Setelah membayar sate, aku bergegas kembali ke mobil. Namun alangkah terkejutnya ketika mendapati Affar seperti ingin muntah dengan raut menahan yang tidak seperti biasa. Memaksa Affar memakan sate kambing bukanlah hal tepat ketika sedang sakit. Mungkin lebih baik membelikannya obat. Beruntung ada toko peracangan di seberang mobil Affar. Lalu aku membeli permen dan minuman manis untuk meredakan mualnya. Yang membuatku simpatik adalah bagaimana bisa ia menjaga diri dengan baik jika siapapun yang tinggal bersamanya di rumah tidak ikut menjaganya. Ah ... aku lupa, jika wanita yang bersamanya di rumah ikut menjaga Affar bukankah itu berbahaya untuk posisiku? Bila ada yg lebih perhatian bukankah Affar akan lari ke arahnya lalu melupakan aku? Oh tidak, lebih baik begini saja. Biar aku yang selalu ada untuknya dari pada wanita manapun itu. Setelah lebih baik ia menyandarkan diri dengan melirikku lemas. Ia ingin protes tapi lebih sayang dengan tenaganya. "Permisi, Pak, tujuan kita se
Aku menguap lebar, merenggangkan otot-otot seraya melirik jam dinding hotel yang bertengger di angka 2 siang. Jarang sekali aku bisa tidur siang jika bukan akhir pekan seperti ini. Rasanya begitu menyegarkan fisik yang digempur pekerjaan selama 6 hari setiap minggunya. Tadi, sebelum beranjak tidur, ponsel Affar telah kukembalikan di tempat semula agar ia tidak curiga. Walau mencintainya, bisikan kuat batinku untuk mencari tahu tentang hal yang sudah lama merisaukan hatiku tidak bisa kuelakkan begitu ada kesempatan. Bukankah perselingkuhan terjadi karena ada kesempatan? Bukankah perselingkuhan terjadi karena terlalu percaya pada pasangan tanpa mau berpeasangka? Tidak! Aku tidak mau asal percaya dengan ucapan Affar yang masih mengganjal di dalam hatiku. Rasa segar yang mendera tubuhku membuatku bergumam sudah berapa lama aku tertidur? Lalu kesadaranku kembali memenuhi raga gara-gara mendengar suara auman singa. Singa? Bagaimana bisa ada singa di dalam hotel? 'Apa gue dibuang
"Affar! Aku ini perempuan. Kamu ngasih aku perhatian lebih. Lalu apa salah jika perasaanku berubah jadi cinta?" "Salah!!" Sentaknya tak kalah keras hingga hatiku bergetar. Belum lagi ekspresi marahnya yang baru kali ini terlihat jelas di wajahnya yang biasa terlihat bijaksana dan dewasa. Aku tidak menduga jika kelinci yang terlihat lucu juga bisa berubah menjadi monster menakutkan. "Kalau kamu pakai perasaan, kamu harus siap-siap terluka. Tentang perempuan tadi, itu urusan pribadiku dan kamu nggak berhak ikut campur!!" Dia menunjuk wajahku dengan raut marah yang teramat. Aku mengusap air mata sambil menunduk. Menguatkan hati yang mulai patah karena hubungan yang kugadang akan indah ternyata hanya memberi luka. Affar bisa begitu emosional dan membara karena aku menyinggung perempuan yang tadi bersamanya. Seolah-olah ia jauh lebih spesial dariku yang selalu ada untuknya. Lalu, siapa aku ini dalam hidupnya? Pajangan? Hiasan? Mainan? Atau selingkuhan? "Mana bisa Affar. Your
Tangisku belum mereda setelah pertengkaran kami. Perasaanku yang tak bisa dibendung karena kerap mendapat perhatiannya telah berubah menjadi cinta sepenuhnya. Namun Affar melarangku mencintainya dengan alasan ia masih menjadi suami wanita lain dan agar aku tidak terluka lebih dalam. Hubungan gelap itu sekali dijalani tidak akan memunculkan ketenangan di dalam hati. Tapi bodohnya aku masih tetap saja mengejarnya. "Kamu kesayanganku. Sabar dulu, oke?" Aku mengangguk lemah dengan hati tidak lega sama sekali. Perempuan mana yang sudi menempati posisi tidak jelas sepertiku bila bukan karena Affar yang bersikeras demikian. Mau bagaimana lagi, untuk saat ini aku hanya bisa menginginkan Affar sepenuhnya tapi ia tidak bisa memenuhinya. Pun aku harus menahan perasaan ini demi kebahagiaan kami, demi hubungan ini tetap langgeng tanpa prahara yang bisa membuatnya retak dan hancur. "Aku tahu kamu sangat mencintaiku, tapi tahan dulu. Aku juga nahan semua perasaan ini buat kamu. Jadi kita cum
"Selamat siang, Nyonya Affar." Seorang pelayan hotel datang membawa makan siang untuk kami. Aku berdiri mematung di depan pintu karena sapaannya yang mencengangkan otakku. "Boleh saya masuk, Nyonya?" Aku menaikkan kedua alis lalu memberi ruang bagi pelayan mendorong troli kecil berisi menu makan siang. Setelah meletakkannya dengan baik, ia berlalu pergi. Namun tidak mengurangi kecanggunganku sehabis dipanggil 'Nyonya Affar'. "Ngapain sih pelayan hotelnya?! Ganggu aja!" Affar berubah sewot lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Aku tahu dia sedang kesal karena acara kami terganggu. Tapi aku justru senang karena dengan begitu ia akhirnya selesai. "Bawa makan siang, Far. Aku laper banget." Aku duduk di sofa dengan menaruh nampan besar berisi dua piring makanan lezat lengkap dengan minuman segarnya. "Mau?" Tawarku. Affar melihat sekilas menunya. "Nggak tertarik." "Enak loh." Sepiring cap cay lengkap dengan udang goreng besar yang menggiurkan. Tapi Affar lebih senan
"Apa kabar kalian?" Tanya Amelia sambil menyemprotkan parfum itu ke baby dollnya. Aku beralih duduk dekat Amelia dengan menunduk. "Kemarin dia hampir ... memperkosa gue." Pandanganku menerawang mengingat kejadian kemarin, saat Affar hampir dengan beringasnya menjamah tubuhku. Dia berdalih mengajakku ke hotel untuk merawatnya yang tengah sakit. Tapi tidak berjalan sesuai rencana karena keadaan yang cukup mendukung. Amelia hampir menjatuhkan parfumku. "Serius lo?!!!" Aku mengangguk. "Dia bawa gue ke hotel bilangnya biar gue bisa rawat dia soalnya lagi sakit. Ujung-ujungnya dia kayak kesetanan. Habis itu dia bilang maaf dan nyesel." "Dengerin gue ya, Drey. Laki-laki kalau udah begitu, lo harus punya sikap." "Tapi gue cinta," ucapku lirih. "Makan tuh cinta! Nggak ada cinta yang lebih indah selain cinta suami! Kalau cinta pacar mah apaan? Paling cuma diambil saripatinya doang lali ditinggalin." Ucapan Amelia tidak salah namun hati yang sudah terlanjur dibawa terbang, sulit untuk d
-Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki dirinya selamanya.- Audrey "Kerja ya Drey?" Aku mendongak menatap sumber suara setelah memakai sepatu kerja. Tanpa berniat menjawab sapaannya. "Budeg." Aku mendengar umpatannya meski tidak teralu keras. Hanya saja aku tidak mau hari yang masih pagi sudah dihiasi dengan pelangi kelam. Ocehan tidak bermutu dari teman-teman kos karena tidak bisa memiliki kekasih setajir dan semapan Affar. Izinkan aku tertawa di atas kesombonganku yang tidak bisa mereka gapai dengan seketip mata. Mimpi saja kalian!! "Gue nggak budeg, gue cuma lagi males bicara sama lo." Aku beralih mengunci pintu kamar lalu memasukkannya ke dalam ransel dengan gaya elegan dan dagu terangkat. "Dasar cewek murahan." Aku memandangnya garang. "Kalau gue mau, gue bisa aduin umpatan lo ke cowok gue. Lo tau kan dia tajir, bisa nyewa preman mana aja buat habisin lo karena udah berani ganggu hidup gue." Wajah Tari mendadak pias. Dia ketakutan dengan ancamanku.
-Untuk saat ini kubiarkan masa lalumu tenggelam beserta seluruh kisahnya. Aku tidak peduli jadi apa dan bagaimana dulu kamu disana.- Audrey "Saya janji ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua." Pak Kusno menatapku ragu. Aku yakin Pak Kusno tahu banyak tentang siapa dan masalah rumah tangga Affar. Mengingat mereka sering bekerja sama. Ekspresi wajahnya terlihat berbeda ketika aku menyinggung proses perceraian Affar. Apa mungkin Pak Kusno pula yang mengurus proses perceraian mereka? Aku ingin tahu apa yang Affar sembunyikan dariku hingga ia tidak pernah sekalipun memberiku ijin untuk bisa mengenal dirinya lebih dalam. Dan melalui Pak Kusno lah aku menggantungkan keberuntunganku untuk bisa mengenal siapa dirinya. Karena sudah sepantasnya dalam menjalani hubungan dibutuhkan keterbukaan dan kepercayaan dari masing-masing pasangan agar hubungan berjalan harmonis dan langgeng. Saat bersamanya, aku bisa bersikap biasa dengan menutupi kerisauan hati ini. Menahan mulut untuk tidak b
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi