Hai kakak kakak readers. Maaf author baru update karena kesehatan yang belum sepenuhnya pulih. Semoga kalian juga diberi kesehatan selalu.
"Maaf, Bu. Silahkan tunggu di luar. Pasien memerlukan tindakan gawat darurat!"Itu suara suster yang ikut membantu Sasha saat persalinan. "Menantu saya kenapa, Sus?" "Maaf, Bu. Nanti bisa ditanyakan kembali."Tubuh Ibu Kian hampir luruh di lantai jika tidak segera berpegangan pada kursi panjang di sebelahnya usai pintu ditutup rapat. Membayangkan Sasha berurai darah akibat pendarahan selepas melahirkan, membuat mentalnya turun seketika."Baru aja kita senang karena bayimu lahir sehat dan selamat. Tapi kenapa kamu jadi pendarahan kayak gini, Sha?"Bayangan Sasha tidak bisa di tolong lagi, justru memperunyam jalan pikirannya. "Tante harus bilang apa sama kedua orang tuamu, Sha? Tante kayak orang tua yang nggak becus! Yang nggak bisa jagain kamu." Sebagai seorang ibu dan nenek, Ibu Kian merasa begitu terpukul melihat Sasha yang masih muda harus mengalami banyak kesedihan sejak berkenalan dengan Kian, putranya itu. Hamil lalu ditinggalkan, bahkan rencana pernikahannya dengan Affar pun
Siapa yang tidak bergetar hatinya ketika melihat bayi mungil yang baru saja lahir ke dunia tapi tidak didekap oleh ibunya?Bukan karena bayi itu sakit, tapi ibu si bayi yang tengah kritis. Berjuang bertahan diantara hidup dan mati.Sebenci apapun Sasha pada keluarga Kian, ia ingin pergi bersama anaknya tanpa permusuhan. Sekalipun cintanya pada Kian seluas samudra, ia ingin menjauh diam-diam tanpa harus ada drama yang membuatnya kembali luluh. "Cepat hubungi Masmu. Dia berhak tahu kondisi Sasha dan anaknya."Rado masih mematung menatap bayi imut yang menggemaskan itu. Memorinya berputar ke masa lalu saat ia dan ibunya kerap mengunjungi panti asuhan."Kenapa kamu diam aja, Do? Cepat hubungi Masmu."Rado tidak mendengarkan karena otaknya masih tertuju pada hal lain. Hingga dia menemukan satu benang merah yang baru disadari sekarang."Apa dulu Mama sengaja ngajak aku ke panti asuhan karena bayi ini?"Ibunya menoleh dengan menggendong bayi yang baru saja dilahirkan Sasha."Iya. Apa kamu ma
Rado tidak seberani itu untuk mengakui kesalahan apalagi mempertanggungjawabkannya. Terlebih dihadapan Kian. Lebih baik dia menyimpan rahasia itu sendiri atau menutupinya dengan mencari kambing hitam daripada Kian murka padanya. Rado sangat menyayangi kakaknya itu melebihi apapun. "Mbak Sasha kayak gini itu bukan salahku, Ma! Dia pergi dari rumah juga bukan salahku. Itu pilihan dia sendiri! Dan aku nggak mau Mama nyuruh aku hubungin Mas Kian lagi." "Mama cuma minta kamu hubungi Masmu aja. Nggak ada maksud lain. Kecuali ada sesuatu yang kamu sembunyiin kenapa Sasha sampai keluar dari rumah bawa tas dan baju ganti." "Mama pikir aku ngusir Mbak Sasha?" "Mama nggak mikir gitu. Kecuali kamu sendiri yang bersedia bilang jujur kenapa Sasha bisa pergi dari rumah." "Aku pulang." "Rado! Mama belum selesai bicara!" Tanpa menunggu persetujuan Ibunya, Rado bergegas keluar dari gedung rumah sakit. Ia tidak siap terus menerus berdebat karena itu semakin membuatnya terpojok. Baru saja sampai
POV PARALIODuniaku seakan runtuh ketika mendapat satu pesan singkat dari adikku, Rado. Pesan tentang kabar wanita yang sangat kucintai, yang beberapa minggu ini sengaja kutitipkan pada Mama di rumah. Sasha. Jika dulu aku hanya menjadikan dia sebagai gadis muda pelampiasan nafsuku, kini aku amat sangat menggilainya. Terlebih dia sedang mengandung anakku, yang lagi-lagi sempat tidak kuakui karena berpikir jika Sasha adalah perempuan gampangan.Saat aku sudah memantapkan hati dan mempersiapkan finansial yang bagus untuk Sasha dan kelahiran calon anakku, kabar yang mengatakan bahwa ia tengah kritis setelah melahirkan bagai petir menggelegar yang membelah kebahagiaanku.Tanganku bergetar, jantungku berdegub kencang, dan hatiku seperti ditusuk ribuan belati. Bagaimana bisa Sasha mendadak melahirkan lebih cepat dari perkiraan dokter? Dan bagaimana bisa ia kritis setelah melahirkan? Karena setahuku dia sehat-sehat saja ketika aku berpamitan kembali ke kota dua hari yang lalu. Bahkan aku m
POV PARALIO"Ini adalah hasil tes DNA anakmu dan Sasha." Aku menerima hasil tes itu dengan perasaan kacau balau. Menduga-duga untuk apakah tes DNA itu?"Apa maksudnya, Ma?" "Sasha yang minta sama suster jaga.""Aku masih nggak ngerti, Ma.""Sasha pengen buktiin ke kamu kalau bayi itu anakmu, darah dagingmu. Dia nggak mau dicap pembohong atau dituduh mainin perasaanmu, Kian."Dengan tangan bergetar, aku membuka hasil tes DNA itu. Sample darah Mama yang menjadi acuan lalu dicocokkan dengan darah bayiku. Ada kecocokan DNA yang menjelaskan bahwa bayi yang baru saja dilahirkan oleh Sasha dan berada di hadapanku ini adalah benar-benar darah dagingku. "Mama nggak nyangka, setelah dia minta tes DNA lalu melahirkan, sekarang dia malah di ICU."Air mata Mama tidak terbendung lagi. "Gimana nasib cucuku? Maafin Mama, Kian. Mama teledor jagain Sasha. Sampai dia keluar rumah dalam keadaan mau lahiran pun Mama nggak tahu.""Mama nggak tahu kenapa Sasha nekat pengen pergi. Andai bukan suster rumah
POV PARALIO"Kian, ngapain kita buru-buru pulang? Sasha nggak ada yang jagain di rumah sakit." Ucap Mama.Aku masih saja fokus mengendarai mobil, bahkan sedikit mengebut agar segera sampai di rumah. Aku begitu penasaran dengan satu hal yang Sasha tinggalkan untukku di rumah. "Kata Amelia tadi, Sasha ninggalin satu hal buat aku di rumah. Aku pengen tahu apa alasan dia pengen ninggalin aku, Ma.""Apa? Ninggalin apa maksudnya, Kian?" Tanya Mama terkejut."Aku juga nggak ngerti, Ma. Yang jelas, Sasha niat pergi ninggalin aku lalu bawa anakku juga. Sampai dia abai sama kehamilannya lalu jadwal melahirkannya maju. Dia sengaja pengen lahiran tanpa ada satu pun dari kita yang tahu!"Mama mengangguk pelan. "Mama udah tahu kalau itu. Tapi sama sesuatu yang ia tinggalin di rumah, Mama nggak ngerti."Beruntung jalanan tidak ramai sehingga aku lebih cepat sampai rumah. Begitu gerbang otomatis rumah Mama terbuka, aku segera memarkir mobil di halaman lalu berlari menuju kamar. Tidak ada bayangan te
POV PARALIO Aku mengeluarkan satu benda yang kusimpan baik-baik di satu bilik lemari panjang kamarku. Sebuah buku nikah yang sengaja telah kupersiapkan secara diam-diam dengan bantuan seseorang. Satu buku milikku dan satu lagi untuk Sasha. Kupikir Sasha menemukannya karena bersebelahan dengan bilik lemari yang dipakai Sasha menata semua bajunya. Ternyata dia tidak menemukan buku nikah ini. Karena keduanya masih berada di tempat yang sama tanpa berubah posisinya. Dihadapan Rado dan Mama, aku menunjukkan kedua buku itu dengan perasaan hancur. Terserah jika Rado tidak menyukai ideku ini. Karena aku jauh lebih tidak bisa hidup tanpa Sasha dari pada tanpa Rado. "Sasha itu tulang rusukku yang sebenarnya, Ma. Dia itu sebagian dari jiwaku. Tanpa dia, mungkin aku nggak akan nikah lagi." "Kian, Sasha pasti sehat lagi, nak." Mama berucap dengan lelehan air matanya. "Aku harap Sasha kembali sehat, Ma. Aku pengen berbagi senang dan susah sama dia. Aku pengen kami besarin anak-anak kami, Ma."
POV PARALIO "Saya ingin meminta ijin sama Ayah kandung Audrey untuk menikahinya, Om.""Iya, akan aku sampaikan sama Mamanya Audrey.""Tidak, Om. Maksudnya saya minta nomer beliau sekarang.""Lho, mau kamu telfon langsung?""Iya, Om.""Kok ndadak banget, Kian? Bukannya kalian nikahnya setelah Audrey lahiran?"Dengan hati yang masih remuk redam karena kembali teringat kondisi Sasha yang tidak baik-baik saja di rumah sakit pasca melahirkan, aku menguatkan hati untuk menjawab pertanyaan Ayah tiri Audrey."Audrey, sudah melahirkan, Om."Mama dan Ayah tirinya berhak sekali tahu kondisi Sasha karena mereka adalah orang tuanya, keluarganya. "Benarkah? Kok kamu nggak ngasih kabar sih, Kian?!" Tanyanya kesal."Maaf, Om. Tadi... masih repot. Karena Audrey jadwal lahirannya maju dua minggu.""Terus gimana kabarnya sekarang? Bayinya laki-laki apa perempuan?"Sejak awal USG, Sasha tidak pernah meminta dokter kandungan mengatakan jenis kelamin calon bayinya. Wajar jika kami semua tidak tahu pasti j
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi