Seorang pria dengan kacamata dan tubuhnya yang tambun memasuki kantor Aska. Beberapa jam lalu dia memang sudah melakukan janji temu dengan Aska. Dia adalah sosok pengacara keluarga Bagaska sejak mendiang papanya dulu masih hidup.
"Ah Pak Bayu. Silakan duduk," ujar Aska dengan menunjuk sofa di ruangannya. Dia mengambilkan minuman untuk sang pengacara dan bergabung untuk duduk."Ada apa gerangan Pak Bayu? Tumben sekali Anda mendatangi saya. Ada masalah kah?" tanya Aska.Pria gemuk itu tersenyum penuh wibawa. "Tidak. Saya hanya ingin bertanya saja Aska. Apakah kamu ada masalah dengan adik kamu?" tanya Pak Bayu.Kening Aska terlipat mendengar pertanyaan pengacara keluarganya itu. "Maksudnya, Pak?" tanya Aska kemudian."Kemarin, Saka mendatangi saya untuk meminta bantuan melaporkan kasus penganiyaan yang dia alami. Yang membuat saya terkejut adalah, yang akan dia laporkan adalah kamu," jelas Pak Bayu.Aska merasa bingung dengan apa yaKeadaan Saka pagi ini terlihat tak baik saja. Setelah gagal melaporkan sang kakak pada kepolisian, dia juga belum menemukan keberadaan Nada di mana. Sungguh dia memikirkan keadaan kandungan kekasihnya itu.Pria itu memasuki kantor dengan keadaan kacau. Ah, tidak hanya keadaannya tetapi juga penampilannya kali ini sangat kacau, persis seperti seseorang yang tidak bisa mengurus dirinya.Bisik-bisik dari para karyawan mulai terlihat ketika Saka melewati mereka, tetapi seperti biasa dia mengabaikannya begitu saja. Ketika akan sampai di ruangannya, dia melewati meja sekretarisnya yang kosong.Saka berdecak. "Ke mana dia? Mau aku minta buatkan minum juga," bisiknya.Saka berlalu dan ingin memasuki ruangannya. "Biar kupesan sendiri nanti."Namun, baru saja dia memasuki ruangannya, Saka dibuat bingung dengan beberapa orang yang tengah membersihkan ruangan itu. Kening Saka terlipat. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Saka.Mungkin, jika yang melakukannya ada satu orang, Saka tidak akan
"Baik, Pak. Iya, Pak. Bisa, Pak. Baik. Terima kasih." Seorang perempuan baru saja menutup telepon dari rumah makan yang dia kelola. Kebetulan orang yang berada di bagian penerimaan pesanan melalui layanan telelon sedang ke toilet, alhasil dialah yang mengangkat ketika waktu itu dirinya lewat di samping telepon.Tampak wajah Niken yang menyiratkan akan kebahagiaan. Dia menepuk tangan lalu berlari ke arah dapur di mana semua pegawainya tengah bersiap membuka rumah makan pagi ini. "Dengar. Saya ada kabar baik," ujarnya penuh semangat.Niken melihat wajah-wajah ingin tahu dari pegawainya. "Kita mendapat pesanan setiap hari jumat lima puluh kotak nasi dari beberapa perusahaan dan harus diantarkan ke beberapa panti asuhan atau masjid. Mereka ingin menjalankan jumat berkah," ujar Niken dengan penuh semangat.Semua kebagian berkah, ya. Tampak semua pegawai yang langsung bersorak karena senang. Salah satu pegawai pria mengangkat tangan. "Ya Vino?" tanya Niken.
Sontak saja teriakan itu membuat Nada dan Reno langsung melepaskan pelukan mereka. Keduanya sama-sama menatap ke arah asal suara dengan ekspresi berbeda. Jika Reno menatap pria itu dengan kerutan bingung, maka Nada bersikap biasa karena baginya kedatangan pria itu memang sudah biasa.Sedangkan Aska, sosok yang baru saja memanggil Nada dengan teriakan kini tampak marah. Ekspresinya datar dengan kedua tangan yang mengepal di samping tubuh. Dia pun berjalan ke arah Reno dan Nada. Tanpa babibu Aska langsung menarik kerah pakaian yang dikenakan Reno dan membuat pria itu berdiri.Waw, Aska kuat juga ternyata.Salsa? Perempuan itu hanya menatap dengan bola mata melotot dan bibir yang terbuka sangat lebar di luar kontrakan. Asal tahu saja, Salsa tadi pun juga terkejut dengan teriakan Aska. saking enaknya menguping dia tidak tahu kalau pria itu datang."Apa yang kau lakukan? Kenapa kau memeluknya!" teriak Aska di depan wajah Reno.Jika Reno memand
Saka turun dari taksi yang baru saja mengantarkannya ke perusahaan. Pagi ini, ketika dia berangkat bekerja, Saka kembali mengalami kemalangan di mana mobilnya mengalami mati mesin. Saka yang sudah hampir terlambat pun memilih untuk memesan taksi saja.Pria itu melangkah cepat memasuki lobi. "Coba saja kalau aku masih menjadi direktur di perusahaan ini, pasti aku bisa datang sesuka hati untuk membawa mobil ke bengkel lebih dulu," ujarnya dengan sesekali menepuk sikunya karena melihat pakaiannya yang sedikit kotor. Entah terkena noda apa dan di mana.Saka berdecak. "Sial. Kenapa sejak perselingkuhanku ketahuan, semuanya seakan hancur dan berantakan. Ada saja kesialan yang menimpaku. Sumpah serapah apa yang sebenarnya dilontarkan Rina padaku," ujarnya dengan menggerang kesal."Apa dia tidak melihatku sebagai ayah dari anaknya," lanjut Saka.Seperti biasa, pria itu memasuki divisi perencanaan tempatnya saat ini bekerja. Baru saja masuk, tampak semua k
"Bagaimana pekerjaan Kakak beberapa hari ini?" tanya Nada. Sore ini, setelah pulang dari bekerja, Nada, Reno dan juga Salsa sedang makan bersama di teras kontrakan Nada. Tiba-tiba saja sedang ingin makan nasi padang. Alhasil, mereka pun memilih untuk makan menu itu sore ini.Reno mengangguk, dia menelan makanannya lebih dulu baru meneguk air sedikit. "Baik. Semuanya lancar." Sebenarnya makan tidak diperbolehkan dengan mengobrol bukan? Hanya saja kalau makan bersama-sama seperti ini tanpa obrolan itu tidak seru rasanya."Oh, iya. Kakak jadi tidak enak sama kamu. Kamu sampai harus menggunakan nama kamu agar kakak bisa ngebon beli ponsel dulu. Semua orang jadi tahu deh kamu adik kakak. Adiknya mantan napi," ujar Reno.Nada cemberut. "Kakak apaan sih? Memangnya kenapa kalau mereka tahu? Nada juga nggak masalah kok." Nada menjelaskan. Toh Nada juga sudah dipandang jelek sebab kehamilannyaSalsa yang mendengar obrolan itu pun menatap kakak beradik itu secara bergatian. Keingian untuk tahu i
"Dasar anak tak tahu diuntung," maki Pak Baron menatap tajam Tari yang ada di belakang Reno."Mau dinikahin sama orang kaya kok nggak mau," ujar Pak baron kemudian. "Kalau kamu menikah dengan Rizal, hidupmu akan enak. Hidup kamu bakalan terjamin. Mau ini itu tinggal beli, nggak usah mikirin uangnya dapat dari mana lagi. Bisa banggain orang tua dan manjain orang tua di masa tuanya." Dia melanjutkan.baiklah. Reno paham sekarang, kenapa bapaknya ini begitu getul ingin adiknya menikah dengan pria seperti Rizal, si rentenir yang mencekik manusia lainnya. Semua karena dia ingin hidup enak di masa tua. "Kalau begitu kenapa bukan Bapak saja yang menikah dengan Rizal?" tanya Reno pada bapaknya. Sontak saja apa yang dikatakan Reno membuat Pak Baron melotot seketika. "Kurang ajar. Kau pikir aku ini apa?" tanyanya dengan marah."Lah Bapak sendiri mikir Tari ini apa main dinikahkan sama linta darat seperti Rizal geblek itu. Pria yang kencingnya nggak bisa berdiri aja mau nikah." Reno tak mau kal
Meski berada di satu tempat yang sama untuk bekerja, Reno tak dapat mengobrol dengan sang adik secara bebas. Seperti contohnya hari ini, seharian penuh dia harus mengirim makanan yang dipesan melalui online.Dia belum bisa memberitahukan sang adik mengenai kabar pertemuannya dengan ibu mereka juga Tari. Padahal rasanya Reno tak sabar untuk memberitahukannya. Hingga saat pulang pun Reno harus pulang terlambat karena dia juga masih harus mengantarkan makanan.Tanpa babibu lagi, ketika pekerjaan selesai, dia langsung meluncur menuju kontrakan sang adik untuk memberitahukan kabar gembira ini.Keyika dia sampai di sebuah gang yang cukup lebar Reno melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di bawah pohon asam. Dia mengerutkan kening karena merasa mengenal mobil itu. Namun, kacanya yang berwarna hitam tak bisa membuat Reno melihat ke dalam untuk mengetahui siapa pemiliknya.Dia mengabaikan itu dan menganggap mobil dengan model seperti itu pasti banyak ya
Reno yang semakin merasa penasaran dengan mobil hitam yang berhenti tak jauh dari keberadaannya pun mulai berjalan mendekati mobil itu. Namun, mobil itu mulai melaju pergi sehingga dia harus mempercepat langkah. Kini, dia hanya bisa berkacak pinggang menatap bagian belakang mobil yang mulai menjauh.Baru saja dia ingin kembali ke kontrakan sang adik, tetapi urung kala melihat mobil tadi kembali berhenti. Jika di posisi berhentinya mobil itu, memang tidak akan terlihat dari kontrakan Nada."Kenapa ibu-ibu tadi mendekati mobil itu?" tanya Reno ketika melihat ibu-ibu berdaster hijau yang sebelumnya ikut mengusir Nada mendekati mobil. Pelan, Reno pun berjalan ke arah mobil itu.Sedang ibu-ibu dengan daster hijau itu tampak menahan senyuman kala melihat pintu kaca mobil di hadannya terbuka. "Maaf, Nyonya. Saya gagal mengusir dia dari kontrakan itu. Tadi ada laki-laki yang mengaku suaminya. Dia membawa buku nikah juga. Kata Nyonya, di belum menikah dan hamil di
Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san
Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja
Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den
"Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka
Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank
Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik
"Akh! Sakit!" teriak Nada kala rambut panjangnya ditarik secara kasar. Wajahnya kini mendongak dengan tangan yang terikat ke belakang tubuh. Perempuan itu kini tengah duduk di sebuah kursi dengan tangis yang terus mendera sedari tadi karena penyiksaan yang dia dapat.Wajah Nada tampak penuh lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah karena sobek. Penampilan Nada begitu kacau."Sakit. Tolong hentikan," ujar Nada dengan tangis. Kepalanya terasa perih kala pria di hadapannya ini mencengkeram rambutnya dengan sangat kuat."Apa? Apa?" Danu. Pelaku itu mendekatkan telinga ke wajah Nada. "Menghentikan?" tanyanya kemudian."Mimpi," ujarnya dengan keras dan kasar mendorong kepala Nada. Dia melepaskan sesaat rambut perempuan itu sebelum akhirnya kembali menariknya secara kasar."Apa kau bilang tadi? Sakit?" Danu bertanya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya dia tertawa dengan nada yang sangat menyeramkan."Rasa sakitmu ini tidak setara dengan sakit hati yang aku rasakan karena aku kehil
Bu Mila tidak bisa diam. Sejak tadi perempuan itu duduk, berdiri dan berjalan tiada henti dengan perasaan gelisah. Kabar mengenai penculikan Nada tentu saja menggemparkan keluarganya. Semua dibuat panik dan khawatir.Tari yang melihat ibunya terus menerus seperti itu menggeleng. Dia merasa kasihan. "Ibu. Ibu duduk dulu. Ibu yang tenang." Tari mendekati ibunya. Dia memegangi pundak Bu Mila lalu mengajaknya duduk bersama."Yang tenang, Bu. Jangan sampai kegelisahan Ibu ini membuat Ibu menjadi sakit nantinya," lanjut Tari."Gimana ibu bisa tenang, Tar kalau kakak kamu diculik orang?" tanya Bu Mila dengan perasaan sedih. Entah sudah berapa kali dia menangisi Nada."Maafin, Salsa ya Bu Mila. Salsa nggak bisa jagain Nada," ujar Salsa yang merasa bersalah."Tidak, Nak. Ini bukan salah kamu." Pak Baron berujar. Sejak tadi temannya Salsa itu terlihat sangat bersalah dengan kejadian yang menimpa Nada.Rina keluar dari dalam rumah. Dia membawa beberapa gelas minuman untuk semua yang ada di sana.
Danu berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan kanannya yang memegang sebuah pisang. Dia menikmatinya sepanjang perjalanan sembari sesekali bersiul dan bersenandung. Pria itu tampak menunjukkan wajah yang bahagia.Asal kalian tahu saja, Danu baru saja pergi meninggalkan rumah sakit untuk melakukan hal yang biasanya dia lakukan. Kali ini Danu mendapatkan uang yang cukup banyak sehingga itulah dia tampak bahagia. Namun, dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruangan putranya.Ketika berjalan, dia tampak kebingungan dengan beberapa petugas medis yang berlari-lari. "Mereka kenapa?" tanyanya pada diri sendiri namun memilih acuh pada keadaan.Sampai akhirnya kala keberadaan pria itu sudah di dekat ruangan yang di mana anaknya dirawat, Danu mendengar suara teriakan dari sana. "Itu suara Niken?" Keningnya mengerut, menandakan kalau pria itu tengah kebingungan."Ngapain dia teriak-teriak begitu? Pakai acara nangis segala." Danu masih melangkah dengan santai menuju ruangan. Sa