"Demi Tuhan, ayah akan cari Kian meski ke ujung dunia sekalipun! Dan jangan halangi ayah untuk membuatnya berhenti bernafas kalau perlu!" Desis ayah tajam. "Aarghh!!! Audrey kamu ini benar-benar bodoh!" Teriak mama. "Maaf maa. Maafin aku. Tapi mamanya Kian bilang beliau bakal tanggung jawab. Beliau bakal ngasih nafkah kami berdua. Kemarin beliau datang ke rumah sewaku yang baru ma." "Aku juga udah pindah tempat kerja maa. Aku benar-benar pengen membuka lembaran baru. Walau aku tahu ini sulit, tolong mama dan ayah tetap menerima dan maafin aku." Mohonku sambil bersimpuh di kaki mama. Mama membuang muka dengan wajah penuh derai air mata kekecewaan. Itu wajar dan aku pantas mendapatkannya. Sedang ayah kembali berkali-kali memainkan ponselnya, menghubungi nomer Kian hingga umpatan terdengar dari mulutnya karena Kian telah memblokir nomer ayah. Kemudian kami larut dalam pikiran masing-masing karena kabar yang kubawa cukup memukul hati kedua orang tuaku. Hingga kami tidak bisa berpikir
Hancur karena cinta itu menyesakkan. Falling out of love is hard. Jatuh karena pengkhianatan malah lebih menyakitkan. Falling for betrayal is worse. Kepercayaan yang telah hilang dan hati yang telah hancur. Broken trust and broken hearts. Aku tahu. Dan berfikir bahwa semua yang kubutuhkan ada disini. I know. And thinking all I need is here. Membangun keyakinan akan cinta dan kata-katanya. Building faith on love and words. Walau janji yang kosong akan selalu menghampiri. Empty promises will wear. "Udahan ngelamunnya?" Aku menoleh lalu tersenyum tipis. Alunan lagu yang kudengar sangat cocok dengan apa yang terjadi padaku saat ini. "Siapa yang ngelamun?" "Lo lah. Dari tadi bengong aja. Nih air mineral lo." Aku menerima botol itu dan meneguknya sebagian. Maklum, ibu hamil sangat mudah haus. "Thanks Mel." Aku meminum air itu bersamaan dengan pil multivitamin yang kudapat dari dokter kandungan tempo hari. "Dia sehat?" Amelia sedang bertandang ke kontrakan baruku. Aku sangat
"Dia ngerti lo hamil nggak?"Aku duduk di tangga depan pintu sambil menatap taman yang baru kami sulap. "Enggak. Gue nggak mau dia jauhin gue karena kebodohan ini. Gue nggak mau dia mikir gue cewek kotor.""Mending lo hamil anaknya Alfonso daripada anak duda sialan itu Drey!" Ucap Amelia kesal sambil ikut duduk di sebelahku.Aku menatapnya terkejut. "Lo sinting!""Ya emang. Gitu lebih baik. Habis itu lo bakal jadi calon putri mahkota. Hidup berasa di awan. Lo ngak bakal pusing mikirin duit atau besok makan apa. Anak lo bakal jadi calon penerus kerajaan bisnis keluarga Alfonso. Nah sama duda itu? Lo dapat apa? Sialnya doang?!"Aku terkekeh mendengar ocehannya yang terkesan masuk akal. "Lo kesel banget sih Mel? Lo PMS?!""Andai bajingan itu ada disini pengen gue ceburin ke septic tank tau nggak!""Udah ah ngayalnya, udah sore, buruan mandi lalu kita keluar cari makan." ***Aku mengikuti saran-saran yang dianjurkan bagi bumil karir sepertiku untuk memakai pakaian yang longgar saat berak
"P...pak RT? A...da yang bisa saya bantu pak?" "Maaf mbak, mau tanya. Apa di kantor mbak ada lowongan? Kebetulan anak saya sedang mencari pekerjaan." Aku bersyukur kedatangan Pak RT kemari hanya bertanya hal sepele seperti ini. Aku bisa menjawab apa jika beliau bertanya mengenai KK dan KTP baruku yang belum tahu kapan jadinya. Ayah belum memberi kabar hingga sekarang. Dan setelah memberi penjelasan masalah lowongan kerja di kantor, Pak RT kembali pulang dengan raut kecewa. Karena kantor tidak menerima lowongan kerja. Setelah kembali memoles wajah dengan make up tipis, aku beranjak memakan roti yang kutaburi meses sebagai sarapan pagi. Juga segelas susu ibu hamil rasa vanila pembelian tante saat berkunjung kemarin. Namun rasa mual kembali melanda dan aku tidak bisa menghabiskannya. "Dek, jangan bikin bunda mual dong." Lalu denting pesan dari tante menarik perhatianku. Aku ingin tahu apa isinya. [Sha, udah berangkat kerja? Hati-hati nak.] [Maaf Tante belum bisa njenguk kamu.
Kata siapa menjadi single parent itu mudah? Setelah Pak Teguh memarahiku karena insiden faktur-faktur yang basah akibat terkena bocoran air hujan, tubuhku bereaksi lebih. Karena malam harinya nafasku tersengal-sengal akibat kelelahan meminta kopiannya. Dari satu vendor ke vendor yang lain menggunakan motor yang jaraknya lumayan jauh. Tentu ini hal yang beresiko apa lagi usia kehamilanku masih empat bulan. Kondisi yang rentan terjadi keguguran. Beruntung, janinku tumbuh kuat. Tidak hanya itu, aku pernah mendapat kekerasan seksual karena ada dua lelaki hidung belang mencolek pantatku. Mereka suka menggoda ibu hamil yang notabene dianggap kaum lemah. Aku menangis semalam dilecehkan seperti itu, dan hanya pada Amelia dan Anjar aku berani menceritakan segalanya. Siang ini ada rapat untuk proyek baru. Seyum bahagia tercetak di wajah Mbak Susan dan rekan-rekan yang terlibat. Mereka pasti mendapat proyek bagus untuk promosi kenaikan jabatan. Jika mereka bisa menghandel proyek dengan suk
Affar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku hamil Far." Affar langsung melepas genggaman tangan dengan raut wajah terkejut. Mungkin ia berpikir bila aku ini wanita nakal dan tidak seharusnya didekati. Namun belum sempat aku memperhatikan baik-baik bagaimana keterkejutan di wajah Affar, tiba-tiba saja Devan membuat ulah dengan menaiki kursi. Aku khawatir dia terjatuh lalu segera berlari ke arahnya. "Awas Dev. Nanti jatuh sayang." Devan malah berontak dari peganganku dan tetap menaiki kursi. "Ma....ma....ma...." Ocehnya. Aku melengkungkan senyuman termanis untuknya. "Apa?" Aku melirik wajah Affar yang masih syok menatapku dan Devan bergantian. Pasti ia menyesal mengajari anaknya memanggilku dengan sebutan 'mama'. Jika ia mundur dengan kenyataan ini, maka itu lebih baik. Lagi pula aku tidak mungkin menerima tawaran menikah dengannya yang tidak seharusnya terkena aibku. Kecuali Affar setuju setelah mengetahui kehamilanku. Aku tetap menjaga Devan agar tetap aman disampingku. "Cari
"Maksudmu?" Tanyaku dengan raut ingin tahu. Bahkan kedua mataku menatapnya lekat yang kini tengah duduk disisiku. "Kalau Devan aja bisa ngerasain kasih sayangmu, lalu apa lagi yang bisa kulakukan selain belajar mencintaimu? Bukankah hati seorang anak itu sangat tulus dan putih?" Kali ini aku sangat terkejut dengan ungkapan hatinya yang terang-terangan. Berbeda saat kami terlibat dalam hubungan gelap, Affar menolak keras segala bentuk cinta yang muncul di hatiku. Alasannya dia tidak ingin aku terluka karena statusnya yang masih beristri. Kedua alisku berkerut dalam dengan garis muka yang begitu ingin tahu kelanjutan ungkapan hatinya yang selama ini tidak pernah kuketahui. Bahkan terkesan disembunyikan dan aku tidak diperkenankan tahu barang secuil pun. "Kalau Devan aja nyaman sama kamu, lalu apa lagi yang kucari? Terlepas dari masa lalumu, setiap orang pasti pernah salah Drey. Aku pun begitu." "Aku nggak ngerti Far." Aku berusaha membuatnya mengatakan semua isi hatinya tanpa ditut
Affar masih bersimpuh dibawahku dengan tatapan penuh permohonan. Mengabaikan gengsi dan harga dirinya yang selama ini dijunjung setinggi langit. "Aku nggak akan ninggalin kamu Drey. Nggak ada alasan aku ninggalin kamu kalau Devan udah milih kamu. Nyaman sama kamu. Maafin salahku Drey, aku mohon." Melihat permohonannya yang nampak jujur dan tulus, hatiku perlahan goyah. Lalu kuputus pandangan mata kami demi meyakinkan hatiku jika sekali buaya tetaplah buaya. Wajahnya yang menyiratkan kelelahan karena tidak berhasil merayuku tampak begitu memuaskan bagiku. Tubuhnya dibiarkan lunglai diatas kakinya yang tetap bersimpuh. Wajahnya disembunyikan dengan menunduk dalam. "Aku udah bilang, aku bakal belajar mencintai kamu. Membangun keluarga kecil kita." "Keluarga kecil katamu? Apa ini Affar yang kukenal?" Nada bertanyaku terdengar menyepelekan dirinya namun Affar tidak tersinggung. "Aku serius kalau kamu nggak percaya." "Tapi aku ragu, Far." Sejauh mana dia bersedia meyakinkanku yang
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi