-Memotret kepribadian seseorang sama dengan memotret jiwanya.- Audrey Lembur oh lembur. Melelahkan dan menguras pikiran serta tenaga. Di Antara Karya, lembur seperti aktivitas bulanan yang selalu ada karena beragam masalah di lapangan yang membuat input data ke kantor juga tersendat. Sedang pelaporan harus diserahkan setiap hari. Malam ini aku lembur tapi tidak sendiri. Karena sudah diambang batas kelelahan yang maksimal, aku tidak tahan jika dipaksa duduk lebih lama di kursi bundar ini. Setelah berpamitan pada yang lain, aku menuju lift yang akan membawaku ke lobby. Di dalam lift aku memijat tengkuk sendiri dengan memejamkan mata sambil membayangkan ayam geprek pedas dengan segelas lemon hangat. Ting... Terlalu enak memijat tengkuk hingga tidak sadar aku berjalan sambil memejamkan mata. Hingga... Bruuuk!! Aku menabrak punggung tegap yang tertutup kemeja biru dengan tidak sengaja. Tubuh yang lelah ternyata memiliki efek yang besar pada konsentrasi seseorang. Termasuk cara be
-Pria sejati tidak dilihat dari ketampanan wajahnya, tapi dilihat dari dewasanya menghadapi lika liku kehidupan.- Audrey Akhirnya aku tumbang. Entah sudah berapa lama aku ditempat yang dikelilingi tirai hijau yang kuyakini adalah rumah sakit. Hidungku dilingkupi alat bantu nafas. Selang infus menancap di pembuluh darah tangan. Disampingku ada dua perempuan rekan kerja yang kukenal, Nabila dan Mela. Setelah aku siuman dan lebih baik, mereka pamit kembali ke kantor lalu aku dipindah ke ruang rawat inap. Terima kasih untuk perawat yang sudah membawakan ransel kerja dan mendorong kursi rodaku menuju kamar rawat inap. Aku terkulai lemas di ranjang pesakitan sendirian. Hanya ditemani suara televisi yang menyiarkan siaran luar negeri yang tidak terlalu kupahami. Kelelahan karena bekerja dengan pola makan yang tidak tepat membuat tubuhku bereaksi lain. Ia menjerit marah karena aku tidak menjaga asupan nutrisi yang memadai lalu akhirnya raga ini terkulai di lobby kantor. Saat berangkat
-Bukan usia, tapi kedewasaannya. Bukan harta tapi tanggung jawabnya. Dan bukan gelar tapi kebijaksanaannya.- Audrey. Jiwa jomblowatiku tersentil saat Pak Affar dengan baik hatinya menawarkan saudaranya untuk dikenalkan denganku. Dia mengatakannya begitu tenang. Tentu saja tenang, karena Pak Affar tidak memiliki niatan lain padaku karena hubungan kami sebatas atasan dan bawahan. "Tuh sama sodaranya Pak Affar. Pasti cakep orangnya." Bukannya senang mendapat tawaran itu, aku malah bad mood namun tetap menunjukkan senyum palsu terbaik. Hanya sebagai bentuk menghargai tawaran baiknya meski aku tidak tertarik dikenalkan dengan saudaranya. Buat apa? Bila tadi aku berdebar bahagia bahkan sempat besar rasa karena kedatangan Pak Affar ke kamar inapku, kini aku tidak menunjukkan pancaran kebahagiaan seperti di awal. Tawarannya untuk mengenalkanku pada saudaranya cukup membuktikan bila ia tidak memiliki secuil rasa padaku. One side love is tragic. Bagaimana mau ada rasa jika intensitas p
-Laki laki yang baik adalah laki laki yang tidak akan membiarkan orang yang disayangi disakiti orang lain, atau bahkan dirinya sendiri.- Audrey "Malam, Audrey." Aku menoleh begitu suara seksinya mengalun lembut ke dalam telingaku. Aktifitasku membetulkan selang infus pun terhenti. Lalu menatapnya lamat-lamat demi mencari pembenaran bahwa memang yang kini hadir di hadapanku adalah nyata sosoknya. Bukan ilusi atau khayalan sendiri yang sedari siang membayangkan dirinya bersama kegalauan. Karena mustahil bagiku mendapatkan hatinya. Tadi aku juga sempat berkhayal andai dia berada disini, bersamaku, menjagaku kala sakit. Tidak masalah jika bukan mama dan ayah tiriku yang datang, asalkan dia yang datang sudah lebih dari cukup. Bahkan dia adalah mood boster terbaik pilihan Tuhan. Dan kini ia duduk santai di sofa kamar rawat inapku sambil tersenyum manis. "P....Pak.... Affar?" Dia tersenyum lalu menaruh sebuah paper bag coklat agar besar. Entah berisi apa. Jika tadi ia datang bers
-Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk kucintai.- Pramoedya Ananta Toer Selera humor Pak Affar itu buruk! Mengapa? Karena dia mengajakku bermain pacu jantung. Sudah tahu aku sedang sakit tapi dia dengan tidak senonohnya berkata jika laporan keuangan yang kukerjakan mengalami masalah. Padahal sejauh ini aku selalu teliti dan detail mengerjakannya. Tetapi ujung-ujungnya ia tertawa geli meningkahi kegugupanku yang menurutnya lucu. Andai ia adalah teman satu levelku, sudah pasti akan kuguyur dengan air kencing kerbau agar tidak melucu dengan cara yang menyebalkan. "Kamu kena prank." Ucapnya dengan senyum tertahan yang menurutku sangat menyebalkan. Aku tertawa hambar. "Tidak pak. Saya sudah menduga." "Saya kemari karena tadi habis cek kadar kolesterol di lab." 'Oooh.... Cek kolesterol. Emang udah mulai penyakitan ya?' Kesalku dalam hati dengan tetap menguarkan senyum palsu. "Karena hasilnya masih lama,
-Bagi perempuan sepertiku, dari sentuhan bisa tumbuh menjadi CINTA.- Audrey Ketahuan memandangi wajah dan penampilan Pak Affar adalah sebuah kebodohan yang menggelikan. Apa lagi yang menangkap basah kelakuanku itu adalah Pak Affar sendiri. Setelah ini mau ditaruh dimana mukaku Tuhan? Pak Affar tersenyum manis karena aku tidak bisa menjawab tuduhan benarnya. Sedang aku hanya bisa menunduk malu sambil memainkan jemari. "Ini di Taman Nasional Kakadu. Lalu ini di Blue Mountain." Syukurlah ia tidak lagi membahasnya dan menunjukkan destinasi wisata yang pernah dikunjungi selama menempuh pendidikan disana. "Saya jadi ingin kuliah di luar negeri pak." Foto-foto indah itu memperlihatkan Pak Affar saat masih muda. Demi Tuhan! Tampan sekali. Bedanya dengan sekarang hanyalah bentuk rambutnya saja. Jika saat muda ia bebas mengatur model rambutnya, maka setelah bekerja dan menjadi orang dewasa ia merubah bentuk rambutnya lebih formal. Tubuhnya sedikit kurusan dari pada sekarang. Pak Affar
- Perempuan itu tidak butuh lelaki sempurna, melainkan butuh laki laki yang menjadikannya satu satunya ratu di dalam hati.- Audrey Empat hari aku dirawat dirumah sakit dan sekarang diperbolehkan pulang, dan kata dokter aku harus menjaga pola makan agar tidak kambuh lagi. Pekerjaan adalah prioritas tapi kesehatan di atas segala-galanya. Aku wajib menjaga diri agar tidak merepotkan diri sendiri dan Amelia khususnya. Dia yang merawatku selama sakit dengan mengorbankan kuliah dan kekasihnya. Bersama Amelia aku membereskan semua pakaian dan kebutuhanku selama opname ke dalam tas besar. Rencananya, aku akan pulang ke kos mengendarai taksi online dan Amelia membawa motorku kembali ke kosan. "Udah selesai semua kan Mel?" "Beres. Oh ya, gimana sama Pak Affar?" Tanyanya kepo. "Bener apa kata lo. Gue aja yang terlalu berharap lebih. Lagian gue yakin dia udah nikah Mel." "Yaaah.... Nggak jadi makan enak dong." Aku melemparnya dengan bantal rumah sakit. Bagaimana bisa ia mengharapkanku jad
-Waktu yang akan menjelaskan dengan baik ketulusan seseorang.- Tere Liye Untuk saat ini, bertanya pada Samsul tentang siapa Pak Affar adalah jawaban terbaik dari pada mencari informasi melalui rekan kantor. Tingkat kebocorannya pun tidak ada. Berbeda dengan mulut para pengghibah yang suka membicarakan popularitas dan mimpi bersandingan dengan salah satu petinggi kantor. "Apa Pak Affar sudah menikah?" Samsul tersenyum. "Saya tidak berhak mencampuri urusan Pak Affar. Kalau mbak ingin tahu bisa tanya langsung pada Pak Affar." "Kenapa Pak Samsul tidak mau jawab?" "Maaf mbak, Pak Affar adalah majikan saya. Tidak berhak bagi saya untuk membicarakan beliau tanpa persetujuan darinya." "Tapi sekedar menjawab sudah atau belum menikah bukan hal besar. Kita juga tidak membicarakan keburukan beliau." Samsul menggeleng. "Sekecil apapun pembicaraan kita, tetap saja membicarakan beliau." "Pak Affar sudah menikah ya?" "Silahkan tanya sendiri." "Aku kasih dua ratus ribu." "Terimakasih. T
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi