Pertengkaranku dengan Kian masih berlanjut hingga sekarang. Itu karena aku yang selalu memilih lari dari kejarannya. Ucapannya yang melukai hati saat dia menarikku dengan kasar menuju kantin yang gelap adalah salah satunya. Aku tidak siap jika dia mengatakan hal yang kembali melukai hatiku jadi kuputuskan menjauh. Sudah memberi luka, tanpa memberi penawarnya. Siapa yang tidak bisa? Dan kini ia datang ke kos dengan mengamuflase penampilannya dan memakai nama Alfonso untuk menjebakku agar keluar dari persembunyian. Seharusnya dia tidak perlu datang kemari toh dia tidak bersedia bertanggungjawab atas percintaan panas kami di Jogja. Dia menyalahkanku sepenuhnya atas apa yang telah terjadi.Menerima penghakimannya tanpa lapang dada, itulah yang kujalani saat ini. Mau bagaimana lagi? Mengejar pertanggungjawabannya adalah hal paling memalukan sepanjang hidupku. Dari pada berputih tulang lebih baik berputih rambut. Pun aku telah menegaskan jika akan pergi dari lingkup edarnya baik di kan
Bila Kian menyeriusi perkataannya untuk membantuku mutasi ke Indonesia bagian Timur, demi pluto yang suatu saat nanti pasti ditemukan, aku akan melempar Kian ke dalam pusaran tornado api dan berdoa dia mati sekalian. Bagaimana mungkin aku terpisah sejauh itu dengan keluarga dan para sahabat. Cukup Affar yang pernah memutasiku tanpa persetujuan, dan Kian tidak berhak melakukannya padaku, pada karirku. Ini adalah masalah pribadi yang tidak seharusnya merambah ke ranah profesi. "So, mau gue bantu mutasi ke Indonesia Timur?""Bagaimana bisa kamu tahu aku meminta mutasi? Katakan.""Nggak penting.""Itu penting bagiku. Kamu mencuri urusan pribadiku di kantor.""Kalau iya, so why? Lo marah?"Demi Tuhan, mengapa Kian berubah menjadi duda tua sialan yang membuatku bertambah geram. Kali ini aku tidak suka dia mencampuri masalah ini. "Mutasi atau nggak mutasi itu bukan urusan kamu Kian!""Emang bukan. Dan urusan kita nggak akan kelar kalau lo mutasi sebelum ini semua clear. Sikap pecundangmu
Cinta itu sangat rumit. Kukira para aktris mengatakannya begitu mudah saat berakting di dalam film. Tapi ternyata tidak semudah dugaan. Jika bukan karena Kian yang menekan dan memaksaku untuk mengatakan alasan utama mengapa aku selalu menghindarinya sejak percintaan panas kami di Jogja, mungkin aku akan tetap menyembunyikan perasaan ini. Mengatakan "Aku Mencintaimu" kepada Kian adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan ketika aku mengatakannya untuk pertama kali. Begitu banyak hal yang melintasi kepalaku. Ada ketakutan akan penolakan—bahwa Kian tidak merasakan hal yang sama. Pun aku takut jika salah mengatakannya lalu menjadi bahan lelucon Kian. Atau aku takut mengatakannya terlalu cepat. Kadang, mempersiapkan kata-kata cinta sehari sebelumnya bisa jadi buyar ketika bertatap muka dengan seseorang yang spesial. Seolah-olah mulut menjadi beku. "Aku mencintaimu Kian." Kata-kata itu meluncur begitu cepat dengan nada tertekan andai Kian tahu. Bahkan, aku tidak memiliki waktu yang tep
Aku mencintai Kian dan selalu memprioritaskan dirinya, memilih dia terlebih dahulu, melihat dirinya sebagai hadiah, menunjukkan kasih sayang kepadanya, dan menghormati pribadinya. Bahkan hanya melihat dirinya saja aku merasakan chemistry yang berbeda. Dia seperti energi yang selalu menarikku kepadanya. Semua terasa magnetis dan alami. Cukup berperilaku lembut saja, Kian sudah sangat menyenangkan, membuat bahagia, dan mampu memenangkan seluruh kasih sayang dariku. Karena aku tidak pernah ingin terlibat secara serius dengan lelaki yang tidak benar-benar kucintai. "Sha?" Sambil mengusap air mata. "Tolong jangan katakan apapun tentang perasaanmu. Aku tahu aku nggak pernah ada di hatimu. Cukup kamu tahu perasanku aja Kian." "Dan kejadian di Jogja, aku minta maaf nggak seharusnya aku pinjam kamarmu." "Aku penyebabnya. Nggak akan ada apa-apa kalau aku nggak kecentilan. Maaf membebani kamu Kian. Maaf." Aku mundur selangkah demi selangkah dengan mengusap kasar air mata. Aku merasa han
"Sha, lo mau jadi pacar gue?" Aku membelalakan mata tidak percaya. Tawaran menjadi bagian hidup seorang Paralio Kian Mahardika yang telah lama kukagumi dan kucintai adalah hal yang paling kutunggu. Karena sejatinya cinta tumbuh lalu berharap mendapat balasan yang seimbang, bukan menjadi cinta sendiri yang memilukan. "Gue bakal tanggung jawab. Gue tahu itu yang pertama buat lo. Walau gue sempat mau narik diri, tapi telat karena gue udah nembus perawan lo. Itu kesalahan kita dan gue pengen kita mulai belajar memahami satu sama lain." "Lo belajar ngertiin segala kesibukan dan rutinitas gue. Dan sebaliknya, gue juga bakal ngertiin karakter dan rutinitas lo Sha. Dan gue nggak akan lari dari tanggung jawab." Aku seperti ladang gersang yang mendapat hadiah berupa hujan lebat berhari-hari tiada henti. Aku tersenyum sangat bahagia lalu memeluk Kian erat. Seolah tidak ada hari esok untuk melampiaskan kebahagiaan ini. Sesuatu yang amat sangat kunantikan akhirnya terwujud juga. "Aku mau Ki
Setelah pengakuanku di kafe rooftop hotel, hari-hariku terasa penuh akan kebahagiaan. Walau semua terasa masih kaku karena Kian masih belum memiliki perasaan padaku, aku tidak akan berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayangku untuknya. Aku yakin kelak di hatinya akan ada cinta untukku. Hanya akan melihatku sebagai satu-satunya pasangan terbaik untuknya karena rasa cintaku untuknya yang tak terbendung besarnya. Seperti pasangan lain pada umumnya, hubungan kami berjalan seperti biasa. Dan Kian membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan hubungan kami. Walau balasan pesannya terasa kaku dan kadang sedikit formal, aku tidak mempermasalahkan sama sekali.Demi mengurai kecanggungan hubungan ini, aku berinisiatif menghubunginya lebih dulu. Pagi ini aku sengaja menumpang mobilnya ketika berangkat kerja dengan alasan bohong jika ban motorku kempes. "Kalau nggak gini nggak bakalan lemes tuh duda." Ucapku di depan cermin ketika memoles bibir dengan lipstick."Kalau gue cantik gini, lama-lama
Keputusanku memilih Kian yang notabene seorang duda, bekas wanita lain, bukan sesuatu yang kupermasalahkan. Aku menganggap Kian sebagai lelaki yang memiliki pengalaman dan pembelajaran dalam membina hubungan yang lebih konsisten. "Duda." Jawabanku membuat Anjar menunjukkan ekspresi terkejut yang luar biasa. "What?! Lo sinting Drey. Doyan bekas cewek lain." Andai Anjar tahu siapa kekasihku yang sebenarnya. Atasan kecil di kantor ini yang begitu ia hormati dan banyak staf perempuan mengaguminya. Paralio Kian Mahardika. "Gue nggak masalah. Dia tuh dewasa banget, papa-able lah." Kedua orang tuaku bercerai, dan selama ini aku tumbuh tanpa kasih sayang darinya. Itulah alasan mengapa aku selalu jatuh dalam pelukan pria dewasa. "Nggak kurang cowok single Drey. Lo kayak cewek mengenaskan doyan duda." Ucapnya sedikit jijik. "Kenapa sih dengan status duda? Kok lo antipati banget sih?" Anjar menyeruput sekilas jus alpukatnya. "Duda cocoknya sama janda Drey. Dan duda itu pengalaman membo
Cinta kerap datang tanpa direncanakan. Pesona pria matang sungguh menantang. Dan sebelum melangkah lebih jauh aku sudah memastikan statusnya telah bercerai alias duda.Ketika memutuskan untuk berhubungan dengan Kian, pria duda cerai, Mas Fajar banyak memberi pemahaman jika masa lalu seorang duda bisa memengaruhi masa depan kami."Apaan sih lo mas, gue nggak pernah tidur sama dia." Kilahku.Mas Fajar terkekeh sambil menggeleng. "Kalau pun iya itu nggak masalah kali. Itu urusan kalian. Gue cuma nebak.""Gue ---" Ucapanku dipotong Mas Fajar."Gue kasih tahu, bisa jadi mantan istrinya masih kerap hadir dalam kehidupan si duda meski udah jalan sendiri-sendiri. Atau udah nggak pernah kontakan lagi karena luka perceraian tuh membekas banget.""Dia emang pernah bilang kalau gagal berumah tangga bikin sudut pandangnya berbeda. Dia kayak nggak percaya diri sama statusnya yang bikin cewek lain illfeel.""Mungkin karena perceraian itu bikin dunianya jungkir balik Drey. Dia mesti ngatur kehidupan,
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi