Share

Diusir

Penulis: Ayu Kristin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-27 16:10:05

"Nad, apa kamu sudah gila?" decihku setelah Nadia membisikan rencananya kepadaku.

"Tidak Nia, aku tidak gila! Aku hanya menyelamatkan kamu dari manusia-manusia rakus itu." Nadia melipat kedua tangannya di depan dada seraya tersenyum sinis.

Aku tak bergeming. Memijat kepadaku yang tiba-tiba saja berdenyut setelah mendengar rencana Nadia yang sangat berbahaya sekali untuk rumah tanggaku.

"Aku tidak serius memintamu bercerai dengan Adam. Ini hanya untuk membuat efek jera saja, Nia. Jika memang dia mencintai kamu. Maka dia harus menerima segala kekurangan kamu. Bahkan saat kamu tidak memiliki apapun." Sebuah senyum kemenangan tersungging dari kedua sudut bibir Nadia dengan kedua alisnya yang terangkat.

"Hmm ... Ini sulit sekali, Nad!" ucapku ragu.

Bagaimana bisa aku diam di rumah dan bersikap layaknya seorang seorang ibu rumah tangga. Yang ada Mas Adam pasti akan mengusirku dari rumahnya.

Nadia menyambar tas yang berada di atas meja. "Hanya satu bulan Dania, tidak lebih. Ini hanya untuk menguji cinta Adam sama kamu!" beo Nadia yang menghilang di balik pintu kantor.

****

Kuseret langkah kakiku ragu menghampiri ibu dan Mas Adam yang sedang menyantap makan malam. Sekilas Mas Adam melirik ke arah kedatanganku. Sementara ibu, sepertinya dia sudah menebak jika langkah kaki itu adalah langkahku.

"Dari mana, Nia?" tanya Mas Adam padaku yang baru tiba. Terlihat Mas Adam Sedang menyantap nasi bungkus. Begitu juga dengan Ibu. Bibirnya mecucu, pasti karena tidak ada makanan di rumah. Biarin saja, aku sengaja tidak memasak hari ini, memangnya dia pikir aku adalah pembantunya. Seenaknya saja, sementara dia enak-enak kumpul bersama teman-temannya untuk apa, yang pasti untuk menguliti keburukanku.

"Dari kantor Nadia, Mas!" sahutku.

"Lain kali kalau pergi itu masak dulu. Jangan main pergi aja," decih Mas Adam menyudahi makan malamnya.

"Iya Mas!" jawabku.

"Kamu kan di sini sebagai istriku. Jangan samakan seperti Nadia. Dia tuh masih gadis jadi, bebas." Mas Adam memberikan penekanan pada akhir kalimatnya. Sekilas ia melirikku sinis sebelum pergi meninggalkan meja makan.

Aku mendengus berat. Niatku untuk mengambil segelas air putih terpaksa aku urungkan. Rasa haus itu sirna begitu saja.

Kulihat Mas Adam yang bersandar pada ujung ranjang sedang asyik dengan gawainya. Apalagi kalau bukan main game. Aku yang sudah selesai membersihkan diri beringsut duduk mendekati Mas Adam.

"Mas!"

"Hem!"

"Aku mau ngomong!" ucapku memperhatikan lelaki yang memfokuskan tatapannya pada layar ponsel.

"Ngomong aja, Nia!" sahut Mas Adam tanpa menoleh.

"Mas, kemarin ibu minta uang lagi sama aku!"

"Tapi nggak kamu kasih kan?" sela Mas Adam dengan nada ketus. Gerakan tangannya begitu lincah menari di atas layar ponsel.

Aku mendengus berat. "Mas, kan tau sendiri aku sudah tidak menulis lagi. Dan gajiku ..." Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mas Adam mengalihkan tatapan yang menghunus padaku.

"Jangan suka bohong deh, Nia! Bilang saja kamu tidak mau memberikan ibu uang lagi. Ibu sudah cerita semuanya kok!" decih Mas Adam dengan wajah kesal.

'Memang ibu cerita apa?' batinku.

"Memangnya Ibu menceritakan apa sama Mas Adam?" balasku penasaran.

"Semuanya. Jika kamu tidak memiliki uang mengapa kamu memberikan uangmu pada panti asuhan Pak haji. Kamu pikir Mas ngak tau!" decih Mas Adam dengan nada sinis.

"Aku kan sudah menjelaskan semuanya pada Mas Adam, kalau 2,5% dari hasilku menulis akan aku sumbangkan di panti asuhan Pak haji. Kenapa sekarang Abang justru mengungkit-ungkit hal itu," cetusku kesal.

Mas Adam meletakan ponselnya kasar. "Nia, sedekah itu kalau ada uang. Buat mencukupi kebutuhan kita saja masih kurang, ngapain kamu sedekah!" balas Mas Adam sinis.

Aku meradang. "Maaf ya Mas, masalah tanggung jawab itu sebenarnya adalah urusan Mas Adam. Karena aku adalah seorang istr, jadi Mas jangan memprioritaskan aku sebagai tulang punggung. Selama ini aku sudah cukup sabar, Mas! Oh iya, masalah aku beramal itu bukan urusan, Mas. Toh itu hasil jerih payahku sendiri," balasku berkecak pinggang di depan Mas Adam. Aku keluarkan semua sesak yang selama ini menganjal dalam dada.

"Oh, jadi kamu mau hitung-hitungan sekarang?" Rahang Mas Adam mengeras.

"Iya!" sahutku mantap.

Mas Adam mematung, pasti dia tidak menyangka jika aku akan seberani saat ini.

"Jadi kamu tidak ikhlas?" balas Mas Adam.

"Tidak, saya tidak ikhlas!" balasku geram. "Sudah cukup ya Mas menjadikan aku sapi perah di keluarga ini." Dadaku bergemuruh bergerak naik turun.

"Jika kamu tidak mau menjadi sapi perah di sini, pergi saja dari rumah kami. Biar sekalian kamu jadi gembel di jalanan!" decih suara ibu hampir membuat jantungku mencelos keluar.

"Ibu!" Seru Mas Adam pada wanita yang berdiri di ambang pintu kamar. Mas Adam terlihat terkejut.

"Tenang saja Adam, tidak ada gunanya kamu melihara wanita tidak berguna seperti Nia. Wanita yang tidak akan pernah bisa memberikan keturunan!" sinis Ibu.

Rahangku bergemeletuk, sedikitpun aku tidak menoleh ke arah ibu yang berdiri di ambang pintu. Ucapannya bagaikan angin yang meniupkan bara api.

"Baik saya akan pergi, Mas!" decihku menatap tajam pada Mas Adam dan wanita yang berdiri di ambang pintu kamar.

"Biarkan dia pergi Adam, jangan kamu mencegahnya!" sergah Ibu menaikan nada suaranya.

Lagi-lagi Mas Adam hanya terdiam menatapku dengan tatapan dingin. Tidak ada sedikitpun aksara yang keluar dari bibir lelaki itu. Sekedar mintaku bertahan atau memintaku pergi.

****

Bersambung...

Bab terkait

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Toko Bunga

    Aku mengemasi semua barang-barangku yang berada di rumah Mas Adam tanpa tersisa. Sepertinya inilah saatnya aku menyudahi kesabaranku selama ini. Kuseka airmata yang membasahi pipi sebelum aku melangkah menuju pintu kamar. Ada ibu dah Mas Adam yang duduk pada bangku ruang tamu. Lelaki dengan kemeja putih itu sudah seperti manekin ibu mertuaku. "Sudah kamu bawa semua barang-barang kamu?" catus Ibu memicingkan matanya padaku yang baru keluar dari dalam kamarnya. Sekilas ia melirik pada koper yang berada di tanganku. "Sudah!" balasku dengan nada kesal. "Bagus kalau begitu, pokoknya jangan sampai ada satupun barangmu yang tersisa!" ucapan itu terdengar sangat sinis sekali. Sepertinya air garam yang di siramkan pada luakku yang mengangga, sakit. Aku melirik pada Mas Adam, sedikitpun lelaki yang sudah hidup bersamaku hampir lima tahun itu sama sekali tidak menoleh ke arahku. Membuatku semakin mantab untuk meninggalkan rumah ini. "Oh iya, Nia, besok Adam akan mengurus suara perceraian k

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-27
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   POV Bu Retno (Ibu Mertua)

    "Benarkah Dania? Ibu senang sekali mendengarnya. Alhamdulillah, doa-doa ibu akhirnya di dengar oleh Allah. Kamu bisa jadi seorang penulis sukses!" ucapku pada Dania saat ia menceritakan kesuksesannya menjadi seorang penulis."Terima kasih, Bu!" balas Dania menjatuhkan pelukan pada tubuhku untuk sesaat. Tidak sulit rupanya mengambil hati Dania. Gadis Yatim piatu yang Adam nikahi ternyata ada gunanya juga. Sifatnya yang tidak tegaan membuatku dapat dengan mudah menjadikannya sapi perah. Hanya tinggal bermodal air mata palsu, Dania pasti akan memberikan apa yang aku minta. Tetapi entah mengapa belakangan ini, Dania sedikit berubah pelit tidak seperti biasanya. Biasanya dia tidak pernah menanyakan kegunaan uang yang aku minta darinya. Tapi kali ini, setiap aku meminta uang, Dania pasti akan bertanya sampai detail kegunaan uang itu. Membuatku samakin kesal dan harus mencari alasan yang pas untuk meminta uang pada Dania. "Banyak sekali, Bu!" Wajah Dania berubah menjadi kesal yang tertaha

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-04
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Desakan

    Aku segera masuk ke dalam mobil. Sesaat memperhatikan seorang lelaki yang menghampiri Dania. Dalam hati aku tertawa puas. 'Dasar, dikiranya mencari suami sebaik Adam itu muda. Tuh, juga cuma pria culun yang mendekatinya. Aku sumpahin semoga tidak ada yang mau menikahi, Dania!""Bu, ibu kenapa senyum-senyum sendiri itu?" seloroh Rico membuatku terkejut."Apa sih!" Aku menepuk paha Rico yang mulai melajukan kemudi."Iya, ibu kenapa senyum-senyum sendiri? Ibu baik-baik saja kan?" Sekilas anak bungsuku menatapku penuh selidik."Iya, ibu baik-baik saja kok!" balasku."Tapi, kayaknya ibu senang sekali? Gara-gara bisa menghina Kak Dania ya?" Rico menjatuhkan tatapan menuduh padaku."Sembarangan!" Aku menepuk paha Rico cukup keras, sesaat membuatnya mengaduh."Ibu senang, karena akhirnya ibu bisa memisahkan Abang kamu dengan Dania," balasku."Astaghfirullahaladzim!" Rico mengelus dada dengan mata membulat."Kenapa ibu setega itu?" Ucapan Rico semakin membuatku kesal saja."Itu adalah balasan

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Curiga

    Hatiku terasa begitu perih sekali.Beberapa saat, aku mematung. Beberapa tanya memenuhi benakku. Apa salahku, Mas? Tidak, aku tidak boleh lemah di depan Mas Adam."Baik Mas! Aku pasti akan datang di persidangan itu. Mas tidak perlu mengkhawatirkan hal itu," tegasku.Mas Adam diam menatap sedalam mungkin padaku. "Sebelum perceraian kita selesai, aku harap kamu tidak menghianati pernikahan ini." Mas Adam berlalu menghampiri ibu yang sudah menunggu di depan pagar bangunan berlantai dua tempatku bernaung saat ini di dalam sepi."Menghianati? Siapa yang berkhianat!" batinku mengembara mencerna ucapan Mas Adam."Adam, Adam, itu Adam orangnya!" seru ibu saat seorang lelaki turun dari dalam mobil yang terpikir di depan rumahku.Mas Adam menatap datar pada kedatangan Rian yang berjalan ke arah pagar tepat Mas Adam memarkir motornya. Aku melihat Rian mengukir ulasan senyuman pada Mas Adam yang nampak dingin."Jangan menganggu istri orang? Jika kamu tidak ingin dapat masalah!" decih Mas Adam memi

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Siapa Rian?

    "Rian, aku tidak nyaman memakai sepatu dan baju ini!" desisku pada Rian yang berjalan di sampingku."Kamu cantik, Mbak!" balas Rian menyunggingkan senyuman padaku.Aku harus terus berpegangan pada pergelangan tangan Rian agar tidak terjauh. Sepatu hak tinggi yang aku kenakan membuatku kesulitan untuk berjalan. Apalagi dress ketat ini, membuatku merasa sangat tidak nyaman sekali."Mbak Dania!" sapa Pak Ram membuatku segera melepaskan tanganku dari pergelangan tangan Rian."Pak Ram!" balasku menyunggingkan senyuman pada lelaki yang berjalan menghampiriku."Selamat datang Mbak Dania. Senang sekali ada dapat hadir di acara ini." Pak Ram begitu ramah sekali menyapaku."I-iya, Pak!" balasku."Rian, ajak Mbak Dania untuk menikmati makanan di restoran baru kita. Eh, salah maksud saya restoran baru saya," ucap Pak Ram tersenyum kecil.Aku membalas senyuman itu dan mengikuti langkah Rian yang berjalan menuju meja makan.Pak Ram adalah lelaki yang hebat. Dia tidak hanya menjadi seorang produser

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-13
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Rumah Baru

    "Iya, selama aku berada di sisi Rian, aku merasa jika Rian itu bukanlah orang yang sembarangan. Bahkan, saat kami berada di restoran baru Pak Ram, beberapa Waiters memanggil Rian dengan sebutan Tuan. Aneh, 'kan?"Nadia mendengarkanku dengan seksama. Namun kemudian gadis muda itu justru terkekeh."Nia, Nia, ternyata kamu itu nggak cuma tukang halu saja. Tapi kehaluan kamu sudah kamu jadikan di dunia nyata.""Aku serius, Nad!" sergahku dengan wajah penuh keyakinan."Nia, bukankah hal yang wajar jika seorang pelayan itu memanggil pengunjungnya dengan sebutan Tuan. Apa yang salah Nia!". Nadia mengedikan bahunya."Benar juga ya!" pikirku.Tet .... Tet ...Suara bunyi bel dari pintu utama kantor membuatku dan Nadia bergegas turun dari lantai atas."Biar aku saja yang membukanya!" ucapku pada Nadia setelah kita tiba di pintu.Aku terkejut melihat lelaki yang pernah sangat aku cintai berdiri di depan pintu."Dania!" ucap lembut Mas Adam. Sorot mata nanar itu membuat hatiku luluh."Ada apa, Mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-17
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Di Tipu mentah-mentah

    Secepatnya aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Aku harus menemui seseorang yang bisa menjawab semua pertanyaan yang sedari tadi memenuhi otakku. Aku memberhentikan motorku di depan kantor milik Nadia. Sebuah kantor penerbit buku-buku yang cukup terkenal belakang ini."Selamat siang, apakah ada yang bisa kami bantu?" ucap seorang gadis muda berparas cantik yang berada di bagian resepsionis."Iya, selamat siang Mbak," sapaku. "Bisakah saya bertemu dengan ibu Nadia," tanyaku.Gadis yang berdiri di balik meja resepsionis itu mengeryitkan dahi. "Maksud bapak Nadia siapa, ya?" tanya gadis muda itu dengan wajah bingung."Nadia pemilik pemilik kantor ini," tegasku.Gadis muda itu terlihat berpikir sesaat. "Maksud bapak, ibu Dania ya?" Kini giliran aku yang mengeryitkan dahi. "Dania, bukankah pemilik kantor ini adalah Dania," cetusku meyakinkan. Aku yakin, Dania mengatakan padaku jika ini adalah kantor Nadia."Maaf Pak, mungkin bapak salah paham. Pemilik kantor penerbit ini adalah Ibu Dania

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-19
  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Terlambat

    POV DaniaAkhirnya aku bisa tinggal di rumah baruku. Meskipun aku tetap saja merasa sepi di rumah ini. Bagaimana tidak, aku hanya tinggal sendiri di rumah ini bersama seorang pembantu dan supir pribadiku. Tapi, tidak masalah, mungkin memang ini sudah menjadi jalan hidupku yang harus aku jalani. Aku pikir, aku akan menikmati kesuksesan ini bersama Mas Adam. Tenyata aku salah, Mas Adam justru ingin membuangku di saat aku sudah tidak dapat memberikannya pundi-pundi uang. Membuatku sadar jika Mas Adam tidak pernah benar-benar mencintai aku."Non Dania, ada tamu!" Suara Bibik dari belakang punggungku membuatku tersadar dari lamunan."Siapa, Bi?" tanyaku menoleh ke arah Bibik. Aku melirik waktu sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam pada jam yang mengantung di ruang tengah.Bibik mengedikan bahunya. "Bibik kurang tau, Non! Tapi sepertinya keluarga dekat Non Dania," tutur Bibik.Seketika kedua alisku bertaut. 'Keluarga? bukankah aku tidak memiliki keluarga. Lebih tepatnya aku tida

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-20

Bab terbaru

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Bab 43

    Bugh."Ray!" Dania memekik. Tubuh Adam tersungkur di samping bangku. Setelah bogem mentah Rayyan hadiahkan tepat pada wajahnya. Wajah Adam sampai berpaling, saking kuatnya pukulan yang Rayyan hadiahkan.Dada Rayyan bergerak naik turun terbakar amarah. Sorot matanya tajam, seperti ingin menguliti mantan suami Dania hidup-hidup."Kamu sudah gila ya, Ray!" Dania memekik. Ia membantu Adam bangkit. Seketika seluruh pasang mata di cafe itupun menatap pada keributan yang terjadi."Iya, aku memang gila! Aku gila karena kamu!" Rayyan menaikan satu oktaf nada suaranya. Tatapan tajamnya beralih pada Dania. Hati Rayyan makin panas melihat Dania membantu Adam. Bak bara api yang disiram dengan minyak tanah. Kecemburuan Rayyan semakin membara."Mas, kamu tidak apa-apa, kan?" Dania mengabaikan Rayyan. Ia menatap khawatir pada sudut bibir Adam yang berdarah. Ada sedikit robekan di sana."Aku tidak apa-apa Dania." Angga mengusap sudut bibirnya sendiri. Menepis tangan Dania yang hendak menyentuh bagian

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Salah Sangka

    "Ray!" sentak Dania merobek kertas undangan bersampul merah muda itu di depan wajah Dania. Ekspresi kesal seketika tampak pada wajah Dania."Apa-apaan kamu, Ray?" Dania menaikan nada suaranya.Rayyan menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. "Tidak ada pesta pertunangan apalagi pernikahan!" cetus Rayyan bersungguh-sungguh.Dania tidak bergeming melipat kedua tangannya di depan dada, menatap datar pada Rayyan."Berhentilah mengangguku. Hubungan kita sudah selesai!" tegas Dania penuh penekanan. Membalas tatapan tajam mata Rayyan.Dania melangkahkan kakinya. Lagi-lagi Rayyan menjegal pergelangan tangannya."Pergilah bersamaku!" ucap Rayyan menatap serius.Dania menghempaskan kasar tangan Rayyan hingga cengkraman tangan itu terlepas."Jangan gila, kamu Ray!" sentak Dania mendelik sesaat pada Rayyan."Aku serius, Dania!" Ray mengajar Dania yang meninggalkannya."Dania tunggu!" Rayyan mengikuti langkah cepat Dania. Tetapi wanita cantik itu sama sekali tidak peduli.Adegan saling kejar

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   peringatan

    Rayyan menjatuhkan tatapan dingin. Membuat tubuh Dania membeku seketika. Degupan jantung Dania memompa lebih cepat, hingga terdengar oleh telinganya."Saya pamit dulu, Bu!" lirih Lusi memutar tubuhnya cepat. Melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu tempat dimana Rayyan berdiri. Sadar jika suasana tidak sedang bersahabat.Dania mematikan layar laptop. Berjalan dengan langkah penuh ketegasan menuju ke arah pintu. Memasang wajah sedatar mungkin. Saat ia melewati Rayyan, lelaki itu menjegal pergelangan tangannya.Sontak Dania menoleh pada Rayyan yang juga sedang menatap ke arahnya. Tatapan dingin dan menghunus.Rayyan menarik tubuh Dania. Memaksa Dania masuk kembali ke dalam ruangannya. Saat Rayyan hendak menutup pintu, seorang pegawai muncul di hadapannya."Ibu Dan ...!" Lelaki berjas hitam itu menjeda ucapannya. Sorot mata tajam Rayyan membuat nyali lelaki itu menciut."Ma ...!""Ada apa Pak Ilham?" Dania menarik kasar pergelangan tangannya dari cengkraman Rayyan. Sempat terlepas, namu

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Bab 40

    Dania tertegun cukup lama. Ia dapat merasakan jika matanya mulai memanas. Perlahan tapi pasti pandangannya mulai kabur."Saya akan memberikan anda waktu dua puluh empat jam. Jika anda sudah memutuskannya. Anda bisa menghubungi saya kembali."Dania bisa sedikit bernafas lega. Meksipun tidak sepenuhnya sesak meninggalkan dadanya.Sebelum air mata kekalahan jatuh membasahi pipi. Dania bergegas bangkit dari bangku yang berada di depan meja kerja Tuan Ram."Secepatnya saya akan memberitahu pada anda, Pak!" lirih Dania. Suaranya bergetar seperti sedang menahan tangisan. Langka kakinya gontai berjalan menuju ke arah pintu._____Tangis Dania pecah. Bulir air mata mampu membuat bantal yang membuatnya nyaman menjadi basah kuyup.Baru saja Dania diterbangkan ke awang-awang oleh takdir kehidupan. Kini ia harus jatuh tersungkur di dasar bumi yang paling dalam. Ia harus memilih antara dua hal yang sangat berarti di dalam hidupnya. Cinta atau keriernya yang mulai bersinar.Sakit. Sesak, hancur. Itul

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Keluarga Rayyan

    Suara derap langkah kaki memecah keheningan. Dania menoleh pada sosok lelaki yang muncul dari ujung lorong. Berlari dengan langkah terrgesah-gesah. Diikuti oleh seorang wanita bertubuh ramping, yang belum pernah sekalipun Dania lihat. Ia menduga jika wanita itu adalah ibu dari Rayyan, istri dari Tuan Ram. “Dania, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dengan keadaann Ray?” Tuan Ram memberondongi Dania dengan pertanyaannya. Kekhawatiran terlukis jelas dari wajah Tuan Ram. Dania terisak. Ia sangat menyesal sekali sudah mengajak Rayyan untuk menolong Nadia. “Ray masih ada di dalam ruangan, Pak!” lirih Dania dengan suara berat. Derai air mata jatuh membahasi pipinya.Wanita yang berdiri di samping Tuan Ram mendadak menjatuhkan tubuhnya pada bahu Tuan Ram. “Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku!” lirih Ibu Siska, terisak. Tuan Ram mengusap lembut bahu istrinya. “Tenanglah, Ma, Ray pasti akan baik-baik saja,” ucap Tuan Ram mencoba untuk menenangkan. Menuntun wanita yang seketika terisak itu

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   penculikan

    "Diam atau aku akan mencium kamu!" desis Rayyan setengah berbisik saat Dania akan membuka mulutnya.Mata Dania membulat penuh. Mulutnya kembali mengatub. Kata-kata yang telah tersusun kembali tertelan."Tapi, Om Ram bilang ...!" ucap Maria terbata. Wajahnya tampak terkejut."Iya, aku memang belum membawa Dania ke rumah. Tetapi Papa sudah kenal baik dengan Dania. Dia ini adalah penulis terbaik di Indonesia. Beberapa bukunya juga sudah difilmkan oleh perusahaan Papa." Rayyan menatap pada Dania yang sedang memaksakan senyuman pada bibirnya."Iya kan, sayang?" Rayyan menarik tubuh Dania semakin mendekat. Hingga pelukannya semakin erat."I-iya!" balas Dania terbata.Wajah wanita berambut kecoklatan itu seketika berubah. "Oh, begitu! Baiklah," balas Maria melirik sinis pada Dania."Kalau begitu aku pergi dulu!" lirih Maria terdengar lesu. Wanita dengan body seperti foto model itu membalikan tubuhnya berjalan menuju ke arah pintu kafe.Dania mendorong tubuh Rayyan. Hampir saja lelaki itu ter

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Calon Istri

    Ucapan Nadia masih mendengung dalam indra pendengaran Dania. Iya, lagi-lagi soal anak. Sesuatu yang sepertinya mustahil sekali dapat Dania lakukan. Suara derap langkah kaki yang berjalan cepat membuyarkan lamunan Dania. Lelaki yang berada di ujung lorong nampak menutupi kepalanya dengan sebuah map di tangannya dari rintik hujan yang masih saja turun. Sesaat lelaki itu mengehentikan langkah kakinya dan mengibas-ngibaskan jas yang sedikit basah oleh gerimis di depan teras kafe."Maaf, aku terlambat!" ucap Rayyan saat ia tiba di meja Dania.Dania menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. Rasa cintanya semakin bertambah setiap kali melihat lelaki tampan yang kini duduk di hadapannya."Iya, aku juga baru sampai, kok!" dusta Dania. Padahal wanita itu sudah hampir satu jam menunggu kedatangan Rayyan di kafe itu.Sorot mata Rayyan tertuju pada es mocacino yang sudah mencair di hadapan Dania. "Apakah kamu sedang membohongiku?" ucap Rayyan memicingkan matanya pada Dania."Aku, tidak!" bala

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Sadar Diri

    POV AuthorGerimis jatuh membahasi bumi, butiran lembut itu menyentuh lembut pori-pori kulit Dania. Wanita yang sedang berdiri di depan halte itu memundurkan sedikit tubuhnya agar hujan tidak membahasi baju yang ia kenakan. Sebuah map hijau ia genggam erat di depan dada. Mulai hari ini babak baru kehidupannya akan di mulai. Menyandang status janda dengan segala polemiknya.Lelaki yang keluar dari gerbang gedung pengadilan negeri itu menoleh ke arah Dania. Wajahnya terlihat sedih. Saat Adam hendak melangkahkan kakinya menghampiri Dania, ibu Ratna menarik kasar pergelangan tangan putranya."Hanya sebentar saja, Bu!" lirih Adam. Wajahnya penuh pengharapan agar wanita berwatak keras kepala itu mengizinkannya."Untuk apa, Dam, perempuan sombong seperti itu tidak perlu kamu perjuangan!" desis Ibu Ratna dengan nada berisik namun berwajah sinis."Tolonglah, Bu!" Lagi, Adam memasang wajah memelas."Hanya sebentar!" cetus Ibu Ratna mengacungkan jari telunjuknya pada Adam dengan tatapan tajam.

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Musuh Dalam Selimut

    POV Nadia.Dadaku bergemuruh melihat pemandangan mobil yang berada di depan rumah Adam. Bagaimana tidak, Rayyan sudah kembali berbaikan dengan Dania. Padahal aku sudah bersusah payah untuk memisahkan mereka."Sialan!" decihku kesal. "Jalan, Pak!" ucapku pada supir taksi online. Melihat mereka bermesra-mesraan semakin membuat hatiku memanas.Dreg, Dreg,Aku meraih ponsel yang berada di dalam tas. Nama Om Sato terpampang pada layar yang berkedip. "Untuk apa lelaki tua bangka itu menghubungiku!" gerutuku kesal. Lelaki tua yang tidak sadar umur itu terus saja menggangguku. Ia membeli kepuasan dengan kekayaannya. Jika bukan karena uang, aku tidak akan sudi menemani lelaki itu.Kubiarkan panggil itu hingga berhenti. Lagi, ponsel yang ada di tangan bergetar kembali dengan nama Om Sato yang muncul pada layar. Lebih baik aku angkat saja, daripada nanti Om Sato marah padaku dan jatah bulananku hangus."Iya, Om?" sapaku setelah menekan tombol hijau pada layar."Di mana, Nad? Om kangen nih!" u

DMCA.com Protection Status