"Jadi sekarang apa kau sudah keluar dari mimpimu kalau putraku mencintaimu?"Selepas menutup teleponnya, Tony menyeringai menatap Alila seakan-akan mengejek wanita yang sedang sakit hati dan kini masih antara percaya dan tidak percaya kalau yang dikatakan mertuanya itu benar.Semua tampak nyata kalau Arthur mencintainya. Alila sendiri bisa merasakan kalau pria itu begitu baik padanya. Setiap sentuhan dan caranya bicara juga tatapan matanya itu tidak menunjukkan kalau Arthur berbohong.Alila yakin sekali kalau dia memang benar-benar mencintai Alila. Tapi kenapa dia bisa berada di tempat itu kalau Arthur benar-benar mencintainya?"Jadi kalian hanya ingin menghancurkan papa?""Memang apalagi yang menurutmu yang ingin kami lakukan?"Ada lagi seringai tawa dari Tony yang seakan tidak peduli dengan air mata Alila dan dia malah menceritakan sebuah kebohongan baru."Kau tahu? Sebenarnya sandiwaramu ingin menjebak Caca di kampus itu sangat bagus sekali. Itu mempermudah kami untuk mendapatkanny
"Akh, kepalaku!"Pengaruh obat bius masih terasa di kepala Arthur tapi dia mencoba untuk bangun karena ingatannya yang sudah pulih.Perlahan tapi pasti. Dia membuka matanya dan menuju ke arah pintu."Di mana aku? Kamar ini- aish, ayah, kau kenapa membawaku ke sini?"Arthur mencoba mencerna dulu sampai ingatannya benar-benar kembali."Ayah, Kenapa pula kau menangkap Alila? Dan apa Alila ada di sini?"Dia mencoba mengumpulkan informasi dan mencari handphonenya juga yang memang tidak ada di kantongnya."Sial. Di mana handphoneku?"Arthur segera turun untuk mencari siapa saja yang bisa ditanya olehnya."Di mana ayahku?"Dan syukurlah ada anak buah ayahnya yang bisa ditanya olehnya.Di villa itu Arthur tidak sendirian dia bersama dengan beberapa penjaga dan sepertinya ada pelayan juga, cuma dia belum bertemu dengan mereka."Di gudang luar Tuan.""Hm. Baiklah. Dan kau. Apa kau orang baru? Kenapa aku tidak mengenalimu?"Ini juga membuat Arthur penasaran berapa banyak ayahnya merekrut orang b
David: Reza apa yang kau katakan? Kau sudah membuat kesalahan yang fatal!Suara David terdengar gelisah tapi Reza dengan tenangnya justru bersandar di sandaran tempat duduk helikopter yang kini sudah balik arah menuju rumah sakit.Urusannya dengan Arthur sudah selesai.Reza: Aku salah paham? Dari mana aku salah paham? Yang kulakukan sudah yang paling benar. Bagaimana Alila? Sudah kau bawa ke rumah sakit?Pria itu tetap tidak peduli dan hanya mempedulikan tentang urusannya sendiri terutama putrinya.David: Sudah. Kami sudah ada di helikopter dia masih pingsan. Dia masih ditangani khusus oleh perawat.Sekarang David bersama dengan Alila berada di helikopter rumah sakit. Itu seperti ambulans dan di dalamnya sudah ada perawat terlatih yang memberikan pertolongan pada Alila.Putri Reza itu memang baik-baik saja. David yakin sekali karena tidak ada luka serius dan dia hanya belum sadarkan diri saja.Justru yang dikawatirkannya bagaimana nanti setelah Alila bangun.David: Reza, kau menghancu
"Tuan pasien sudah bisa dibawa ke ruangan opname. Dan kami akan membawanya sekarang."Melihat kondisi Caca yang sedang tertidur sudah mulai stabil lagi, perawat menginfokan. Lagi pula dia sudah ada di dalam ruang observasi lebih dari dua jam.Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk ingatannya agar kembali pulih seperti dulu. Tapi dari luka fisiknya tidak ada yang bermasalah. Luka di kepalanya juga stabil dan ini jadi pertimbangan dokter untuk memindahkan Caca ke kamar pasien.Dan kejadian ini berlangsung setelah kepergian Reza sekitar setengah jam."Baik. Kalau begitu silakan dipindahkan sekarang."Amar mengizinkan. Dan selama proses pemindahan dia tidak pergi ke manapun. Dia tetap menemani Caca di samping tempat tidurnya yang didorong oleh perawat ke ruangan opname.Amar juga hanya menunggu Caca di dalam ruangan itu sambil sesekali dia melihat handphonenya dan mengirim pesan untuk mengurus masalah bisnisnya juga.Bukan hanya masalah bisnis, ibunya yang ingin pamit pulang ke Indonesi
"Tidak Amar kau salah jika berpikir kalau Arthur adalah orang baik. Justru semua masalah ini diawali darinya!"Tapi saat itu juga Alila menepis semua pikiran Amar tentang kebaikan Arthur. Dia mencoba memblok dirinya dan tidak mau terbuai dengan perasaannya lagi.Dia yakin sekali Arthur adalah sumber permasalahannya. Pria itu sangat jahat padanya dan keluarganya. Alila hanya ingin memperingati dirinya untuk membenci Arthur."Alila, apa maksudmu?" tapi sebetulnya Amar tidak setuju"Lagipula dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia sudah mendapatkan karmanya. Dia sudah mati. Jadi tak perlu dibahas lagi Amar."Reza kau berhasil menyingkirkan Arthur berarti sebentar lagi kau juga berusaha untuk menyingkirkanku karena keegoisanmu dan merasa dirimu yang paling benar. Tapi aku tidak akan pernah menyerah dan aku tidak akan pernah membiarkan Caca pergi dari hidupku. Apapun yang kau akan lakukan padaku, aku akan bertahan demi istriku.Cuma saat itu juga pikiran Amar memperingatkan dirinya kala
"Kenapa kau bicara begitu tentang Arthur? Kau siapa?" Caca sudah lupa lagi tentang siapa Alila.Tapi setiap kali membicarakan Arthur memang Caca selalu melindunginya dan ini yang membuat Amar tak setuju dengan rencana Alila."Tidak Alila. Aku tidak yakin. Kita akan melihat nanti seiring dengan berjalannya waktu.""Tapi kan ini sudah pasti. Dia menculikku!" sanggah Alila tak terima."Saat aku bertemu dengan mamamu untuk kedua kalinya dan dia hilang ingatan, tidak mengenal tentang Reza, aku sangat yakin sekali kalau papamu itu adalah orang yang sangat jahat. Dia menculik mamamu dan berusaha untuk membuat mamamu menyukainya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa melihat kalau Reza tidak seburuk yang dikatakan oleh Giyan. Jadi kurasa waktu selalu bisa menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Hanya perlu menunggu saja."Amar mengembalikan semuanya pada kejadian itu dan matanya kembali menatap Reza."Amar kau tidak percaya padaku kah? Aku sendiri yang bicara dengan ayahnya!"Ketim
"Papa?""Papa Reza, Marsha.""Sssh, Papa Rezanya Marsha, om Amar?""Hm, papanya Marsha. Papanya Marsha juga sudah kangen sekali dengan Marsha dan ingin sekali memeluk Marsha."Ada senyum dari wanita yang sedang ada dalam rangkulan Amar itu dan Reza juga menegang saat Amar mengatakannya.Tidak terbesit dalam pikiran Reza sama sekali kalau Amar akan membahas tentang dirinya pada Marsha dengan cara seperti ini setelah sebulan lebih Reza terus berpikir negatif tentang Amar dan cemburu padanya."Baca ini Reza."Amar memberikan handphone yang diambil David agar Reza baca.[Reza kemarilah. Putrimu yang ini juga ingin dipeluk olehmu. Dia memegang tanganku kencang sekali saat kau memeluk adiknya, Alila.]"Eh tentu Papa, kau harus memeluknya."Alila yang mengintip isi pesan itu, melepaskan diri dan dia khawatir sekali kalau kakaknya akan cemburu padanya.Dia meninggalkan Reza sendiri dan memberikan jarak agar papanya bisa mendekat pada Marsha di mana Amar juga memberikan jarak."Om Amar, dia pa
"Kau jaga Marsha. Aku akan bicara dengan suaminya tentu dia sendirian di dalam kamarnya, temani dia."Tapi Reza tidak mengizinkan Alila ikut.Dan putrinya pun menurut meski saat ini David yang melihat ini dia menatap tak suka pada Reza."Kenapa kau?""Aku ikut kau bicara dengannya. Tapi jika kau berani mencoba mengganggunya maka aku akan menyelamatkannya Reza. Kau temanku tapi aku tahu kalau menyerang Amar adalah tindakan yang salah."Ini hanya sebatas kekhawatiran David kalau Reza akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh kakeknya Frederick dulu. Bersikap baik pada Rania tapi di belakang dia menusuk Rania. Membuat wanita itu kesulitan dan bahkan Frederick adalah orang yang patut disalahkan untuk semua kejadian yang menimpa Marsha.Tidak mungkin Marsha diculik dan mengalami luka di kepalanya yang parah jika Frederick melindunginya."Kau ingin menentangku?"Dan tentu saja pembicaraan ini terjadi setelah Alila keluar dan dia menuju kamar Caca dan Amar. Reza mengingin