Kepulan asap terlihat keluar dari mulut pria paruh baya yang tengah duduk santai di meja kerjanya. Matanya menatap jendela yang menampilkan pemandangan pantai tak jauh dari rumahnya. Di atas meja kerjanya, terdapat papan nama yang bertuliskan 'Hendrawan Lim'.
Lalu terdengar suara ketukan pintu. "Masuk," ujarnya tanpa menoleh ke arah pintu."Maaf tuan mengganggu istirahat anda." Terlihat pria bertubuh ideal mengenakan setelan kerja formal menundukkan kepalanya dengan rendah.Hendra mematikan puntung rokok dan menoleh kepada tamunya. "Ada apa, Kai!" Kai adalah salah satu kepercayaannya yang bertugas mengumpulkan informasi."Ruslan sudah mengajukan gugatan cerai, tinggal menunggu Sofia untuk menandatangani lalu menunggu sekitar dua sampai tiga bulan untuk mendapatkan akta cerai."Hendra tak terkejut. Dia memang sudah mengetahuinya langsung dari Ruslan. "Ada lagi?""Sofia sudah bekerja menjadi sekretaris Axel."Alis Hendra"Apa? Sofia jadi sekretaris CEO?" tanya Rianti tak percaya."Ih, bu! Jangan keras-keras suaranya, kupingku jadi sakit nih." Riana mengusap-usap daun telinganya. "Aku ketemu kemarin pas ngelamar kerja. Penampilannya sekarang udah jauh berbeda,bu. Lebih berkelas dan cantik," jelas Riana dengan bersungut-sungut.Rianti mencebikkan mulutnya tak suka. Lalu beralih pada Ruslan. "Rus, kamu mau diem aja ngeliat Sofia malah menjadi sekretaris? Tak ibu sangka dia bisa berbuat seperti itu," ujar Rianti pada Ruslan.Wajah Ruslan menggelap, segelap kopi hitam yang tengah diminumnya. "Aku juga baru tahu kalau sewaktu Sofia kabur, dia pergi ke tempat pria yang menjabat sebagai CEO di perusahaan papanya. Pria itu bernama Axel. Aku yakin, Sofian dan pria itu, akan mengetahui siapa identitas diriku yang sebenarnya.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Rus?" tanya Rianti dengan wajah panik."Ibu tenang saja, yang terpenting, Riana dan Reynald sud
Bulir keringat terlihat jelas di kening milik Axel yang masih terlelap menutup mata. Sesekali mulutnya mengigau dan bola matanya bergerak di dalam kelopak matanya yang masih tertutup. Lalu sedetik kemudian, tubuhnya terbangun dengan posisi duduk serta meneriakkan, "Neta!" Napasnya terengah-engah ketika dia menyadari bahwa dia baru saja terbangun dari mimpi. Axel mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang besar. Matanya masih memerah, kepalanya terasa berat dan berdenyut-denyut. Dia paling benci memiliki bunga tidur yang membuatnya tak dapat berpikir jernih untuk sesaat. "Neta... aku mohon lepaskan aku," gumamnya lirih.Lalu dia meraih ponsel yang berada di atas nakas. Ditatapnya layar yang menampilkan foto kenangan berduanya dengan wanita bernama Neta. Senyuman bahagia tercetak jelas di wajah keduanya. "Andai aku bisa memutar waktu, tentu aku tak akan melepaskanmu," gumamnya lagi.Jam masih menunjukkan pukul 4 pagi, hampir setiap harinya dia te
Keheningan masih terasa di dalam ruang kerja milik Sofian. Sang empu rumah tersebut menyesap tehnya sebelum akhirnya berkata, "Tapi sebelumnya, kita harus mengetahui siapa saja biduk yang ditanam oleh Hendra di dalam perusahaan, pak."Axel menganggukkan kepalanya. Memicingkan matanya ke arah Sofian. "Benar. Dan aku sudah mendapatkan beberapa diantaranya, tapi aku masih belum yakin apakah itu sudah termasuk ke dalam jumlah keseluruhan."Kali ini Sofia mengerti apa yang dimaksud oleh kedua pria tersebut. Kali ini dia ingin mengungkapkan pendapatnya. "Bagaimana kalau kita menyelidiki latar belakang para karyawan satu persatu, pak?" "Tapi, bukankah itu akan memakan waktu yang lama?" tanya Sofian, keningnya mengernyit karena putrinya tiba-tiba memberi ide."Tidak, pa. Jika pak Axel membayar orang yang tepat untuk mencari apa yang kita inginkan," jawab Sofia dengan sungguh-sungguh."Sofia benar. Kita harus mencari satu persatu biduk yang digun
Sofia dan Axel terkejut menatap kedatangan Ruslan dan Stephanie dengan napas yang masih terengah-engah. Jujur saja, Axel terlalu terbuai ketika seharusnya mereka berakting untuk ciuman yang sekedarnya. Bibir Sofia begitu candu baginya, begitu lembut, manis, dan basah. Bahkan hal itu membuat kejantanan miliknya menegang keras di balik celana kantornya. Pipi Sofia bersemu merah, bukan karena dirinya bertemu dengan Ruslan. Melainkan ciuman yang penuh gairah yang baru saja terjadi dengan Axel. Pikirannya kosong sejenak, berusaha mencerna apa yang tengah terjadi. Ciumannya dengan Axel benar-benar memabukkan. Membuat miliknya yang berada di bawah menjadi basah.Ruslan terlihat mendatangi Axel dengan amarah yang membuncah. "Apakah pantas, seorang CEO melakukan hal yang tak senonoh pada sekretarisnya? Bahkan anda melakukannya di dalam kantor? Bukankah itu hanya di lakukan oleh pria brengsek?" Mata Ruslan menatap tajam ke arah Axel. Ada perasaan yang begitu pedih melihat S
Dengan langkah gontai, Sofia kembali ke rumah tepat pukul 8 malam. Saat ia membuka pintu rumahnya. Kedua balitanya berlarian untuk menyambut kedatangannya. "Mama!" seru Lucas berlarian yang kemudian disusul oleh Luna. Sesekali Luna terjatuh namun bangkit kembali untuk segera berada di pelukan mamanya."Sayangku..." Sofia mengecup puncak kepala mereka satu persatu. Hilang sudah rasa penat yang ia rasa sehabis pulang kerja."Mama kangen." Lucas memeluk erat leher Sofia saat memeluknya dengan posisi jongkok.Sofia terkejut mendengarnya. Perasaannya menghangat. "Mama juga kangen sama kalian.""Lucas, Luna... ikut sama mbak Yul dan mbak Sri ya! Mama pulang kerja harus mandi dulu," ujar Haya berada di belakang mereka. Yul dan Sri adalah pengasuh baru khusus untuk mengasuh kedua balitanya."Gak mau!" rengek Lucas masih memeluk erat leher Sofia. Membuat Sofia terkekeh geli dan mencium pipi putranya bertubi-tubi. Betapa dia rindu dengan sikap Luca
Rianti terpogoh-pogoh saat putranya masuk ke dalam rumah baru mereka. Tangannya sibuk menggendong Zen yang sudah terlelap. "Rus, ibu mau bicara sama kamu." Ruslan melepas sepatu dan menaruhnya di rak. Melonggarkan dasinya seraya bertanya, "Bicara apa, bu?""Apa kamu gak bisa, sewa pengasuh untuk Zen aja?" tanya Rianti setengah berbisik. Takut Zen kembali terbangun, mengingat bayi tersebut begitu sensitif."Bukannya ibu senang dengan kehadiran Zen? Terus kenapa sekarang tiba-tiba minta pengasuh?" Jujur, tingkah ibunya membuatnya sedikit kesal. Dulu ibunya begitu mengelu-elukan Zen dibanding Lucas dan Luna. Tapi giliran sekarang dapat bagian momong, malah menyuruhnya untuk mencari pengasuh."Ibu gak bisa sambil kerja kalau Zen rewel, udah banyak pelanggan ibu yang kecewa karena lambatnya bales chat," keluh wanita paruh baya tersebut."Tapi aku gak juga suka kalau anakku di asuh orang lain, bu." Ruslan paling tidak suka jika anaknya harus t
"Apa kau sudah mendapatkan berita terbaru?" tanya Sasha, teman pindahan Riana dari Surabaya. Dia juga menjadi salah satu biduk yang ditanam Hendra. Dia dan Riana memang terbiasa untuk bertukar informasi dan gosip di restoran yang terletak lumayan jauh dari Bumi Grafis. Riana menggelengkan kepalanya. "Belum.""Aneh, apa yang harus kita katakan kalau kita tidak mempunyai informasi yang terbaru?" tanya Sasha dengan gelisah.Sedang Riana sedari tadi mencoba membalas chat Jimmy dengan ponsel yang ia sembunyikan di bawah meja. Sesekali ia tersenyum membaca gombalan yang dikirim Jimmy untuknya."Ri! Kamu dengerin aku gak sih?" tanya Sasha mengejutkan Riana."Eh apa?"Sasha menghela napasnya. "Fokus, Ri. Kalau atasan tahu kamu lagi gak fokus, dia bakalan marah, tahu gak?" Riana mengendikkan kedua bahunya. "Apa urusannya sama aku? Kan aku cuma disuruh kerja di bagian lobi, sama kak Ruslan gak disuruh tuh yang aneh-aneh."
"Jika kau tidak bisa menggapainya, kau bisa mundur." Axel tengah berbincang melalui panggilan ponsel dengan Rosa. Dia tak terkejut mendengar pernyataan Rosa mengenai Reynald yang sedikit sulit untuk ditaklukkan. Sofia sudah memberitahunya, adik terakhir Ruslan itu memang tidak mudah untuk dirayu seorang wanita. Namun mungkin bisa digoyahkan jika perihal melukis. Diam-diam Sofia mengetahui, perdebatan antara Rianti dengan Reynald dulu. Rianti tak menyukai, jika putranya membuang-buang waktu untuk mencoret-coret warna di atas kanvas. Ia ingin semua anaknya sukses dengan bekerja dikantor mengenakan seragam kebanggaan."Tidak, serahkan saja semuanya pada saya. Bukankah anda hanya ingin fokusnya teralihkan?""Ya. Lalu, apa yang ingin kau lakukan?""Saya akan menggunakan cara saya sendiri. Jadi, tolong percayakan tugasnya pada saya lagi." Suara Rosa terdengar begitu percaya diri membuat Axel kembali mempercayakan tugas tersebut untuknya. "Baiklah."Axel
Setelah bersusah payah Axel meyakinkan Sofia agar mau mengikat janji dengannya, kini adalah saatnya hari yang telah ditunggu olehnya tiba. Hari dimana dia mempersunting seorang wanita yang ia cintai setelah Nella."Aku bahagia mengulang kembali saat-saat dimana aku mempersunting seorang wanita yang istimewa." Netra Axel tak lepas dari Sofia yang nampak cantik dengan balutan wedding dress nya. Sofia semakin cantik dan mempesona di matanya. "Kamu sangat cantik dengan gaun putih itu, Sayang."Rona pipi Sofia memerah dibuatnya. Dia tersenyum bahagia karena selalu diperlakukan istimewa oleh Axel. Mendadak, Sofia merasa dejavu. Dulu dirinya juga disanjung dan diperlakukan istimewa oleh Ruslan saat akan menikah dengannya, namun sifat aslinya perlahan terkuak setelah menikah. Dada Sofia kembali terasa sesak, tangannya sedikit gemetar mengingat masa-masa itu. "Sayang, kamu kenapa?"tanya Axel setelah melihat gelagat Sofia yang nampak aneh. Tadinya dia melihat Sofia begitu bahagia, namun sekara
Sunyi dan sepi dirasakan Riana saat memandang langit gelap di luar rumah. Dia menyesap kembali teh hangat yang sudah dibuat Rosa untuknya. Riana menutup matanya, merasakan dinginnya udara malam yang masuk menyegarkan paru-parunya.Air matanya tiba-tiba menetes tanpa diminta. Masih teringat jelas, memori-memori indah saat keluarganya masih utuh dan berkumpul di rumah yang hangat penuh canda tawa. Belum ada Sofia, hanya mereka berempat. Ruslan, Reynald, Riana dan ibunya. Semua masih indah sebelum Sofia datang dan drama berkelanjutan terjadi. Sudah setahun lamanya peristiwa yang pedih itu terjadi, tapi memori itu masih kuat menancap dalam ingatannya.Ah, andai Riana tak menyetujui apa yang menjadi ambisi sang kakak dan ibu, tentu semua tak akan menjadi berantakan seperti ini. Ibunya tak akan dibunuh, Ruslan tak akan dipenjara, Reynald tak akan cacat dan dirinya tak akan kehilangan sahabat tercintanya.Apa kabar Jimmy? Bodohnya dia sempat merindukan pria yang sempat menjadi incarannya itu
"Apa Ruslan sudah menemui mu kemarin?" tanya Axel saat dia sudah berganti pakaian lebih sopan di depan Sofia. Dia ikut duduk di sebelahnya setelah menyerahkan segelas minuman bersoda."Darimana kau tahu?" "Ruslan yang memberitahuku sebelumnya." Sofia hanya menganggukkan kepalanya lalu meminum air soda yang disajikan hingga tersisa separuh."Apa karena itu kau menangis?" tanya Axel lagi. Terdiam sejenak, Sofia menatap buih-buih soda yang mengapung di gelasnya. "Dia... meminta maaf padaku.""Lalu kau sudah memaafkannya?"Kembali Sofia menganggukkan kepala. "Ya, meskipun hatiku masih terluka.""Luka di hatimu akan sembuh seiring bertambahnya waktu.""Benar.""Dan juga kalau kau sudah bertemu dengan tambatan hati yang baru."Manik Sofia bergeser menatap Axel yang terlihat begitu segar seperti sehabis mandi, dapat Sofia lihat dari ujung rambutnya yang masih basah. Padahal Sofia tidak merasa menunggu Axel terlalu lama tadi, tapi ternyata pria itu menyempatkan diri untuk mandi. "Apa ada t
Seharusnya Sofia merasa senang saat dia melihat keadaan Ruslan yang sekarang nampak begitu menyedihkan. Bahkan keadaan Ruslan lebih buruk dari keadaan dirinya dulu saat masih tinggal di rumah keluarga Ho. Namun Sofia malah merasa sebaliknya, hatinya ikut perih melihat keadaan Ruslan yang begitu kurus dan memucat."Aku tak tahu, kapan lagi bisa menemui Lucas dan Luna, bisa jadi ini adalah kali terakhir bagiku menemui mereka." Ruslan menatap sendu pada kedua anaknya dari arah kejauhan. Dia enggan untuk menemui mereka dan memilih untuk berbincang sejenak dengan Sofia.Kini, tak ada lagi sosok Ruslan yang tampan nan gagah seperti dulu.Tak ada lagi sosok Ruslan yang bertubuh atletis dan terawat.Tak ada lagi sosok Ruslan yang berpakaian bagus dan rapi.Tak ada lagi sosok Ruslan yang penuh percaya diri dan pemberani.Tak terasa pelupuk mata Sofia basah oleh air mata kesedihan karena mengenang masa lalu. Masa yang tak akan lagi dia ulang meskipun kini sudah dibayar kontan dengan berbagai pe
"Apa aku bisa percaya dengan ucapanmu?" Axel menyipitkan mata, menatap Ruslan dengan penuh menyelidik. Hatinya sedikit ada keraguan, mengingat Ruslan yang tiba-tiba saja berpindah haluan untuk membeberkan kelemahan Hendra. Bisa saja Ruslan sedang sandiwara dan tiba-tiba menusuknya dari belakang, bukan?Lembaran-lembaran berwarna putih yang berada di genggamannya kini ia pegang erat. Axel memang yakin jika lembaran penting yang diberikan Ruslan adalah fakta. Fakta tentang penyelewengan dan berbagai tindak kriminal yang dilakukan Hendra.Wajah Ruslan yang sudah sedari awal tampak memucat kini bertambah memburuk, saat ia menghela napasnya di hadapan Axel. Ruslan mengusap wajahnya dan menjawab, "Aku sudah berada di penghujung jurang, untuk apa aku terus maju saat aku sudah tahu kalau aku akan terjatuh?"Masih terdiam bibir Axel, matanya dapat melihat jelas kesedihan yang dipancarkan wajah Ruslan saat mengucapkan kalimat tadi. "Ibuku sudah mati terbunuh, adik lelakiku celaka dan anak yan
Suasana rumah yang beberapa waktu lalu masih ramai dipenuhi oleh banyak penghuni, kini terasa sepi dan begitu dingin. Ruslan menaiki anak tangga yang sedikit berdebu dengan lemas. Ia bagai tak memiliki semangat dan tenaga bahkan untuk sekedar berjalan menyusuri rumah. Hatinya sudah hancur berkeping-keping, tak ada lagi yang utuh di dalam sana.Penyesalan demi penyesalan bermunculan seiring kakinya menaiki anak tangga. Berat rasanya masih bertahan hidup disaat tak seorangpun yang menungguinya di rumah, yang memberinya semangat dan menyokongnya untuk terus maju. "Ibu...," lirihnya saat ia sudah berada di lantai dua. Matanya berembun saat ia menatap foto yang terpajang di dinding. Tiba-tiba terdengar suara ban koper yang beradu dengan lantai, membuat Ruslan seketika menoleh. "Riana? Mau kemana kamu?" Sesaat Ruslan lupa dengan keberadaan sang adik yang masih ada.Penampilan Riana begitu kacau, wajahnya sembab dan membengkak akibat mengeluarkan air mata terus menerus. "Nyusul Reynald ke
Gertakan dari Hendra cukup membuat sekujur tubuh Stephanie gemetar karena ketakutan, setelah itu Hendra pergi meninggalkan Stephanie yang masih terduduk kaku dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Dalam keheningan, Stephanie mengacak rambutnya kasar dan berteriak kencang untuk meluapkan rasa sesak yang menyiksanya. Tangisan Stephanie memenuhi seluruh penjuru ruangan milik Hendra, tidak ada seorangpun yang berada di luar memberanikan diri untuk bertanya. Semenjak kepulangannya dari tempat pemakaman Rianti, Stephanie mulai mengalami mimpi buruk yang menghantui. Sosok Rianti datang dengan wajah yang menyeramkan, mendatangi mimpi seolah meminta pertanggungjawaban. 'Ini konyol!' Begitulah umpatan Stephanie saat pertama kali mengalami mimpi buruk itu. Namun siapa sangka, kalau mimpi buruk tersebut terus terjadi berulang kali. Saat kapanpun Stephanie terlelap, mimpi itu akan selalu hadir.Stephanie bahkan merasakan trauma yang dalam karena mimpi-mimpi buruk tersebut. Pikirannya mulai
Axel masih duduk termenung diam meskipun Ruslan sudah beberapa menit yang lalu meninggalkan rumahnya. Dalam benaknya masih memikirkan alasan Ruslan yang tiba-tiba saja mendatangi kediamannya dan menanyakan dalang dibalik pembunuhan ibunya. Sejujurnya ini semua sudah melenceng jauh dari rencana dan perkiraan awal. Ia tak pernah menyangka bahwa Hendra nekat membunuh Rianti demi menutupi kepentingan dirinya sendiri.Yang lebih mengejutkannya lagi, Ruslan seperti akan berkhianat dengan papanya dan berbalik haluan untuk menyerang.Axel merogoh ponsel dalam saku celananya dan mencari nama seseorang di daftar kontak."Halo." Suara seseorang segera menyapa setelah Axel meneleponnya."Aku ingin kau mengikuti terus gerak-gerik Ruslan. Jangan sampai ada yang terlewat!" titan Axel."Baik, Tuan."Setelah menutup panggilan, Axel membuka sebuah pesan yang baru saja mendarat di aplikasi chatnya.[Mamaku membuat makan malam banyak hari ini, apa kau bersedia untuk datang dan menghabiskannya? Kebetulan
Tangan Ruslan mengepal erat, ia mengeratkan giginya untuk menahan amarah yang sudah sampai berada di puncak ubun-ubun. Pertanyaan dari Hendra entah mengapa membuatnya muak.Jika saja setengah kewarasan dalam dirinya sudah hilang, sudah pasti ia akan menghabisi Hendra karena menurutnya bermuka dua. Ruslan sudah sepenuhnya yakin, bahwa ada sesuatu hal yang besar disembunyikan dari Hendra dari dirinya. Riana sudah terus berbicara tentang Stephanie yang katanya adalah pelaku pembunuhan ibunya. Ruslan tahu, meskipun Riana tidaklah sepintar Stephanie, tak mungkin adiknya itu berbual tanpa bukti. Lagipula, sebenarnya sudah dari dulu dirinya juga merasa kalau memang ada yang janggal dengan Stephanie.Untuk saat ini ia akan memilih mengalah dihadapan Hendra dan Stephanie, demi ibunya yang membutuhkan sebuah ketenangan di peristirahatan terakhirnya.Esok, sesegera mungkin dia akan mengakhiri semuanya."Benar, Pa. Aku yakin ibu pasti tidak akan menyangka jika aku akan bersikap seperti ini." Mat