Aku masih tertawa sambil melihat Kian yang berekspresi kesal. Bukannya mengangkat panggilan itu, Kian malah melempar ponselnya ke meja hingga terdengar suara benturan meja kaca dengan ponsel mahalnya. "Eh sayang ponselnya kan Kian." Aku meraih ponsel itu lalu mengusapnya. "Gue nggak habis pikir kenapa Pak Affar mesti ganggu acara kita saat lagi panas-panasnya." Geramnya sambil berkacak pinggang. Yeah, Affar lah pelakunya. Bila tadi pagi dia menelfon kami saat Kian sedang mencumbuku, kini dia menelfon Kian kembali saat tangan nakalnya hendak menelusup dibalik rokku. Well. Dudaku ini sangat nakal namun aku juga bangga karena akhirnya dia bisa melupakan mantan istrinya. Walau harga diriku sebagai taruhannya "Temuin lah Kian. Ntar Affar mayah-mayah. Ini kan masalah kerjaan." Ucapku sambil memainkan kerah bajunya. Kian menatapku tajam sambil memegang kedua tanganku. "Lo jangan nakal Sha. Atau gue habisin lo disini." Aku segera menjauh sebelum Kian merealisasikan ucapannya. Dia t
Jangankan bilang maaf karena telah menelantarkanku di tempat makan, Kian juga tidak memberi kabar apakah sudah sampai rumah mamanya atau belum. "Terakhir dilihat aja tiga jam yang lalu." Aku merebahkan kasar tubuhku ke ranjang lalu membayangkan Kian kembali. Baru saja aku sampai kos setelah memesan taksi online sendiri. Luar biasa bukan kekasih duda sialanku itu?! "Serumit apa sih sampai dia menomorduakan gue? Emang, ada apa sebenarnya?" Aku beralih memeluk guling demi meredakan keingintahuanku. Namun sia-sia saja. "Gimana caranya gue bikin Kian mau ngomongin rahasianya ya? Gue kepo tapi nggak mungkin maksa Kian jujur kan?" Aku mancal-mancal di atas ranjang karena kesal tidak bisa memaksa Kian menceritakan rahasianya padahal aku ini kekasihnya. Kekasih rasa istri karena sudah berkali-kali ditiduri. "Kalau aja nggak inget hubungan kami, udah gue paksa dia ngomong ada apa." *** Pagi yang cerah ini, aku sudah siap untuk berangkat bekerja memakai setelan pakaian kerja yang b
Aku berurai air mata saat di toilet karena Kian mengatakan satu hal yang tidak sepantasnya seorang kekasih ucapkan. Sekalipun kami sedang berada di jam kerja. Mau bagaimana lagi, Kian tidak akan menjawab pesanku dengan cepat jika aku tidak menemuinya di ruangan secara mendadak. Kedatanganku adalah kejutan untuknya dan jawabannya mengejutkan perasaanku. "Silahkan keluar kalau lo cuma mau bahas masalah kenapa gue nggak kirim pesan ke lo." Aku tergelak dengan hati tertusuk karena Kian mengusirku dari ruangannya. Padahal solusi atas masalah kami belum ditemukan."Gue sibuk dan banyak pikiran. Kalau lo cuma datang buat nuntut jawaban romantis dari gue, maka jawabannya gue nggak bisa. Gue nggak ada waktu mikirin lo saat ini Sha."Aku berlalu pergi dengan hati tertusuk perih sedang Kian tidak menghalangi kepergianku sama sekali. Dramatis. "Perlu tisyu?" Anjar mengangsurkan kotak tisyunya padaku. "Thanks." Aku kembali ke kubikel dengan mata sedikit berair. "Lo mendadak sedih kenapa? Ad
"Drey?" "Apa?" "Jadi gimana? Mau gue bantu mata-matain nggak?" Aku menimbang sesaat tawaran Amelia yang menurutku tidak ada salahnya. "Oke gue setuju tapi aman kan?" "Aman selama lo nggak keceplosan. Satu lagi, gue pernah bilang kan duda cerai tuh sedikit kompleks urusannya?" Aku mendengarkan dengan seksama ucapan Amelia di sambungan telfon. "Iya. Gue inget." "Gue nggak kenal baik siapa itu Kian. But, gue sebagai teman cuma bisa kasih lo saran. Pertama, usia Kian lebih tua sebelas tahun dari lo. Artinya dia lebih pengalaman soal perjalanan hidup." Aku mengangguk paham. "Kedua, dia pernah ngerasa enaknya bobok bareng mantan istri." "Ucapan lo nggak banget deh Mel." "Diem dulu. Dengerin gue. Dan ketiga, gue jamin dia jarang cerita soal susahnya dia dulu kayak apa." Kali ini aku mengangguk yakin. "Lalu?" "Lo harus jaga diri baik-baik lah. Jangan sampai kayak gue yang udah free sampai nggak tahu aturan. Kian, dia bisa aja bolak-balik perasaan cewek muda kayak lo." Aku menela
"Lo salah paham Sha. Dia cuma pengen minta foto sama gue doang."Akhirnya terjawab sudah mengapa ada foto Kian bersama perempuan lain di NTB. Hatiku yang awalnya meradang pun akhirnya melembut."Ya udah gue mau check in di bandara dulu."***Malam harinya Kian menghubungiku setelah kuliah ekstensinya usai. Aku sudah sangat merindukan kekasihku ini setelah empat hari berpisah, setidaknya mendengar suaranya cukup menentramkan hati."Sha gue mampir nasi Padang. Lo mau?"Senangnya karena Kian Masih ingat makanan kesukaanku."Boleh.""Mau makan bareng gue di rumah?"Aku mengangguk cepat. "Nanti kalau udah sampai rumah kamu chat aku ya?""Iya. Nggak sekalian ngajak Prita?""Ngapain?" Tawaku sewot."Kali aja dia pengen kenalan sama gue.""Nggak boleh!"Kian terkekeh. "Oke fix gue tahu. Lo kangen gue hari ini."Aku malu mendengar godaan Kian karena dia tahu aku merindukannya.Setelah sambungan telfon terputus, aku menonyor kepalaku sendiri dan tertawa."Edan gue. Kepergok kangen malah hepi."
"I miss you too." Ucapku dengan suara sama lirihnya dengan tatapan yang tak lepas dari wajah tampan Kian. Yeah, sudah berpuluh-puluh kali kukatakan jika Kian adalah duda tampan berwajah serius namun memiliki jiwa membara yang nakal dan panas. Jempol Kian mengusap sudut bibirku sensual sambil mendekatkan wajahnya. Bagai terhipnotis, bukannya aku turun dari pangkuan Kian malah aku menunggu kapan dia akan menjamahku kembali. "Gue pengen cium lo. Boleh?" Tatapan Kian jatuh ke arah bibirku. Bukankah dia pria yang manis? Selalu bertanya pada pasangannya sebelum melampiaskan kerinduan? Seakan mengkode dengan tatapan yang dalam, aku tahu Kian berharap agar aku tidak menolaknya. Lalu kulingkarkan kedua tanganku di lehernya dan mendekatkan wajahku ke arahnya. Kian langsung melumat basah bibirku dengan posisi aku masih di atas pangkuannya. Kami saling membalas ciuman hingga sama-sama bergairah. Tanganku mulai bergerak nakal dengan mengusap-usap rambut Kian yang masih sesikit basah. Aroma
"Aiiissh.... Perih. Brutal banget mainnya. Sampe lecet gini. Makasih aja enggak." "Duda sialan. Mentang-mentang puasa batinnya tahunan, pelampiasannya ke gue nggak tanggung-tanggung." Aku mengomel sembari membersihkan tubuh dari lendir-lendir percintaan kami. Setelah mandi, Prita memandangku aneh. "Lo habis mandi selarut ini?" "Gue...gue belom mandi sepulang kerja." Cengirku. "Astaga! Lo nggak takut rematik usia muda?" "G...gue belom sempat mandi." Bohongku dengan jantung bertalu. "Eh...Drey, kok lo kemarin bisa barengan mas cogan rumah sebelah sih?" Mati lah aku!! "Ngaku deh!" Tanyanya tajam. Aku menepuk jidat. "Dia bos gue. Kemarin gue nebeng karena kita mau ke lapangan bareng." "Baik bener ama lo? Trus kenapa bisa deketan gini tempat tinggalnya?" Tanyanya menelisik. Kampret! Kenapa Prita memiliki jiwa kepo yang luar biasa. "Ta, intinya dia atasan gue. Soal kita bisa tinggal deketan ya mana gue ngerti. Kalau lo mau tanya-tanya privasi dia, mending lo maju sendiri." Prit
"Sha, look at me. Do you miss me?" Kian menyentuh pipi kiriku lalu mengarahkan ke hadapannya. Dia bisa melihat jelas bagaimana ekspresi wajahku sekarang. Aku yang terluka sekaligus merindukannya. Bodohnya aku masih mengharapkan cintanya meski hati sesakit ini. Tapi bagaimana lagi, cinta ini membutakan mata hatiku. "Aku nggak ngerti Kian." Aku memotong tatapan kami lalu menunduk. Sekaligus melepas tangannya yang bertengger di pipiku. Ada rasa menyesal ketika aku menghempaskan rayuannya. "Lo marah. Sure?" "Kalau kamu peka kamu pasti ngerti gimana perasaanku sekarang. Kamu ngilang nggak ada kabar dan ---" Aku tidak melanjutkan ucapan lalu memilih menghela nafas. Sudah pasti Kian tahu apa arti ekspresi wajahku. Aku yakin dia tidak bego-bego amat soal beginian meski masa pacaran ketika masih muda telah lama berlalu. "Gue punya hadiah buat lo. Mau?" Aku bertanya melalui lirikan mata. "Tutup mata lo." Aku menuruti perintahnya. Tiba-tiba tengkukku dipegang Kian, sontak aku me