Jari telunjukku masih menempel di depan bibir Kian yang masih setia berada di atasku. Pria ini selalu saja tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya ketika berada di dekatku. "Please beri aku waktu buat ngomong, Kian."Kian meraih tanganku lalu menciumnya penuh kesungguhan hingga kedua matanya memejam. Perlakuan Kian selalu saja memabukkan untukku. Terlebih wajah tampannya yang berjarak begitu dekat denganku. "Kamu mau bilang apa? Aku dengerin sayang.""Stop perhatian sama gue." Ucapku lirih.Lalu raut wajahnya berubah sedih tanpa melepas tanganku yang berada dalam genggamannya. "Jangan minta hal-hal yang nggak mungkin bisa aku turuti, Sha. Aku nggak mungkin bisa jauhi kamu dan anak kita.""Tapi lo nyakitin gue, Kian. Kepercayaan gue udah hilang. Sekeras apapun lo berusaha, gue nggak bisa percaya.""Nggak, Sha. Kali ini aku janji aku nggak bakal ninggalin kalian. Aku janji, Sha. Janji!"Aku menggeleng tidak mau. "Beri aku kesempatan, Sha. Aku nggak bisa hidup bahagia kalau bukan sama
"Syarat yang gue minta bukan sesuatu yang besar untuk lo, Kian. Tapi ini besar buat gue.""Katakan. Apa yang kamu minta?" Ucapnya tanpa melepas tangan kiriku yang ia genggam dengan kedua tangannya. "Gue minta satu dari cabang toko aquascape lo jadi milik gue sepenuhnya. Lo nggak bakalan miskin cuma karena kehilangan satu toko itu buat gue. Calon istri lo."Kian, dia memiliki banyak toko cabang aquascape dan distro yang dijalankan bersama si tajir Alfonso. Aku tahu bagaimana uletnya seorang Alfonso mengatur keuangan dan menjalanlan bisnis agar tidak macet di tengah jalan. Dia putra seorang pebisnis dan darah itu mengalir dalam tubuhnya. Aku tidak heran jika Kian bisa semapan ini karena ia pandai menginvestasikan hartanya bersama Alfonso yang ulet."Gue nggak mau nggak punya uang kalau lo ninggalin gue sama anak gue. Karena lo udah ambil karir gue. Sampai sekarang gue masih belum percaya lo baik-baik ke gue, Kian. Gue masih takut, suatu saat ketika gue lemah lo buang gue.""Dan soal ja
POV PARALIOAku lega hari ini Sasha telah diperbolehkan pulang. Kata dokter ia harus banyak istirahat dan tidak boleh beraktivitas terlalu berat apalagi stres.Semua pakaian yang akan dibawa pulang ia sendiri yang memasukkan. Katanya ia tidak mau menerima bantuanku yang dirasa memiliki maksud lain."Astaga Sha, aku serius ikhlas bantuin kamu.""Bagi gue nggak. Lo tetep kayak bunglon."Dan apa yang harus kulakukan selain menuruti kemauannya? Aku tidak mau ia tidak nyaman bersamaku."Aku cuma pengen kamu nggak capek biar anak kita tetep sehat.""Lo pikir gue jompo?!""Aku cuma mau bantuin, Sha.""Gue bilang nggak ya nggak! Lo punya telinga nggak sih?!"Baiklah jika nada bicara ibu hamil mulai meninggi, mungkin itu artinya aku harus mengalah. Dan kini jadilah aku menjadi penonton ketika ia membereskan baju-bajunya sendiri.Dia berubah menjadi Sasha yang mandiri, ketus, dan keras kepala. Wajar, karena aku sendiri yang membuatnya berubah seperti ini. Dan kini aku menyesal membuatnya beruba
POV PARALIO Sepulang dari menonton film kesukaan Rado di bioskop, aku dan Mama melancarkan aksi untuk mengajaknya berbincang penuh kepengertian. Aku dan Mama sama-sama khawatir jika Rado tiba-tiba menolak kehadiran Sasha diantara kami. Bagi penderita attachment disorder seperti Rado, rasa ketidakpercayaan yang timbul pada orang lain sangatlah besar. Ia menganggap orang lain tidak layak dipercaya dan hanya membawa masalah dalam kehidupan keluarga kami. “Rado, sini dulu. Mas sama Mama mau bicara penting.” Sebelumnya aku telah memberi tahu Mama jika Rado sempat mengukir nama ‘Sasha’ dengan indah di sebuah kertas. Tapi ukiran indah itu berakhir menyedihkan ketika Rado memberinya warna merah darah dan gambar pisau menghunus di tengahnya. Jujur, aku takut Rado berbuat hal yang tidak kuinginkan seperti sedia kala. Berani menyakiti diri sendiri demi membuatku memilihnya dan meninggalkan tujuan awalku. Tapi masalahnya, Sasha dan anak kami adalah nyawa keduaku. Tanpa mereka aku tidak yakin
POV PARALIO "Mama tahu kan, Sasha dan calon anak kami udah jadi bagian penting dalam hidupku. Tanpa mereka aku kosong, Ma. Tapi aku juga nggak bisa abai sama Rado. Dia adikku, saudaraku." "Mama minta maaf. Karena pertengkaran Mama dan Papamu, Rado jadi korban." "Lalu gambar nama Sasha yang diukir Rado, itu artinya apa?" "Deketin dia. Rayu dia sampai mau cerita. Cuma itu satu-satunya cara, Kian." Dan setelah malam itu aku benar-benar berusaha mendekati Rado dengan cara yang lembut dan penuh kasih sayang. Dia terus menjaga jarak denganku karena jawabannya tetap sama. Dia menolak kehadiran Sasha di rumah ini bahkan dalam susunan kartu keluarga kami. Akibat gangguan kelekatan itu, Rado tidak memiliki seorang teman. Meski Mama telah mengajaknya ke panti asuhan berkali-kali, nyatanya trauma yang terpatri cukup dalam ingatan Rado membuatnya tidak bisa berperilaku seperti pemuda pada umumnya. Dan kini di sebuah sore, aku baru saja datang dari kota. Tubuhku cukup lelah setelah digempur
POV PARALIO "Yang ini lebih bagus, Kian." "Aku suka warna peach, Ma. Sasha nggak cocok pake baju warna biru." "Kalau yang ini nanti perutnya nggak keliahatan buncit." "Yang peach aja, Ma. Buncit juga nggak masalah kan dia emang hamil." "Hah... ya udah lah. Mama capek ngasih kamu saran." Kini aku dan Mama sedang berada di salah satu butik ternama dengan agenda memilihkan gaun yang cantik untuk Sasha kenakan di malam pertunangan kami. Rencananya siang ini juga aku akan mengirimkan gaun ini ke alamat rumah orang tuanya. Kemungkinan esok lusa sudah sampai. Sekalian aku membeli baju batik untuk acara melamarnya. "Gimana Rado? Udah kamu bujuk?" Kini kami sudah di dalam mobil, perjalan ke kantor pos untuk mengirim gaun yang telah dibungkus rapi oleh penjualnya. "Udah, tapi dia nggak mau jawab mau nerima Sasha apa nggak." "Rado itu nggak bisa dipaksa. Semua butuh proses. Semakin kamu paksa, semakin dia nggak suka sama Sasha." "Ya, aku bakal rayu pelan-pelan." "Sasha? Dia udah
POV PARALIO"Ma, bisa bicara bentar?"Aku sengaja menunggu Mama di ruang tengah usai percakapannya dengan Rado. Bahkan aku menunggu hingga Rado sudah terlelap. Aku tidak mau ia mendengar obrolanku bersama Mama. "Kok belum tidur? Emang kamu nggak ngantuk?"Biasanya jam segini aku sudah tidur karena esok pagi harus kembali ke kota ketika hari masih petang. Mama duduk di sebelahku lalu menatap lekat wajahku. "Penting banget sampai kamu nggak bisa bilang ada apa?"Aku masih merangkai kata yang tepat sebelum menanyakan hal ini pada Mama. Lebih tepatnya aku tidak mau beliau tersinggung. "Ini soal Rado dan ... Sasha.""Kenapa emangnya?" "Maaf kalau aku nggak sengaja denger pembicaraan kalian di belakang tadi."Mama terkejut? Tentu saja tidak. Beliau begitu santai seperti sudah menduga hal ini akan terbongkar. "Oh... bagus kalau kamu denger. Mama jadi bisa sekalian jelasin semuanya.""Apa maksudnya, Ma? Kenapa Mama nyuruh Rado nikahin Sasha? Ada aku, Ma. Aku yang bakal tanggung jawab. Mi
POV PARALIO Kepalaku terasa ingin pecah. Memikirkan Sasha, Rado, dan pekerjaan. Hari ini bestek terpaksa harus kutangguhkan karena belum selesai. Entah pergi kemana konsentrasiku hingga aku tidak bisa bekerja dengan profesional. "Ada masalah apa sampai Pak Lio nggak bisa selesaikan deadline tepat waktu?" Pak Rudy, atasanku bertanya. "Maafkan saya, Pak. Saya akan selesaikan pengerjaannya dua hari lagi." "Jangan sampai meleset, atau customer marah-marah ke kantor. Nanti Pak Lio sendiri yang jelek namanya." Setelah memaksa otakku untuk bekerja cepat dan tepat dengan mengabaikan Sasha yang masih saja tidak mau membalas pesan atau telfonku, akhirnya aku menyerah. Kupikir aku terlalu memaksakan kehendak padanya padahal ia tidak menginginkannya. Juga, masalah tentang Rado. Aku biarkan adikku itu marah karena tidak jadi menikahi Sasha. Toh dia masih terlalu bau kencur untuk menikahi wanita hamil yang bukan darah dagingnya. Memangnya, Sasha dan anakku akan diberi makan apa? Rumah ta
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi