=====“Dia tidak apa-apa. Hanya kaget saja sepertinya.”Suara itu awalnya terdengar samar. Sepertinya sangat jauh. Kurasakan kepala sedikit pusing. Tubuhku juga seperti tak bertenanga. Ada perih di pergelangan tangan kiriku. Tetesan dingin terasa mengalir lambat di urat nadi.“Jadi, bayinya tidak apa-apa, kan, Dok?”“Alhamdulillah, sehat. Tidak apa-apa. Hanya ibunya saja yang sedikit trauma, sepertinya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tenang saja, ya!”“Terima kasih, Dokter.”Kini kuingat apa yang telah menimpaku. Ara, wanita itu telah memukuli perutku. Aku kaget, tak sempat melakukan perlawanan, tiba-tiba ambruk kehilangan tenaga. Seseorang menangkapku, lalu membawaku menuju mobil. Saat mobil mulai melaji, aku kehilangan kesadaran.Jadi, kesinilah aku dibawanya. Rumah sakit. Aroma khas karbol dan obat-obatan terasa sangat pekat.“Saya tinggal, ya, Pak Bara! Sebentar lagi Bu Indri pasti sudah sadar! Gak apa-apa itu! Gak perlu di rawat di sini juga. Begitu cairan infus
======Kami harus menunggu hingga habis, cairan infus yang di dalam botol tergantung itu. Masuk setetes demi setetes ke dalam tubuhku, melalui selang yang dipasangi jarum lalu di masukkan ke dalam urat nadiku. Dengan kecepatan dan volume setiap tetes yang stabil. Setelah cairan itu habis, baru dokter mengizinkan aku pulang, tak perlu di rawat inap. “Indri, kamu baik-baik saja?” Mas Arga menghampiriku dengan wajah yang terlihat masih panik. Bella bergeming di tempat semula, di dekat pintu masuk.“Mas, aku baik-baik saja, terima kasih sudah datang!” lirihku tak lupa mengulas senyum untuk meyakinkannya. Kusalam dan kucium punggung tangannya.“Perutmu, bagaimana?”“Baik, Mas! Gak apa-apa.”“Syukurlah. Tapi, si Ara –Ara itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Agar tak kebiasaan, besok diulangnya lagi!”“Iya, Mas. Security langsung membawanya ke kantor polisi tadi,” sahutku.Mas Arga menyalami kedua mertuaku, juga Mas Bara. Kemudian menatap Bella.Tatapanku juga kini tertuju
POV Ara=====Sudah empat hari aku mendekam di dalam sel kantor polisi ini. Empat hari sudah aku mengalami sakitnya hidup di balik jeruji besi. Tidur hanya beralaskan tikar tipis, makan tak bisa, sepi teramat mencekik. Belum lagi kepastian masa hukuman yang sangat menakutkan.Semua ini karena Indri. Ya, Indri. Perempuan itu telah berhasil membuatku tercampak di tempat terkutuk ini.“Keluar!”Seorang petugas membukakan pintu jeruji untukku. Entah mau apa dia memerintahkan aku keluar. Semoga Papa sudah berhasil mengeluarkan aku dari sini. Atau setidaknya menangguhkan masa tahananku.Petugas sangar itu menggiringku ke ruang khusus bertamu. Kuharap Mama dan Papa yang datang. Aku kangen sama Mama. Aku ingin menangis sejadinya nanti di pelukannya. Aku ingin mengadu padanya.Tetapi, yang kulihat datang bukan Mama. Kecewa membuncah di dada. Ke mana Mama? Kenapa dia tak mau menginjungiku di sini? Ini sudah hari ke empat. Kenapa dia tega tak melihatku sekalipun?Papa hanya data
======Tiba-tiba sebuah tangan membekapku, sesuatu ditempelkan di mulutku. Aku berusaha menjerti sekuatnya, namun, suaraku tak terdengar. Lakban menempel erat di sana. Mama Ara, entah sejak kapan wanita setengah gila ini berada ke dalam mobilku.“Geser! Biar aku yang nyetir!” perintahnya menggeser paksa tubuhku.Dengan gerakan cepat kuputar kunci mobil ke arah kiri. Seketika mesin mobil yang tadi telah menyala mati. Kucabut dan kulemparkan ke jok belakang.“Apa yang kamu lakukan? Berengsek kamu ya!”Tangannya melayang menampar pipiku. “Sini! Tanganmu minta diikat rupanya!” teriaknya mencengkram kedua tanganku.Aku berusaha melawan. Kondisi perutku membuat gerakanku terbatas. Kaki tak bebas bergerak. Dia berusaha menguasai kedua tanganku, aku meronta sejadinya meski tanpa suara.Sebuah mobil hendak memarkir di samping mobilku. Harapan terbit di hati saat mengetahui itu adalah mobil Bella. Sepertinya dia sengaja memarkir di samping mobilku. Pasti dia mengira aku masih di
=====“Bella! Apa yang akan kuterima, jika Mas Bara juga diam saja! Dia enggak pernah bilang apa-apa! Sepertinya kamu terlalu jauh mikirnya, deh!” sergahku. Kali ini dengan nada sedikit keras. Sedikitpun tak menyadari, kalau Mas Bara menyimak obrolan kami.“Masudnya, apa, ya?” Pemuda itu menyela, seraya membukakan pintu mobilnya untukku.Aku dan Bella terperangah. Kurasakan wajahku menghangat. Pasti pipi ini memerah menahan rasa malu yang tak terperi. Bagaimana bisa aku keceplosan berbicara seperti ini? Kuremas jemari Bella yang masih menggenggam tanganku.“Tenang! Gak apa-apa, Pasti Mas Bara tak begitu jelas mendengar ucapanmu!” bisik gadis itu membesarkan hatiku.“Aku malu, Bel,” lirihku. Kucoba menetralkan hati yang gelisah dengan mengggit bibir.“Gak apa-apa! Anggap aja kamu tak pernah berkata seperti tadi, ok!” ucapnya lagi menghiburku.“Semua ini karena kamu!” protesku masih berbisik.“Masuklah!” Bella mendorong tubuhku pelan, tak menghiraukan ucapan Mas Bara pun prot
*“Ayo, aku akan membantu kamu turun!” Mas Bara membukakan pintu mobil untukku.“Maaf, bisa Mas jelasin!” sergahku bergeming.“Jelasin apa?”“Ucapan Mas Bara barusan!”“Kepada Bayu?”“Ya.”“Em, ya, memang begitu.” Mas Bara menggaruk kepalanya. Bola mata itu melirik wajahkku sekilas, lalu mengalihkan tatapan ke arah lain.“Kenapa mesti berbohong pada Mas Bayu?” tanyaku sedikit ketus.“Aku tidak bohong.”“Sejak kapan aku menjadi kekasih Mas Bara?”“Sejak kapan, ya? Sejak kapan juga gak masalah,” jawabnya santai. Sedikitun tak ada keseriusan di wajahnya.“Mas Bara aneh! Menganggap semuanya begitu mudah. Semua seolah gampang. Seperti permainan saja.” Aku mengeluh kecewa. Yang aku dengar ini tak seperti yang kuinginkan.“Sudahlah, In. Jangan terlalu dipikirkan! Sekarang turun, ya! Dr Muslih sudah menunggu.” Mas Bara bahkan dengan mudahnya mengalihkan pembicaraan.“Hem, tapi maaf, aku bisa turun sendiri. Menepilah!” ucapku menahan kecewa.“Baik.” Mas Bara menyisi.Aku melangkah tur
POV Bara======“Maaf, bisa Mas jelasin!” Indri mentapku lekat, begitu pengacara muda yang bernama Bayu itu berlalu.“Jelasin apa?” sergahku pura-pura tak paham.“Ucapan Mas Bara barusan!”Deg!Gawat ini. Apa yang harus aku jelasin pada wanita ini? Tentang ucapanku pada Bayu barusan? Jelas aku tak akan berani. Aku tak punya nyali untuk berkata-kata di hadapannya. Aku ciut, aku kehilangan rasa percaya diri.Padahal aku sudah mengatakan semuanya pada Bayu. Indri hanya minta penjelasan. Bukankah sudah semakin mudah untukku menjelaskan semuanya? Karena sudah kunyatakan pada Bayu yang sesungguhnya, dan Indri pun sudah mendengarnya. Bukankah tinggal mengakui saja, bahwa aku menyukainya?Tetapi, kenapa aku tak berani juga. Parahnya, aku justru menutupi ketakutanku dengan sikap arogan. “Sejak kapan aku menjadi kekasih Mas Bara?” tanya Indri tadi, di halaman rumah sakit bersalin itu.“Sejak kapan, ya? Sejak kapan juga gak masalah,” jawabku santai. Seolah hal itu sangat tidak penting bagi
======“Di sini, Mbak?” tanya sang supir menoleh ke arahku, di bangku belakang.“Oh, iya. Terima kasih, Pak.” Kuserahkan selembar uang kertas kepada lelaki paruh baya itu.“Sebentar, Mbak.” Dia merogoh saku celana, mungkin untuk mengambil kembalian.“Sudah, Pak, kembaliannya untuk Bapak saja. Ini tengah malam, tapi Bapak masih mau mengantar saya. Sekali lagi terima kasih.”“Mbak, kalau tidak salah, Mbak menantu keluarga Wijaya? Kenapa malam-malam keluar?” tanyanya menatapku penuh selidik.Aku tercekat sesaat.“Baik, hati-hati, ya, Mbak!” ucapnya kemudian, tanpa menunggu jawabanku.Aku turun dan berjalan menuju rumah sederhana di sisi kanan. Suasana begitu sepi. Tak ada seorangpun yang terlihat melintas. Mobil yang mengantarku tadi pun segera berlalu.Rumah itu tak berpagar, posisinya agak mepet ke jalan. Tanpa garasi, juga tanpa halaman. Hanya teras sempit yang memisahkannya dengan selokan kecil yang berbatasan langsung dengan jalan raya.Kuketuk pintu dengan pelan. Berula
POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.
“Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang
Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri
“Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene
“Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,
====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang
======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu
POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan
=====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak