POV Bara======“Maaf, bisa Mas jelasin!” Indri mentapku lekat, begitu pengacara muda yang bernama Bayu itu berlalu.“Jelasin apa?” sergahku pura-pura tak paham.“Ucapan Mas Bara barusan!”Deg!Gawat ini. Apa yang harus aku jelasin pada wanita ini? Tentang ucapanku pada Bayu barusan? Jelas aku tak akan berani. Aku tak punya nyali untuk berkata-kata di hadapannya. Aku ciut, aku kehilangan rasa percaya diri.Padahal aku sudah mengatakan semuanya pada Bayu. Indri hanya minta penjelasan. Bukankah sudah semakin mudah untukku menjelaskan semuanya? Karena sudah kunyatakan pada Bayu yang sesungguhnya, dan Indri pun sudah mendengarnya. Bukankah tinggal mengakui saja, bahwa aku menyukainya?Tetapi, kenapa aku tak berani juga. Parahnya, aku justru menutupi ketakutanku dengan sikap arogan. “Sejak kapan aku menjadi kekasih Mas Bara?” tanya Indri tadi, di halaman rumah sakit bersalin itu.“Sejak kapan, ya? Sejak kapan juga gak masalah,” jawabku santai. Seolah hal itu sangat tidak penting bagi
======“Di sini, Mbak?” tanya sang supir menoleh ke arahku, di bangku belakang.“Oh, iya. Terima kasih, Pak.” Kuserahkan selembar uang kertas kepada lelaki paruh baya itu.“Sebentar, Mbak.” Dia merogoh saku celana, mungkin untuk mengambil kembalian.“Sudah, Pak, kembaliannya untuk Bapak saja. Ini tengah malam, tapi Bapak masih mau mengantar saya. Sekali lagi terima kasih.”“Mbak, kalau tidak salah, Mbak menantu keluarga Wijaya? Kenapa malam-malam keluar?” tanyanya menatapku penuh selidik.Aku tercekat sesaat.“Baik, hati-hati, ya, Mbak!” ucapnya kemudian, tanpa menunggu jawabanku.Aku turun dan berjalan menuju rumah sederhana di sisi kanan. Suasana begitu sepi. Tak ada seorangpun yang terlihat melintas. Mobil yang mengantarku tadi pun segera berlalu.Rumah itu tak berpagar, posisinya agak mepet ke jalan. Tanpa garasi, juga tanpa halaman. Hanya teras sempit yang memisahkannya dengan selokan kecil yang berbatasan langsung dengan jalan raya.Kuketuk pintu dengan pelan. Berula
=====“Indri, lihat ke sini, kenapa berpaling?”Jemarinya menyentuh lembut daguku, kemudian menggesernya pelan, hingga tepat menghadapnya. Kuberanikan diri untuk membalas tatapannya.“Aku ingin meminta izinmu, untuk mengatakan yang sesungguhnya tentang perasaanku!” tuturnya setelah tatapan kami beradu.Jengah, jantung berpacu tak karuan dan gelisah. Rasa itu mengaduk di dalam kalbu. Aku menundukkan pandangan.“Aku mau pulang, Mas. Mau bertemu Bapak dan Ibu,” lirihku seraya menepis pelan jemarinya yang masih memegang daguku.Jemari itu memang lepas, tetapi tangannya tak hendak menyerah. Jemariku berubah posisi, kini tergenggam erat di tangan kekarnya.Kutatap lekat tangan yang menggenggam itu, menariknya dengan halus, tetapi sia-sia. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Sifat keras kepala lelaki ini ternyata tergambar nyata di dalam setiap perbuatanya. Tak terkecuali seperti saat ini.“Lepasin, Mas!” lirihku pelan.“Biarkan, memang disitulah seharusnya dia berada,” sergahnya tegas
======Pak Joni sang security yang membukakan pintu gerbang untukku keluar tadi malam, dengan sigap membukakan pintu pagar juga kali ini. Setelah mobil Mas Bara masuk, lelaki itu menutup dan menguncinya kembali. Lalu berlalri kecil mengejar kami.“Selamat siang, Bu Indri!” ucapnya sembari meletakkan sebelah tangan di pelipisnya. Seperti orang memberi hormat.“Siang, Pak,” jawabku menurunkan kaca jendela obil lebih ke bawah.“Saya minta maaf peristiwa tadi malam. Seharusnya saya tidak membukakan pintu gerbang buat Ibu. Dan selanjutnya, saya juga minta maaf dari sekarang, karena tak akan pernah lagi membukakan pintu gerbang buat Ibu tanpa izin dari Pak Bara, begitu sumpah yang sudah saya ucapkan kepada Pak Bara. Jika saya melanggar sumpah ini, maka saya akan kehilangan perkerjaan saya, saya harap Bu Indri bisa maklum. Terima kasih, permisi!”Lelaki bertubuh tinggi tegap berkulit agak gelap itu berlari kembali menuju pos jaga di dekat gerbang. Kucoba mencerna kalimat yang barusan d
===== Setelah makan siang, kami segera berbenah. Ibu membantuku memasukkan baberapa pakaian ke dalam koper, lalu menyeret ke mobil Bapak.Papa dan Mama mertua, juga berbuat yang sama. Rumah ini akan segera kosong. Tinggal Bik War yang akan tetap membersihkannya, dan security yang menjaganya.“Saya ikut ngatar Indri ke Kaban Jahe. Papa dan Mama gak apa-apa, kan, pulang berdua ke Jalan Ayahnda?” tanya Mas Bara sembari memasukkan koper-koper milik orang tuanya ke dalam mobil Papa. “Tidak apa-apa! Tapi, kamu apa tidak terlalu lelah? Tadi malam juga tak tidur, sekarang mau berkendara jauh, apa tidak sebaiknya kamu tidak usah pergi lagi, Bara?” Ibunya mnegingatkan.“Gak apa-apa, Ma. Biar tenang aja, ngelihat Indri tiba di sana dengan selamat. Dua perjalanan itu sangat melelahkan, Ma. Apalagi dengan kondisi jalan yang berkelok-kelok seperti itu. Saya gak tega sebenarnya.”“Tidak apa-apa, Nak Bara. Indri tidak akan kenapa-napa. Nak Bara tidak usah mengantar Indri. Kasihan Nak Bara
=====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak
POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan
======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu