lainnya pun menoleh. Mereka mengikuti arah gerakku yang mencoba membuka selimut lusuh bayi mala
Adinda, ibu mertua dan Bang Teguh, mereka ada di dalam sana. Aku buru-buru mendekat, mengintip dari jarak yang begitu tipis agar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras. Sesuatu terlihat melayang, piring keramik menyentuh dinding dan terbelah.“Abang?” Adinda kutemukan merintih di lantai.Dia bersimpuh di depan Bang Teguh dan ibu mertua. Bayi kecilnya ternyata dipeluk oleh wanita paruh baya gembrot yang sibuk tersenyum sinis pada Adinda.“Kamu itu bodoh, ya? Aku sudah bilang kan, setiap hari kamu harus kerja di sana. Hancurkan semua barang-barangnya Gina biar dia bangkrut!” balas ibu mertua yang ternyata disetujui Bang Teguh.“Bu ... kemarikan bayiku. Dia lapar, Bu ... hari ini belum nyusu sama sekali,” rintih Adinda dengan tangan terulur.“Enak saja, kamu itu enggak kerja hari ini. Artinya kamu itu lebih mendukung Gina d
“Aku akan mengecek CCTV!” seruku usai mengusaikan tangis.Kuredam semua kekagetan dan kegelisahan ini, lalu, berlari menuju ruang admin yang memiliki akses CCTV. Untungnya, aku sempat memasang benda mahal itu demi menghindari kejadian tak mengenakkan, walau belum mempekerjakan sekuriti di bagian depan.Begitu melangkah, kudapati Anha yang terkejut dengan sikapku. Dia mengikuti dari arah belakang bersama Mas Zildi dan si kecil Anggrek. Walau mereka tak saling kenal, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi keduanya seayun langkah saat mengejarku. “Buka rekaman CCTV di garasi!” Aku segera memerintah tiga pria yang duduk di kubikelnya.Mereka terlihat begitu bingung dengan seruan yang begitu tiba-tiba, namun salah satunya lekas berganti komputer. Kuikuti dia dengan perasaan berdebar, berharap jika CCTV merekam kehadiran dari orang yang telah melakukan hal buruk ini
“Kalau Adinda datang ke gudang, jangan izinkan dia masuk. Bawa ke kantor!” kataku pada para pekerja yang sudah berkumpul di gudang pagi ini.Mereka mengangguk setuju begitu mendengar perintah singkat ini. Sebagian terlihat menaruh simpati atas apa yang terjadi di gudang berkat kepercayaan yang kuberikan pada wanita itu, sebagiannya lagi terlihat acuh dan tak terlalu peduli.Ketiga adminku yang terpaksa bekerja dua kali lebih keras dibanding sebelumnya memberi laporan semalam, jika sebagian permasalahan tidak menemukan titik terang, hingga harus melibatkan pihak penengah dari marketplace tempat kami mencari rupiah.Baiklah ... tidak masalah. Wajar dan sangat dapat dimaklumi jika para pembeli merasa kecewa dengan barang-barang yang mereka terima.“Lalu Bu, bagaimana dengan keluhan itu?” Bu Mala menyahuti. Wajahnya yang sama lelahnya denganku melongok di antara kerumunan para pek
Usai menerima Adinda bekerja di gudang, aku bersikap seperti biasa. Membiarkan semua hal berlalu tanpa memberi peduli meski hanya sedikit. Termasuk soal Gagah yang pada akhirnya tidak lagi berusaha menghubungiku. Dia berhenti bekerja sebagai agen dari distributor langganan gudang tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak.Dari karyawan yang menggantikan Gagah aku tahu satu hal, Gagah minta dipindahkan ke cabang yang berbeda karena alasan pribadi. Dan satu poin penting lain yang membuatku tercengang, menurut pria yang mengambil alih pekerjaan Gagah, pria itu sedang menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda yang dikenalkan ibunya. Mereka berniat menikah, dan Gagah mulai membangun karir di daerah tempat gadis itu tinggal.Aku terdiam saat mendengar kisah itu, tidak pernah mengira jika Gagah yang mendeklarasikan perasaannya padaku begitu dalam bisa berpaling dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini, membuatku bertanya-tanya, tentang kebenaran