Pagi ini sesuai dengan kesepakatanku bersama Anha semalam, begitu jam bertengger di angka setengah enam pagi, aku dan gadis itu bergerak dengan mobil jazzku menuju gudang lebih dulu. Niat hati dengan sengaja untuk menukar mobil mungil ini dengan Range Roverku yang gagah perkasa terlebih dulu.
Jarak rumah Anha tidak terlalu jauh, karena itulah kami tiba tidak lama kemudian dan mendapati dua pekerja lelaki yang tinggal di gudang baru selesai berolahraga. Keduanya menatap heran padaku dan Anha yang nongol di depan gerbang, padahal jam kerja masih sangat jauh untuk dimulai.
Salah satu dari keduanya segera membuka gerbang selebar mungkin, memberi jalan untukku membawa mobil mungil itu ke garasi gudang yang luasnya bisa diisi oleh tiga mobil berukuran besar. Baik aku dan Anha, turun setelah mesin mobil kumatikan, kami berdua tersenyum senang pagi ini karena membayangkan rencana yang berjalan dengan mulus nantinya.
“Bu?” Pria muda itu, lulusan salah satu ka
“Apa, Bu ... kenapa teriak pagi-pagi?”Aku mengintip dari balik jendela mobil, dua anak-beranak yang mungkin baru saja bangun pagi itu sudah keluar dari dalam rumah. Sama halnya dengan ibu mertua yang terperanjat terhadap si gagah, kedua mata Bang Teguh juga membulat saat melihat mobil yang serupa dengan impiannya itu berdiri megah di garasi.Aku segera beristigfar di dalam hati saat bongkahan kecil itu menaruh bahagia atas apa yang kulihat sekarang. Perilaku tidak pantas untuk pamer di depan keluarga Bang Teguh yang matre ini tidak seharusnya kulakukan, tapi entah kenapa aku malah menuruti bisik dari iblis dan akhirnya membawa si gagah ke rumah ini.“Enggak tahu, Bu ... mobil siapa ini masuk ke rumah kita? Mobil bagus ini, Bu ... mahal juga! Si Gina enggak akan sanggup beli,” sahut Bang Teguh yang ternyata membuat Anha terkikik.Aku segera keluar dari persembunyian karena tidak sanggup mendengar pria itu menjelekkanku, lalu menemu
Begitu kami tiba di gudang, kegiatan dan pekerjaan untuk hari ini sudah dimulai. Beberapa pekerja bahkan sudah dikelilingi gunungan paket-paket yang terbungkus rapi dan dipisahkan menurut marketplace.Melihat antusias para pekerja di gudang, Anha dan Nita tersenyum semringah. Mata mereka berbinar melihat seisi gudang yang berhamburan barang-barang.Tidak ada yang berbicara apapun, keduanya sibuk melirik kiri dan kanan meski aku terus berceloteh ria, mennjelaskan struktur bangunan dan bagaimana sistem kerja yang sudah berjalan selama ini.Aku berdehem, saat Anha dan Nita mengekoriku hingga ke bagian pengemasan. Bu Mala yang menjadi kepala tim di sini segera bangkit, meski tugasnya mengepak pengiriman masih sangat banyak yang harus dia lakukan.“Kenapa, Bu?” sambutnya meski Bu Mala jauh lebih tua dariku.“Ini, Bu ... aku bawa anggota baru ke sini. Anha dan Nita.” Bu Mala menolehkan wajah saat mendengarku menjelaskan alasan dar
“Aku Gagah, Gin!” ucapnya lagi.Aku masih mencoba mengenali paras pria ini, menemukan kemiripan dengan salah satu temanku saat masih SMP dulu. Tapi, bagaimana mungkin di usiaku yang sudah di angka tiga puluh dua ini, salah satu teman SMP yang tidak pernah kutemui lagi masih nyantol di kepala?Ah ... semakin rumit saja semuanya.“Aku Gagah, Gin! Kamu ingat enggak, anak kecil yang kencing di celana karena enggak bisa jawab soal matematik di depan kelas?” Pria yang mengaku bernama Gagah itu semakin bersemangat.Aku mencari-cari lagi keberadaan pria ini di setiap lapisan ingatan-ingatanku, sudah pasti nama Gagah di masa lalu tidak meninggalkan kesan apapun padaku hingga aku tidak mengingatnya meski sudah berusaha. “Gagah? Nama mobilku juga Gagah.” Aku berbasa-basi.“Kamu lupa, kan? Ah ... ngaku saja, Gina! Lagian, kamu sudah sukses begini, mana mungkin ingat sama bocah miskin kayak aku,” lanjutnya dengan
Aku meminta Nita untuk ikut bersamaku menuju kantor. Membicarakan sesuatu yang begitu sensitif begini hanya akan menjadikan kami bahan gunjingan di belakang. Bagaimanapun, para pekerja yang ada di bawah kekuasaanku juga manusia, mereka suka berbicara dan bergosip layaknya orang-orang pada umumnya. Kulirik Anha yang baru menyusul, sepertinya gadis itu sibuk mengganggu Gagah dan temannya bekerja hingga tidak langsung kembali. Aku memberikan isyarat pada Anha agar lekas mengikuti langkahku ke kantor dan memastikan membawa Nita bersamanya. Kami meniti anak tangga menuju lantai dua, melewati ruang admin yang begitu sibuk melayani keluhan, jumlah pesanan yang membludak dan mengeprint pesanan yang tidak berkesudahan. Aku bersyukur tanpa henti mampu menggaji tiga orang sekaligus untuk duduk terus-menerus di depan komputer, dan puluhan orang lainnya yang bekerja tak kalah giat di bawah sana. Pintu dari kantorku yang berseberangan dengan ruang admin kudorong pelan. Beg
Aku memandang Bang Teguh yang berlagak seperti pemilik sungguhan. Tangannya mengudara, memberi perintah untuk keluarganya mengutil setiap barang yang ada di gudang.Kulihat pekerja-pekerja yang merasa terganggu. Pesanan orang yang sudah mereka ambil di gudang belakang, kondisinya sudah dicek dengan baik dengan semudah itu diambil begitu saja.“Uwa juga mau, Guh! Ini loh, yang lagi viral itu,” ucap wanita yang mirip dengan ibu mertua. Sebagian rambutnya mulai memutih, tapi tidak sebanyak ibu mertua.“Ambil, Uwa. Ambil sebanyak yang Uwa mau. Kapan lagi Uwa datang ke sini, kan? Kapan lagi Teguh bisa bahagiain Uwa dengan semua yang Teguh punya. Lagian, ini enggak akan habis kalau Cuma diambil segitu.” Bang Teguh kian menjadi-jadi, dan lagaknya itu didukung penuh oleh ibu mertua yang sama tidak tahu malunya.Memang benar, keluarga Bang Teguh yang di tinggal di Bandung ini tidak tahu apapun soal aku yang memiliki gudang dan berprofesi se
“Coba diulang lagi, Bang?” Aku berpura-pura tuli, tidak bisa mendengar dengan jelas keinginan dari Bang Teguh saat ini.Dia minta range roverku? Si Gagahku? Eh, maksudnya Si Gagah yang di garasi, bukan yang tadi.“Kunci mobil, Gin! Mobil range rover yang putih, kemarikan kuncinya. Abang mau anterin Uwa Rabiah dan yang lain pulang. Di luar panas banget Gin!” rengeknya padaku lengkap dengan tangan yang mengipas.Sempat aku terkekeh, lalu kembali mengatur ekspresi, menutupi hati yang kian tersayat perih. Pria ini memasang wajah tak berdosanya padaku, meminta hartaku yang menawan seolah-olah itu miliknya sendiri.“Maaf, Bang ... Abang punya hape, kan? Dua lagi tuh. Punya aplikasi taksi online, kan? Atau perlu aku pesankan?” Sengaja aku melirik saku celananya yang menonjol.“Kenapa sih, mobil aja kamu pelit banget! Ini suamimu yang minta, Gin!” sahut ibu mertua lagi.“Maaf, Bu ... jangan lupa,
Pagi kedua setelah minggat dari rumah ibu mertua datang. Hari yang berat berlalu dengan cepat semalam. Dengkuran halus dari Anha, serta kelelahan yang terus menerpa dada membuat tidurku nyenyak seperti di awan.Wajahku kian bergairah pagi ini. Entah mengapa, aku pun tak mengerti alasannya. Usai salat subuh, aku dengan sengaja menggelitik tubuh Anha, menggoda gadis itu agar segera bangun dan menunaikan kewajiban. Memang Anha pernah lalai, kehidupan malam yang dijalaninya membuatnya jauh dari Sang Pencipta, dan inilah tugasku mengingatkan gadis baik itu.Setelah memastikan Anha bangun, aku gegas keluar dari rumah. Ingin sejenak berjalan-jalan di depan, menghirup udara segar Kota Bogor yang permai.Baru sedetik melangkah, aku mendengar gawaiku berbunyi. Benda pipih persegi yang kusimpan rapi di saku kulot itu terus merongrong minta diambil. Siapa yang memanggilku di pagi hari ini? Sejenak aku berpikir.Gawai itu kudekatkan ke te
“Apa maksudmu, Nak?” Ibu mencoba membaca ekspresiku.“Itu cuma bercandaannya Gina, Bu. Jangan diambil hati. Sekarang kita fokus sama kehamilan Gina, Bu. Sudah dua tahun lebih kita menanti,” bujuk Bang Teguh pada ibuku.Aku tahu alasan kenapa pria itu berusaha menjilat ibu, selain karena aku yang patuh pada ibu, Bang Teguh juga menyadari jika dirinya diperlakukan spesial oleh ibu. Selama ini, tidak ada anak perempuan ibu yang diizinkannya tinggal bersama mertua, hanya aku seorang demi menyenangkan hati Bang Teguh.“Bang, tahu darimana aku hamil, hah?” sergahku cepat. Pria ini sepertinya sudah kehilangan kewarasannya, jelas-jelas kami tidak pernah bersentuhan lagi, apalagi aku baru selesai datang bulan beberapa hari lalu.“Loh, kan memang ada tanda-tandanya, Gin!” sambung ibu mertua. “Anak itu butuh ayahnya, kamu jangan keras kepala terus, Gina.”“Ayah? Pr
Ting ... ting ... ting ....Suara adukan teh menjadi nada pengiring di antara aku dan ibu. Wanita yang berusaha menguatkan dirinya usai diterpa kenyataan itu terus memaksa untuk membuatkan minum.Deru napasnya terdengar lebih jelas dari pada biasanya sejak tadi. Aku sadar, umur ibu dan bapak kian bertambah setiap harinya. Resah yang dirasakan tidak lagi soal ikan yang terlalu mahal atau uang yang tak pernah cukup hingga hari esok, melainkan tentang anak-anaknya, terutama aku yang belum lama ini bercerai.“Ya-yakin mau jadi istrinya?” Ibu terbata-bata saat menanyaiku. Kalimat yang mungkin ingin ditanyainya sejak pertama kali melihat Mas Zildi.Wanita itu memutuskan untuk diam sesaat. Cangkir-cangkir di depannya dibiarkan kosong, padahal Mas Zildi sudah duduk di ruang tamu selama beberapa waktu.“Bu ... kemarin, Ibu keberatan karena Gagah tidak punya pekerjaan yan
Aku memastikan sekali lagi pintu rumah sudah terkunci rapat sebelum meninggalkan hunian. Sesuai dengan janji semalam, aku akan mengantar Adinda menuju kampung halamannya meski hati kecil ini dongkol luar biasa.Setelah subuh tadi, salah satu admin mengantarkan mobil Jazz merahku yang manis. Sebab, beberapa jam usai kami berangkat kemarin, Range Roverku dijemput oleh salah satu pekerja di bengkel Mas Zildi untuk dipoles kembali. Walau nantinya akan utuh seperti semula, nyatanya tetap tidak terasa sempurna.Terkadang, aku ingin meluapkan hal ini pada Adinda, yang sedang duduk diam di teras rumah seperti orang kehilangan jiwanya. Tetapi sekali lagi kutegaskan di dalam hati, jika Adinda juga korban dari kekejaman Bang Teguh dan ibunya. Dia tidak bersalah, hanya dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bayinya.“Berangkat sekarang, Din?” tawarku sebab Adinda masih diam di kursi. Dia memandang ke
Aku berseru, kemudian berjalan secepat mungkin menuju Adinda. Wanita yang masih menyusui bayinya itu terlihat tidak mengerti dengan teguranku barusan. Dia sibuk meninabobokan si kecil, sesekali menggodanya dengan botol susu meski sudah mendengar teriakanku sekalipun.Di depan netra ini, Adinda menyajikan pemandangan yang membuat jakun pria manapun akan bergetar. Adinda menyusui bayinya, membiarkan bagian dari tubuhnya yang berharga itu terlihat di depan siapapun. Tidak ada sehelai kain pun yang digunakannya untuk menutupi, setidaknya menghalangi, mengingat ada Mas Zildi di sini.Lekas aku berdiri di depan Adinda, menghindarkan Mas Zildi dari pemandangan yang mampu menodai matanya itu. Berulang kali aku menegur Adinda, geram sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia bersikap begitu sembrono di depan seorang pria walau sedang dalam keadaan sulit sekalipun?“Mau pamer kamu, Din? Hah?” sergah Anha tanpa mau menanti.Dia menyerang
Proses pemeriksaan berjalan dengan lancar, meski awalnya perilakuku yang terkesan kasar karena merusak pintu rumah Bang Teguh sempat disinggung oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengenai adegan pengrusakan pintu itu, namun semua detail yang kutahu dan Adinda ingat, kami jabarkan tanpa cela. Semuanya harus berakhir di sini, tidak boleh lagi ada korban berikutnya yang muncul akibat dendam yang bersarang di hati Bang Teguh.Setelah berjam-jam berlalu, kami keluar dari kantor kepolisian dengan perasaan lega. Tugasku hanyalah menyerahkan rekaman CCTV dan bukti mobil yang tergores ke pihak kepolisian. Begitu juga dengan Adinda, semua kesaksiannya akan memperkuat hukuman untuk Bang Teguh nantinya ... semoga.Pamit dari kantor kepolisian, aku membawa Adinda dan bayinya pulang dengan menumpang mobil Mas Zildi. Wajah Adinda kusam dan lelah, sedang bayinya sesekali merengek tak nyaman dalam tidur.Mas Zildi memberi kami tumpangan hingga berhenti di sebua
“Adinda!” Bang Teguh menjeritkan nama wanita yang telah memberinya bayi mungil itu.Kami yang sedari tadi menjadi saksi lekas menolehkan wajah. Berharap di dalam hati jika Adinda tidak akan lagi bisa digoyahkan oleh pria yang telah menghancurkan hidupnya, juga berdo’a agar Adinda tidak lagi dibohongi oleh Bang Teguh.Aku menanti harap-harap cemas, wanita yang terlihat begitu bimbang didekat istri Pak RW itu. Dia memeluk bayi mungilnya yang terus merengek lapar. Bahkan bibir bayi itu mengering, tubuhnya pun pucat dan kecil. Aku yakin benar, si mungil yang dilahirkan Adinda tidak mendapatkan gizi yang cukup. Parahnya lagi, saat Adinda melepas dekapan bayinya, kutemukan sesuatu yang mencengangkan. “Adinda!” seruku sebelum dia kembali tergugah dengan suaminya yang sedang menanti akhir kisah.Mas Zildi serta dua wanita dewasa lainnya pun menoleh. Mereka mengikuti arah gerakku yang mencoba membuka selimut lusuh bayi mala
Adinda, ibu mertua dan Bang Teguh, mereka ada di dalam sana. Aku buru-buru mendekat, mengintip dari jarak yang begitu tipis agar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras. Sesuatu terlihat melayang, piring keramik menyentuh dinding dan terbelah.“Abang?” Adinda kutemukan merintih di lantai.Dia bersimpuh di depan Bang Teguh dan ibu mertua. Bayi kecilnya ternyata dipeluk oleh wanita paruh baya gembrot yang sibuk tersenyum sinis pada Adinda.“Kamu itu bodoh, ya? Aku sudah bilang kan, setiap hari kamu harus kerja di sana. Hancurkan semua barang-barangnya Gina biar dia bangkrut!” balas ibu mertua yang ternyata disetujui Bang Teguh.“Bu ... kemarikan bayiku. Dia lapar, Bu ... hari ini belum nyusu sama sekali,” rintih Adinda dengan tangan terulur.“Enak saja, kamu itu enggak kerja hari ini. Artinya kamu itu lebih mendukung Gina d
“Aku akan mengecek CCTV!” seruku usai mengusaikan tangis.Kuredam semua kekagetan dan kegelisahan ini, lalu, berlari menuju ruang admin yang memiliki akses CCTV. Untungnya, aku sempat memasang benda mahal itu demi menghindari kejadian tak mengenakkan, walau belum mempekerjakan sekuriti di bagian depan.Begitu melangkah, kudapati Anha yang terkejut dengan sikapku. Dia mengikuti dari arah belakang bersama Mas Zildi dan si kecil Anggrek. Walau mereka tak saling kenal, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi keduanya seayun langkah saat mengejarku. “Buka rekaman CCTV di garasi!” Aku segera memerintah tiga pria yang duduk di kubikelnya.Mereka terlihat begitu bingung dengan seruan yang begitu tiba-tiba, namun salah satunya lekas berganti komputer. Kuikuti dia dengan perasaan berdebar, berharap jika CCTV merekam kehadiran dari orang yang telah melakukan hal buruk ini
“Kalau Adinda datang ke gudang, jangan izinkan dia masuk. Bawa ke kantor!” kataku pada para pekerja yang sudah berkumpul di gudang pagi ini.Mereka mengangguk setuju begitu mendengar perintah singkat ini. Sebagian terlihat menaruh simpati atas apa yang terjadi di gudang berkat kepercayaan yang kuberikan pada wanita itu, sebagiannya lagi terlihat acuh dan tak terlalu peduli.Ketiga adminku yang terpaksa bekerja dua kali lebih keras dibanding sebelumnya memberi laporan semalam, jika sebagian permasalahan tidak menemukan titik terang, hingga harus melibatkan pihak penengah dari marketplace tempat kami mencari rupiah.Baiklah ... tidak masalah. Wajar dan sangat dapat dimaklumi jika para pembeli merasa kecewa dengan barang-barang yang mereka terima.“Lalu Bu, bagaimana dengan keluhan itu?” Bu Mala menyahuti. Wajahnya yang sama lelahnya denganku melongok di antara kerumunan para pek
Usai menerima Adinda bekerja di gudang, aku bersikap seperti biasa. Membiarkan semua hal berlalu tanpa memberi peduli meski hanya sedikit. Termasuk soal Gagah yang pada akhirnya tidak lagi berusaha menghubungiku. Dia berhenti bekerja sebagai agen dari distributor langganan gudang tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak.Dari karyawan yang menggantikan Gagah aku tahu satu hal, Gagah minta dipindahkan ke cabang yang berbeda karena alasan pribadi. Dan satu poin penting lain yang membuatku tercengang, menurut pria yang mengambil alih pekerjaan Gagah, pria itu sedang menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda yang dikenalkan ibunya. Mereka berniat menikah, dan Gagah mulai membangun karir di daerah tempat gadis itu tinggal.Aku terdiam saat mendengar kisah itu, tidak pernah mengira jika Gagah yang mendeklarasikan perasaannya padaku begitu dalam bisa berpaling dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini, membuatku bertanya-tanya, tentang kebenaran