-Yang menjadikan hubungan ini indah adalah caramu memahami keadaan hubungan kita.- Audrey Affar mengambil perhiasan kecil nan berkilau itu dari kotak beludru merah. Aku hanya memandangnya takjub dengan perasaan amat sangat berbungah. Siapa yang tidak bahagia dihadiahi perhiasan secantik ini oleh pasangan terkasih. Yang bisa kutebak hanyalah bahwa harga perhiasan ini amatlah tidak murah. "You like it?" Tanyanya setelah melingkarkan perhiasan mewah itu di leherku. Aku meraba kalung yang terbuat dari emas putih ini dengan gandul berupa huruf A yang dikelilingi permata kasar yang indah. Saking indahnya mungkin wanita lain akan merasa iri karena melihatnya. Sudah pernah kukatakan bukan, jika Affar adalah pria dewasa yang sangat hangat dan tidak kaku. Ia sangat mengerti bagaimana memperlakukan pasangan dengan baik dan sudah seharusnya aku bersyukur sedalam-dalamnya karena menjadi bagian penting dalam hidupnya. Walau hubungan kami seperti seorang raja dan calon selir barunya, siapa y
-Semua hanya tinggal menunggu waktu. Begitu juga dengan pembalasan yang seharusnya didapatkan.- Audrey "Halo selamat siang dengan Audrey bagian keuangan." "Ini gue Mas Tyo. Yuk ke aula. Kita prepare duluan." "Oke mas." Mas Tyo menghubungiku untuk melaporkan rincian keuangan mega proyek jalan tol selama dua bulan ini. Setelah mengambil semua dokumen keuangan penting mega proyek, aku bergegas menuju aula. Bila membahas proyek ini, itu artinya Affar juga berada disana untuk mengecek semua kendala selama tim bekerja dan hal baru apa saja yang perlu diperhatikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jalannya rapat nanti ketika mata kami bertemu. Ah... membayangkan senyum manisnya saja membuatku tidak fokus apa lagi menatap wibawa dan kebersahajaannya saat memimpin rapat. Affar sangat sempurna di mata gadis belia sepertiku. Sebenarnya laporan keuangan jalan tol ini dikerjakan olehku dan Nina, kami satu tim. Tapi karena satu hal, Nina tidak bisa hadir dan Mas Fajar yang menggantik
"Makan kamu aja boleh?" Siapa yang tidak mengerti arti lain dari bahasa itu. Sejak Affar melarangku untuk jatuh cinta lebih dulu selama kami menyelami pribadi masing-masing, ada semacam sekat dinding penghalang yang membuatku selalu berjarak dengannya. Berusaha merobohkannya sekuat tenaga namun tetao saja aku tidak merasa lepas saat bersamanya. Sebenarnya aku cukup khawatir jika sekat ini akan membuatku nampak tidak tulus mencintai Affar lalu ia pun ikut merasakannya lalu berimbas pada hubungan kami. Aku memukul pundak Affar karena masih sempat-sempatnya mengatakan hal intim di tengah lelah yang mendera tubuhnya. Mungkin memang begitulah gaya lepas Affar saat bersamaku. "Terserah kamu aja. Bilang sama Samsul biar dia nggak nyupir tanpa arah." Perintahnya lalu meletakkan kepalanya di pundakku. Aku memilih tempat makan yang pas untuk golongan manusia elit seperti Affar. Aku tidak mau dicap perempuan 'nggak modal' hanya karena tidak bisa membelikan Affar makan malam berkelas. "I
"Aku bayar dulu ya." Ujarku lalu berdiri setelah makan malam kami tandas. Affar menahan tanganku. "Nggak ada ceritanya aku dibayarin kamu baby. Aku laki-laki bertanggung jawab." Affar membuka dompet mahalnya yang menampilkan deretan kartu debit, kredit, dan kartu penting lainnya yang hanya membuat kaum sederhana sepertiku melongo. Dia berasal dari keluarga kaya berpendidikan yang menjunjung tinggi harga diri dan martabat. "Kan aku yang traktir Far. Nggak apa-apa lah. Kayak sama siapa aja." "Nggak ada. Nggak ada ceritanya aku dibayarin cewek." Affar menyerahkan kartu kredit gold-nya padaku. "Pin-nya tanggal lahir kamu." Imbuhnya. Aku tergelak memandangi kartu kuning mengkilap itu. Pasti isinya juga sangat menyilaukan mata, hati, dan telinga. Dan lebih romantisnya, Affar mengubah pin-nya sesuai tanggal lahirku adalah sebuah perubahan hubungan yang membuatku yakin jika suatu saat nanti Affar akan mencintaiku. Walau tempo hari ia sempat tidak mengijinkan aku mencintainya. "Far ak
Perbincangan bersama Amelia beberapa hari lalu hanya kuanggap sebagai kekhawatiran semu. Wajar dia bersikap demikian mengingat jam terbang berpacarannya yang lebih tinggi dariku dan kami telah bersahabat lama. Tidak ada istilah sahabat sejati menikung kecuali dia hanya berpura-pura baik lalu menusuk dari belakang. Sejauh ini Amelia tulus bersahabat denganku tanpa berusaha mengambil kekasihku. Penilaiannya tentang perilaku Affar bisa diterima oleh logika. Tapi selama beberapa hari aku mengamatinya, Affar tidak menunjukkan gelagat aneh yang seakan-akan ingin memanfaatkanku. Bahkan dia tetap hangat dan penuh kedewasaan setiap memperlakukanku. Selalu mengirim pesan sayang dan perhatian. Akhirnya keraguanku menguap digantikan dengan keyakinan bahwa hubungan kami pasti berakhir bahagia di pelaminan. Aaah... Membayangkannya saja membuatku terlena dan senyum-senyum sendiri. Ada satu hal yang kutekankan pada Affar setelah makan malam kemarin. Bahwa aku tidak mau memasuki mobilnya lagi
Aku termenung dengan beragam pertanyaan tentang suara perempuan yang sempat terdengar saat kami dalam sambungan telfon. Perempuan mana yang tidak panas hatinya mendengar kekasihnya bersama wanita lain? Hanya bisa menerka tanpa bisa memastikan siapa perempuan itu tadi. Mau bertanya pun pada siapa? Tidak ada orang dekat Affar yang kukenal. Bodoh, aku hanya tahu sisi Affar yang manja dan lepas saat bersamaku. Bukan siapa sosok Affar yang sesungguhnya. Intensitas pertemuan kami yang tidak terjalin setiap hari tidak serta merta membuatku mengenal Affar dan ia yang tidak mengijinkanku mengenal dirinya lebih jauh. Saat bertemu, kami hanya membahas hal-hal menyenangkan agar tercipta rasa nyaman dan bahagia seperti yang ia harapkan. Lalu bagaimana dengan perasaanku? It means I know him nothing. Aku tidak tahu dimana rumahnya. Siapa istrinya dan bagaimana wajahnya. Apa masalah utama yang melanda bahtera rumah tangga mereka. Hingga bagaimana sosok keluarga besar Affar. Aku beralih menat
Setelah membayar sate, aku bergegas kembali ke mobil. Namun alangkah terkejutnya ketika mendapati Affar seperti ingin muntah dengan raut menahan yang tidak seperti biasa. Memaksa Affar memakan sate kambing bukanlah hal tepat ketika sedang sakit. Mungkin lebih baik membelikannya obat. Beruntung ada toko peracangan di seberang mobil Affar. Lalu aku membeli permen dan minuman manis untuk meredakan mualnya. Yang membuatku simpatik adalah bagaimana bisa ia menjaga diri dengan baik jika siapapun yang tinggal bersamanya di rumah tidak ikut menjaganya. Ah ... aku lupa, jika wanita yang bersamanya di rumah ikut menjaga Affar bukankah itu berbahaya untuk posisiku? Bila ada yg lebih perhatian bukankah Affar akan lari ke arahnya lalu melupakan aku? Oh tidak, lebih baik begini saja. Biar aku yang selalu ada untuknya dari pada wanita manapun itu. Setelah lebih baik ia menyandarkan diri dengan melirikku lemas. Ia ingin protes tapi lebih sayang dengan tenaganya. "Permisi, Pak, tujuan kita se
Aku menguap lebar, merenggangkan otot-otot seraya melirik jam dinding hotel yang bertengger di angka 2 siang. Jarang sekali aku bisa tidur siang jika bukan akhir pekan seperti ini. Rasanya begitu menyegarkan fisik yang digempur pekerjaan selama 6 hari setiap minggunya. Tadi, sebelum beranjak tidur, ponsel Affar telah kukembalikan di tempat semula agar ia tidak curiga. Walau mencintainya, bisikan kuat batinku untuk mencari tahu tentang hal yang sudah lama merisaukan hatiku tidak bisa kuelakkan begitu ada kesempatan. Bukankah perselingkuhan terjadi karena ada kesempatan? Bukankah perselingkuhan terjadi karena terlalu percaya pada pasangan tanpa mau berpeasangka? Tidak! Aku tidak mau asal percaya dengan ucapan Affar yang masih mengganjal di dalam hatiku. Rasa segar yang mendera tubuhku membuatku bergumam sudah berapa lama aku tertidur? Lalu kesadaranku kembali memenuhi raga gara-gara mendengar suara auman singa. Singa? Bagaimana bisa ada singa di dalam hotel? 'Apa gue dibuang
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi