Voice note dari Sasha terus berulang kali diputar oleh Riana setelah ia pulang dari rumah duka. Suara itu terdengar nyaring di dalam ruangan yang hening. Tadi pagi dia segera bergegas pulang ke Surabaya setelah mendengar sahabatnya itu meninggal karena bunuh diri. Langkahnya begitu berat untuk menemui kawannya yang sudah terbaring kaku menjadi mayat. Rasa sesak di dada membuatnya berulang kali mengeluarkan air mata. Semuanya terjadi begitu cepat. Ibunya terbaring koma dan kini sahabatnya meninggal setelah menenggak kopi yang dicampur dengan racun sianida.Riana menatap langit luar melalui jendela kamarnya. Dalam benaknya mempertanyakan pada Tuhan tentang ketidakadilan dalam hidupnya. Mengapa hidupnya penuh rintangan dan cobaan, tidak seperti hidup orang lain yang mulus seperti jalan tol tanpa ada halangan.'Kenapa hidup ini begitu tidak adil untukku?' keluhnya dalam hati.Menurut yang Riana dengar, Sasha tak meninggalkan pesan apapun selain voice note yang dikirimkan untuk Riana, sete
Biji mata Ruslan membulat sempurna saat ia mendapati Stephanie sedang duduk bergelayut manja di sebelah papanya. Meskipun Ruslan tahu bahwa hubungan mereka adalah orangtua dan anak angkat, namun tetap hal yang asing baginya melihat kedekatan keduanya yang tidak biasa."Oh, maaf aku tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu." Ruslan menatap lurus ke arah Stephanie yang terlihat kaget sekaligus bingung dengan situasi ini. Wanita itu terlihat menyisir rambut panjangnya dengan tangan sambil menatap ke arah lain. hal yang sangat Ruslan hapal ketika wanita itu sedang gugup."Tidak apa, apa yang kamu inginkan?" Hendra berusaha bersikap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Hendra kembali menghisap puntung rokoknya sembari menatap datar ke arah Ruslan. Ia tak ingin putranya itu mencurigai hubungannya dengan Stephanie, masih belum waktunya bagi Ruslan untuk tahu. Suatu saat Ruslan akan tahu, tapi itu nanti setelah tujuannya memiliki perusahaan keluarga Axel tercapai.Ruslan menggeser pandang
"Bagaimana?" tanya Hendra pada Ruslan yang masih memperhatikan rekaman cctv.Sebenarnya Ruslan sudah pernah melihat rekaman cctv itu, mirip dengan yang dikirimkan oleh Xena. "Apa papa sudah menemukan si pelaku?""Sudah."Kening Ruslan mengernyit. "Secepat itu?""Itu hal yang mudah bagi papa," jawab Hendra dengan enteng."Apa papa yakin? Jika memang Axel yang berada dibalik ini semua, seharusnya dia tak mungkin begitu saja membiarkan papa menangkap pelakunya."Hendra merasa tersinggung. Perkataan Ruslan seolah tengah meragukan kemampuannya. "Apa kau meragukan papamu ini?""Tidak, hanya saja aku merasa ini sedikit aneh." "Ruslan!" bentak Hendra mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Ruslan. "Yang kau butuhkan hanyalah menuruti perintahku. Bukan malah membantah apalagi meragukan kemampuanku!""Maaf, pa. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya takut jika ini hanyalah jebakan darinya atau suatu hal buruk yang lain."Tatapan Hendra begitu tajam seolah ingin melahap putranya denga
"Kenapa kamu keras kepala sekali? Aku hanya ingin memberimu tumpangan." Axel berusaha melajukan mobilnya pelan, agar sejajar dengan langkah Sofia yang berjalan di trotoar."Saya akan mampir ke tempat lain, jadi maaf saya menolak." Tangan Sofia menggenggam erat tas lengannya, berusaha untuk meyakinkan diri lagi bahwa dia tidak boleh terlena dengan Axel. Perasaannya masih ringkih, sedikit saja mendapat belaian dari seorang pria seperti Axel, maka Sofia akan luluh dengan mudahnya. Dan itu membuat Sofia menjadi takut, takut untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria karena masa lalunya bersama Ruslan yang menyedihkan."Oh, ayolah! Kenapa kamu masih bicara formal? Inikan sudah di luar kantor." Axel gemas dengan kelakuan Sofia yang terus menolaknya. Wanita itu seperti sedang bermain tarik ulur dengan hatinya. Kemarin merayunya, lalu sekarang menolaknya.Sofia menghentikan langkahnya, menatap Axel yang sedang duduk di balik kemudi setirnya dan menghela napasnya panjang. "Baiklah, aku
"Kesalahanmu? Kesalahanmu itu sangat banyak, bahkan sampai esok pun tak akan selesai untuk menjabarkannya!" Reynald menatap Sofia dengan penuh kebencian. Kebenciannya pada Ruslan sangat mendalam, hingga Sofia yang tidak bersalah apa-apa pun menjadi sasaran amuknya, hanya karena Sofia pernah menikah dengan Ruslan.Sia-sia Sofia kesini, berharap mendapatkan hal yang mungkin akan mengubah rasa dendam dihatinya. Sofia datang karena ingin memberi kesempatan pada Riana dan Reynald yang notabene hanya pengikut saja, bukan pelaku utama. Namun ternyata sifat mereka masih sama, membenci Sofia tanpa alasan yang jelas. "Aku akan memaafkan kalian, kalau kalian mengakui kesalahan kalian masing-masing."Riana tertawa mengejek, baginya ucapan Sofia hanyalah lelucon disiang bolong. Ancaman Sofia tak ada apa-apanya dibanding ancaman Stephanie yang terdengar lebih menakutkan. "Daripada kau kesini hanya untuk mengigau, lebih baik kau pulang dan bawa simpananmu pergi!"Tangan Sofia mengepal erat di sampin
Dengan suasana hati yang semakin memburuk, Ruslan terus mengemudikan mobilnya tanpa arah. Ia hanya ingin terus melaju tanpa berpikir hendak kemana tujuannya sekarang. Kepalanya semakin pening dengan serangkaian masalah tak terduga yang semakin menambah setiap harinya. Hingga Ruslan merasa, bisa jadi kepalanya ini akan meledak suatu saat nanti jika kedepannya masih akan ada masalah yang terus berdatangan. Ruslan memukul setir kemudinya dengan keras, mengeratkan giginya dan menggeram rendah. Seharusnya bukan seperti ini yang berada dalam angan-angannya. Seharusnya tak membutuhkan waktu yang lama untuknya, berada diposisi puncak di perusahaan seperti yang diimpikan ibunya. Lalu dia bisa bersenang-senang kembali dengan kedua anaknya, atau mungkin kembali menerima Sofia disisinya. Tapi siapa sangka, jika Sofia sekarang malah berani memukulnya mundur setelah dilepas mentah-mentah olehnya?Seharusnya pula Stephanie berada di belakangnya, selalu mendukung atas setiap langkah yang ia pilih.
Degup jantung Stephanie berdetak lebih kencang setelah dia mendengar kabar Zen kecelakaan. Tangannya terus meremas blouse yang ia kenakan, membuatnya kusut tak karuan. Bibirnya memucat dengan dahi yang penuh dengan keringat."Tenanglah, aku yakin Zen tidak apa-apa." Tangan Hendra yang kiri meremas tangan Stephanie untuk menenangkan. Sedang tangan kanannya fokus untuk memegang setir kemudi. Beruntung jalanan sedikit lengang saat mereka lewat karena memang waktu sudah menunjukkan dini hari. Belum banyak orang-orang yang turun ke jalanan untuk memulai aktivitas. Tadinya mereka sedang dalam perjalanan pulang sehabis bertemu dengan salah satu pengacara, rencananya mereka akan diskusi perihal hukum. Hendra ingin memanipulasi kasus Rianti agar Axel yang nantinya menjadi tersangka. Usaha apapun akan Hendra tempuh, untuk melengserkan Axel dari posisinya sekarang."Tolong dipercepat lagi, Pa. Aku sudah tak sabar ingin melihat keadaan Zen." Sesuai permintaan Stephanie, Hendra pun melajukan mob
Mendengar itu, membuat Stephanie tertawa geli. Menertawakan sikap Ruslan yang tidak tegas. Terlihat jelas masih ada rasa di kilatan matanya, bahwa dia belum sepenuhnya merelakan Sofia. "Aku tidak peduli dia jalang atau bukan, yang terpenting jaga jarak antara dirimu dengan kedua anakmu.""Apa masalahmu? Aku hanya ingin bertemu dengan darah dagingku." Sengaja Ruslan menekan kata 'darah daging' untuk menyinggung Stephanie.Stephanie meninggikan salah satu alisnya, menatapnya dengan menantang. "Apa kau sudah lupa tentang tujuanmu kemari?" Lalu dia menyenderkan punggungnya di sandaran kursi. "Kupikir, hanya kedua adikmu saja yang melenceng dari tugas. Nyatanya kamu pun berbuat sama!"Ruslan memicingkan matanya, mencerna perkataan Stephanie tentang kedua adiknya. "Apa yang sudah kau lakukan pada kedua adikku?""Tak banyak... hanya mengancam agar mereka patuh dan kembali menjalankan tugas." Stephanie bahkan enggan menatap suaminya, dia malah merentangkan tangannya di udara dan memeriksa kuk
Setelah bersusah payah Axel meyakinkan Sofia agar mau mengikat janji dengannya, kini adalah saatnya hari yang telah ditunggu olehnya tiba. Hari dimana dia mempersunting seorang wanita yang ia cintai setelah Nella."Aku bahagia mengulang kembali saat-saat dimana aku mempersunting seorang wanita yang istimewa." Netra Axel tak lepas dari Sofia yang nampak cantik dengan balutan wedding dress nya. Sofia semakin cantik dan mempesona di matanya. "Kamu sangat cantik dengan gaun putih itu, Sayang."Rona pipi Sofia memerah dibuatnya. Dia tersenyum bahagia karena selalu diperlakukan istimewa oleh Axel. Mendadak, Sofia merasa dejavu. Dulu dirinya juga disanjung dan diperlakukan istimewa oleh Ruslan saat akan menikah dengannya, namun sifat aslinya perlahan terkuak setelah menikah. Dada Sofia kembali terasa sesak, tangannya sedikit gemetar mengingat masa-masa itu. "Sayang, kamu kenapa?"tanya Axel setelah melihat gelagat Sofia yang nampak aneh. Tadinya dia melihat Sofia begitu bahagia, namun sekara
Sunyi dan sepi dirasakan Riana saat memandang langit gelap di luar rumah. Dia menyesap kembali teh hangat yang sudah dibuat Rosa untuknya. Riana menutup matanya, merasakan dinginnya udara malam yang masuk menyegarkan paru-parunya.Air matanya tiba-tiba menetes tanpa diminta. Masih teringat jelas, memori-memori indah saat keluarganya masih utuh dan berkumpul di rumah yang hangat penuh canda tawa. Belum ada Sofia, hanya mereka berempat. Ruslan, Reynald, Riana dan ibunya. Semua masih indah sebelum Sofia datang dan drama berkelanjutan terjadi. Sudah setahun lamanya peristiwa yang pedih itu terjadi, tapi memori itu masih kuat menancap dalam ingatannya.Ah, andai Riana tak menyetujui apa yang menjadi ambisi sang kakak dan ibu, tentu semua tak akan menjadi berantakan seperti ini. Ibunya tak akan dibunuh, Ruslan tak akan dipenjara, Reynald tak akan cacat dan dirinya tak akan kehilangan sahabat tercintanya.Apa kabar Jimmy? Bodohnya dia sempat merindukan pria yang sempat menjadi incarannya itu
"Apa Ruslan sudah menemui mu kemarin?" tanya Axel saat dia sudah berganti pakaian lebih sopan di depan Sofia. Dia ikut duduk di sebelahnya setelah menyerahkan segelas minuman bersoda."Darimana kau tahu?" "Ruslan yang memberitahuku sebelumnya." Sofia hanya menganggukkan kepalanya lalu meminum air soda yang disajikan hingga tersisa separuh."Apa karena itu kau menangis?" tanya Axel lagi. Terdiam sejenak, Sofia menatap buih-buih soda yang mengapung di gelasnya. "Dia... meminta maaf padaku.""Lalu kau sudah memaafkannya?"Kembali Sofia menganggukkan kepala. "Ya, meskipun hatiku masih terluka.""Luka di hatimu akan sembuh seiring bertambahnya waktu.""Benar.""Dan juga kalau kau sudah bertemu dengan tambatan hati yang baru."Manik Sofia bergeser menatap Axel yang terlihat begitu segar seperti sehabis mandi, dapat Sofia lihat dari ujung rambutnya yang masih basah. Padahal Sofia tidak merasa menunggu Axel terlalu lama tadi, tapi ternyata pria itu menyempatkan diri untuk mandi. "Apa ada t
Seharusnya Sofia merasa senang saat dia melihat keadaan Ruslan yang sekarang nampak begitu menyedihkan. Bahkan keadaan Ruslan lebih buruk dari keadaan dirinya dulu saat masih tinggal di rumah keluarga Ho. Namun Sofia malah merasa sebaliknya, hatinya ikut perih melihat keadaan Ruslan yang begitu kurus dan memucat."Aku tak tahu, kapan lagi bisa menemui Lucas dan Luna, bisa jadi ini adalah kali terakhir bagiku menemui mereka." Ruslan menatap sendu pada kedua anaknya dari arah kejauhan. Dia enggan untuk menemui mereka dan memilih untuk berbincang sejenak dengan Sofia.Kini, tak ada lagi sosok Ruslan yang tampan nan gagah seperti dulu.Tak ada lagi sosok Ruslan yang bertubuh atletis dan terawat.Tak ada lagi sosok Ruslan yang berpakaian bagus dan rapi.Tak ada lagi sosok Ruslan yang penuh percaya diri dan pemberani.Tak terasa pelupuk mata Sofia basah oleh air mata kesedihan karena mengenang masa lalu. Masa yang tak akan lagi dia ulang meskipun kini sudah dibayar kontan dengan berbagai pe
"Apa aku bisa percaya dengan ucapanmu?" Axel menyipitkan mata, menatap Ruslan dengan penuh menyelidik. Hatinya sedikit ada keraguan, mengingat Ruslan yang tiba-tiba saja berpindah haluan untuk membeberkan kelemahan Hendra. Bisa saja Ruslan sedang sandiwara dan tiba-tiba menusuknya dari belakang, bukan?Lembaran-lembaran berwarna putih yang berada di genggamannya kini ia pegang erat. Axel memang yakin jika lembaran penting yang diberikan Ruslan adalah fakta. Fakta tentang penyelewengan dan berbagai tindak kriminal yang dilakukan Hendra.Wajah Ruslan yang sudah sedari awal tampak memucat kini bertambah memburuk, saat ia menghela napasnya di hadapan Axel. Ruslan mengusap wajahnya dan menjawab, "Aku sudah berada di penghujung jurang, untuk apa aku terus maju saat aku sudah tahu kalau aku akan terjatuh?"Masih terdiam bibir Axel, matanya dapat melihat jelas kesedihan yang dipancarkan wajah Ruslan saat mengucapkan kalimat tadi. "Ibuku sudah mati terbunuh, adik lelakiku celaka dan anak yan
Suasana rumah yang beberapa waktu lalu masih ramai dipenuhi oleh banyak penghuni, kini terasa sepi dan begitu dingin. Ruslan menaiki anak tangga yang sedikit berdebu dengan lemas. Ia bagai tak memiliki semangat dan tenaga bahkan untuk sekedar berjalan menyusuri rumah. Hatinya sudah hancur berkeping-keping, tak ada lagi yang utuh di dalam sana.Penyesalan demi penyesalan bermunculan seiring kakinya menaiki anak tangga. Berat rasanya masih bertahan hidup disaat tak seorangpun yang menungguinya di rumah, yang memberinya semangat dan menyokongnya untuk terus maju. "Ibu...," lirihnya saat ia sudah berada di lantai dua. Matanya berembun saat ia menatap foto yang terpajang di dinding. Tiba-tiba terdengar suara ban koper yang beradu dengan lantai, membuat Ruslan seketika menoleh. "Riana? Mau kemana kamu?" Sesaat Ruslan lupa dengan keberadaan sang adik yang masih ada.Penampilan Riana begitu kacau, wajahnya sembab dan membengkak akibat mengeluarkan air mata terus menerus. "Nyusul Reynald ke
Gertakan dari Hendra cukup membuat sekujur tubuh Stephanie gemetar karena ketakutan, setelah itu Hendra pergi meninggalkan Stephanie yang masih terduduk kaku dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Dalam keheningan, Stephanie mengacak rambutnya kasar dan berteriak kencang untuk meluapkan rasa sesak yang menyiksanya. Tangisan Stephanie memenuhi seluruh penjuru ruangan milik Hendra, tidak ada seorangpun yang berada di luar memberanikan diri untuk bertanya. Semenjak kepulangannya dari tempat pemakaman Rianti, Stephanie mulai mengalami mimpi buruk yang menghantui. Sosok Rianti datang dengan wajah yang menyeramkan, mendatangi mimpi seolah meminta pertanggungjawaban. 'Ini konyol!' Begitulah umpatan Stephanie saat pertama kali mengalami mimpi buruk itu. Namun siapa sangka, kalau mimpi buruk tersebut terus terjadi berulang kali. Saat kapanpun Stephanie terlelap, mimpi itu akan selalu hadir.Stephanie bahkan merasakan trauma yang dalam karena mimpi-mimpi buruk tersebut. Pikirannya mulai
Axel masih duduk termenung diam meskipun Ruslan sudah beberapa menit yang lalu meninggalkan rumahnya. Dalam benaknya masih memikirkan alasan Ruslan yang tiba-tiba saja mendatangi kediamannya dan menanyakan dalang dibalik pembunuhan ibunya. Sejujurnya ini semua sudah melenceng jauh dari rencana dan perkiraan awal. Ia tak pernah menyangka bahwa Hendra nekat membunuh Rianti demi menutupi kepentingan dirinya sendiri.Yang lebih mengejutkannya lagi, Ruslan seperti akan berkhianat dengan papanya dan berbalik haluan untuk menyerang.Axel merogoh ponsel dalam saku celananya dan mencari nama seseorang di daftar kontak."Halo." Suara seseorang segera menyapa setelah Axel meneleponnya."Aku ingin kau mengikuti terus gerak-gerik Ruslan. Jangan sampai ada yang terlewat!" titan Axel."Baik, Tuan."Setelah menutup panggilan, Axel membuka sebuah pesan yang baru saja mendarat di aplikasi chatnya.[Mamaku membuat makan malam banyak hari ini, apa kau bersedia untuk datang dan menghabiskannya? Kebetulan
Tangan Ruslan mengepal erat, ia mengeratkan giginya untuk menahan amarah yang sudah sampai berada di puncak ubun-ubun. Pertanyaan dari Hendra entah mengapa membuatnya muak.Jika saja setengah kewarasan dalam dirinya sudah hilang, sudah pasti ia akan menghabisi Hendra karena menurutnya bermuka dua. Ruslan sudah sepenuhnya yakin, bahwa ada sesuatu hal yang besar disembunyikan dari Hendra dari dirinya. Riana sudah terus berbicara tentang Stephanie yang katanya adalah pelaku pembunuhan ibunya. Ruslan tahu, meskipun Riana tidaklah sepintar Stephanie, tak mungkin adiknya itu berbual tanpa bukti. Lagipula, sebenarnya sudah dari dulu dirinya juga merasa kalau memang ada yang janggal dengan Stephanie.Untuk saat ini ia akan memilih mengalah dihadapan Hendra dan Stephanie, demi ibunya yang membutuhkan sebuah ketenangan di peristirahatan terakhirnya.Esok, sesegera mungkin dia akan mengakhiri semuanya."Benar, Pa. Aku yakin ibu pasti tidak akan menyangka jika aku akan bersikap seperti ini." Mat