POV PARALIO "Itu obat apa, Sus?" "Ini untuk pereda mual dan penurun panas. Agar pasien nanti bisa makan." Tit... Suara alat cek suhu badan yang ditembak ke dalam lubang telinga menampilkan suhu badanku. "Berapa suhunya, Sus?" "38,5. Nanti setelah obatnya merasuk pasti demamnya akan turun." Setelah membereskan dua suntikan yang dipakai memasukkan obat ke dalam selang infusku, perawat itu pergi lalu aku membuka mata perlahan karena masih teramat pusing dan lemas. "Kian? Mana yang sakit?" Aku sedikit kesusahan berbicara karena terlalu haus. "Minum." Dengan telaten, kepalaku ditahan dengan sebelah tangannya lalu menegukkan segelas air putih melalui tangan satunya. Hanya tiga teguk saja dan perutku rasanya nyeri sekali. Ah... ini kali pertama aku menderita tipes. "Kata dokter, kamu tipes berat. Kamu nggak makan waktu dikasih hukuman?" "Makan." Ucapku lirih. "Tapi kenapa bisa sebanyak itu jumlah bakteri di dalam ususmu?" Tidak mungkin aku berkata jika dipaksa tidur di gedung ko
POV PARALIO"Iya, Tante. Aku masih dengerin kok."Mama melirikku lalu kembali berucap. "Kian mau bicara sama kamu. Tolong ya, Sha.""Aku rasa kami nggak ada hubungan apa-apa lagi, Tante. Kecuali Kian sendiri yang merasa kami masih ada hubungan. Maaf, sejak dia mutusin aku dan nggak ngakui ini darah dagingnya, aku udah mati rasa sama dia."Astaga, andai waktu bisa kuputar kembali."Tante tahu kamu sakit hati banget. Dasarnya Kian yang begonya minta ampun padahal Tante udah ingetin. Tapi sekarang seenggaknya dengerin permohonannya, Sha. Dia tulus.""Baiklah, sebentar aja Tante." Mama mengangsurkan telfon itu dan aku menerimanya dengan tangan bergetar. Efek dari seorang Sasha bisa membuatku segila ini karena sejujurnya aku telah lama mencintainya tapi berlagak tidak mencintainya. Begitu naifnya aku.Kini aku hanya bisa menelan pil penyesalan karena terlalu menuruti gengsi. "Sha, maafin aku.""Iya.""Sha, kamu nggak mau jenguk aku? Aku sakit demi kamu dan anak kita." "Gue sibuk cari ua
POV PARALIO Sebelum aku kembali ke kota karena sudah sehat dan jatah liburku telah usai, aku sengaja ingin menemui Rado di kamarnya. Begitu pintu kamar terbuka, ia tidak berada disana. Saat aku hendak menutup kembali pintu kamarnya, ceceran kertas yang berada di atas meja belajarnya menarik perhatianku. Dia pernah berkata ingin menjadi seorang arsitek sepertiku, kupikir semalam dia membuat rancangan idenya secara sembarang dan aku ingin melihatnya. Bukan sebuah ide bangunan yang membuatku tercengang melainkan sebuah nama yang diukir indah dengan warna merah darah. "Mas?" Aku segera menyembunyikan keterkejutanku lalu berbalik menatapnya dengan seulas senyum lalu bergerak mendekatinya. "Mas mau pamit kamu. Jaga diri baik-baik ya? Jaga Mama. Jangan bandel dan sekolah yang pinter." "Iya. Mas kapan pulang lagi?" "Secepatnya." Aku memeluknya erat lalu mengusap rambutnya yang masih setengah basah. Lalu pergi berpamitan pada mama dan melenggang pergi dengan perasaan carut marut.
"Audrey, bisa ke ruangan saya sebentar?" Aku yang tengah mengerjakan laporan keuangan proyek pembangunan jalan usaha tani pun terhenti. "Iya, Pak.""Sekarang. Penting."Sejak Affar membelaku terang-terangan di kantor ini, tidak ada satu pun rekan kerja yang berani berkata jelek padaku. Bahkan Pak Teguh sendiri selalu bermulut manis dan berwajah ramah padaku yang hanya seorang staff keuangan biasa. Begitu aku mendudukkan diri di kursi yang berseberangan dengan Pak Teguh, beliau membuka sebuah map tepat dihadapanku. "Ini surat untukmu. Dari pusat."Mendengar kalimat itu hatiku bergejolak. Kali ini, apa yang akan terjadi pada nasibku?Apakah Affar sebegitu marahnya padaku hingga membuat keputusan yang bisa menghancurkan aku sekali lagi? Tapi, ini bukan salahku. Kian yang datang tanpa diundang lalu mengacaukan segalanya. "Pe...pemberhentian kerja? Apa maksudnya, Pak?" "Surat pengunduran dirimu telah disetujui kantor pusat, Drey." Aku menatap surat dan wajah Pak Teguh bergantian. "S
Sudah jelas tertulis jika aku hanya diberi waktu satu minggu untuk mengalihkan laporan keuangan proyek yang kutangani pada rekanku yang lain. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang staf keuangan biasa sepertiku jika yang mempermainkan jalannya karirku adalah manusia-manusia tidak punya hati seperti Kian?Aku hanya pion, dan dialah rajanya. Sekeras apapun mengadu pada pusat, mungkin Kian hanya mendapat teguran karena memanipulasi dataku. Perusahaan terlalu sayang memberhentikannya untuk seorang kacung sepertiku. Semalam, Mama untuk pertama kalinya menelfonku dan memaksa untuk menerima lamaran Kian akhir bulan ini. Sepicik itu kah pria itu hingga berhasil mencuci otak Mama dan Ayah? Kata-kata manis apa yang dia pakai?Rencananya, setelah cuti melahirkan aku akan kembali mencari pekerjaan untuk menghidupi anakku. Mama sempat protes dan melayangkan amarahnya. Bagaimana mungkin aku dan bayiku bergantung pada orang tuaku? Tidak mungkin aku selalu meminta uang pada mereka untuk membeli popok
Jari telunjukku masih menempel di depan bibir Kian yang masih setia berada di atasku. Pria ini selalu saja tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya ketika berada di dekatku. "Please beri aku waktu buat ngomong, Kian."Kian meraih tanganku lalu menciumnya penuh kesungguhan hingga kedua matanya memejam. Perlakuan Kian selalu saja memabukkan untukku. Terlebih wajah tampannya yang berjarak begitu dekat denganku. "Kamu mau bilang apa? Aku dengerin sayang.""Stop perhatian sama gue." Ucapku lirih.Lalu raut wajahnya berubah sedih tanpa melepas tanganku yang berada dalam genggamannya. "Jangan minta hal-hal yang nggak mungkin bisa aku turuti, Sha. Aku nggak mungkin bisa jauhi kamu dan anak kita.""Tapi lo nyakitin gue, Kian. Kepercayaan gue udah hilang. Sekeras apapun lo berusaha, gue nggak bisa percaya.""Nggak, Sha. Kali ini aku janji aku nggak bakal ninggalin kalian. Aku janji, Sha. Janji!"Aku menggeleng tidak mau. "Beri aku kesempatan, Sha. Aku nggak bisa hidup bahagia kalau bukan sama
"Syarat yang gue minta bukan sesuatu yang besar untuk lo, Kian. Tapi ini besar buat gue.""Katakan. Apa yang kamu minta?" Ucapnya tanpa melepas tangan kiriku yang ia genggam dengan kedua tangannya. "Gue minta satu dari cabang toko aquascape lo jadi milik gue sepenuhnya. Lo nggak bakalan miskin cuma karena kehilangan satu toko itu buat gue. Calon istri lo."Kian, dia memiliki banyak toko cabang aquascape dan distro yang dijalankan bersama si tajir Alfonso. Aku tahu bagaimana uletnya seorang Alfonso mengatur keuangan dan menjalanlan bisnis agar tidak macet di tengah jalan. Dia putra seorang pebisnis dan darah itu mengalir dalam tubuhnya. Aku tidak heran jika Kian bisa semapan ini karena ia pandai menginvestasikan hartanya bersama Alfonso yang ulet."Gue nggak mau nggak punya uang kalau lo ninggalin gue sama anak gue. Karena lo udah ambil karir gue. Sampai sekarang gue masih belum percaya lo baik-baik ke gue, Kian. Gue masih takut, suatu saat ketika gue lemah lo buang gue.""Dan soal ja
POV PARALIOAku lega hari ini Sasha telah diperbolehkan pulang. Kata dokter ia harus banyak istirahat dan tidak boleh beraktivitas terlalu berat apalagi stres.Semua pakaian yang akan dibawa pulang ia sendiri yang memasukkan. Katanya ia tidak mau menerima bantuanku yang dirasa memiliki maksud lain."Astaga Sha, aku serius ikhlas bantuin kamu.""Bagi gue nggak. Lo tetep kayak bunglon."Dan apa yang harus kulakukan selain menuruti kemauannya? Aku tidak mau ia tidak nyaman bersamaku."Aku cuma pengen kamu nggak capek biar anak kita tetep sehat.""Lo pikir gue jompo?!""Aku cuma mau bantuin, Sha.""Gue bilang nggak ya nggak! Lo punya telinga nggak sih?!"Baiklah jika nada bicara ibu hamil mulai meninggi, mungkin itu artinya aku harus mengalah. Dan kini jadilah aku menjadi penonton ketika ia membereskan baju-bajunya sendiri.Dia berubah menjadi Sasha yang mandiri, ketus, dan keras kepala. Wajar, karena aku sendiri yang membuatnya berubah seperti ini. Dan kini aku menyesal membuatnya beruba
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi