Aku berurai air mata saat di toilet karena Kian mengatakan satu hal yang tidak sepantasnya seorang kekasih ucapkan. Sekalipun kami sedang berada di jam kerja. Mau bagaimana lagi, Kian tidak akan menjawab pesanku dengan cepat jika aku tidak menemuinya di ruangan secara mendadak. Kedatanganku adalah kejutan untuknya dan jawabannya mengejutkan perasaanku. "Silahkan keluar kalau lo cuma mau bahas masalah kenapa gue nggak kirim pesan ke lo." Aku tergelak dengan hati tertusuk karena Kian mengusirku dari ruangannya. Padahal solusi atas masalah kami belum ditemukan."Gue sibuk dan banyak pikiran. Kalau lo cuma datang buat nuntut jawaban romantis dari gue, maka jawabannya gue nggak bisa. Gue nggak ada waktu mikirin lo saat ini Sha."Aku berlalu pergi dengan hati tertusuk perih sedang Kian tidak menghalangi kepergianku sama sekali. Dramatis. "Perlu tisyu?" Anjar mengangsurkan kotak tisyunya padaku. "Thanks." Aku kembali ke kubikel dengan mata sedikit berair. "Lo mendadak sedih kenapa? Ad
"Drey?" "Apa?" "Jadi gimana? Mau gue bantu mata-matain nggak?" Aku menimbang sesaat tawaran Amelia yang menurutku tidak ada salahnya. "Oke gue setuju tapi aman kan?" "Aman selama lo nggak keceplosan. Satu lagi, gue pernah bilang kan duda cerai tuh sedikit kompleks urusannya?" Aku mendengarkan dengan seksama ucapan Amelia di sambungan telfon. "Iya. Gue inget." "Gue nggak kenal baik siapa itu Kian. But, gue sebagai teman cuma bisa kasih lo saran. Pertama, usia Kian lebih tua sebelas tahun dari lo. Artinya dia lebih pengalaman soal perjalanan hidup." Aku mengangguk paham. "Kedua, dia pernah ngerasa enaknya bobok bareng mantan istri." "Ucapan lo nggak banget deh Mel." "Diem dulu. Dengerin gue. Dan ketiga, gue jamin dia jarang cerita soal susahnya dia dulu kayak apa." Kali ini aku mengangguk yakin. "Lalu?" "Lo harus jaga diri baik-baik lah. Jangan sampai kayak gue yang udah free sampai nggak tahu aturan. Kian, dia bisa aja bolak-balik perasaan cewek muda kayak lo." Aku menela
"Lo salah paham Sha. Dia cuma pengen minta foto sama gue doang."Akhirnya terjawab sudah mengapa ada foto Kian bersama perempuan lain di NTB. Hatiku yang awalnya meradang pun akhirnya melembut."Ya udah gue mau check in di bandara dulu."***Malam harinya Kian menghubungiku setelah kuliah ekstensinya usai. Aku sudah sangat merindukan kekasihku ini setelah empat hari berpisah, setidaknya mendengar suaranya cukup menentramkan hati."Sha gue mampir nasi Padang. Lo mau?"Senangnya karena Kian Masih ingat makanan kesukaanku."Boleh.""Mau makan bareng gue di rumah?"Aku mengangguk cepat. "Nanti kalau udah sampai rumah kamu chat aku ya?""Iya. Nggak sekalian ngajak Prita?""Ngapain?" Tawaku sewot."Kali aja dia pengen kenalan sama gue.""Nggak boleh!"Kian terkekeh. "Oke fix gue tahu. Lo kangen gue hari ini."Aku malu mendengar godaan Kian karena dia tahu aku merindukannya.Setelah sambungan telfon terputus, aku menonyor kepalaku sendiri dan tertawa."Edan gue. Kepergok kangen malah hepi."
"I miss you too." Ucapku dengan suara sama lirihnya dengan tatapan yang tak lepas dari wajah tampan Kian. Yeah, sudah berpuluh-puluh kali kukatakan jika Kian adalah duda tampan berwajah serius namun memiliki jiwa membara yang nakal dan panas. Jempol Kian mengusap sudut bibirku sensual sambil mendekatkan wajahnya. Bagai terhipnotis, bukannya aku turun dari pangkuan Kian malah aku menunggu kapan dia akan menjamahku kembali. "Gue pengen cium lo. Boleh?" Tatapan Kian jatuh ke arah bibirku. Bukankah dia pria yang manis? Selalu bertanya pada pasangannya sebelum melampiaskan kerinduan? Seakan mengkode dengan tatapan yang dalam, aku tahu Kian berharap agar aku tidak menolaknya. Lalu kulingkarkan kedua tanganku di lehernya dan mendekatkan wajahku ke arahnya. Kian langsung melumat basah bibirku dengan posisi aku masih di atas pangkuannya. Kami saling membalas ciuman hingga sama-sama bergairah. Tanganku mulai bergerak nakal dengan mengusap-usap rambut Kian yang masih sesikit basah. Aroma
"Aiiissh.... Perih. Brutal banget mainnya. Sampe lecet gini. Makasih aja enggak." "Duda sialan. Mentang-mentang puasa batinnya tahunan, pelampiasannya ke gue nggak tanggung-tanggung." Aku mengomel sembari membersihkan tubuh dari lendir-lendir percintaan kami. Setelah mandi, Prita memandangku aneh. "Lo habis mandi selarut ini?" "Gue...gue belom mandi sepulang kerja." Cengirku. "Astaga! Lo nggak takut rematik usia muda?" "G...gue belom sempat mandi." Bohongku dengan jantung bertalu. "Eh...Drey, kok lo kemarin bisa barengan mas cogan rumah sebelah sih?" Mati lah aku!! "Ngaku deh!" Tanyanya tajam. Aku menepuk jidat. "Dia bos gue. Kemarin gue nebeng karena kita mau ke lapangan bareng." "Baik bener ama lo? Trus kenapa bisa deketan gini tempat tinggalnya?" Tanyanya menelisik. Kampret! Kenapa Prita memiliki jiwa kepo yang luar biasa. "Ta, intinya dia atasan gue. Soal kita bisa tinggal deketan ya mana gue ngerti. Kalau lo mau tanya-tanya privasi dia, mending lo maju sendiri." Prit
"Sha, look at me. Do you miss me?" Kian menyentuh pipi kiriku lalu mengarahkan ke hadapannya. Dia bisa melihat jelas bagaimana ekspresi wajahku sekarang. Aku yang terluka sekaligus merindukannya. Bodohnya aku masih mengharapkan cintanya meski hati sesakit ini. Tapi bagaimana lagi, cinta ini membutakan mata hatiku. "Aku nggak ngerti Kian." Aku memotong tatapan kami lalu menunduk. Sekaligus melepas tangannya yang bertengger di pipiku. Ada rasa menyesal ketika aku menghempaskan rayuannya. "Lo marah. Sure?" "Kalau kamu peka kamu pasti ngerti gimana perasaanku sekarang. Kamu ngilang nggak ada kabar dan ---" Aku tidak melanjutkan ucapan lalu memilih menghela nafas. Sudah pasti Kian tahu apa arti ekspresi wajahku. Aku yakin dia tidak bego-bego amat soal beginian meski masa pacaran ketika masih muda telah lama berlalu. "Gue punya hadiah buat lo. Mau?" Aku bertanya melalui lirikan mata. "Tutup mata lo." Aku menuruti perintahnya. Tiba-tiba tengkukku dipegang Kian, sontak aku me
"Mbak maaf, kami mau tutup."Panggilan dari seseorang membuyarkan lamunanku kala masih berdiri mematung di depan pintu toko aksesoris. Kian meninggalkanku lagi saat kami tengah bersama. "Udah berapa kali kamu giniin aku Kian."Malam itu, aku yang hendak menikmati kegalauan dengan berjalan menyusuri trotoar pun urung. Mengingat ini sudah malam dan perempuan rawan disatroni kejahatan.Sesampainya di kosan, aku membaringkan tubuh yang lelah dengan hati yang terluka. Sambil menatap ponsel yang baru kunyalakan."Bilang nggak ya kalau aku udah sampai kosan?" Aku menghela nafas berat sambil menimbang-nimbang lagi keputusan apa yang harus kuambil. Baru sesaat aku berbahagia karena bertemu Kian, lalu moment romantis kami di dalam mobil, kemudian makan dan nonton film bersama.Dan dengan tiba-tiba Rado mengambil perhatian Kian lagi dariku untuk kesekian kalinya."Aaaarrgghhhh.... Bingung gue."Aku mengacak rambut sendiri karena merasa kesal dengan kejadian malam ini.I call it imperfect hap
Desas desus tentang perceraian Affar semakin santer menjadi buah bibir diam-diam di kantor. Jadi, itulah alasan mengapa ia menuduhku kembali meracuni pikiran istrinya di tengah prahara rumah tangganya.Tapi sayang, Affar salah sangka dengan menganggap aku masih mengejar dirinya. Tidak! Aku hanya mencintai Kian. Sekarang dan selamanya. Hari ini Kian mengeluh lelah membagi waktu untuk kerja, keluarga, bisnis, dan pacar. Walau posisi pacar berada di list terakhir, aku harus mengerti.Bahkan ia sempat ketiduran di sofabed ruko tempat kami bercinta malam itu. Rasa iba dan kasihan menggelayuti hatiku. Tapi Kian seakan sudah biasa memikul beban hidupnya yang tidak mau ia bagi denganku sekalipun.Aku : Kamu nggak pulang ke rumah mama?Dudaku nakal : Nggak. Gue capek berat.Aku : Kian kalo kamu lelah tuh bilang Rado biar dia ngerti.Dudaku nakal : Nggak apa-apa Sha. Gue cukup istirahat aja.Kian selalu keras kepala jika berhubungan dengan Rado. Alhasil aku hanya bisa mengingatkannya agar leb
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi