Aku tercegang mendengar permintaan memilukan dari bibir Adinda. Ekspresinya lengkap menerangkan jika wanita berbadan dua ini sedang berada di pinggir jurang keputusasaan, sampai-sampai meminta pertolongan dari mantan istri suaminya sendiri.
Gegas aku mundur selangkah, menjauh dari Adinda sebab nyatanya hatiku teriris mendengar keinginannya saat ini. Wanita yang sudah membuatku terluka, merebut Bang Teguh dariku dan menyebabkan ibu mertua dengan lantang menghinaku tanpa henti tapi kini datang mengemis padaku.“Harusnya kamu tahu diri, Adinda.” Aku berdecak. Mengucapkan kata-kata yang menyakitkan untuk orang ini rasanya juga percuma. Yang ada dosa-dosaku kian menggunung dan Adinda hanya akan terluka.“Pergilah! Urusan persalinanmu itu, tugasnya suamimu.” Aku mencoba melunak.“Mbak ... Bang Teguh belum bekerja dan kami tidak punya tabungan sama sekali. Apalagi, setiap hari kami diteror sama penagih hutangAku menghela napas sedemikian keras saat berhenti di depan sebuah rumah makan yang menyediakan berbagai menu ayam dan sederet pilihan sambal. Menatap ke dalam, tempat dimana orang-orang sibuk mengisi perut mereka.Bayang-bayang akan ucapan Anha di rumah Nita saat itu masih membekas di kepalaku. Bagaimana bisa Gagah sudah lebih dulu meminta nomor ponselku pada Anha saat aku menjalani masa iddah usai bercerai dari Bang Teguh.“Kamu sama Gagah?” Hari itu masih kurekam jelas tatapan Anha, serupa dengan ibu dulu, dia mengisyaratkan jika aku harusnya berhati-hati dalam bersikap.“Tidak, An. Astaga kamu ini! Aku dan Gagah hanya teman, tidak lebih. Dia hanya mengajakku datang ke reuni SMP dulu di kampung. Aku bahkan tidak tahu, kalau orang-orang jaman sekarang senang bereuni termasuk dengan teman SMP.” Begitulah penjelasanku pada Anha, berharap dia percaya dengan apa yang kukatakan padanya.“Tapi Gagah minta nomermu, Gin. Kalian juga
“Belanja? Ya suka dong, Gin. Hari gini siapa yang enggak doyan belanja?” sahut Ayu cepat.Aku tersenyum tipis, menyadari ada kemungkinan besar sebagian dari teman-teman reuni ini menjadi pelanggan setiaku. Syukurlah, dengan begitu bisa kubungkam mulut tak tahu diri milik Ayu.“Ini nih ....” Ayu segera mengeluarkan gawainya. Dia membuka aplikasi marketplace yang menjadi ladang rezeki untuk gudangku selama ini, lalu memperlihatkan daftar belanjaannya pada kami.Isi keranjangnya penuh sesak, barang yang sudah dibayar berjumlah lima belas pembelian dan lima sedang dalam pengantaran. Lebih dari lima puluh belum diberi penilaian meski sudah diterima. Rupanya, Ayu juga maniak belanja. Berbeda dengan Ayu yang kubaca dari salah satu novel Gadis Tanpa Senyum sekali pintas dulu.“Wah ... uangmu memang banyak, Yu. Pantas, suamimu kan karyawan BUMN.”“Memang Ayu sudah tajir sejak dulu. Apalagi suaminya kaya, dan dia jug
Kulirik wajah ibu dan kedua adikku, tatapan mereka penuh maksud yang tak bisa kumengerti sama sekali. Senyum aneh di bibir si bungsu, serta rasa haru di mata ibu. Aku yakin ada niat tersembunyi yang sedang mereka tutupi dariku.“Bu?” panggilku karena tidak ada satu orang pun yang menjawab.“Kalian kenapa?”“Kak ... nginap di sini, kan? Yuk masuk!” ujar si nomor tujuh, Lidyana namanya. Wajahnya cantik dan bersih, terawat serta modis. Maklum saja, dia beranjak gadis saat aku sudah punya banyak rezeki dan adik-adikku mulai bekerja dan menikahi pria mapan.Lidyana segera beranjak, dia mengapit tanganku dengan cepat, kemudian menyeretku ke dalam rumah yang masih menguarkan baru menyengat dari cat. Aku menutup hidup dengan menjepitnya, aroma menusuk seperti ini bisa saja membuat kepalaku pusing, apalagi setelah berurusan dengan Ayu dan teman-temannya tadi.“Kamu kenapa, Dik?” t
Aku terhenyak dengan todongan tiba-tiba dari ibu. Betapa pertanyaan yang tidak pernah kubayangkan kini mendera telinga. Ibu menatapku nyalang, raut marah dan kecewa itu ditunjukkannya padaku segera setelah kepergian Ridwan.“Bu?”“Kamu enggak suka sama Si Ridwan?” Ibu bertanya usai menghela napas. Sepertinya beliau sadar telah salah mengambil langkah, mengenalkanku pada pria tak jelas sikap dan sifatnya meski dia mapan sekalipun.“Iya, Bu. Gina enggak suka kalau kelakuannya model begini. Belum menikah saja sudah banyak aturannya, bagaimana dengan nanti? Memangnya dia siapa, Bu? Dia bilang Gina harusnya diam saja di rumah, biar urusan gudang itu dia dan keluarganya yang turun tangan. Coba Ibu bayangkan sekarang, apa pantas ucapan seperti itu diucapkan? Kami baru bertemu sekali dan belum juga sehari, tapi nuntutnya sudah macam ini!” jelasku pada ibu.Aku ikut menghembuskan napas, lalu melirik Lidya
“Gina? Bikinin minum buat tamu!” ulang bapak sekali lagi. Aku masih tetap berdiri di balik jendela rumah, menyibak gorden demi melihat wajah si cambang panjang itu.Benar-benar menyebalkan sekali pria ini! Apa aku harus membawa gunting sekalian nanti? Mencukur habis cambang yang begitu dibanggakannya itu agar dia tahu kalau aku tidak pernah bercanda dengan perkataanku semalam.“Gina?” Bapak menjerit lagi. Alhasil, ibu yang sedang menyulam muncul dari halaman belakang. Dia menatapku yang masih berdiri diam, lalu mendekat dengan tangan yang terulur dan ctak! Ibu menarik keras anak rambutku yang tergerai.“Aw, Bu! Aku sudah tua, Bu! Kenapa masih dijambak juga!”“Tahu sudah tua, kan? Tapi masih tega bikin bapakmu teriak-teriak!” omelnya dengan bibir bergetar. Bedak ibu yang terlalu putih itu mencong sana-sini, bukannya menurut aku malah sibuk mengusap wajah ibu dengan ibu jariku sendiri.
Aku memicing saat sosok yang begitu kukenal telah berdiri di halaman rumah. Berbalut kemeja hijau gelap dengan jeans hitam yang sedikit longgar. Gagah tersenyum ke arahku. Dia menyapa dengan sorot mata, juga lambaian tangan, serupa dengan pria kasmaran.Aneh, aku merasakan gelagat aneh dari Gagah. Pria yang belum lama ini kembali hadir di hidupku, lalu lalang karena berurusan dengan pekerjaan, tiba-tiba muncul di depan rumah ibu dan bapak. Tak ada angin dan hujan, bahkan tak ada kaitannya dengan pekerjaan.“Ka-kamu ngapain kemari, Gah?” sambutku seraya menuruni dua anak tangga di teras. Aku melompat cepat, berdiri di depan pria tinggi itu dan menelisik setiap ekspresi yang tertera di wajahnya.Apa-apaan pria ini? Ada urusan apa dia kemari?“Kamu habis ketemu siapa, Gin?” Gagah balik menanyaiku. Dia lagi-lagi tersenyum, lalu menggulung kedua lengan kemejanya hingga otot-otot baja bermunculan di lengan.
Saat ini, aku memutuskan untuk bersikap tenang. Ibu, bapak, Ibu Juleha dan Gagah, mereka semua kupersilahkan duduk di sofa lebih dulu. Membicarakan sesuatu dengan emosi apalagi saling memaki seperti tadi tidak akan memperbaiki masalah, yang ada aib demi aiblah yang terus mengudara.Kulirik Lidyana dan si bungsu yang berdiri di belakang sofa ibu, dua anak itu bukannya gegas membuatkan minum malah tertarik dengan pembicaraan para suhu. Lihat saja ekspresi Lidyana yang mengerut ke arahku, gadis itu jelas-jelas tidak mau beranjak agar tidak melewatkan gosip meski hanya satu baris kalimat.Sekali lagi aku menatap Lidyana dan si bungsu, menggertakkan gigi dan terus memberi kode agar mereka lekas beranjak. Tetapi bukannya mendapatkan inginku, ibu malah menampar angin di depan wajahku.“Enggak perlu tawarin minum! Teh di rumah abis, gulanya mau Ibu buatkan donat.”“Bu ... jangan begitu sama tamu,” pintaku hampir mem
Aku memarkir Si Gagah begitu sampai di rumah Anha jam lima sore. Langit mulai membiru di pucuk sana ke tiba aku tiba, para burung bergantian pulang menuju sarang, serupa denganku yang kembali datang.Wajahku terasa lebih bersinar sore ini. Bukan karena semata-mata menyadari jika Gagah menyimpan niat mulia untukku, tetapi lebih dari itu, empat bungkus martabak yang kutenteng bersama saat ini menjadi alasan paling besar rasa bahagia yang terus merebak di hati.Ekspresi girang dari Ahnalah yang begitu kunanti. Gadis baik dengan seribu rasa sakit yang dipendamnya sendirian selama ini, memang terlihat begitu tegar dan tangguh. Meski nyatanya aku tahu jika Anha menyimpan segalanya seorang diri.Ada malam dimana dia duduk sendirian di ruang tamu, menangis di bawah gelapnya malam sembari memeluk lutut. Aku berpura-pura tidak tahu demi menjaga perasaannya. Aku sadar, meski sudah lama ditinggalkannya dunia kelam itu, tetap saja ada luka yang masih bersar
Ting ... ting ... ting ....Suara adukan teh menjadi nada pengiring di antara aku dan ibu. Wanita yang berusaha menguatkan dirinya usai diterpa kenyataan itu terus memaksa untuk membuatkan minum.Deru napasnya terdengar lebih jelas dari pada biasanya sejak tadi. Aku sadar, umur ibu dan bapak kian bertambah setiap harinya. Resah yang dirasakan tidak lagi soal ikan yang terlalu mahal atau uang yang tak pernah cukup hingga hari esok, melainkan tentang anak-anaknya, terutama aku yang belum lama ini bercerai.“Ya-yakin mau jadi istrinya?” Ibu terbata-bata saat menanyaiku. Kalimat yang mungkin ingin ditanyainya sejak pertama kali melihat Mas Zildi.Wanita itu memutuskan untuk diam sesaat. Cangkir-cangkir di depannya dibiarkan kosong, padahal Mas Zildi sudah duduk di ruang tamu selama beberapa waktu.“Bu ... kemarin, Ibu keberatan karena Gagah tidak punya pekerjaan yan
Aku memastikan sekali lagi pintu rumah sudah terkunci rapat sebelum meninggalkan hunian. Sesuai dengan janji semalam, aku akan mengantar Adinda menuju kampung halamannya meski hati kecil ini dongkol luar biasa.Setelah subuh tadi, salah satu admin mengantarkan mobil Jazz merahku yang manis. Sebab, beberapa jam usai kami berangkat kemarin, Range Roverku dijemput oleh salah satu pekerja di bengkel Mas Zildi untuk dipoles kembali. Walau nantinya akan utuh seperti semula, nyatanya tetap tidak terasa sempurna.Terkadang, aku ingin meluapkan hal ini pada Adinda, yang sedang duduk diam di teras rumah seperti orang kehilangan jiwanya. Tetapi sekali lagi kutegaskan di dalam hati, jika Adinda juga korban dari kekejaman Bang Teguh dan ibunya. Dia tidak bersalah, hanya dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bayinya.“Berangkat sekarang, Din?” tawarku sebab Adinda masih diam di kursi. Dia memandang ke
Aku berseru, kemudian berjalan secepat mungkin menuju Adinda. Wanita yang masih menyusui bayinya itu terlihat tidak mengerti dengan teguranku barusan. Dia sibuk meninabobokan si kecil, sesekali menggodanya dengan botol susu meski sudah mendengar teriakanku sekalipun.Di depan netra ini, Adinda menyajikan pemandangan yang membuat jakun pria manapun akan bergetar. Adinda menyusui bayinya, membiarkan bagian dari tubuhnya yang berharga itu terlihat di depan siapapun. Tidak ada sehelai kain pun yang digunakannya untuk menutupi, setidaknya menghalangi, mengingat ada Mas Zildi di sini.Lekas aku berdiri di depan Adinda, menghindarkan Mas Zildi dari pemandangan yang mampu menodai matanya itu. Berulang kali aku menegur Adinda, geram sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia bersikap begitu sembrono di depan seorang pria walau sedang dalam keadaan sulit sekalipun?“Mau pamer kamu, Din? Hah?” sergah Anha tanpa mau menanti.Dia menyerang
Proses pemeriksaan berjalan dengan lancar, meski awalnya perilakuku yang terkesan kasar karena merusak pintu rumah Bang Teguh sempat disinggung oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengenai adegan pengrusakan pintu itu, namun semua detail yang kutahu dan Adinda ingat, kami jabarkan tanpa cela. Semuanya harus berakhir di sini, tidak boleh lagi ada korban berikutnya yang muncul akibat dendam yang bersarang di hati Bang Teguh.Setelah berjam-jam berlalu, kami keluar dari kantor kepolisian dengan perasaan lega. Tugasku hanyalah menyerahkan rekaman CCTV dan bukti mobil yang tergores ke pihak kepolisian. Begitu juga dengan Adinda, semua kesaksiannya akan memperkuat hukuman untuk Bang Teguh nantinya ... semoga.Pamit dari kantor kepolisian, aku membawa Adinda dan bayinya pulang dengan menumpang mobil Mas Zildi. Wajah Adinda kusam dan lelah, sedang bayinya sesekali merengek tak nyaman dalam tidur.Mas Zildi memberi kami tumpangan hingga berhenti di sebua
“Adinda!” Bang Teguh menjeritkan nama wanita yang telah memberinya bayi mungil itu.Kami yang sedari tadi menjadi saksi lekas menolehkan wajah. Berharap di dalam hati jika Adinda tidak akan lagi bisa digoyahkan oleh pria yang telah menghancurkan hidupnya, juga berdo’a agar Adinda tidak lagi dibohongi oleh Bang Teguh.Aku menanti harap-harap cemas, wanita yang terlihat begitu bimbang didekat istri Pak RW itu. Dia memeluk bayi mungilnya yang terus merengek lapar. Bahkan bibir bayi itu mengering, tubuhnya pun pucat dan kecil. Aku yakin benar, si mungil yang dilahirkan Adinda tidak mendapatkan gizi yang cukup. Parahnya lagi, saat Adinda melepas dekapan bayinya, kutemukan sesuatu yang mencengangkan. “Adinda!” seruku sebelum dia kembali tergugah dengan suaminya yang sedang menanti akhir kisah.Mas Zildi serta dua wanita dewasa lainnya pun menoleh. Mereka mengikuti arah gerakku yang mencoba membuka selimut lusuh bayi mala
Adinda, ibu mertua dan Bang Teguh, mereka ada di dalam sana. Aku buru-buru mendekat, mengintip dari jarak yang begitu tipis agar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras. Sesuatu terlihat melayang, piring keramik menyentuh dinding dan terbelah.“Abang?” Adinda kutemukan merintih di lantai.Dia bersimpuh di depan Bang Teguh dan ibu mertua. Bayi kecilnya ternyata dipeluk oleh wanita paruh baya gembrot yang sibuk tersenyum sinis pada Adinda.“Kamu itu bodoh, ya? Aku sudah bilang kan, setiap hari kamu harus kerja di sana. Hancurkan semua barang-barangnya Gina biar dia bangkrut!” balas ibu mertua yang ternyata disetujui Bang Teguh.“Bu ... kemarikan bayiku. Dia lapar, Bu ... hari ini belum nyusu sama sekali,” rintih Adinda dengan tangan terulur.“Enak saja, kamu itu enggak kerja hari ini. Artinya kamu itu lebih mendukung Gina d
“Aku akan mengecek CCTV!” seruku usai mengusaikan tangis.Kuredam semua kekagetan dan kegelisahan ini, lalu, berlari menuju ruang admin yang memiliki akses CCTV. Untungnya, aku sempat memasang benda mahal itu demi menghindari kejadian tak mengenakkan, walau belum mempekerjakan sekuriti di bagian depan.Begitu melangkah, kudapati Anha yang terkejut dengan sikapku. Dia mengikuti dari arah belakang bersama Mas Zildi dan si kecil Anggrek. Walau mereka tak saling kenal, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi keduanya seayun langkah saat mengejarku. “Buka rekaman CCTV di garasi!” Aku segera memerintah tiga pria yang duduk di kubikelnya.Mereka terlihat begitu bingung dengan seruan yang begitu tiba-tiba, namun salah satunya lekas berganti komputer. Kuikuti dia dengan perasaan berdebar, berharap jika CCTV merekam kehadiran dari orang yang telah melakukan hal buruk ini
“Kalau Adinda datang ke gudang, jangan izinkan dia masuk. Bawa ke kantor!” kataku pada para pekerja yang sudah berkumpul di gudang pagi ini.Mereka mengangguk setuju begitu mendengar perintah singkat ini. Sebagian terlihat menaruh simpati atas apa yang terjadi di gudang berkat kepercayaan yang kuberikan pada wanita itu, sebagiannya lagi terlihat acuh dan tak terlalu peduli.Ketiga adminku yang terpaksa bekerja dua kali lebih keras dibanding sebelumnya memberi laporan semalam, jika sebagian permasalahan tidak menemukan titik terang, hingga harus melibatkan pihak penengah dari marketplace tempat kami mencari rupiah.Baiklah ... tidak masalah. Wajar dan sangat dapat dimaklumi jika para pembeli merasa kecewa dengan barang-barang yang mereka terima.“Lalu Bu, bagaimana dengan keluhan itu?” Bu Mala menyahuti. Wajahnya yang sama lelahnya denganku melongok di antara kerumunan para pek
Usai menerima Adinda bekerja di gudang, aku bersikap seperti biasa. Membiarkan semua hal berlalu tanpa memberi peduli meski hanya sedikit. Termasuk soal Gagah yang pada akhirnya tidak lagi berusaha menghubungiku. Dia berhenti bekerja sebagai agen dari distributor langganan gudang tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak.Dari karyawan yang menggantikan Gagah aku tahu satu hal, Gagah minta dipindahkan ke cabang yang berbeda karena alasan pribadi. Dan satu poin penting lain yang membuatku tercengang, menurut pria yang mengambil alih pekerjaan Gagah, pria itu sedang menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda yang dikenalkan ibunya. Mereka berniat menikah, dan Gagah mulai membangun karir di daerah tempat gadis itu tinggal.Aku terdiam saat mendengar kisah itu, tidak pernah mengira jika Gagah yang mendeklarasikan perasaannya padaku begitu dalam bisa berpaling dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini, membuatku bertanya-tanya, tentang kebenaran