"Rian, aku tidak nyaman memakai sepatu dan baju ini!" desisku pada Rian yang berjalan di sampingku."Kamu cantik, Mbak!" balas Rian menyunggingkan senyuman padaku.Aku harus terus berpegangan pada pergelangan tangan Rian agar tidak terjauh. Sepatu hak tinggi yang aku kenakan membuatku kesulitan untuk berjalan. Apalagi dress ketat ini, membuatku merasa sangat tidak nyaman sekali."Mbak Dania!" sapa Pak Ram membuatku segera melepaskan tanganku dari pergelangan tangan Rian."Pak Ram!" balasku menyunggingkan senyuman pada lelaki yang berjalan menghampiriku."Selamat datang Mbak Dania. Senang sekali ada dapat hadir di acara ini." Pak Ram begitu ramah sekali menyapaku."I-iya, Pak!" balasku."Rian, ajak Mbak Dania untuk menikmati makanan di restoran baru kita. Eh, salah maksud saya restoran baru saya," ucap Pak Ram tersenyum kecil.Aku membalas senyuman itu dan mengikuti langkah Rian yang berjalan menuju meja makan.Pak Ram adalah lelaki yang hebat. Dia tidak hanya menjadi seorang produser
"Iya, selama aku berada di sisi Rian, aku merasa jika Rian itu bukanlah orang yang sembarangan. Bahkan, saat kami berada di restoran baru Pak Ram, beberapa Waiters memanggil Rian dengan sebutan Tuan. Aneh, 'kan?"Nadia mendengarkanku dengan seksama. Namun kemudian gadis muda itu justru terkekeh."Nia, Nia, ternyata kamu itu nggak cuma tukang halu saja. Tapi kehaluan kamu sudah kamu jadikan di dunia nyata.""Aku serius, Nad!" sergahku dengan wajah penuh keyakinan."Nia, bukankah hal yang wajar jika seorang pelayan itu memanggil pengunjungnya dengan sebutan Tuan. Apa yang salah Nia!". Nadia mengedikan bahunya."Benar juga ya!" pikirku.Tet .... Tet ...Suara bunyi bel dari pintu utama kantor membuatku dan Nadia bergegas turun dari lantai atas."Biar aku saja yang membukanya!" ucapku pada Nadia setelah kita tiba di pintu.Aku terkejut melihat lelaki yang pernah sangat aku cintai berdiri di depan pintu."Dania!" ucap lembut Mas Adam. Sorot mata nanar itu membuat hatiku luluh."Ada apa, Mas
Secepatnya aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Aku harus menemui seseorang yang bisa menjawab semua pertanyaan yang sedari tadi memenuhi otakku. Aku memberhentikan motorku di depan kantor milik Nadia. Sebuah kantor penerbit buku-buku yang cukup terkenal belakang ini."Selamat siang, apakah ada yang bisa kami bantu?" ucap seorang gadis muda berparas cantik yang berada di bagian resepsionis."Iya, selamat siang Mbak," sapaku. "Bisakah saya bertemu dengan ibu Nadia," tanyaku.Gadis yang berdiri di balik meja resepsionis itu mengeryitkan dahi. "Maksud bapak Nadia siapa, ya?" tanya gadis muda itu dengan wajah bingung."Nadia pemilik pemilik kantor ini," tegasku.Gadis muda itu terlihat berpikir sesaat. "Maksud bapak, ibu Dania ya?" Kini giliran aku yang mengeryitkan dahi. "Dania, bukankah pemilik kantor ini adalah Dania," cetusku meyakinkan. Aku yakin, Dania mengatakan padaku jika ini adalah kantor Nadia."Maaf Pak, mungkin bapak salah paham. Pemilik kantor penerbit ini adalah Ibu Dania
POV DaniaAkhirnya aku bisa tinggal di rumah baruku. Meskipun aku tetap saja merasa sepi di rumah ini. Bagaimana tidak, aku hanya tinggal sendiri di rumah ini bersama seorang pembantu dan supir pribadiku. Tapi, tidak masalah, mungkin memang ini sudah menjadi jalan hidupku yang harus aku jalani. Aku pikir, aku akan menikmati kesuksesan ini bersama Mas Adam. Tenyata aku salah, Mas Adam justru ingin membuangku di saat aku sudah tidak dapat memberikannya pundi-pundi uang. Membuatku sadar jika Mas Adam tidak pernah benar-benar mencintai aku."Non Dania, ada tamu!" Suara Bibik dari belakang punggungku membuatku tersadar dari lamunan."Siapa, Bi?" tanyaku menoleh ke arah Bibik. Aku melirik waktu sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam pada jam yang mengantung di ruang tengah.Bibik mengedikan bahunya. "Bibik kurang tau, Non! Tapi sepertinya keluarga dekat Non Dania," tutur Bibik.Seketika kedua alisku bertaut. 'Keluarga? bukankah aku tidak memiliki keluarga. Lebih tepatnya aku tida
POV Author"Serius Adam ngajak kamu balikan?" Nadia nampak membulatkan matanya pada Dania.Wanita bertubuh semampai itu mengangguk mantap. Sorot matanya berfokus pada aksara yang berada di depan layar laptop."Alhamdulillah, Dania! Akhirnya kamu sadar juga." Nadia kegirangan. "Harusnya sejak dari dulu kamu meninggalkan Adam. Agar penderita kamu tidak semakin lama dan berkepanjangan," imbun Nadia tersenyum puas."Sudahlah, tidak perlu membahas hal itu lagi, bukankah semuanya sudah berlalu. Yang terpenting saat ini, aku sudah bebas dari cengkraman mereka." Dania menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil."Ehem ...!"Dania meringis mendengar deheman Rian yang sedari tadi duduk pada bangku di depannya. "Maaf Mas, habis keasyikan ngobrol sih!" ucap Dania sesaat melirik pada Rian yang masih menunggu."Sabar ya, Mas Rian. Namanya juga cewek kalau ngobrol seperti ini," celetuk Nadia yang berdiri di belakang kursi Dania."Iya Mbak!" sahut Rian ramah.Beberapa saat Dania kembali berfokus pad
POV DaniaAku dan Mas Adam menatap pada Rian secara bersamaan dengan wajah terkejut."Apa maksud kamu?" sentak Mas Adam dengan tatapan meradang pada Rian."Tidak, saya hanya menghindarkan apa yang bukan mahramnya saja," balas Rian.Wajah Mas Adam semakin memerah sekilas melihat padaku dan Rian secara bergantian. "Mahram?" Mas Adam menautkan kedua alisnya, geram. "Maksud kamu, Dania tidak halal untukku?" Mas Adam membusungkan dadanya pada Rian, seperti seorang yang ingin mengajak bertarung."Bukankah anda sudah mentalak Dania, jadi sekarang anda bukan siapa-siapa Dania lagi," balas Rian."Kurang ajar!" Kepalan tangan Mas Adam siap mengayun."Stop!" teriakku.Kepalan tangan Mas Adam terhenti di udara. Rahangnya bergemelutuk, kesal. Sementara Rian sedikitpun tidak bergeming dan bergerak sedikitpun dari tempatnya berdiri."Berhenti, Mas!" cetusku, ketakutan.Mas Adam menoleh padaku dengan wajah menegang. "Dia sudah lancang, Dania!" cetus Mas Adam memicingkan matanya pada Rian dengan menun
POV RianTiba-tiba Dania berlari dari dalam rumah mantan suaminya, dan aku yang sedari tadi menunggu pun terkejut, melihat kemarahan pada wajah Dania."Dania, tunggu, Dania!" Panggil suara Adam yang mengejar Dania, begitu juga dengan wanita yang mengekori mereka dari belakang."Dania, aku bisa menjelaskan semuanya padamu." Adam meraih pergelangan tangan Dania yang sudah berada di teras rumah hampir dekat dengan mobil kami. Tetapi sayangnya aku hanya berani melihat tanpaberani mendekat."Lepaskan, Mas!" Dania menepis kasar genggaman tangan itu. Kesal dan kecewa terlihat dari wajahnya.Aku yang sedari tadi berada di dalam mobil berhambur keluar menghampiri Dania. Tidak tahan melihat Dania diperlakukan seperti itu. "Apa yang terjadi, Nia?" tanyaku penasaran menatap kekesalan pada wajah Dania. "Ayo kita pulang, Mas!" Dania melingkarkan tangannya pada bahu kekarku."Tunggu Dania, aku belum selesai bicara!" Adam menarik pergelangan tangan Dania dibantu oleh wanita bertubuh bugar yang p
Mohon dukungan kalian semua, jangan lupa subscribe sebelum membaca.POV Dania."Iya, kamu Rayyan kan?" Lelaki yang baru datang itu sepertinya sangat yakin sekali jika lelaki yang sedang duduk di sampingku adalah Rayyan, orang yang ia kenal."Maaf, kamu siapa ya?" Rian akhirnya berucap setelah beberapa saat ia menenggelamkan wajahnya dalam bisu."Aku, Dimas, teman SMA kamu," balas lelaki yakin. Semburat senyuman mengantarkan keyakinan itu."Teman SMA, tapi saya lulusan SMK bukan SMA. Mungkin anda salah orang."Kening' lelaki bernama Dimas itu berkerut seketika, "Tapi aku ingat betul dengan bekas luka di pergelangan tangan itu." Lelaki itu menujuk bekas goresan luka yang cukup panjang pada pergelangan tangan Rian. Aku pun ikut sedikit memajukan tubuh untuk memperhatikan luka pada pergelangan tangan Rian.Rian menaikan sedikit lengan kemeja yang ia kenakan. Hingga bekas luka sayatan itu semakin terlihat jelas melingkar pada pergelangan tangannya."Oh, luka ini, ini hanya bekas luka saat a
Bugh."Ray!" Dania memekik. Tubuh Adam tersungkur di samping bangku. Setelah bogem mentah Rayyan hadiahkan tepat pada wajahnya. Wajah Adam sampai berpaling, saking kuatnya pukulan yang Rayyan hadiahkan.Dada Rayyan bergerak naik turun terbakar amarah. Sorot matanya tajam, seperti ingin menguliti mantan suami Dania hidup-hidup."Kamu sudah gila ya, Ray!" Dania memekik. Ia membantu Adam bangkit. Seketika seluruh pasang mata di cafe itupun menatap pada keributan yang terjadi."Iya, aku memang gila! Aku gila karena kamu!" Rayyan menaikan satu oktaf nada suaranya. Tatapan tajamnya beralih pada Dania. Hati Rayyan makin panas melihat Dania membantu Adam. Bak bara api yang disiram dengan minyak tanah. Kecemburuan Rayyan semakin membara."Mas, kamu tidak apa-apa, kan?" Dania mengabaikan Rayyan. Ia menatap khawatir pada sudut bibir Adam yang berdarah. Ada sedikit robekan di sana."Aku tidak apa-apa Dania." Angga mengusap sudut bibirnya sendiri. Menepis tangan Dania yang hendak menyentuh bagian
"Ray!" sentak Dania merobek kertas undangan bersampul merah muda itu di depan wajah Dania. Ekspresi kesal seketika tampak pada wajah Dania."Apa-apaan kamu, Ray?" Dania menaikan nada suaranya.Rayyan menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. "Tidak ada pesta pertunangan apalagi pernikahan!" cetus Rayyan bersungguh-sungguh.Dania tidak bergeming melipat kedua tangannya di depan dada, menatap datar pada Rayyan."Berhentilah mengangguku. Hubungan kita sudah selesai!" tegas Dania penuh penekanan. Membalas tatapan tajam mata Rayyan.Dania melangkahkan kakinya. Lagi-lagi Rayyan menjegal pergelangan tangannya."Pergilah bersamaku!" ucap Rayyan menatap serius.Dania menghempaskan kasar tangan Rayyan hingga cengkraman tangan itu terlepas."Jangan gila, kamu Ray!" sentak Dania mendelik sesaat pada Rayyan."Aku serius, Dania!" Ray mengajar Dania yang meninggalkannya."Dania tunggu!" Rayyan mengikuti langkah cepat Dania. Tetapi wanita cantik itu sama sekali tidak peduli.Adegan saling kejar
Rayyan menjatuhkan tatapan dingin. Membuat tubuh Dania membeku seketika. Degupan jantung Dania memompa lebih cepat, hingga terdengar oleh telinganya."Saya pamit dulu, Bu!" lirih Lusi memutar tubuhnya cepat. Melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu tempat dimana Rayyan berdiri. Sadar jika suasana tidak sedang bersahabat.Dania mematikan layar laptop. Berjalan dengan langkah penuh ketegasan menuju ke arah pintu. Memasang wajah sedatar mungkin. Saat ia melewati Rayyan, lelaki itu menjegal pergelangan tangannya.Sontak Dania menoleh pada Rayyan yang juga sedang menatap ke arahnya. Tatapan dingin dan menghunus.Rayyan menarik tubuh Dania. Memaksa Dania masuk kembali ke dalam ruangannya. Saat Rayyan hendak menutup pintu, seorang pegawai muncul di hadapannya."Ibu Dan ...!" Lelaki berjas hitam itu menjeda ucapannya. Sorot mata tajam Rayyan membuat nyali lelaki itu menciut."Ma ...!""Ada apa Pak Ilham?" Dania menarik kasar pergelangan tangannya dari cengkraman Rayyan. Sempat terlepas, namu
Dania tertegun cukup lama. Ia dapat merasakan jika matanya mulai memanas. Perlahan tapi pasti pandangannya mulai kabur."Saya akan memberikan anda waktu dua puluh empat jam. Jika anda sudah memutuskannya. Anda bisa menghubungi saya kembali."Dania bisa sedikit bernafas lega. Meksipun tidak sepenuhnya sesak meninggalkan dadanya.Sebelum air mata kekalahan jatuh membasahi pipi. Dania bergegas bangkit dari bangku yang berada di depan meja kerja Tuan Ram."Secepatnya saya akan memberitahu pada anda, Pak!" lirih Dania. Suaranya bergetar seperti sedang menahan tangisan. Langka kakinya gontai berjalan menuju ke arah pintu._____Tangis Dania pecah. Bulir air mata mampu membuat bantal yang membuatnya nyaman menjadi basah kuyup.Baru saja Dania diterbangkan ke awang-awang oleh takdir kehidupan. Kini ia harus jatuh tersungkur di dasar bumi yang paling dalam. Ia harus memilih antara dua hal yang sangat berarti di dalam hidupnya. Cinta atau keriernya yang mulai bersinar.Sakit. Sesak, hancur. Itul
Suara derap langkah kaki memecah keheningan. Dania menoleh pada sosok lelaki yang muncul dari ujung lorong. Berlari dengan langkah terrgesah-gesah. Diikuti oleh seorang wanita bertubuh ramping, yang belum pernah sekalipun Dania lihat. Ia menduga jika wanita itu adalah ibu dari Rayyan, istri dari Tuan Ram. “Dania, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dengan keadaann Ray?” Tuan Ram memberondongi Dania dengan pertanyaannya. Kekhawatiran terlukis jelas dari wajah Tuan Ram. Dania terisak. Ia sangat menyesal sekali sudah mengajak Rayyan untuk menolong Nadia. “Ray masih ada di dalam ruangan, Pak!” lirih Dania dengan suara berat. Derai air mata jatuh membahasi pipinya.Wanita yang berdiri di samping Tuan Ram mendadak menjatuhkan tubuhnya pada bahu Tuan Ram. “Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku!” lirih Ibu Siska, terisak. Tuan Ram mengusap lembut bahu istrinya. “Tenanglah, Ma, Ray pasti akan baik-baik saja,” ucap Tuan Ram mencoba untuk menenangkan. Menuntun wanita yang seketika terisak itu
"Diam atau aku akan mencium kamu!" desis Rayyan setengah berbisik saat Dania akan membuka mulutnya.Mata Dania membulat penuh. Mulutnya kembali mengatub. Kata-kata yang telah tersusun kembali tertelan."Tapi, Om Ram bilang ...!" ucap Maria terbata. Wajahnya tampak terkejut."Iya, aku memang belum membawa Dania ke rumah. Tetapi Papa sudah kenal baik dengan Dania. Dia ini adalah penulis terbaik di Indonesia. Beberapa bukunya juga sudah difilmkan oleh perusahaan Papa." Rayyan menatap pada Dania yang sedang memaksakan senyuman pada bibirnya."Iya kan, sayang?" Rayyan menarik tubuh Dania semakin mendekat. Hingga pelukannya semakin erat."I-iya!" balas Dania terbata.Wajah wanita berambut kecoklatan itu seketika berubah. "Oh, begitu! Baiklah," balas Maria melirik sinis pada Dania."Kalau begitu aku pergi dulu!" lirih Maria terdengar lesu. Wanita dengan body seperti foto model itu membalikan tubuhnya berjalan menuju ke arah pintu kafe.Dania mendorong tubuh Rayyan. Hampir saja lelaki itu ter
Ucapan Nadia masih mendengung dalam indra pendengaran Dania. Iya, lagi-lagi soal anak. Sesuatu yang sepertinya mustahil sekali dapat Dania lakukan. Suara derap langkah kaki yang berjalan cepat membuyarkan lamunan Dania. Lelaki yang berada di ujung lorong nampak menutupi kepalanya dengan sebuah map di tangannya dari rintik hujan yang masih saja turun. Sesaat lelaki itu mengehentikan langkah kakinya dan mengibas-ngibaskan jas yang sedikit basah oleh gerimis di depan teras kafe."Maaf, aku terlambat!" ucap Rayyan saat ia tiba di meja Dania.Dania menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. Rasa cintanya semakin bertambah setiap kali melihat lelaki tampan yang kini duduk di hadapannya."Iya, aku juga baru sampai, kok!" dusta Dania. Padahal wanita itu sudah hampir satu jam menunggu kedatangan Rayyan di kafe itu.Sorot mata Rayyan tertuju pada es mocacino yang sudah mencair di hadapan Dania. "Apakah kamu sedang membohongiku?" ucap Rayyan memicingkan matanya pada Dania."Aku, tidak!" bala
POV AuthorGerimis jatuh membahasi bumi, butiran lembut itu menyentuh lembut pori-pori kulit Dania. Wanita yang sedang berdiri di depan halte itu memundurkan sedikit tubuhnya agar hujan tidak membahasi baju yang ia kenakan. Sebuah map hijau ia genggam erat di depan dada. Mulai hari ini babak baru kehidupannya akan di mulai. Menyandang status janda dengan segala polemiknya.Lelaki yang keluar dari gerbang gedung pengadilan negeri itu menoleh ke arah Dania. Wajahnya terlihat sedih. Saat Adam hendak melangkahkan kakinya menghampiri Dania, ibu Ratna menarik kasar pergelangan tangan putranya."Hanya sebentar saja, Bu!" lirih Adam. Wajahnya penuh pengharapan agar wanita berwatak keras kepala itu mengizinkannya."Untuk apa, Dam, perempuan sombong seperti itu tidak perlu kamu perjuangan!" desis Ibu Ratna dengan nada berisik namun berwajah sinis."Tolonglah, Bu!" Lagi, Adam memasang wajah memelas."Hanya sebentar!" cetus Ibu Ratna mengacungkan jari telunjuknya pada Adam dengan tatapan tajam.
POV Nadia.Dadaku bergemuruh melihat pemandangan mobil yang berada di depan rumah Adam. Bagaimana tidak, Rayyan sudah kembali berbaikan dengan Dania. Padahal aku sudah bersusah payah untuk memisahkan mereka."Sialan!" decihku kesal. "Jalan, Pak!" ucapku pada supir taksi online. Melihat mereka bermesra-mesraan semakin membuat hatiku memanas.Dreg, Dreg,Aku meraih ponsel yang berada di dalam tas. Nama Om Sato terpampang pada layar yang berkedip. "Untuk apa lelaki tua bangka itu menghubungiku!" gerutuku kesal. Lelaki tua yang tidak sadar umur itu terus saja menggangguku. Ia membeli kepuasan dengan kekayaannya. Jika bukan karena uang, aku tidak akan sudi menemani lelaki itu.Kubiarkan panggil itu hingga berhenti. Lagi, ponsel yang ada di tangan bergetar kembali dengan nama Om Sato yang muncul pada layar. Lebih baik aku angkat saja, daripada nanti Om Sato marah padaku dan jatah bulananku hangus."Iya, Om?" sapaku setelah menekan tombol hijau pada layar."Di mana, Nad? Om kangen nih!" u