"Lo perhatiin cara mandi gue?"
"Eng.....nggak." Jawabku gelagapan.
"Minum obat sana. Udah nggak demam kan?"
"Tinggal dikit. Meriangnya udah mendingan kok."
Saat aku membereskan bungkus makanan kami, telfonku berdering nyaring.
Kriiiing...
"Sha, ponsel Lo bunyi." Teriak Kian dari ruang tengah.
Saat mengetahui siapa yang menelfon, aku menyuruh Kian untuk tidak bersuara selama aku dan mama bertelepon. Bisa perang dunia empat kalau mama tahu aku menginap di rumah seorang duda.
Selama ini hanya mama d
Hari ini aku sudah masuk kerja. Begitu jam kerja berakhir, aku menunggu Kian sambil menyandarkan tubuh di bodi mobilnya. Biar saja staff lain melihat kedekatanku dengan Paralio.Ada hal yang membuatku sangat berani menunjukkan kedekatan kami. Hal yang cukup memusingkan sekaligus bertanya-tanya siapa pelakunya."Tumben berani?" Tanyanya yang baru datang sambil membuka pintu kemudi.Aku ikut membuka pintu dan membiarkan beberapa pasang mata karyawan menangkap kedekatan kami. Kalau perlu aku akan menunjukkan betapa dekatnya aku dengan atasan kecil satu ini hingga aku bisa tidur di kamarnya."Boleh nggak hari ini dan besok, aku jadi egois?" Aku menatapnya lekat.
Semalam aku menginap kembali di rumah Kian. Disana aku bisa lebih tenang dan damai memikirkan apa yang menjadi kesalahanku selama bekerja di Antara Karya.Hasilnya nihil. Aku tidak merasa melakukan hal yang menyalahi aturan kantor. Seperti tindakan indisipliner atau membuat keributan dengan karyawan lain. Semua biasa saja dan baik baik saja.Spekulasiku hanya satu, bahwa ada seseorang yang tidak menyukaiku lalu melaporkan hal ini pada personalia. Tapi anehnya mengapa bagian personalia mengatakan bahwa ini perintah dari pusat?Berarti tidak ada orang kantor yang melaporkanku melainkan ada orang yang lebih tinggi jabatannya dari Pak Darmawan selaku kepala personalia, yang bisa memindah karyawan manapun yang ia sukai.Lelah dengan pikiran sendiri, aku pun kembali mengemasi barang-barang di kubikel dengan tatapan sedih yang Anjar tunjukkan. Dia benar-benar sedih karena harus kehilangan aku sebagai sahabat di kantornya."Lo kenap
Tidur di hotel sendirian tidak membuatku lantas bisa tidur nyenyak. Bayangan percakapanku dengan seseorang di telfon dan caci maki teman teman kos adalah pemicunya. Aku tidak berpamitan dengan baik baik karena mereka juga tidak menyambutku dengan baik. Pagi yang sudah setengah siang itu, aku sudah bersiap untuk melanjutkan takdir hidupku. Pergi ke kota tujuan. Aku turun dari kamar begitu Kian sampai lobby hotel. Dia berdiri membelakangiku sambil menerima telfon dengan raut bahagia. Sengaja aku mendekatinya perlahan tanpa menimbulkan suara. Tapi Kian terburu menoleh ketika aku baru setengah jalan. Lalu ia buru buru mematikan sambungan telfon tanpa say goodbye saat aku di sampingnya. "U....udah lama?" Tanyanya gugup. "Baru aja Kian." "Mana kunci mobil Lo?" Aku menyerahkannya karena hari ini Kian mengantarku ke kota tujuan menggunakan mobilku. Pagi ini penampilan Kian sangat casual, hanya memakai kaos biru cerah lengan pendek, jeans abu abu, dan rambut sedikit jabrik. Like
Sesampainya di kos, aku langsung menemui pemiliknya. Sedang Kian masih menenangkan perutnya di sebelah mobilku. Setelah semua beres, aku mendatanginya yang masih meringis walau sudah meminum obat pereda mulas.Aku menahan tawa. "Cemen! Pake rok sana.""Sialan Lo.""Laki tuh harus kuat, pantes jadi duda muda."Kian menonyor kepalaku dengan tatapan mautnya yang langsung kuhadiahi tangan membentuk minta ampun.Aku mulai mengambil kardus satu demi satu lalu kubawa ke kamar. Saat aku mengambil kardus terakhir, Kian menahan tanganku dan langsung membawanya ke kamar. Kebetulan itu yang paling berat.Setelah meletakkannya, bukannya keluar, Kian malah menata barang barangku. Memperhatikan beberapa spot yang pas lalu menggeser lemari kecil dan kasur lantaiku. Jika sudah seperti ini dia terlihat begitu berwibawa, aura aura kantornya begitu kentara sedang aku hanya berani mencuri lirik dirinya.Aku menahan senyum den
Teman baru.Karir baru.Tempat baru.Dan kehidupan baru.Apa yang terjadi di masa lalu hanyalah kenangan yang tidak patut untuk kuingat ingat. Tidak akan berguna, toh siapa pelaku yang memutasiku sudah kurelakan biar Tuhan yang membalasnya.Di kantor cabang yang tidak besar ini, aku memiliki teman baru yang bernama Agus dan Anton. Kami satu ruangan dan satu job desk hanya berbeda proyek. Jumlah pekerja disini tidak banyak dengan kantor yang tidak besar membuat aku cepat mengenal siapa saja rekan kerjaku.Tapi sejak kedatanganku, ada tiga perempuan menor yang bersikap tidak ramah padaku. Sedang aku tidak melakukan kesalahan apapun atau mengulik privasi mereka. Kesal dengan ulah mereka yang membuatku tidak habis pikir, aku menjulukinya Trio Cerryembel.Di kantor baru pun aku masih memiliki musuh. Astaga!!Masalah dengan teman teman di kos lama yang membuat kami berakhir musuh kubiarkan tergeletak begitu sa
Ini bermula saat dengan percaya dirinya Anton memintaku menghadiri pernikahan salah satu temannya.Demi Tuhan!!Menjadi tumbal seperti ini mengingatkanku pada saat Kian mengajakku datang ke pesta pernikahan perempuan yang mencintainya.Anton memintaku datang bersama Hendrik, temannya. Sebenarnya aku sudah menolak permintaannya yang bisa saja melukaiku begitu dalam. Membuka kenangan lama yang hanya membuat aku tidak bisa move on.Bayangan Kian hingga hari ini masih membayangi relung hatiku. Aku lelah diatur oleh perasaanku sendiri yang seakan terus meminta berdekatan kembali dengan Kian.Gila!Kian saja sekarang suda memiliki perempuan baru yang tempo hari sempat diunggah Alfonso sebagai status. Siapa yang tidak meradang melihat lelaki yang disayang tengah bersama perempuan lain yang notabene jauh lebih menarik dan cantik. Tentu aku harus tahu diri.Setelah merebut Affar dari istrinya dengan cara diam-diam, aku
Hendrik sudah menungguku di teras kos tapi tidak ada debaran seperti saat Kian yang menungguku. Semuanya terasa biasa.Ini menandakan jika aku masih mencintai Kian, bukan yang lain."Maaf ya naik motor." Ucapnya lirih.Aku tersenyum tipis. "It's okay Hend."Hendrik melajukan motor maticnya dengan hati hati. Dan aku duduk menyamping sambil memangku clutch bag.Sembari menikmati perjalanan menuju lokasi, memori saat Kian mengajakku pergi ke kondangan kembali terlintas. Mungkin aku merindukannya.Saat di dalam mobil...."Kali ini Lo akan gue ajak bermain drama yang total." Ucapnya tetap fokus menyetir."Drama?""Sha, bantu gue bikin mempelai perempuan sakit hati. Kita pura pura romantis sepanjang resepsi. Sebelumnya gue minta maaf kalau nanti gue bakal pegang tangan Lo."Kian mengatakan dengan hati hati agar aku tidak tersinggung."Oke. Kita saling menguntungkan."Kian tersenyum
Sepulang kerja aku pergi ke festival tempo dulu yang diadakan kota kecil ini setiap tahunnya. Penasaran dengan keseruan di dalamnya, aku pun mencoba mengunjungi seorang diri masih dengan memakai setelan kerja.Banyak penjual barang barang model lawas yang membuat pengunjung merasa bernostalgia. Begitu juga dengan makanan yang dijual."Lampion harapan mbak? Cuma dua puluh ribu."Warna merahnya menyala dengan gambar bunga sakura."Make a wish lalu terbangkan mbak."Di jaman seperti ini mana ada menerbangkan harapan di lampion lalu terkabul. Ada ada saja.Padahal jika ingin harapan terwujud maka seseorang itu harus berusaha keras.Tapi kira kira, what hope do I want?"Berdoa demi kesehatan orang tua juga salah satu harapan mbak."Aku ingat retaknya rumah tangga mama dan papa karena pihak ketiga, juga papa yang tidak bisa menjaga komitmen pernikahan. Serta pen
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi