Melihatnya datang menjemputku dan tertawa seperti tadi membuat amarahku padanya menguap begitu saja. Yeah katakanlah aku lemah soal asmara, tapi memang beginilah. Aku tidak bisa marah lama pada seseorang yang kucintai.
Begonya aku.
Saat aku sedang ganti pakaian, Kian menelfon. Dia menungguku di rumahnya dan kuiyakan.
Aku berjalan menuju rumah Kian dengan hati riang.
Mobilnya terparkir tampan seperti habis dicucikan. Artinya malam ini Kian ready for the party.
Ah iya, berarti dia dan Alfonso sudah berbaikan.
Apa mungkin tadi siang ia menurunkan Mas Fajar di jalan karena akan berbaikan dengan A
"Hai Kian?! Lama nggak muncul.""Iya, gue sibuk Rick.""Drey, gue pinjem laki Lo." Ucap Erick padaku.Aku mengangguk sebagai jawaban. Dan Kian? Jangan tanya lagi. Pria itu langsung berjalan ke arah teman temannya tanpa memperdulikanku.Aku menghela nafas karena sikap cuek dan dinginnya.Acara yang kuhadiri adalah acara bulanan club Mogen. Semua anggota berkumpul membicarakan soal bisnis mereka.Sejam aku duduk sendirian. Menghabiskan cemilan. Dan aku pun tidak mencari dimana keberadaan Kian.Aku memutuskan keluar menuju teras hall. Menikmati semilir a
Aku bergegas menuju lobby karena aku tidak mendapat telfon dari Kian. Paling tidak aku harus standby disana sebelum dia mengomel lagi dengan tatapan yang tidak kusukai.5 menit10 menit20 menit25 menitMobilnya tampak melaju ke arahku dan berharap Kian menyudahi episode marahnya. Bagiku satu bulan perang dingin hanya membuat hatiku membeku.Tapi ya Tuhan, apa ini? Dia melewatiku begitu saja? Jadi? Aku harus berangkat naik taksi begitu?Astaga????!!!Aku mengelus dada dan segera memesan taksi. B
"Perjuangan merebut dia dari gue maksud Lo?!" Elea mendorong bahuku.Aku terkekeh. "Sayang banget ya cinta kalian kandas.""Awas Lo ya! Lo nggak tahu siapa gue? Gue bisa sewa orang buat gebukin Lo di jalan!""Main keroyok bisanya?" Tantangku."Eh jalang, gue peringatin Lo. Sebelum gue bikin Lo babak belur!""Orang dia cowok gue. Yang harusnya minggir tuh Lo!" Sungutku."Jaga ucapan Lo! Ngerti apa Lo tentang hubungan gue dengan kak Kian?"Aku mengendikkan bahu acuh. "Gue nggak minat denger masa lalu kalian."
Namun....Brak...Pintu ruang tamu ditutup Kian sedikit keras. Kian meraih mangkok baksoku lalu meletakkannya di meja ruang tamu."Siapa yang nyuruh Lo pergi? Seenaknya Lo mutus perjanjian padahal Lo yang buat? Lo benar benar cewek plin plan nggak bisa dipegang janjinya!""Aku nggak kuat Kian. Aku lelah kalau kayak gini terus." Ucapku dengan suara tercekat."Kan Lo sendiri yang bilang mau gue suruh apa aja. Kenapa sekarang Lo protes!?"Aku menggeleng. "Kian, aku juga punya lelah. Apa kamu nggak mikir?""Terus gimana kalau gue juga butuh bantuan Lo saa
Cc: Baca dulu.Sha, gue nggak tahu kenapa Lo blokir nomer gue. Udah gue pikir apa salah gue tapi nggak bisa nemuin.Sekarang gue pengen cerita satu moment yang mungkin aja bisa bikin Lo berubah pikiran ke gue.Kian mencintai Elea.Mungkin Lo udah tahu itu lama. But, I want toemphasizeit one more time.With the hope that you will not go wrong to trust Kian or me.Kian dan Elea sudah lama menjalin hubungan tanpa status. Mereka dekat tapi enggak punya ikatan sebagai seorang kekasih.Kian never say love her but hisactshow it.
-Ini bukan tentang siapa yang melupakan dan siapa yang merelakan tapi ini tentang siapa yang lebih dulu meninggalkan dan melepaskan.- Sudah tiga hari berlalu tetapi Kian tidak juga menghubungiku. Bahkan sekedar ucapan maaf karena perlakuan kasarnya pun tidak ada. Dia benar benar pria kurang ajar yang pernah kutemui. Juga, apakah dia tidak memiliki seorang ibu yang perlu dihormati dengan kata-kata yang lembut? Atau memang dia anak kurang ajar yang sering membentak ibunya? Entahlah, yang jelas, walau aku melakukan kesalahan tapi Kian seharusnya tidak seperti itu padaku. Karena aku juga punya hati. Saat aku bisa lolos dari rumahnya malam itu, telfonku terus berdering namun aku abaikan. Aku pikir itu dari Kian yang mau meminta maaf tapi ternyata aku salah. Melainkan telfon dari mama dan ayah tiriku. Mereka selalu menyempatkan waktu untuk menghubungiku karena kesibukanku yang membuat jarang pulang kampung. Sekalian mereka mengabarkan bahwa usaha konveksi ayah tiriku berkembang sesuai h
-Bukan menyukai, tapi membutuhkan. Ada orang-orang yang memilih kesibukan untuk melupakan kesedihannya.- Aku tidak menyangka jika Alfonso benar-benar datang menjemputku menggunakan skuter. Dia berucap jujur jika mulai mencicipi kesederhanaan ini karena berteman denganku. Aku sempat tertawa tidak percaya tapi ia kembali meyakinkan jika kehadiranku memberi warna baru dalam hidupnya yang terbiasa glamour. Lalu akhirnya ia membawaku makan malam di sebuah tempat makan favorit kami berdua. "Kalian putus?""Al, please kita nggak jadian. Just friend. Jangan ungkit Kian lagi. Malam ini gue cuma pengen denger banyolan Lo yang receh receh itu." Alfonso terkekeh. "Gue harap Lo selalu bahagia. Kenapa sampai blokir nomer gue segala?" "Bodo amat." Alfonso terkekeh. "Kian pasti nahan lo buat nggak hubungin gue atau dia ngracun pikiran lo." Aku tidak menjawab kemudian pesanan kami datang dan itu membuatku berbinar. "Gue nggak peduli sama itu duda. Mau pergi kek mau stay kek, nyatanya xuki ini
-Aku tidak sebaik yang kau ucapkan namun tidak seburuk yang terlintas di hatimu.- Demi apapun mengapa mobil Kian sudah terparkir disana?Bagaimana bisa ia lebih cepat dariku? Dengan segera, aku ikut bergabung dengan Kian juga surveyor lapangan lalu melirikku tidak suka. Aku benci diberi lirikan seperti ini karena masih marah padaku. Mungkin saat bertemu customer nanti adalah momen yang tepat untuk menjatuhkan reputasiku seperti dulu. Demi rasa menyesal dan maaf, aku tidak akan membongkar hubungan pura-pura kami atau menceritakan kehidupan keluarga Kian pada siapapun. Termasuk nama seseorang yang tertulis di kuitansi rumah sakit jiwa yang tempo hari kutemukan. Setelah pertemuan dengan customer selesai, aku berpamitan lebih dulu pada semua yang ada termasuk Kian. Aku ingin menjauh secepat mungkin. Tapi tiba-tiba saja tangan kananku ditarik, lalu ia memasukkanku ke dalam mobil. Bukan ajakan lembut melainkan Kian melakukannya cukup kasar hingga aku meringis karena pergelangan tanganku
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi