Share

Aku Bukan Mesin Pencetak Uang
Aku Bukan Mesin Pencetak Uang
Author: Ayu Kristin

Pura-pura miskin

Author: Ayu Kristin
last update Last Updated: 2022-09-27 16:05:00

"Ayolah Adam, Ibu ingin sekali membeli tas baru itu!" Suara rengekan Ibu terdengar masuk dalam indra pendengaranku yang sedang ingin mengambil air minum ke dapur. 

 

"Bu, aku takut minta uangnya pada, Dania." 

 

Jelas saja takut! Baru beberapa hari yang lalu Mas Adam, suamiku itu, memintaku untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya--dengan alasan untuk membuka usaha baru. Aku tidak bisa menolaknya, kerena aku adalah tipe istri yang sangat patuh pada suami. Toh, kupikir usahanya juga untuk keluarga kami.

 

"Dam, cuma lima juta saja Adam. Masa iya Nia tidak mau kasih?" desis Ibu dengan nada kesal. Aku tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Tapi, aku yakin wanita itu pasti sedang menampilkan ekspresi bersungut-sungut pada Mas Adam.

 

"Dasar! Istri kamu itu memang pelit!" hardik Ibu mertuaku kesal.

 

Aku mendengus berat. Dadaku bergemuruh mengajar amarah. Apa? Ibu bilang aku pelit? Memangnya, siapa yang sudah membayar hutang-hutang ibu pada rentenir? Anak-anaknya? Jangan harap! Aku semua yang membayarnya. Dasar! 

 

"Ibu jangan kencang-kencang ngomongnya! Nia kan lagi tidur Bu," sergah Mas Adam. Pasti dia sedang panik.

 

"Makanya mintain sama Istrimu itu, ya!" minta ibu lagi.

 

"Dasar matre!" seruku kesal dalam hati.

 

"Iya, nanti Adam coba bicara sama Nia," ucap Mas Adam pada akhirnya.

 

Aku mendengus berat, berjalan pelan menuju pembaringan kembali. Niatanku untuk mengambil air minum sirna karena pembicaraan antara Mas Adam dan Ibu mertuaku.

 

Aku tersenyum sinis seraya menarik selimut hingga ke dagu.  Sepertinya, aku harus berdrama di hadapan ibu mertua dan suamiku untuk mengingatkan mereka bahwa aku ini sudah cukup baik pada mereka. 

 

*****

 

Aku segera memasang wajah sembab saat keluar dari dalam kamar. Ibu yang sedang asik menonton televisi mengalihkan pandangannya kepadaku.

 

"Ada apa, Nia?" seloroh Ibu berjalan mendekatiku. 

 

Aku terisak di hadapannya. "Ibu!" lirihku menjatuhkan pelukan pada wanita yang sebenarnya sudah aku anggap sebagai Ibuku sendiri--setidaknya, sampai kemarin.

 

"Ada apa, Dania? Kenapa menangis, ceritakanlah pada Ibu, Nak!" ucap Ibu begitu lembut. Satu tangannya mengusap lembut pada punggungku.

 

Aku menarik tubuhku dari pelukan ibu. "Bagaimana aku tidak menangis, Bu? Beberapa naskahku ditolak oleh platform. Lalu, bagaimana bisa aku mendapatkan uang jika tulisanku sudah mulai tidak ada yang menyukainya?" isakku.

 

"Sabar Nia! Ibu yakin kamu pasti bisa seperti dulu lagi." Ibu mencoba menenangkanku.

 

"Jika seperti ini, aku tidak yakin bisa mendapatkan uang dengan cara menulis lagi, Bu. Lalu bagaimana bisa kita mencukupi kebutuhan keluarga kita, Bu?!" seruku seraya mengusap air mata.

 

"Nia, kan kamu bisa mencoba lagi dengan cerita yang lainnya. Lagi pula, pendapatan kamu yang sebulan 80 juta itu pasti masih, kan?" Ibu menaikan kedua alisnya padaku.

Aku diam menanti ucapan ibu lagi.

"Jadi, masih bisa untuk biaya kehidupan kita sehari-hari. Lagi pula, Adam kan sekarang sedang buka usaha baru," tutur Ibu.

 

"Masih, Bu. Tapi, juga nggak seberapa. Kan ibu tau sendiri kebutuhanku juga lumayan," balasku.

 

"Makanya, Nia! Jangan biasakan hidup boros! Jangan membeli sesuatu yang tidak penting. Ingat, kasihan Adam tuh, pontang panting cari uang buat hidup kita. Kamu sih, enak. Kerjaannya cuma di depan laptop dapat bayaran puluhan juta," gerutu Ibu dengan wajah kesal. Dia sepertinya tidak bisa mempertahankan topengnya lagi. Wanita itupun segera berlalu meninggalkan aku.

 

"Daripada Ibu, maunya minta terus tapi nggak tahu diri!" umpatku dalam hati.

 

Aku ini adalah seorang penulis di sebuah platform digital yang cukup terkenal. Semua ceritaku pasti akan laris di pasaran. Beberapa bahkan ada yang sudah di-filmkan. Tapi, aku merahasiakan semua itu dari Mas Adam dan keluarganya. Entahlah, menurutku mereka sudah kelewat batas!  

 

Semua biaya di rumah ini, akulah yang menanggungnya. Bahkan, sampai biaya pernikahan adik Mas Adam beberapa bulan yang lalu. 

Aku ini masih muda, tapi beban hidupku sudah seperti memiliki anak sepuluh. Sangat berat sekali! Apalagi, gaya hidup ibu mertuaku yang kelewat batas untuk seusianya. Dia bahkan menghalalkan segala cara untuk menuruti gengsinya. Termasuk, berhutang pada rentenir. Lagi dan lagi, aku juga yang melunasi hutang-hutang itu.

 

Dan, kemarin aku sungguh kecewa. Tenyata, kebaikanku hanya dimanfaatkan oleh keluarga suamiku.

Sebenarnya, aku sering mendengar mereka menjelek-jelekkan aku pada tetangga. Mereka juga suka membanding-bandingkan aku dengan Risa, istri dari adik Mas Adam yang berprofesi sebagai seorang guru.

 

"Iya, Nia itu memang pemalas. Main ke tetangga saja tidak pernah. Dasar wanita pengangguran!" 

 

Begitulah kira-kira. Apalagi, saat pertengkaran antara aku dan Mas Adam terjadi. Pasti, Ibu akan mengatakan kepada semua orang jika aku adalah wanita keras kepala yang susah diatur. Meskipun, nyatanya Mas Adam adalah seorang lelaki yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup kami. Tapi, semua kuabaikan sampai kudengar percakapan Ibu dan Mas Adam tadi malam. Aku sudah tidak tahan!

  *****

"Nia!" Mas Adam tiba-tiba memanggilku saat aku meletakkan secangkir kopi di atas meja tempat ia bersantai saat ini. 

 

"Iya, Mas!" sahutku menghentikan langkah kakiku, menoleh pada Mas Adam.

 

"Ibu mau pinjam uang lima juta, tolong kamu kasih dulu ya!" tutur Mas Adam tanpa menoleh ke arahku. Sorot matanya tertuju pada koran yang berada di tangannya.

 

"Lima juta?" sergahku menaikan nada suara.

 

"Dari mana aku punya uang sebesar itu, Mas!" ucapku.

 

Mas Adam mengalihkan perhatian padaku. "Ya tentu dari pekerjaan kamu itu, Nia! Bukannya bulan kemarin kamu dapat 80 juta? Masa iya, ibu pinjam 5 juta saja tidak boleh." Mas Adam menaikan nada suaranya.

 

Aku menarik tubuhku duduk pada bangku yang berada di samping Mas Adam. "Bukannya aku tidak mau, Mas. Tapi, kan sudah aku berikan kepada Mas 40 juta untuk buka usaha baru, Mas. Terus, beberapa hari yang lalu aku juga sudah memberikan kepada ibu 10 juta, kan?" 

 

Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mas Adam meletakkan koran yang berada di tangannya dengan kasar di atas meja.

Brak!  

"Nia, Mas tidak pernah mengajari kamu untuk pelit pada orang tua, apalagi ke ibu! Bukankah dulu kita sudah sepakat akan merawat ibu bersama untuk mencari ridhonya?" debat Mas Adam. Sorot matanya membulat penuh kepadaku.

 

"Tapi Mas, keadaanku sekarang sudah tidak seperti dulu. Beberapa naskahku ditolak oleh platform. Kemungkinan, bulan depan aku tidak memiliki gaji lagi," ucapku dengan wajah ragu mengigit bibir bawahku.

 

"Apa???" Wajah Mas Adam terkejut.

 

 

Related chapters

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Hampir saja

    Wajah Mas Adam sekarang sudah memerah. "Bagaimana Bisa Nia? Bagaimana bisa mereka menolak naskahmu." Mas Adam mendengus berat. Terlihat kekecewaan yang tergambar pada wajah suamiku. "Ya, karena sekarang banyak sekali penulis Baru, Mas. Karya mereka jauh lebih bagus daripada karyaku," ceritaku dengan nada sedih. Mas Adam menghela nafas panjang, "Nia, untuk kali ini, tolonglah pinjamin dulu uang tabungan kamu untuk Ibu. Nanti, jika usaha Mas sudah maju, pasti Mas akan menggantinya. Bahkan, Mas akan ganti lebih dari itu!" Mas Adam membelai lembut kepalaku yang berbalut kerudung. Ia mengakhiri ucapannya penuh penekanan. Mungkin, supaya aku yakin dengan permintaanya. Cih! Tentu saja tidak. "Tapi, Mas! Aku benar-benar sudah tidak punya--" Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Mas Adam sudah menyela lebih dulu. "Kamu sudah mulai perhitungan sama, Mas?" Mas Adam menyipitkan matanya padaku. Aku mendengus berat. "Bukan begitu Mas, tapi ibu sudah sangat boros sekali. Dia tidak hanya

    Last Updated : 2022-09-27
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Kantor Baru

    Hampir saja aku menjatuhkan baki yang berisi kopi untuk Mas Adam. Jantungku hampir merosot karena terkejut melihat ponselku sudah berada di tangan Mas Adam. Apalagi saat ini ia menanyakan tentang kantor yang baru saja selesai aku bangun sebagai rumah keduaku. "Oh, itu kantornya Nadia. Itu wa dari Nadia, kan?" ucapku meletakan kopi yang masih panas di atas nakas. Aku yakin, Mas Adam sedang membaca pesan dari Nadia. Sorot mata Mas Adam masih menatap pada deretan aksara yang berada ponsel di tangannya. "Memangnya Nadia bisnis apa sampai bisa buka kantor segala?" Kini Mas Adam menatap kepadaku seraya mengernyitkan dahi, tatapannya penuh curiga. Aku mengendikkan bahu. "Aku mana tahu, dia hanya memintaku untuk datang, itu saja!" balasku berusah untuk bersikap santai. Mas Adam sepertinya tidak percaya dengan perkataanku. Beberapa saat ia menatapku begitu intens. "Baiklah, besok aku ikut ke acara itu!" Deg! Jantungku seperti merosot dari tempatnya. Bagaimana bisa aku mengajak Mas Adam b

    Last Updated : 2022-09-27
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Iri

    "Hey ... Rian. Kamu kan penulis novel cinta di ujung sajadah itu, kan?" Aku sedikit bernafas lega saat Nadia tiba-tiba muncul dan menarik pergelangan tangan lelaki bernama Rian hingga membuat jarak diantara kami sedikit menjauh. "Mbak Nadia!" Lelaki itu melemparkan senyuman pada Nadia. "Anda di sini juga?" imbuhnya dengan wajah terkejut. "Anda juga ikut menerbitkan buku di sini?" beo Rian, tergambar keterkejutan pada wajah lelaki itu. Tanpa sepengetahuan Mas Adam, aku menginjak ujung kaki Nadia yang berdiri di sampingku. Agar dia segera melakukan aksinya. "Eh, salah!" celetuk Nadia tergeragap dan sedikit melonjak. "Bukan, bukan begitu!" Nadia menggoyangkan kedua tangannya di depan dada. "Inikan perusahaan aku, jadi aku yang memilki perusahaan ini. Jadi, mana mungkin aku menerbitkan buku di sini," cerocos Nadia. "Tapi di undangan itu ...!" Belum sempat Rian menyelesaikan ucapannya. Nadia sudah lebih dulu menarik pergelangan tangan lelaki muda itu untuk pergi. Aku menghela nafas

    Last Updated : 2022-09-27
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Sebuah rencana

    Aku membisu dengan lidah kelu. Membiarkan lelaki yang menatapku nyalang itu masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara kucuran air yang jatuh menyirami lantai kamar mandi. Pasti saat ini Mas Adam sedang menenggelamkan tubuhnya di bawah derasnya air. "Percuma aku mengharapkan perhatian Mas Adam!" decihku dalam hati menertawai diriku sendiri. Kuseret langkah kakiku mendekati ranjang. Lalu menjatuhkan tubuhku yang terasa lunglai pada tepi ranjang berukuran king size yang berada di dalam kamarku. "Perpisahan itu bukanlah sesuatu yang mudah. Menyandang status janda yang selalu menjadi buah bibir masyarakat. Apalagi masalalu buruk keluargaku yang terlahir dari keluarga broken home. Entahlah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana olokan mereka padaku jika aku benar-benar melangkah sejauh itu. Dengan aku yang sulit memiliki keturunan saja, ucapan-ucapan mereka sudah cukup mengucang kejiwaanku. Apalagi sebuah perpisahan." ***** "Apa, ibu mertuamu minta uang la

    Last Updated : 2022-09-27
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Diusir

    "Nad, apa kamu sudah gila?" decihku setelah Nadia membisikan rencananya kepadaku. "Tidak Nia, aku tidak gila! Aku hanya menyelamatkan kamu dari manusia-manusia rakus itu." Nadia melipat kedua tangannya di depan dada seraya tersenyum sinis. Aku tak bergeming. Memijat kepadaku yang tiba-tiba saja berdenyut setelah mendengar rencana Nadia yang sangat berbahaya sekali untuk rumah tanggaku. "Aku tidak serius memintamu bercerai dengan Adam. Ini hanya untuk membuat efek jera saja, Nia. Jika memang dia mencintai kamu. Maka dia harus menerima segala kekurangan kamu. Bahkan saat kamu tidak memiliki apapun." Sebuah senyum kemenangan tersungging dari kedua sudut bibir Nadia dengan kedua alisnya yang terangkat. "Hmm ... Ini sulit sekali, Nad!" ucapku ragu. Bagaimana bisa aku diam di rumah dan bersikap layaknya seorang seorang ibu rumah tangga. Yang ada Mas Adam pasti akan mengusirku dari rumahnya. Nadia menyambar tas yang berada di atas meja. "Hanya satu bulan Dania, tidak lebih. Ini hanya u

    Last Updated : 2022-09-27
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Toko Bunga

    Aku mengemasi semua barang-barangku yang berada di rumah Mas Adam tanpa tersisa. Sepertinya inilah saatnya aku menyudahi kesabaranku selama ini. Kuseka airmata yang membasahi pipi sebelum aku melangkah menuju pintu kamar. Ada ibu dah Mas Adam yang duduk pada bangku ruang tamu. Lelaki dengan kemeja putih itu sudah seperti manekin ibu mertuaku. "Sudah kamu bawa semua barang-barang kamu?" catus Ibu memicingkan matanya padaku yang baru keluar dari dalam kamarnya. Sekilas ia melirik pada koper yang berada di tanganku. "Sudah!" balasku dengan nada kesal. "Bagus kalau begitu, pokoknya jangan sampai ada satupun barangmu yang tersisa!" ucapan itu terdengar sangat sinis sekali. Sepertinya air garam yang di siramkan pada luakku yang mengangga, sakit. Aku melirik pada Mas Adam, sedikitpun lelaki yang sudah hidup bersamaku hampir lima tahun itu sama sekali tidak menoleh ke arahku. Membuatku semakin mantab untuk meninggalkan rumah ini. "Oh iya, Nia, besok Adam akan mengurus suara perceraian k

    Last Updated : 2022-09-27
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   POV Bu Retno (Ibu Mertua)

    "Benarkah Dania? Ibu senang sekali mendengarnya. Alhamdulillah, doa-doa ibu akhirnya di dengar oleh Allah. Kamu bisa jadi seorang penulis sukses!" ucapku pada Dania saat ia menceritakan kesuksesannya menjadi seorang penulis."Terima kasih, Bu!" balas Dania menjatuhkan pelukan pada tubuhku untuk sesaat. Tidak sulit rupanya mengambil hati Dania. Gadis Yatim piatu yang Adam nikahi ternyata ada gunanya juga. Sifatnya yang tidak tegaan membuatku dapat dengan mudah menjadikannya sapi perah. Hanya tinggal bermodal air mata palsu, Dania pasti akan memberikan apa yang aku minta. Tetapi entah mengapa belakangan ini, Dania sedikit berubah pelit tidak seperti biasanya. Biasanya dia tidak pernah menanyakan kegunaan uang yang aku minta darinya. Tapi kali ini, setiap aku meminta uang, Dania pasti akan bertanya sampai detail kegunaan uang itu. Membuatku samakin kesal dan harus mencari alasan yang pas untuk meminta uang pada Dania. "Banyak sekali, Bu!" Wajah Dania berubah menjadi kesal yang tertaha

    Last Updated : 2022-10-04
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Desakan

    Aku segera masuk ke dalam mobil. Sesaat memperhatikan seorang lelaki yang menghampiri Dania. Dalam hati aku tertawa puas. 'Dasar, dikiranya mencari suami sebaik Adam itu muda. Tuh, juga cuma pria culun yang mendekatinya. Aku sumpahin semoga tidak ada yang mau menikahi, Dania!""Bu, ibu kenapa senyum-senyum sendiri itu?" seloroh Rico membuatku terkejut."Apa sih!" Aku menepuk paha Rico yang mulai melajukan kemudi."Iya, ibu kenapa senyum-senyum sendiri? Ibu baik-baik saja kan?" Sekilas anak bungsuku menatapku penuh selidik."Iya, ibu baik-baik saja kok!" balasku."Tapi, kayaknya ibu senang sekali? Gara-gara bisa menghina Kak Dania ya?" Rico menjatuhkan tatapan menuduh padaku."Sembarangan!" Aku menepuk paha Rico cukup keras, sesaat membuatnya mengaduh."Ibu senang, karena akhirnya ibu bisa memisahkan Abang kamu dengan Dania," balasku."Astaghfirullahaladzim!" Rico mengelus dada dengan mata membulat."Kenapa ibu setega itu?" Ucapan Rico semakin membuatku kesal saja."Itu adalah balasan

    Last Updated : 2022-10-11

Latest chapter

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Bab 43

    Bugh."Ray!" Dania memekik. Tubuh Adam tersungkur di samping bangku. Setelah bogem mentah Rayyan hadiahkan tepat pada wajahnya. Wajah Adam sampai berpaling, saking kuatnya pukulan yang Rayyan hadiahkan.Dada Rayyan bergerak naik turun terbakar amarah. Sorot matanya tajam, seperti ingin menguliti mantan suami Dania hidup-hidup."Kamu sudah gila ya, Ray!" Dania memekik. Ia membantu Adam bangkit. Seketika seluruh pasang mata di cafe itupun menatap pada keributan yang terjadi."Iya, aku memang gila! Aku gila karena kamu!" Rayyan menaikan satu oktaf nada suaranya. Tatapan tajamnya beralih pada Dania. Hati Rayyan makin panas melihat Dania membantu Adam. Bak bara api yang disiram dengan minyak tanah. Kecemburuan Rayyan semakin membara."Mas, kamu tidak apa-apa, kan?" Dania mengabaikan Rayyan. Ia menatap khawatir pada sudut bibir Adam yang berdarah. Ada sedikit robekan di sana."Aku tidak apa-apa Dania." Angga mengusap sudut bibirnya sendiri. Menepis tangan Dania yang hendak menyentuh bagian

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Salah Sangka

    "Ray!" sentak Dania merobek kertas undangan bersampul merah muda itu di depan wajah Dania. Ekspresi kesal seketika tampak pada wajah Dania."Apa-apaan kamu, Ray?" Dania menaikan nada suaranya.Rayyan menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. "Tidak ada pesta pertunangan apalagi pernikahan!" cetus Rayyan bersungguh-sungguh.Dania tidak bergeming melipat kedua tangannya di depan dada, menatap datar pada Rayyan."Berhentilah mengangguku. Hubungan kita sudah selesai!" tegas Dania penuh penekanan. Membalas tatapan tajam mata Rayyan.Dania melangkahkan kakinya. Lagi-lagi Rayyan menjegal pergelangan tangannya."Pergilah bersamaku!" ucap Rayyan menatap serius.Dania menghempaskan kasar tangan Rayyan hingga cengkraman tangan itu terlepas."Jangan gila, kamu Ray!" sentak Dania mendelik sesaat pada Rayyan."Aku serius, Dania!" Ray mengajar Dania yang meninggalkannya."Dania tunggu!" Rayyan mengikuti langkah cepat Dania. Tetapi wanita cantik itu sama sekali tidak peduli.Adegan saling kejar

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   peringatan

    Rayyan menjatuhkan tatapan dingin. Membuat tubuh Dania membeku seketika. Degupan jantung Dania memompa lebih cepat, hingga terdengar oleh telinganya."Saya pamit dulu, Bu!" lirih Lusi memutar tubuhnya cepat. Melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu tempat dimana Rayyan berdiri. Sadar jika suasana tidak sedang bersahabat.Dania mematikan layar laptop. Berjalan dengan langkah penuh ketegasan menuju ke arah pintu. Memasang wajah sedatar mungkin. Saat ia melewati Rayyan, lelaki itu menjegal pergelangan tangannya.Sontak Dania menoleh pada Rayyan yang juga sedang menatap ke arahnya. Tatapan dingin dan menghunus.Rayyan menarik tubuh Dania. Memaksa Dania masuk kembali ke dalam ruangannya. Saat Rayyan hendak menutup pintu, seorang pegawai muncul di hadapannya."Ibu Dan ...!" Lelaki berjas hitam itu menjeda ucapannya. Sorot mata tajam Rayyan membuat nyali lelaki itu menciut."Ma ...!""Ada apa Pak Ilham?" Dania menarik kasar pergelangan tangannya dari cengkraman Rayyan. Sempat terlepas, namu

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Bab 40

    Dania tertegun cukup lama. Ia dapat merasakan jika matanya mulai memanas. Perlahan tapi pasti pandangannya mulai kabur."Saya akan memberikan anda waktu dua puluh empat jam. Jika anda sudah memutuskannya. Anda bisa menghubungi saya kembali."Dania bisa sedikit bernafas lega. Meksipun tidak sepenuhnya sesak meninggalkan dadanya.Sebelum air mata kekalahan jatuh membasahi pipi. Dania bergegas bangkit dari bangku yang berada di depan meja kerja Tuan Ram."Secepatnya saya akan memberitahu pada anda, Pak!" lirih Dania. Suaranya bergetar seperti sedang menahan tangisan. Langka kakinya gontai berjalan menuju ke arah pintu._____Tangis Dania pecah. Bulir air mata mampu membuat bantal yang membuatnya nyaman menjadi basah kuyup.Baru saja Dania diterbangkan ke awang-awang oleh takdir kehidupan. Kini ia harus jatuh tersungkur di dasar bumi yang paling dalam. Ia harus memilih antara dua hal yang sangat berarti di dalam hidupnya. Cinta atau keriernya yang mulai bersinar.Sakit. Sesak, hancur. Itul

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Keluarga Rayyan

    Suara derap langkah kaki memecah keheningan. Dania menoleh pada sosok lelaki yang muncul dari ujung lorong. Berlari dengan langkah terrgesah-gesah. Diikuti oleh seorang wanita bertubuh ramping, yang belum pernah sekalipun Dania lihat. Ia menduga jika wanita itu adalah ibu dari Rayyan, istri dari Tuan Ram. “Dania, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dengan keadaann Ray?” Tuan Ram memberondongi Dania dengan pertanyaannya. Kekhawatiran terlukis jelas dari wajah Tuan Ram. Dania terisak. Ia sangat menyesal sekali sudah mengajak Rayyan untuk menolong Nadia. “Ray masih ada di dalam ruangan, Pak!” lirih Dania dengan suara berat. Derai air mata jatuh membahasi pipinya.Wanita yang berdiri di samping Tuan Ram mendadak menjatuhkan tubuhnya pada bahu Tuan Ram. “Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku!” lirih Ibu Siska, terisak. Tuan Ram mengusap lembut bahu istrinya. “Tenanglah, Ma, Ray pasti akan baik-baik saja,” ucap Tuan Ram mencoba untuk menenangkan. Menuntun wanita yang seketika terisak itu

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   penculikan

    "Diam atau aku akan mencium kamu!" desis Rayyan setengah berbisik saat Dania akan membuka mulutnya.Mata Dania membulat penuh. Mulutnya kembali mengatub. Kata-kata yang telah tersusun kembali tertelan."Tapi, Om Ram bilang ...!" ucap Maria terbata. Wajahnya tampak terkejut."Iya, aku memang belum membawa Dania ke rumah. Tetapi Papa sudah kenal baik dengan Dania. Dia ini adalah penulis terbaik di Indonesia. Beberapa bukunya juga sudah difilmkan oleh perusahaan Papa." Rayyan menatap pada Dania yang sedang memaksakan senyuman pada bibirnya."Iya kan, sayang?" Rayyan menarik tubuh Dania semakin mendekat. Hingga pelukannya semakin erat."I-iya!" balas Dania terbata.Wajah wanita berambut kecoklatan itu seketika berubah. "Oh, begitu! Baiklah," balas Maria melirik sinis pada Dania."Kalau begitu aku pergi dulu!" lirih Maria terdengar lesu. Wanita dengan body seperti foto model itu membalikan tubuhnya berjalan menuju ke arah pintu kafe.Dania mendorong tubuh Rayyan. Hampir saja lelaki itu ter

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Calon Istri

    Ucapan Nadia masih mendengung dalam indra pendengaran Dania. Iya, lagi-lagi soal anak. Sesuatu yang sepertinya mustahil sekali dapat Dania lakukan. Suara derap langkah kaki yang berjalan cepat membuyarkan lamunan Dania. Lelaki yang berada di ujung lorong nampak menutupi kepalanya dengan sebuah map di tangannya dari rintik hujan yang masih saja turun. Sesaat lelaki itu mengehentikan langkah kakinya dan mengibas-ngibaskan jas yang sedikit basah oleh gerimis di depan teras kafe."Maaf, aku terlambat!" ucap Rayyan saat ia tiba di meja Dania.Dania menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. Rasa cintanya semakin bertambah setiap kali melihat lelaki tampan yang kini duduk di hadapannya."Iya, aku juga baru sampai, kok!" dusta Dania. Padahal wanita itu sudah hampir satu jam menunggu kedatangan Rayyan di kafe itu.Sorot mata Rayyan tertuju pada es mocacino yang sudah mencair di hadapan Dania. "Apakah kamu sedang membohongiku?" ucap Rayyan memicingkan matanya pada Dania."Aku, tidak!" bala

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Sadar Diri

    POV AuthorGerimis jatuh membahasi bumi, butiran lembut itu menyentuh lembut pori-pori kulit Dania. Wanita yang sedang berdiri di depan halte itu memundurkan sedikit tubuhnya agar hujan tidak membahasi baju yang ia kenakan. Sebuah map hijau ia genggam erat di depan dada. Mulai hari ini babak baru kehidupannya akan di mulai. Menyandang status janda dengan segala polemiknya.Lelaki yang keluar dari gerbang gedung pengadilan negeri itu menoleh ke arah Dania. Wajahnya terlihat sedih. Saat Adam hendak melangkahkan kakinya menghampiri Dania, ibu Ratna menarik kasar pergelangan tangan putranya."Hanya sebentar saja, Bu!" lirih Adam. Wajahnya penuh pengharapan agar wanita berwatak keras kepala itu mengizinkannya."Untuk apa, Dam, perempuan sombong seperti itu tidak perlu kamu perjuangan!" desis Ibu Ratna dengan nada berisik namun berwajah sinis."Tolonglah, Bu!" Lagi, Adam memasang wajah memelas."Hanya sebentar!" cetus Ibu Ratna mengacungkan jari telunjuknya pada Adam dengan tatapan tajam.

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Musuh Dalam Selimut

    POV Nadia.Dadaku bergemuruh melihat pemandangan mobil yang berada di depan rumah Adam. Bagaimana tidak, Rayyan sudah kembali berbaikan dengan Dania. Padahal aku sudah bersusah payah untuk memisahkan mereka."Sialan!" decihku kesal. "Jalan, Pak!" ucapku pada supir taksi online. Melihat mereka bermesra-mesraan semakin membuat hatiku memanas.Dreg, Dreg,Aku meraih ponsel yang berada di dalam tas. Nama Om Sato terpampang pada layar yang berkedip. "Untuk apa lelaki tua bangka itu menghubungiku!" gerutuku kesal. Lelaki tua yang tidak sadar umur itu terus saja menggangguku. Ia membeli kepuasan dengan kekayaannya. Jika bukan karena uang, aku tidak akan sudi menemani lelaki itu.Kubiarkan panggil itu hingga berhenti. Lagi, ponsel yang ada di tangan bergetar kembali dengan nama Om Sato yang muncul pada layar. Lebih baik aku angkat saja, daripada nanti Om Sato marah padaku dan jatah bulananku hangus."Iya, Om?" sapaku setelah menekan tombol hijau pada layar."Di mana, Nad? Om kangen nih!" u

DMCA.com Protection Status