*****Aku baru saja pulang dari butik, saat kulihat mobil Papa dan Mas Bara sudah ada di portcar. Halaman rumahku. Ini memang sudah jam pulang kantor, tetapi harusnya mereka pulang ke rumah mereka. Kenapa mereka malah pulang ke sini lagi?Lesu aku berjalan masuk ke dalam rumah, setelah memasukkan mobilku ke dalam garasi. Mereka tengah berbincang di ruang keluarga.“Sudah pulang, Nak? Kenapa sore sekali pulangnya? Janagn diporsir pikiran dan tenaganya di butik itu, Sayang!” sapa Papa begitu melihatku.“Iya, Pa?” jawabku menyalam dan mencium punggung tangannya.“Begini, In, duduklah!” Mama menunjuk tempat persis di sampingnya. Aku menurut saja.“Bara merasa gak betah tinggal serumah dengan Ara, apalagi ada orang tuanya. Jadi, dia berniat tinggal di rumah kita yang di dekat kantor. Kecil, sih. Karena itu biasanaya di gunakan untuk tempat nginap karyawan yang kebetulan lembur. Tapi, Bara memilih tinggal di situ,” ungkap Mama kemudian.Aku terkejut. Bagaimana Mas Bara lebih memilih ti
*****“Bu Indri baru pulang?” Bik War menegurku saat melintas menuju dapur.“Iya, Bik. Kenapa?” sahutku.“Anu, tadi Ibu Nyonya menyuruh saya membersihkan kamar tamu. Kamar bekas Bu Ara dan Pak Haga.”Bik War mengikuti langkahku.“Terus?”“Gak bisa saya bersihkan, Buk.”“Kenapa?” Aku menoleh sesaat lalu mengambil panci di lemari rak piring.“Ibuk mau ngapain?” tanya heran.“Mau rebus air, buat mandi.”“Biar saya, Buk, sini!”“Gak usah! Bibik udah capek, bekerja seharian membersihkan rumah ini, apalagi sisa-sisa acara tahlilan semalam. Bibik istirahat saja!”Kuisi panci dengan air mentah dari kran wastapel. Lalu memanaskannya di atas api kompor gas.“Baiklah, saya akan nemani Ibuk saja!” Bik War duduk di kursi makan.“Terus, gimana ceritanya? Kok gak bisa membersihkan kamar bekas Ara?” tanyaku melanjutkan ceritanya tadi.“Iya, Buk. Karena kunci kamar itu gak ada.”“Lho, kok, gak ada? Kamarnya dikunci?”“Iya, Buk.”“Kuncinya masih sama Ara, dong?”“Iya, Buk.”“Kenapa Ara tak mening
****“Ya, Ma?” jawabku turun perlahan dari atas ranjang. Membuka pintu kamar untuknya.“Papa ngajak ke rumah yang di Jalan Ayahanda. Kamu mau ikut, enggak?”“Rumah yang di Jalan Ayahanda? Ngapain?”“Barusan Bik Yati nelpon, katanya dia mau ngundurin diri. Keluarga Ara membuatnya gak betah.”“Bik Yati ART Mama yang di sana?”“Iya.”“Kenapa gak betah? Apa yang dilakuin keluarga Ara, Ma?”“Bik Yati gak mau cerita, hanya tetap kekeh besok mau pulang kampung! Mama gak mau kehilanagn ART sebaik Bik Yati, In. Dia udah ikut Mama puluhan tahun. Susah cari ART sebik dia. Mama tinggal rumah itu berbulan-bulan pun dia bisa jagain dengan penuh tanggung jawab. Pokoknya, Mama gak mau kehilangan ART sebaik dia.”“Terus, apa rencana Mama?”“Ini, mau ngecek ke sana! Kamu ikut, yuk! Biar tahu juga, rumah kita yang di Ayahanda itu! Kamu belum pernah ke sana, kan?”Sebenarnya aku penasaran juga, sih. Tetapi, mengingat Ara dan keluarganya sekarang yang menempati rumah itu, aku ragu untuk ke sana.
****“Bibik ke belakang, gih! Buatkan minum buat tamu istimewanya!” Mama si Ara memerintah Bik Yati lagi secara kasar.“Permisi, Buk, Pak, Bu Indri, saya izin ke belakang dulu!” Bik Yati menunduk, lalu melangkah mundur, setelah itu baru berbalik menuju dapur.“Bik Yati!” panggilku cepat.Wanita itu menghentikan langkah. Orang tua Ara menatapku tak senang. Keduanya melotot tajam.“Saya bantu Bibik, ya!” ucapku mengangguk minta izin pada Papa dan Mama mertua. Mereka berdua menggangguk. Aku langsung melangkah mengikuti Bik Yati. Aku sengaja, ingin mencari keberadaan Mas Bara dengan Ara. Entah mengapa aku sangat curiga.“Hey … hey … hey! Kok, gak sopan banget kamu?” Mama Ara berteriak. Aku menoleh padanya. Lalu tersenyum penuh makna.“Kamu lupa ya, ini rumah siapa? Kok, enak bener mau nyelonong aja?” ketus Mma Ara lagi. Suaminya masih diam.“Maaf, Tante. Saya hanya ingin membantu Bik Yati. Kasihan juga, kan? Dia sendirian kerjanya. Sepertinya dia juga udah capek banget,
*****Kuikuti sesaat, sebuah film komedi sedang di putar di layar itu, filem komedi, tetapi lebih banyak adegan romantisnya. Ide siapa mereka menonton film seperti itu? Sepertinya, itu yang membuat Ara tertawa cekikan sejak tadi. Sempat aku curiga, dia kegelian karena di sentuh Mas Bara. Pikiranku jadi ngelantur tak karuan, menyisakan syak dan perasaan … entahlah di dalam dada.Kucari keberadaan mereka. Deretan kursi ditata rapi menghadap ke layar. Tetapi, aku tak menemukan Ara dan Mas Bara di sana.Berjalan berjingkat aku ke arah depan, mendekati layar. Ups, itu mereka. Ternyata mereka duduk lesehan menghadap ke layar, tepat di depan deretan kursi untuk menonton itu. Kudekati mereka, sebuah karpet mewah berwaran merah terbentang. Terasa begitu lembut saat kakiku memijaknya. Dan keduanya terlihat duduk agak rapat di sana.Mas Bara duduk dengan menyandarkan tubuh di dinding ruangan, Ara tak jauh dari sisinya. Perempuan itu duduk setengah berbaring dalam balutan gaun tidur
====Kuraih ponsel di saku gamisku. Mengusap layar, mencari perekam video, dan mulai mengarhkan ke depanku. Maaf, Ara! Tingkah memalukanmu, terpaksa aku rekam. Aku berjanji, tak akan menyebar luaskan video ini, kecuali terpaksa.“Mas … Mas Bara ….!” Suara Ara terdengar bergetar, berpaling dari layar, kini menatap lekat ke wajah Kakak Iparnya, Mas Bara. Tatapan aneh, dengan sorot mata sayu dan menghiba. Menyorotkan gairah yang menghentak, meminta dituntaskan segera.“Ara? Kamu kenapa?” tanya Mas Bara semakin bingung melihat reaksi Ara.“Kenapa kamu baik-baik saja? Kenapa aku yang jadi seperti ini? Apakah gelasnya tertukar?” tanya Ara jauh lebih bingung.“Apa maksud kamu?”“Mas, aku … aku … aku …. Maaf, Mas, aku membutuhkanmu, sekarang! Tolong aku, Mas!”Ara mulai bersikap liar. Tanpa rasa malu dia memeluk Mas Bara. Kedua tanganya mengalung di leher pria itu, tubuhnya bergerak dan menggelinjang.“Ara! Kamu kenapa?” Mas Barra tiba-tiba menghentak dengan kasar kedua tangan Ar
****“Apa kau bilang! Dasar perempuan murahan! Aku tidak ada menyentuhmu seujung kukupun!”“Gak usah membela diri, Nak Bara, ini sudah terbukti!”“Aku tidak menyentuh Ara, Tante! Justru dia yang bermaksud menjebakku dengan minuman itu!”“Jangan berkelit! Tega Nak Bara menuduh Ara serendah tu, setelah apa yang Nak Bara lakukan padannya barusan? Tadi sore Nak Bara menelpon dia, bermanis-manis kat, ingin bertemu dengan Ara. Minta waktu Ara sebentar saja. Saya saksinya saat Nak Bara menelepon Ara tadi sore. Setelah bertemu Ara, ternyata ini yang Nak Bara lakukan pada dia. Tega Nak Bara membantah kenyataan ini. Tega Nak Bara menghina dan menodai adik ipar sendiri.”“Saya memang menelpon Ara, Tante! Tapi tidak memperkosanya! Dengar! sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menikahi Ara!” Mas Bara berteriak.“Saya sungguh tak menyangka, keluarga Wijaya yang terhormat, memiliki dua orang putra tampan dan sukses, tapi ternyata gemar bermaksiat! Si putra sulung, bahkan tega memeprkosa istr
*****“Lepaskan!” Sebuah tangan kekar melepasku dari cekikan. Spontan memeluk dan membenamkanku di dalam pelukan, memalangkan punggungnya dari serangan yang masih menerjang. Ya, Ara masih belum berhenti menyerang. Berusaha melampiaskan amarah dan dendam. Mas Bara, kenapa aku merasa nyaman sekarang, saat wajahku terbenam di sini, di dada bidangmu ini? Kenapa aku merasakan ada sesuatu yang terjadi, bergetar hangat di dalam dadaku ini? Rasa apakah ini? Begitu hangat, mencipta ketenangan yang luar biasa, di sini, di hati ini.Hilang rasa takutku akan serangan Ara, tak ada gentarku, akan ancaman yang sedang dilancarkannya. Damai, teduh, dan nyaman, hanya itu yang aku rasakan sekarang. Di sini, di pelukan hangat ini.“Sayang, kamu tidak apa-apa? Perut kamu tidak terkena pukulan Ara, bukan?” tanya Mama mertuaku panik. Dia meneliti seluruh tubuhku, terutama di bagian perut, dari balik punggung Mas Bara.“Bawa Indri keluar dari sini, Ma! Bara akan menahan Ara!” perintah putranya.“
POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.
“Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang
Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri
“Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene
“Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,
====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang
======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu
POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan
=====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak