-Bagi perempuan sepertiku, dari sentuhan bisa tumbuh menjadi CINTA.- Audrey
Ketahuan memandangi wajah dan penampilan Pak Affar adalah sebuah kebodohan yang menggelikan. Apa lagi yang menangkap basah kelakuanku itu adalah Pak Affar sendiri. Setelah ini mau ditaruh dimana mukaku Tuhan?
Pak Affar tersenyum manis karena aku tidak bisa menjawab tuduhan benarnya. Sedang aku hanya bisa menunduk malu sambil memainkan jemari.
"Ini di Taman Nasional Kakadu. Lalu ini di Blue Mountain." Syukurlah ia tidak lagi membahasnya dan menunjukkan destinasi wisata yang pernah dikunjungi selama menempuh pendidikan disana.
"Saya jadi ingin kuliah di luar negeri pak."
Foto-foto indah itu memperlihatkan Pak Affar saat masih muda. Demi Tuhan! Tampan sekali. Bedanya dengan sekarang hanyalah bentuk rambutnya saja. Jika saat muda ia bebas mengatur model rambutnya, maka setelah bekerja dan menjadi orang dewasa ia merubah bentuk rambutnya lebih formal.
Tubuhnya sedikit kurusan dari pada sekarang.
Pak Affar terkekeh. "Bisa aja yang penting bahasa Inggris kamu harus oke."
"Audrey tangan kamu!" Pak Affar tiba-tiba meraih tanganku yang terpasang selang infus.
Aku tidak menyadari selangnya tertekuk dan darahku menggenang di selang infus. Pak Affar dengan sigap membetulkan selang infusku agar kembali lurus lalu mengusap-usap punggung tanganku ke atas dengan lembut.
Ya Tuhan... Ini mendebarkan sekali. Apakah ia melakukan ini semata-mata hanya ingin bermain ke kamarku atau bagaimana?
Bukannya memperhatikan darah yang ada di selang infus, aku malah tertegun dengan sikapnya yang hampir mengambil seluruh atensiku.
"Darahnya udah mulai hilang."
Aku mengangguk menatap tangan hangat nan lembut milik Pak Affar yang masih mengusap punggung tanganku. Bagaimana aku tidak jatuh cinta lebih dalam jika perlakuan Pak Affar sebegini romantisnya.
"Nggak ada yang marah kan kalau tanganmu aku pegang?"
"Tidak ada pak."
"Syukurlah."
Apa dia bersyukur karena status jomblowatiku?
Entah dia sudah beristri atau belum, yang pasti aku ingin Pak Affar bersamaku, kalau perlu jadi pacarku.
'Am I evil? I don't care. Toh aku sendiri juga korban dari pihak ketiga.'
Nafsu menyuruhku memperjuangkan perasaan ini padanya. Walau ada secuil kewarasan menyuruhku berhenti.
"Kamu ada I*******m?"
"Ada pak."
"Mau aku follow?"
Kedekatan kami jauh diluar ekspektasi. Kalaupun aku besar rasa dengan menganggapnya jatuh cinta padaku, sepertinya itu tidaklah salah. Perempuan mana yang sanggup bertahan menahan cintanya sendiri demi lelaki yang rajin memberi perhatian?
"Audrey?"
"A...i...iya pak."
Pak Affar malah terkekeh dengan tanganku masih dalam genggamannya. Astaga aku terlihat bodoh sekali di hadapannya.
"Aku bikin kamu nggak konsen ya?"
Aku hanya nyengir dan menggigit bibir bawahku.
"Jangan digigit, nanti berdarah." Tangan Pak Affar terulur mengusap bibir bawahku.
"I*******m kamu sudah aku follow. Jangan lupa folback ya Drey?"
"Iya pak." Jawabku tersipu malu.
"Boleh minta nomer kamu?".
"No....nomer saya pak?" Terkejutnya aku.
"Nomer telfon, w*, akun line atau apapun itu. The important things, I can contact you quickly."
Aku tidak menduga dengan pendekatan super cepat ala Pak Affar yang membuat degup jantungku berlarian.
"Aku pulang ya? Udah malam." Pak Affar melihat jam tangannya sekilas. "Kamu harus istirahat."
Sebenarnya aku enggan jika ia berpamitan.
"Makanan dihabiskan. Jangan banyak mikir kerjaan dulu. Jangan stres. If you need everything, you can call me. Kalau teman kamu pas lagi repot."
"Aku balik ya?" Pak Affar mengelus lengan kananku. Kemudian memasukkan ponselnya.
Setiap gerakannya tak luput dari rekam pandangku, he really catch my eye. Bahkan jika sekarang aku ketahuan flirting pun I really don't care.
"Ya pak saya juga ingin segera sehat dan bisa bekerja lagi...... dengan bapak."
Setelah pintu tertutup aku memekik histeris, efek dari sebuah touching and saying goodbye seorang Affar Khaleed Dirgantara. Manajer SHE kantorku yang matangnya melebihi mangga tetangga.
Mencintai seseorang yang usianya mungkin hampir dua kali usiaku. I do something differently than I did before. Bukannya aku jijik, malah aku makin menjadi.
"Kenapa lo cengar cengir sendirian?" Amelia baru datang.
"Dia minta nomer dan folback i*******m gue Mel."
"Lo harus pinter ngatur perasaan biar nggak sakit hati kalau nggak sesuai ekspektasi. Lo sendiri juga kagak tau motif dia sesungguhnya apa."
Aku mengangguk.
"Tapi dia kemari cuma pengen njenguk lo kan?"
"Katanya sih cek kolesterol, nunggu hasil lab nya lama jadi dia ke kamar gue."
"Tapi kok tadi dia nggak bawa apa apa ya? Dia jalan terus naik mobilnya yang udah standby."
"Masak sih Mel?"
"Makanya gue tanya lo. Kalau emang dia personally mau njenguk lo sih oke lah lo rada geer geer dikit nggak masalah. Tapi beda ceritanya kalau nunggu hasil lab."
"Gue nggak paham sama perasaan gue."
"Wajar sih kalau lo jatuh cinta sama Pak Affar. Dewasa banget, tajir, masih gagah pula. Mobil mewah plus sopir. Kalau lo jadi gebetannya berasa naik awan tau nggak."
"Lo tadi ingetin gue biar jaga hati, kenapa sekarang jadi nyuruh gue suka?"
Amelia terkekeh. "Kalau tau Pak Affar modelannya kayak gitu ya goyah lah. Mana ada cewek yang nolak pesona dan dompetnya?"
Aku menonyor kepalanya.
"Tapi gimana kalau seandainya Pak Affar emang udah nikah Mel?"
"Dia pasti ada alasan kenapa deketin lo. Kalau alasannya bisa diterima ya why not."
"Lo ada firasat nggak Mel kalau gue bakal dijadiin mainan atau simpanannya gitu?"
- Perempuan itu tidak butuh lelaki sempurna, melainkan butuh laki laki yang menjadikannya satu satunya ratu di dalam hati.- Audrey Empat hari aku dirawat dirumah sakit dan sekarang diperbolehkan pulang, dan kata dokter aku harus menjaga pola makan agar tidak kambuh lagi. Pekerjaan adalah prioritas tapi kesehatan di atas segala-galanya. Aku wajib menjaga diri agar tidak merepotkan diri sendiri dan Amelia khususnya. Dia yang merawatku selama sakit dengan mengorbankan kuliah dan kekasihnya. Bersama Amelia aku membereskan semua pakaian dan kebutuhanku selama opname ke dalam tas besar. Rencananya, aku akan pulang ke kos mengendarai taksi online dan Amelia membawa motorku kembali ke kosan. "Udah selesai semua kan Mel?" "Beres. Oh ya, gimana sama Pak Affar?" Tanyanya kepo. "Bener apa kata lo. Gue aja yang terlalu berharap lebih. Lagian gue yakin dia udah nikah Mel." "Yaaah.... Nggak jadi makan enak dong." Aku melemparnya dengan bantal rumah sakit. Bagaimana bisa ia mengharapkanku jad
-Waktu yang akan menjelaskan dengan baik ketulusan seseorang.- Tere Liye Untuk saat ini, bertanya pada Samsul tentang siapa Pak Affar adalah jawaban terbaik dari pada mencari informasi melalui rekan kantor. Tingkat kebocorannya pun tidak ada. Berbeda dengan mulut para pengghibah yang suka membicarakan popularitas dan mimpi bersandingan dengan salah satu petinggi kantor. "Apa Pak Affar sudah menikah?" Samsul tersenyum. "Saya tidak berhak mencampuri urusan Pak Affar. Kalau mbak ingin tahu bisa tanya langsung pada Pak Affar." "Kenapa Pak Samsul tidak mau jawab?" "Maaf mbak, Pak Affar adalah majikan saya. Tidak berhak bagi saya untuk membicarakan beliau tanpa persetujuan darinya." "Tapi sekedar menjawab sudah atau belum menikah bukan hal besar. Kita juga tidak membicarakan keburukan beliau." Samsul menggeleng. "Sekecil apapun pembicaraan kita, tetap saja membicarakan beliau." "Pak Affar sudah menikah ya?" "Silahkan tanya sendiri." "Aku kasih dua ratus ribu." "Terimakasih. T
Amelia kelincutan tidak jelas ketika mengangkat panggilan dari ponselku. Wajahnya memerah karena malu. "Siapa Mel?" Tanyaku sambil berbisik. "Big boss lo nelfon." Bisik Amelia. Amelia mengangsurkan ponselku sedang aku bingung dengan big bos yang ia maksud. Pak Affar kah? "Pak Affar." Ucapnya berbisik balik. Sadar bahwa itu panggilan dari Pak Affar yang sudah berbaik hati mengantarku pulang hingga menawarkan kartu kreditnya untuk berbelanja kebutuhanku pascaopname, aku buru-buru mengusap air mata bekas kekesalan hati karena ulah Alex. "Haa.....halo pak?" Suaraku sedikit bergetar dan memegang ponsel dengan kedua tangan. "Audrey, udah lebih baik?" Tanyanya lembut. "I...iya pak." Keputusan Pak Affar menelfonku di situasi seperti ini cukup membuatku salah tingkah tanpa persiapan yang cukup. Atasanku yang satu ini sangat suka sekali muncul secara tiba-tiba dan menghilang tanpa berkata apa-apa. Otakku kembali mencerna panggilan mendadak darinya padahal sejak di dalam mobilnya, ia t
-Cinta adalah penyegaran terbesar dalam hidupku, yang melembutkan dan membahagiakan hati.- Audrey Saat kurang sehat, kadang obat yang terbaik bukanlah mengunjungi dokter. Melainkan sugesti pada diri sendiri dan perhatian dari seseorang yang sudah ada di hati. Kadang, demam akan turun dengan sendirinya ketika seseorang tertidur lelap dalam rangkulan sang pencinta. Naif? Bukan, tapi itulah kekuatan cinta yang bisa mengubah sekeras apapun hati seseorang. "Malam, Audrey." Sapa Pak Affar lembut. "Ma .... malam, Pak." Jawabku kikuk. Kehadiran Pak Affar seperti setruman listrik bertegangan tinggi yang memberi efek panas dalam tubuhku. Hanya dengan kehadirannya pula, aku merasa bahagia sekaligus diperhatikan. Perempuan manapun akan merasa tersanjung dan seperti tengah dipuja-puja bak tuan ratu oleh sang arjuna, bila dihujani perhatian bertubi-tubi tanpa ampun. Pak Affar menawarkan banyak perhatian walau tidak mengucapkannya secara langsung. Aku memberanikan diri menoleh ke arah Pak
-Tetap bertahan meski banyak kekurangan. Karena cinta itu melengkapi, bukan mengkhianati.- Audrey Hatiku tidak bertuan, tidak ada pemiliknya. Ia bebas berkelana mencari sosok yang kubutuhkan. Karena menuruti kata hati konon adalah sebuah anjuran. Perhatian dan kasih sayang yang Pak Affar berikan sudah melebihi batas antara atasan dan bawahan. Aku tahu itu karena ini semua tidak lazim dilakukan. Dia menemuiku secara personal, tanpa embel-embel kedatangannya berhubungan dengan masalah pekerjaan. Ibarat domba kecil yang baru memasuki ladang rumput liar, ia akan lebih nyaman bersama domba jantan dewasa yang lebih kuat dan bisa menjaga keamanannya. Toh, aku juga seorang perempuan yang beranjak dewasa tanpa kasih sayang dari sang papa yang membutuhkan penjagaan darinya. Figur Pak Affar seperti figur seorang papa yang telah lama hilang dalam hidupku. Dia memberi perhatian hangat yang meleburkan hati, memberi sesuatu yang tak pernah kuminta tapi sebenarnya sangat kuperlukan, dan paling pe
-Aku bukan yang pertama, tapi aku akan berusaha menjadi yang teristimewa.- Audrey Kupikir aku sendiri yang merasa besar rasa atau aku sendiri yang merasakan cinta ini pada Pak Affar. Ternyata tidak. Ucapannya yang mengatakan jika aku adalah kesayangannya dan rentetan hujaman perhatian yang selama ini diberikan, sudah cukup menunjukkan jika kami memiliki rasa yang sama. Cinta. Aku cukup tahu diri, siapa aku dan dirinya. Kami dari kasta yang berbeda. Dunia yang berbeda. Namun memiliki rasa yang sama yang membuat kami bisa bersama. Dia atasan kelas tinggi dan aku hanya seorang staff biasa. Sudah pasti hubungan seperti ini bila diketahui banyak orang akan mendapat banyak pertentangan, bahkan memunculkan kemarahan dan cibiran. Tapi bagaimana jika takdirku harus berjodoh dengan bosku sendiri? Kalau benar demikian aku adalah perempuan paling bahagia karena mendapat kasih sayang penuh darinya, lelaki impianku, Pak Affar. Perempuan mana yang tidak bahagia memiliki pasangan dewasa, ma
-Cinta bukan mencari pasangan yang sempurna melainkan menerima pasangan dengan sempurna.- Audrey Dalam menjalani hubungan asmara, usia Pak Affar bukan masalah utama. Banyak pasangan yang terpaut usia yang cukup jauh dan tetap mesra. Bukan aku saja yang menyukai pria lebih tua seperti Pak Affar, banyak perempuan muda lainnya yang memiliki selera berbeda sepertiku. Perbedaan usia terpaut 15 tahun diantara kami berdua tidak menjadi masalah, asal sama-sama bisa menerima kekurangan satu sama lain dan saling melengkapi kebahagiaan. Biarlah orang berkata aku mengencani pria tua yang cocok dipanggil papa. Tidak masalah toh memang aku membutuhkan sosok yang bisa mengayomi, bukan yang pandai mengobral cinta. "Maksudnya Pak Affar nembak lo beneran?" Aku mengangguk senang. "Cinta gue terbalas Mel." "Gue nggak nyangka tuh bos ada hati sama lo." Ucapnya takjub. "Seneng yang masih muda-muda tuh si old man." "Jangan sebut old man lah. Masih gagah kok." Belaku tidak terima. Salah satu alasanku m
-Aku beraharap bisa memutar waktu untuk mencintaimu sedalam-dalamnya.- Audrey Cinta sejati mendorong Affar untuk mewujudkan apapun yang ia inginkan demi perkembangan baik hubungan kami. Itu bukti jika Affar benar- benar mencintaiku, ia akan berkorban banyak hal untuk membuat diriku bahagia. Affar, dia pria yang benar-benar mencintaiku dengan menjadi pendukung terbesar dalam hidupku. Ia ingin aku segera sehat seratus persen dengan membelikan makanan dengan menu terbaik yang bergizi tinggi. Tidak peduli berapapun harganya. Walaupun tidak akan selalu sepaham, karena menurutku harga menu itu terlalu mahal dan menguras kantong, namun Affar tidak mempermasalahkan karena ia tahu apa yang penting untukku. Dan itu menandakan bahwa ia selalu berada di sampingku. "Halo, baby." "Affar, kamu beneran pesenin aku salad tadi?" Tanyaku. Aku menelfon Affar dengan bersembunyi di dalam toilet. Percakapan rahasia kami terlalu beresiko jika didengar oleh karyawan yang lain. "Yes I do. Why?" "Makasi
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi