Tiga bulan lalu....
"Halo?"
Akhirnya....
"Halo bapak Affar Khaleed Dirgantara. Masih ingat dengan suara saya?"
"Maaf salah sambung."
"Jangan lari seperti banci!! Hadapi gue kalau Lo emang gentle."
"Saya tidak punya urusan dengan siapapun anda."
"Benarkah?" Aku terkekeh sinis. "Setelah Lo buang gue lalu Lo anggap kita nggak ada urusan?! Bagi gue kita masih ada urusan."
"Maaf ini sudah malam."
"Berani nutup telfon gue, gue datangi istri Lo!!!" Ancamku.
"Dasar jalang!"
Aku tertawa. "Sekarang jawab pertanyaan gue. Lo yang mutasi gue kan?! Jawab Far!"
Affar diam.
"Kenapa Lo mutasi gue? Kenapa Lo jauhin gue dari sahabat sahabat baik gue? Kenapa Far?! Apa salah gue? Gue nggak bikin istri Lo cedera."
Affar masih diam.
"Kalau istri lo
Hari ini aku pulang kampung, setelah kesibukan di kantor yang menyita waktu. Aku merindukan mama, ayah tiriku yang baik, dan Ali, adik tiriku.Selesai memesan taksi online aku beralih ke laman status wa. Melihat status terbaru Alfonso.Deg...Seorang perempuan cantik dengan baju off shoulder sedang duduk di samping Kian. Sedang Kian selalu tampan dengan penampilan casualnya tengah menunjukkan sebotol bir yang ia teguk.Hampir tiga bulan kami tidak pernah berkomunikasi dan aku telah menghapus nomernya. Karena aku ingin melupakan dan mengubur dalam-dalam kenangan kami.Kian, dia sudah bahagia dengan yang lain. Dan aku harus ikhlas. Itunya kenyataan yang harus kut
Setelah pembicaraan penuh air mata itu, aku duduk di teras menunggu ayah pulang ngojek. Ini sudah jam sepuluh malam tapi ayah belum juga datang.Mereka yang awalnya begitu berkecukupan, bahkan ayah pula yang membiayai kuliahku hingga lulus. Kini, melihat keluarga baruku seperti ini, ada perasaan tidak tega membiarkan mereka hidup kurang layak.Lima belas menit kemudian ayah datang lalu aku yang membukakan pagar rumah."A.... Audrey?" Ucapnya terkejut."Malam ayah." Aku mencium tangannya."Ka...kapan datang nak?""Tadi siang. Ayah udah makan? Aku tadi beli lalapan buat ayah." Ucapku setenang mungkin.Ayah tampak kebingungan la
Siapa ciiin?" Tanya Anton setelah panggilanku dengan Alfonso berakhir."Teman kaya raya yang mau temenan sama cewek skutik kayak gue.""Serius? Sekaya apa emangnya?"Aku mengangguk lalu menunjukkan Instagram Alfonso beserta foto fotonya."Wiiih ini sih anak sultan cin. Kayah rayah, kalau kayak gini aku mau kali jadi simpenan dia." Celetuk Anton."Sayangnya dia nggak doyan terong Ton. Mending Lo cari cowok lain. Atau....."Aku melirik salah satu orang kejaksaan yang tidak jauh dari kami duduk sekarang."Najiiiissss!!!"Aku tertawa cekikikan. Pasalnya orang itu sudah beruban dan gendut. Sedang Anton adalah teman laki lakiku yang kemayu."Enak kali cin temenan sama Alfonso.""Enak Ton, dia pernah bayarin gue lihat konser Ed Sheeran gratis di kursi VVIP. Gila nggak namanya."***Sesampai di kos aku segera mandi dan mengirim lokasi kosku pada Alfonso.Karen
Drama yang kubuat dengan Alfonso tampaknya kurang meyakinkan. Kian tidak peduli dengan unggahan romantis kami. Namun bukan Alfonso namanya jika tidak bisa membuat Kian percaya. Untuk lebih meyakinkan, Alfonso mengirim sebuah kalung untukku. Lalu menyuruhku selfi dengan kalung itu. Alfonso begitu menyayangi Kian. Tapi Kian yang sudah buta akan cinta tidak peduli dengan persahabatan mereka dan penjelasan Alfonso. Jika sudah seperti ini, itu artinya Kian sangat mencintai Elea hingga ia melupakan persahabatannya dengan Alfonso. Membantu Alfonso hanya menambah luka di hatiku dan bodohnya aku telah mengiyakan permintaannya. Alfonso Al, ini terlalu mahal Al untuk sekedar akting. Jangan khawatir, itu gue beli di pasar malam kok. Wkwkwkwwk... Syukurlah... Kalo hilang gue nggak bingung ngembaliin. Sha, Lo setuju nggak tingkat tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan dia bahagia bersama yang lain?! Kenapa Lo tanya gitu? Andai cewek yang gue taksir tau perasaan gue. Tapi sebenarnya
"What are you doing here Kian?""Ayo pulang dulu. Nanti gue jelasin."Aku mengendarai motor dan Kian dibelakangku dengan mobilnya. Mirip anak yang dikawal orang tuanya.Sambil berkendara, sekelebat ucapan Alfonso beberapa waktu lalu terbersit dan membuatku sedikit meradang."Namanya Elea, dia cewek yang ditaksir Kian.""Mereka bakal sulit bersama karena status sosial dan Kian seorang duda.""Gue dan Elea dijodohkan tapi gue nolak. Karena gue cinta sama perempuan lain.""Gue pengen Kian sadar kalau memperjuangkan Elea tuh nggak berguna. Bantu gue Sha."Sesampainya di kamar aku segera menghubungi Alfonso. Ia harus tahu kedatangan Kian, sekaligus memberiku saran harus berbuat apa."Apa Sha?""Al, Lo percaya nggak kalau Kian ada disini?""Maksudnya? Kian ada di tempat Lo?""Iya, dia tiba tiba nongol l
"Sha?"Aku terperanjat. "Ehm.....doakan yang terbaik untuk kami.""Ngelamunin apa? Takut Alfonso marah?"Aku menggeleng. "Alfonso nggak gitu kok Kian.""Gue salut Lo bisa percaya sama dia padahal kalian LDR.""Kunci hubungan itu bukan seberapa dekat jarak dengan pasangan, tapi seberapa kuat komitmen yang kalian bangun untuk tetap bersama. Tentang bagaimana saling mengisi kebahagiaan diantara hubungan kalian."Aku berkata demikian sambil menerawang membayangkan nasib pernikahan kedua orang tuaku yang berakhir kandas. Papa tidak bisa menjaga komitmennya dan akulah yang menjadi korban perpisahan mereka."Sha, Lo ada problem?"Aku menggeleng dengan senyum tipis."Sorry kalau gue nyinggung Lo.""It's okay Kian. Aku cuma keinget sama orang tua aja."Sampai di rumah makan, kami memesan makanan sesuai selera masing masing. Setelah itu obrolan kami mengalir lagi dengan membahas banyak hal sep
Seminggu berlalu sejak kejadian itu dan Alfonso baru menghubungiku hari ini. Dia sibuk dengan bisnis barunya. Bahkan kadang pesanku di balas dengan pesan yang pendek beberapa jam kemudian."Apa yang Kian katakan Sha?" "Dia susah banget dipancingnya buat jelasin hubungan kalian bertiga.""Kian emang cukup tertutup dengan masalah pribadinya. ""Al, kenapa Lo nggak terima aja perjodohan itu lalu minta maaf ke Kian? Dari pada kita beribet main drama kayak gini.""Sha, gue nggak suka sama Elea. Dia bukan tipe gue banget. Manja." "Gue tahu Lo cinta Elea. Tapi Lo takut jujur sama Kian.""Ngaco!""Terus siapa cewek yang Lo taksir? Kenapa nggak Lo tunjukin ke keluarga biar Lo nggak dijodohin?""Kita nggak bisa bersama karena dia nggak ada hati
"Audrey! Ada tamu!"Aku yang masih menikmati lelah di akhir pekan pun terlonjak kaget karena teriakan seorang teman kos."Demi Tuhan, siapa juga bertamu jam enam pagi kayak gini? Perasaan gue nggak ngutang ke bank." Gumamku dengan mata masih setengah mengantuk.Setelah mencuci muka, gosok gigi, dan mengikat rambut asal, aku menuju teras kos."Hai." Sapanya.Aku mengucek mata berkali kali karena kedatangannya, saat merasa tidak salah lihat barulah aku tersadar dengan baby dol pendek yang kupakai terlalu memalukan. Saat aku hendak berbalik dia menarik tanganku."Kemana?""Kamu tuh ya. Nggak kasih kabar dulu kalau mau kesini."Kian terkekeh. "Sorry. Mau jalan nggak? Mumpung akhir pekan."Aku menatapnya tidak percaya. "Serius? Kamu ketempelan setan dimana Kian ngajak jalan jalan?""Ini setannya." Tunjuknya di keningku."Iiiihh.... Manis gini dibilang setan?""Buruan ma
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak
POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa
POV PARALIO Apakah Sasha bahagia karena aku menikahinya? Senyum saja tidak. Kedua matanya hanya menatap jemari yang terpasang cincin pernikahan yang kusematkan. Pantaskah aku berpikiran bahwa Sasha tidak bahagia dengan pernikahan kami? Padahal aku sangat bahagia memiliki dia yang sudah lama memendam cintanya untukku. Bahkan saat aku berulanag kali menyakitinya entah sengaja atau tidak sengaja sekalipun, Sasha masih menyimpan aku di ruang hatinya. Kini, ketika aku merasakan hatinya telah mati untukku, aku merasa.... menyesal. Hari ini, ketika Sasha sudah dinyatakan stabil kesehatannya, dokter memutuskan memindahkan ia kembali ke kamar rawat inap agar aku bisa menjaganya. Kini, setelah kami sudah tiba di kamarnya, Sasha akhirnya membuka suara. "Dimana anakku, Kian?" Tanyanya dengan suara lirih dan serak. Aku yang sedang membetulkan selimutnya, kemudian beralih menatap kedua bola mata indahnya yang sayu. "Dia di rumah, sama Rado, Mama, dan Mamamu. Tapi aku ada videonya. Mau
POV PARALIOSudah dua minggu, istriku dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sama. Tidak ada perubahan sama sekali dan itu membuatku hampir putus asa. Sebenarnya ada apa dengan Sasha?Mengapa setelah melahirkan, kondisi kesehatannya memburuk seperti ini?Tidak hanya aku dan orang rumah yang sedih melihat keadaan Sasha yang tak kunjung membaik. Tapi, bayi kami pun ikut terdampak. Kata Mama, bayiku sering menangis dan malam harinya rewel hingga pengasuhnya lelah. Karena itu pula, kinerjaku memburuk. Aku bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaan saat rapat dengan customer besar yang memintaku secara langsung untuk mengerjakan bestek pesanannya. Melihat perubahanku yang tidak baik, entah angin dari mana Pak Affar dengan baik hatinya menawariku satu solusi demi kesembuhan Sasha. Kami pergi ke salah satu panti asuhan anak yatim piatu lalu mengajak mereka berdoa bersama demi kesembuhan Sasha dan menyantuni mereka dengan beragam kebutuhan yang diperlukan. Dan setelah acara itu, hubunganku
POV RADO Apa aku harus mencium kakak iparku sendiri? Padahal aku tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya. Memiliki kekasih saja tidak. Memang, siapa yang sudi mencintai pemuda yang memiliki gangguan mental sepertiku?Begitulah pemikiranku ketika melihat Mbak Sasha yang masih setia terlelap dalam tidurnya di rumah sakit ini. Mataku masih setia menatap wajahnya yang setengah pucat dengan selang makan yang dimasukkan melalui sudut mulutnya. Sedih, kasihan, dan terbayang-bayang dengan bayinya yang berada di rumah tanpa belaian dari Mbak Sasha sebagai ibunya. Tatapanku berpindah ke tangannya yang kugenggam dengan erat karena suhu tubuh Mbak Sasha yang lebih rendah dari tubuh manusia normal. "Mbak, bangun. Bayimu nungguin kamu. Semua yang ada di rumah nunggu kamu sehat lagi. Jangan tidur terus.""Aku tahu kalau kamu kayak gini itu juga ada andil salahku, Mbak. Tapi aku janji bakal berubah. Aku bakal tebus kesalahanku. Aku bakal sayangi kamu sama bayimu, Mbak. Aku janji. Tapi