Menyalahkan mulutku yang lemas karena berani menyebut status Kian sebagai seorang duda. Aku merasa layak dihukum. Tapi bukankah memang itu kenyataannya?
Lagi pula aku siap dihukum kalau memang aku menghina statusnya. Tapi aku hanya menyebutnya, bukan menghina.
'Oooh okey cukup berburuk sangkamu Sasha. Percuma kamu merasa bersalah karena nyatanya ibu Kian tidak menyalahkan juga tidak membenarkan.' Batinku.
Tapi tetap saja perasaan tidak enak dan bersalah ini membelengguku. Aku mulai takut kalau acara pdkt-ku akan berakhir disini.
Bagaimanapun aku masih berharap ada di hati Kian dengan cara berdekatan seperti ini.
Tidak terasa sudah satu setengah jam aku duduk di
"Sasha, ibu dan Kian minta maaf ya. Karena Rado kamu jadi pulang malam malam sendirian." Ucap mama Kian ketika kami ada di teras rumah. Tanpa Rado.Pemuda itu setelah mendapat nomerku langsung melenggang masuk ke kamar.Tidak ada ucapan terima kasih atau maaf karena tadi sempat berkata kasar dengan menyinggung namaku. Tapi untung saja aku bukan perempuan yang mudah tersinggung.Aku tersenyum lalu menggeleng. "Tidak apa apa bu. Kalau saya jadi Kian pasti saya juga akan mengutamakan keluarga. Saya anggap ini sebagai balas budi dan terimakasih saya sama Kian.""Maksudnya?"Aku melirik Kian sekilas yang hanya diam memperhatikanku.
Aku turun dari taksi dengan raut kecut. Pasalnya setelah sampai kos, gerbangnya benar benar sudah ditutup.Lalu melirik jam di pergelangan tangan."Udah hampir jam setengah 12. Anak anak yang lain pasti udah tidur."Aku berdiri seorang diri di depan gerbang, ditemani seekor tikus yang tiba tiba melintas di depanku."Hamsyooongg!!! Bikin kaget."Sejurus kemudian anjing tetangga sebelah menggonggong.Takut dikira maling akhirnya aku berlari ke rumah Kian yang hanya berjarak lima rumah dari kosku.Setelah berada di dalam rumahnya, aku mengirim pesan pada
"Dokter spesialis kejiwaan Pelita Husada."Aku mengetik nama rumah sakit itu di website dan betapa terkejutnya aku, ternyata rumah sakit itu berada di kota yang sama dengan rumah kelahiran Kian.Itu berarti siapapun yang berobat dengan dokter tersebut adalah orang terdekat Kian.Kubaca lagi isi kuitansinya, tetapi mengapa penerimanya atas nama Paralio Kian Mahardika?Tidak mungkin kan Kian menemui dokter jiwa? Setahuku Kian tidak mengalami gangguan kesehatan apapun. Pikirannya masih lurus.Kecuali jika ada bawahan yang teledor maka Kian akan berubah menyeramkan.Kupilah lagi isi lemari itu dan menemukan se
"Gimana kabar Kian?" Aku mengangguk sambil mengunyah dim sum. "Fine. Dia baik baik aja dan sibuk kayak biasanya Al." Alfonso mengangguk. "Apa dia nggak pernah bicara apapun tentang persahabatan kami?" Aku menggeleng. "Nggak pernah dan gue nggak berani tanya. Tahu sendiri kan? Kian kayak apa kalau dikorek masalah pribadinya. Berarti kalian masih dalam mode nggak baikan?" Alfonso mengangguk pelan. "Lalu Elea? Apa mereka masih saling kontak?" "Apa Lo nggak pernah lihat Kian melakukan komunikasi dengan Elea?" Tanyanya balik.
Kian itu terkadang hangat.Terkadang cuek.Terkadang mengesalkan.Sejak kejadian aku bertemu ibu dan adiknya dirumah kelahirannya tempo hari, walau itu terjadi secara tidak disengaja, membuat intensitas komunikasi kami menurun.Sudah tiga hari ini kami tidak berkomunikasi via apapun. Bahkan di kantor pun aku tidak melihatnya tapi aku mendengar dari Mas Fajar jika mereka sering ke lapangan.'Bawa minum nggak tuh duda? Jangan sampe pingsan lagi kayak dulu.' Batinku."Woy!!!! Ngelamun apa!" Mas Fajar mengejutkanku."Apaan sih mas? Lagi
Melihatnya datang menjemputku dan tertawa seperti tadi membuat amarahku padanya menguap begitu saja. Yeah katakanlah aku lemah soal asmara, tapi memang beginilah. Aku tidak bisa marah lama pada seseorang yang kucintai.Begonya aku.Saat aku sedang ganti pakaian, Kian menelfon. Dia menungguku di rumahnya dan kuiyakan.Aku berjalan menuju rumah Kian dengan hati riang.Mobilnya terparkir tampan seperti habis dicucikan. Artinya malam ini Kianready for the party.Ah iya, berarti dia dan Alfonso sudah berbaikan.Apa mungkin tadi siang ia menurunkan Mas Fajar di jalan karena akan berbaikan dengan A
"Hai Kian?! Lama nggak muncul.""Iya, gue sibuk Rick.""Drey, gue pinjem laki Lo." Ucap Erick padaku.Aku mengangguk sebagai jawaban. Dan Kian? Jangan tanya lagi. Pria itu langsung berjalan ke arah teman temannya tanpa memperdulikanku.Aku menghela nafas karena sikap cuek dan dinginnya.Acara yang kuhadiri adalah acara bulanan club Mogen. Semua anggota berkumpul membicarakan soal bisnis mereka.Sejam aku duduk sendirian. Menghabiskan cemilan. Dan aku pun tidak mencari dimana keberadaan Kian.Aku memutuskan keluar menuju teras hall. Menikmati semilir a
Aku bergegas menuju lobby karena aku tidak mendapat telfon dari Kian. Paling tidak aku harus standby disana sebelum dia mengomel lagi dengan tatapan yang tidak kusukai.5 menit10 menit20 menit25 menitMobilnya tampak melaju ke arahku dan berharap Kian menyudahi episode marahnya. Bagiku satu bulan perang dingin hanya membuat hatiku membeku.Tapi ya Tuhan, apa ini? Dia melewatiku begitu saja? Jadi? Aku harus berangkat naik taksi begitu?Astaga????!!!Aku mengelus dada dan segera memesan taksi. B
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi