Seminggu berlalu sejak kejadian itu dan Alfonso baru menghubungiku hari ini. Dia sibuk dengan bisnis barunya. Bahkan kadang pesanku di balas dengan pesan yang pendek beberapa jam kemudian.
"Apa yang Kian katakan Sha?"
"Dia susah banget dipancingnya buat jelasin hubungan kalian bertiga."
"Kian emang cukup tertutup dengan masalah pribadinya. "
"Al, kenapa Lo nggak terima aja perjodohan itu lalu minta maaf ke Kian? Dari pada kita beribet main drama kayak gini."
"Sha, gue nggak suka sama Elea. Dia bukan tipe gue banget. Manja."
"Gue tahu Lo cinta Elea. Tapi Lo takut jujur sama Kian."
"Ngaco!"
"Terus siapa cewek yang Lo taksir? Kenapa nggak Lo tunjukin ke keluarga biar Lo nggak dijodohin?"
"Kita nggak bisa bersama karena dia nggak ada hati
"Audrey! Ada tamu!"Aku yang masih menikmati lelah di akhir pekan pun terlonjak kaget karena teriakan seorang teman kos."Demi Tuhan, siapa juga bertamu jam enam pagi kayak gini? Perasaan gue nggak ngutang ke bank." Gumamku dengan mata masih setengah mengantuk.Setelah mencuci muka, gosok gigi, dan mengikat rambut asal, aku menuju teras kos."Hai." Sapanya.Aku mengucek mata berkali kali karena kedatangannya, saat merasa tidak salah lihat barulah aku tersadar dengan baby dol pendek yang kupakai terlalu memalukan. Saat aku hendak berbalik dia menarik tanganku."Kemana?""Kamu tuh ya. Nggak kasih kabar dulu kalau mau kesini."Kian terkekeh. "Sorry. Mau jalan nggak? Mumpung akhir pekan."Aku menatapnya tidak percaya. "Serius? Kamu ketempelan setan dimana Kian ngajak jalan jalan?""Ini setannya." Tunjuknya di keningku."Iiiihh.... Manis gini dibilang setan?""Buruan ma
"Ayo." Kian kembali menarik tanganku menuju bibir pantai.Lalu menciprati wajahku dengan air laut tanpa persiapan. Aku hanya bisa menghalaunya dengan tangan dan melangkah mundur."Curang!!! Main jelek kamu!!""Lo nggak fokus! Ngelamun aja!"Tidak mau kalah, aku balik menciprati air ke arahnya."Rasain tuh basah."Kian malah menggunakan kakinya juga untuk membuatku lebih basah. Usilnya sangat keterlaluan sekali. Dan baru kali ini aku menyadari hal itu."Kian bego!!! Basah bajuku!!"Kian hanya tertawa lalu mencari arus gelombang yang lebih besar sembari menggandeng tanganku. Karena tenaganya lebih besar, rasanya percuma melepas cengkeraman tangannya."Kian!!! Aaaw...."Gelombang besar datang menghantam kakiku hingga sebetis. Membuat celana jeansku basah hingga setengah."Rasain nih." Kian kembali mencipratiku dengan air laut."Basah bego! Aku nggak bawa ganti!""Atasan kok dibilang b
"Ke...kenapa?""Ada pasirnya." Kian mengusapnya lembut dengan menatap mata dan pipiku bergantian.Tangannya tiba tiba terulur menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. Wajah tampannya tidak luput dari mataku yang merekamnya dengan sangat baik.Tuhan!!! Jika aku jatuh cinta lebih dalam aku pasti akan menyalahkan Kian atas kejadian ini. Tapi sayang dia tidak mungkin mau bertanggung jawab atas kelancangan hatiku berani mencintainya.Dia tidak bertanggung jawab atas kegugupanku karena perhatian dan sentuhannya."Sha?"Aku terkesiap lalu mundur dua langkah."Lo ngelamun? Di tepi pantai kayak gini?""Ishhh... Nggak lah.""Habisnya Lo bengong kayak ketemu orang ganteng aja."Sialan!!Memang Kian itu ganteng. Kalau dia tidak mempesona mengapa aku repot repot menyembunyikan perasaanku sendiri.Jika dia tidak mencuri hatiku mengapa aku repot repot move on lalu ber
"Gue takut Lo bakal sakit hati Sha.""Apaan sih? Kamu jangan main petak umpet dari tadi.""Kalau lo terluka gue nggak tanggung jawab.""Bukannya berani jatuh cinta juga harus berani patah hati?"Aku harus memancing Kian mengatakan hal yang sejak tadi aku wanti wanti.Iya, seperti aku mencintai Kian tapi juga harus siap menerima kenyataan jika dia tidak mencintaiku.Lalu aku sendiri yang merasa sakit hati karena belum bisa move on. Menyedihkan!Bukannya aku tidak bisa mencari penggantinya hanya saja hatiku masih terlalu nyaman mencintai Kian. Hingga aku tidak berpikir segera mencintai yang lain untuk melupakannya.Harusnya aku bersikap biasa saja. Agar bisa mencari pengganti Kian yang lebih baik."Ayolah Kian, katakan ada apa." Aku menarik narik bajunya."Apa Lo tahu.... kalau.... Alfonso dijodohkan?"Aku mengangguk lesu. "Alfonso udah cerita.""Lo sedih?"&nbs
Akhirnya aku memutuskan menunggu Kian istirahat sejenak sambil bertukar pesan dengan Alfonso. Kursi kemudi ia rebahkan lalu ia menutup mata dengan tangan kanan dipakai menutupinya. Tidak berapa lama ia tampak damai.Saat ia terlelap beginilah aku menggunakan kesempatan ini untuk memandangi wajah dan tubuhnya lekat. Kulit kuning bersihnya selalu cocok ketika disandingkan dengan kaos atau kemeja apapun. Juga tubuh tinggi dan seksinya pantas disandingkan dengan beragam celana jeans apapun yang membuatnya nampak seperti lelaki berusia 25 tahunan.Kian masih tidur di kursi kemudi yang direbahkan, jadi kuputuskan mengangkat telfon dari Alfonso."Halo Al?" Ucapku lirih sambil melirik Kian."Masih di pantai?""Heum. Dia lagi tidur.""Tidur?""Tidur di mobil. Lo jangan mikir aneh-aneh. Kian bilang lagi ngantuk makanya dia tidur bentar."Aku menoleh ke arah Kian yang masih terpejam.
Tidak ada yang lebih menyenangkan selain dihubungi lebih dulu oleh seseorang yang begitu kucintai, meski ia belum tentu mencintaiku juga. Mungkin aku terkena syndrome cinta buta dan tidak peduli jika kembali terluka.Bodoh!"Malam Kian." Jawabku malu malu."Pulang telat apa on time?""On time lah. Kamu itu yang telat mulu."Kian terkekeh. "Oh ya, udah terima undangan?"Aku tahu apa yang Kian maksud, karena undangan sialan itu baru datang tadi siang dan aku memasukkannya ke dalam tong sampah."Udah." Jawabku tidak bersemangat."Minggu depan lo datang kan?"Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat. Jika pergi kesana ha
ian tampak meladeni pertanyaan pertanyaan Firna yang begitu genit dan menyebalkan. Aku bukan kekasihnya tapi melihat kedekatan mereka seperti ini membuatku ingin mengatakan pada Kian agar tidak melakukannya terang-terangan di hadapanku.Aku masih sakit hati karena Affar lalu mengapa ia menambahnya dengan menunjukkan hal memuakkan ini? Ingin membunuh hatiku perlahan hingga aku krisis cinta?Karena eneg, aku memilih menjauh dari drama membosankan itu."Sha?" Panggilnya lalu aku menoleh.Saat Kian menghampiriku, Firna menatap kami tidak percaya. Jika dia bisa membuatku jengah dengan ucapan genitnya pada Kian, maka ini lah saat yang tepat menunjukkan betapa dekatnya kami.Aku bukan perempuan yang lemah apa lagi bisa diinjak injak, akan aku tunjukkan padanya jika Kian memberiku perhatian yang tidak kala
"Gue benci di posisi kayak gini."Siapa yang tidak terkejut diberi kejutan seperti ini? Elea datang lalu meneriaku seperti ini di hadapan banyak pengunjung. Aku kembali seperti perempuan perebut lelaki orang.Aku menoleh ke arah Elea dan Kian pergi. Mereka sudah hilang di balik tembok.Rasa sesak di dada masih saja menggelayuti. Bahkan ini lebih sakit dari pada tidak bertemu dengan Kian sama sekali. Kesedihanku lengkap hari ini.Jika aku tidak menerima ajakannya untuk menghadiri acara terlaknat anaknya Affar, mungkin aku tidak bertemu dengan Elea. Atau mengalami de Javu seperti ini.Tuhan, aku tidak meminta alur hidupku seperti ini."Kampret banget! Mimpi apa gue hari ini samp
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi