Enjoy reading...
POV PARALIO "Saya ingin meminta ijin sama Ayah kandung Audrey untuk menikahinya, Om.""Iya, akan aku sampaikan sama Mamanya Audrey.""Tidak, Om. Maksudnya saya minta nomer beliau sekarang.""Lho, mau kamu telfon langsung?""Iya, Om.""Kok ndadak banget, Kian? Bukannya kalian nikahnya setelah Audrey lahiran?"Dengan hati yang masih remuk redam karena kembali teringat kondisi Sasha yang tidak baik-baik saja di rumah sakit pasca melahirkan, aku menguatkan hati untuk menjawab pertanyaan Ayah tiri Audrey."Audrey, sudah melahirkan, Om."Mama dan Ayah tirinya berhak sekali tahu kondisi Sasha karena mereka adalah orang tuanya, keluarganya. "Benarkah? Kok kamu nggak ngasih kabar sih, Kian?!" Tanyanya kesal."Maaf, Om. Tadi... masih repot. Karena Audrey jadwal lahirannya maju dua minggu.""Terus gimana kabarnya sekarang? Bayinya laki-laki apa perempuan?"Sejak awal USG, Sasha tidak pernah meminta dokter kandungan mengatakan jenis kelamin calon bayinya. Wajar jika kami semua tidak tahu pasti j
POV PARALIO Akad nikah sedang berlangsung. Tapi tanpa mempelai wanita yang biasanya akan duduk di samping calon imamnya. Tidak! Acara akad nikahku kali ini begitu unik dan mengharukan. Saat aku sudah bersiap dengan batik parang yang tersetrika rapi, berikut dengan mahar seperangkat alat ibadah dan perhiasan, juga saksi yang bukan berasal dari orang spesial karena mereka hanya petugas KUA. Tidak ada dekorasi yang indah sebagai perlambang kebahagiaan kami mengikat janji suci lalu bersama-sama mengarungi bahterah rumah tangga. Semuanya serba sederhana. Karena yang terpenting adalah kata 'sah' yang diucapkan para saksi atas akad nikah yang kulafalkan. Ada Mama, calon ibu dan ayah mertuaku, wali hakim yang akan menggantikan peran ayah kandung Sasha, dan adikku Rado. Kehadiran Rado di acara akad nikahku tanpa drama seperti biasanya. Mungkin ia tahu jika aku benar-benar terluka dan hancur karena keadaan Sasha yang masih kritis di ruang ICU. Ada raut ketakutan di wajahnya ketika tempo h
POV PARALIO Masa bodoh dengan panggilan dari Pak Affar. Dia tidak lebih penting dari istriku yang tengah berjuang di ruang ICU. Masih setia aku menemani Sasha disisinya hingga seorang perawat menyuruhku untuk keluar dari ruangan. Jam besuk untuk para pasien di ruang ICU hanya beberapa menit saja dan itu sangat berarti untukku. Baru keluar dari ruang ICU, dering ponselku kembali terdengar dan Pak Affar masih setia menghubungiku. Lalu jemariku menggeser tombol hijau dan mendekatkannya di telinga. "Selamat siang, Pak Lio." "Siang, Pak Affar." Jawabku sekenanya dengan nada tidak bersemangat. "Gimana keadaan Audrey sama bayinya?" Aku cemburu karena baru saja aku menikahi Sasha, sang pemuja rahasianya sudah mengkhawatirkan keadaannya. "Saya minta doanya saja." "Bayinya?" "Sehat." "Audrey? Apa saya bisa bicara sama dia? Kebetulan ponselnya nggak aktif." Suami mana yang tidak berang ketika istrinya dikhawatirkan lelaki lain? Dan aku rasa jika merasa cemburu adalah hal yang san
POV PARALIO "Jawab, Rado! Kamu kan yang bikin Sasha keluar dari rumah?" Aku setengah berteriak pada Rado. Satu hal yang selama ini hampir jarang kulakukan karena aku tidak mau membuat traumanya kembali, juga karena kasih sayangku untuknya yang teramat besar. Hingga aku sadar bahwa kemanjaan yang selama ini kuberikan padanya adalah bom waktu yang membuat Rado menjadi tidak mandiri dan berubah seenaknya. Dan kali ini Sasha dan anakku menjadi korbannya. Aku terlambat menyelamatkan mereka. Lebih tepatnya Sasha hampir terlepas dari genggamanku meski hidupnya masih bisa diselamatkan dengan bergantung pada alat-alat medis di ruang ICU. "Kalau kamu masih nggak mau ngaku, mending Mas nggak usah ketemu kamu selamanya! Sekalian kamu akan Mas kirim ke rumah konseling!" Ancamku tidak main-main. Wajahnya berubah pias lalu bergegas menggenggam tanganku. "Jangan, Mas! Jangan bawa aku ke rumah konseling." "Mas nggak punya cara lain, Do! Kamu berubah egois dan mulai nyakitin orang lain! Kalau
POV PARALIO Hari ini, dokter memberi kabar jika putriku sudah diperbolehkan pulang. Sudah tiga hari dua malam ia berada di ruang khusus bayi ditemani para suster dan aku hanya diperbolehkan menjenguk sesekali untuk melihat perkembangannya. "Kasihan cucuku, nggak bisa ketemu Audrey. Nggak dapat asi pertama, juga nggak dapat sentuhan Audrey." Itu suara ibu mertuaku. Air matanya berlinang kembali mengingat keadaan Sasha yang belum pulih. Dia masih senantiasa tidur begitu lelap sedang aku dan yang lain sudah sangat menanti ia pulih kembali. "Jangan sedih, Ma. Audrey pasti sembuh. Sekarang, kita pulang dulu ke rumah Mamanya Kian." Itu suara ayah tiri Sasha yang berusaha menenangkan istrinya. "Kian, kamu jaga di rumah sakit ya? Mama sama mertua dan anakmu balik dulu." Putriku sudah berada di dekapan ibu mertua. Bayi mungil cantik yang masih berusia tiga hari itu belum memiliki nama karena aku ingin Sasha sendiri yang memberinya nama. "Ya, Ma. Hati-hati." Kamar tamu telah disiap
POV PARALIO Suami mana yang bisa menerimakan istri yang baru saja dinikahi, dianggap seperti adik sendiri oleh mantan kekasih sekaligus mantan calon suaminya? Tidak ada yang bisa menerima hal itu kecuali suaminya tidak merasakan cinta sedikitpun untuk istrinya. Tapi aku berbeda. Aku suami yang mencintai istriku, Sasha. Aku bisa menerima segala masa lalunya tapi tidak dengan ucapan Pak Affar yang seolah-olah masih berharap bisa mengambil Sasha dariku. "Saya serius nganggep Audrey kayak adik saya sendiri. Pak Lio nggak perlu berpikir sejauh itu." "Untuk semua alasan anda, saya nggak ngijinin anda nganggep Audrey kayak adik sendiri. Dia punya saya yang bisa dia jadiin kakak, sahabat, sekaligus teman hidupnya sampai kapanpun." Pak Affar menghela nafas panjang sembari menyandarkan punggungnya di kursi panjang depan ICU."Sebenarnya ada kekecewaan dalam hati saya begitu tahu Pak Lio nggak bisa jaga Audrey dengan baik sampai dia kayak gini." Hatiku tercubit seketika, sedang Rado langsu
POV RADOSudah lima hari ini, tugasku tidak hanya belajar melulu. Ada satu tugas yang kini berubah menjadi satu kewajiban penuhku. Dan itu terjadi karena ulahku yang terlalu egois dan tidak mau tahu. Merawat bayi mungil nan ayu. Darah daging Mas Kian dan Mbak Sasha yang terlahir ke dunia tanpa belaian sang ibu. Sebagai permintaan maafku karena membuat ia kehilangan dekapan penuh kasih sayang Mbak Sasha, aku menganggapnya seperti putri pertamaku. "Eh, anak cantik lagi mandi ya?" Itu suara Mas Kian. Aku yang tengah belajar menaburkan bedak ke tubuh bayi mungilku bersama wanita paruh baya yang bertugas memandikan bayi baru lahir, tersenyum sembari mengangguk ke arah Mas Kian. "Mas, udah siap?" Tanyaku begitu melihat Mas Kian sudah rapi dengan kemejanya. "Udah. Tinggal nungguin anak cantik ini selesai mandi." Jemari Mas Kian terulur membelai lembut pipi putrinya yang putih seperti warna kulitnya. Mas Kian, kakak kandungku yang memiliki kadar ketampanan yang lebih dengan didukung ota
POV RADO "Rado! Kamu mau kemana? Bilang sama Mama!" Mama bertanya setengah berteriak karena aku tidak memperdulikan pertanyaannya. Aku justru berjalan cepat menuju garasi rumah lalu menaiki motor sport hitam milikku dengan begitu gagahnya. Ditambah helm full face yang kupakai makin menambah kadar ketampananku. "Rado! Kembali!" Aku tidak memperdulikan teriakan Mama dan tetap melajukan motor sportku menuju rumah sakit. Tujuan utamaku adalah menemui Mbak Sasha. Ya, perasaan penuh rasa bersalah ini makin kuat bersarang setelah menemukan buku diarynya yang tidak pernah menyinggung rasa tidak sukanya padaku. Padahal aku sangat melukai dirinya hingga sedalam ini bahkan aku telah membuatnya terpisah dari darah dagingnya yang jelas-jelas sangat membutuhkan dirinya di setiap detik hembusan nafasnya. Ingin rasanya aku kembali ke masa lalu kemudian memperbaiki sikap jahatku padanya. Membiarkan dia hidup bahagia menjadi bagian baru dari keluargaku. Setelah memarkir motor, aku berlari cepat m
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi