"Apa, Mas? Dia anakku?" Arga terlihat bingung karena ucapan Farhan."Nanti saya jelaskan di rumah, ya. Keenan, ayo kita pulang!" Farhan menepuk pundak keponakannya karena Keenan juga kebingungan."I—ya, Pakde," jawab Keenan terbata."Ayah? Apa benar dia ayahku? Selama ini ketika aku bertanya sama nenek, dia selalu bilang Ayah kerja di luar kota," batin Keenan. Anak sepuluh tahun itu dipaksa dewasa sebelum waktunya oleh keadaan. Terkadang, Keenan bisa bersikap biasa dan juga anak seumuran dia pada umumnya. Pikiran Arga berkecamuk. Bagaimana tidak, ada seorang pria yang mengatakan kalau anak laki-laki yang ada dihadapannya saat ini adalah anaknya. "Apa benar dia anakku dengan Dara? Aku sadar dulu kami sering melakukan hubungan terlarang. Tapi, tak pernah aku sangka jika Dara hamil. Apa waktu dulu dia terus-menerus menghubungiku, ya? Dia menghubungiku karena ingin mengatakan kalau dia hamil?" Banyak sekali pertanyaan yang ada dalam benak Arga. Semuanya diam hingga sampai di rumah. Ar
"Aku harus bertemu Cindi sebelum berangkat ke Jerman. Kasihan dia dan bayi itu. Paling tidak, aku harus membantu dia walaupun hanya sedikit," gumam Zaki saat mengendarai mobilnya. Setelah mendapat alamat dari Fano, Zaki langsung pergi ke sana. Besok pagi dia sudah harus terbang ke Jerman untuk waktu yang lama. Ya, Zaki memutuskan untuk melanjutkan pendidikan dokternya ke luar negeri setelah Nirmala menolak lamaran darinya. Jalan yang dilalui Zaki macet parah karena baru saja terjadi kecelakaan. Zaki terjebak dan tidak bisa keluar dari situasi itu. "Astaga berapa lama lagi ini?!" umpat Zaki sambil memukul kemudi mobil. Umpatan tidak mengubah apapun karena mobilnya benar-benar berada di tengah dan tak bisa bergerak sama sekali. Baru setelah dua jam setengah, mobilnya bisa keluar dari kemacetan itu. Zaki langsung memacu kencang mobilnya hingga sampai ke alamat yang diberi oleh Fano."Kata Fano tadi, Cindi jaga warung. Pasti warung yang itu! Di sekitar sini hanya itu saja warungnya.
"Dulu saat aku pulang lagi ke kampung, dia datang ke rumahku menangis sesenggukan. Aku yang bingung pun hanya bisa menenangkan dia dengan mendekapnya. Kamu tahu siapa dia, Arga?" tanya Nadira dengan mata berkaca-kaca."Dia? Dia siapa?" celetuk Arga spontan."Setelah tangisannya reda, dia mulai bercerita. Kedua tanganku mengepal karena emosi mendengar ceritanya. Bahkan dia hampir saja Bun*h diri karena putus asa. Aku yakin kamu tahu siapa dia."Arga benar-benar tak mengerti yang diceritakan oleh Nadira. Dia juga merasa sebelum pacaran dengan Nadira, dia tidak mengenalnya. Melihat ekspresi Arga yang kebingungan, membuat Nadira tersenyum kecut. "Kamu benar-benar tidak tahu, Ga?" Arga menggelengkan kepala. "Dara." Singkat, padat dan jelas jawaban dari Nadira."Dara? Tetapi kenapa bisa?" Sungguh tak masuk akal bagi Arga. Ya, Arga tak tahu kalau sebenarnya Nadira teman Dara saat SMP. Namun, saat naik ke kelas tiga, Nadira terpaksa pindah dari kampung itu untuk ikut ayahnya di tugaskan di
Dua tahun berlalu. Nirmala menikmati kesendiriannya dengan membangun beberapa bisnisnya yang baru. Dia ingin membuktikan jika perempuan bisa sukses juga.Berkat dukungan dari Ridwan dan juga Aisyah, Nirmala mampu melewati ujian demi ujian dalam hidupnya. Saat ini, Nirmala jauh sekali dari segi penampilan maupun finansial. "Ta, tolong bilang sama teman-teman yang lain kalau rencananya Inshaa Allah bulan depan kita akan piknik bareng-bareng. Jadi tolong dikondisikan cucian yang masuk tanggal 4-8, ya," ucap Nirmala pada salah satu karyawannya."Piknik, Bu? Kemana, Bu?" sahut yang lainnya girang.Mengurus kerjaan di laundry memang tidak ada habisnya. Nirmala sadar itu karena dia juga pernah mengalami hal itu. Maka dari itu, dia berencana membuat semua karyawannya berlibur guna melepas penat setelah bekerja. "Nanti saya ajak kalian liburan ke Bali. Nanti saya umumkan di grup whats*pp. Kalian juga butuh liburan. Iya, kan?" kelakar Nirmala. Semua orang yang ada di outlet laundry Nirmala y
"Pak, tolong ke alamat ini, ya!" Zaki menyodorkan kartu nama milik Raga. Dia penasaran sekali dan ingin tahu kondisi Raga saat ini. Jika memang bukan dengan Nirmala, lalu Raga menikah dengan siapa? Karena dulu dia pernah dihubungi oleh Fano kalau dapat undangan dari Raga tapi tidak menyebutkan nama mempelai wanitanya."Baik, Mas." Taksi itu langsung melesat memecat kemacetan ibukota. Perlu waktu agak lama untuk sampai di alamat itu karena jalanan terlalu padat. Setelah hampir satu jam setengah, akhirnya Zaki sampai juga di depan rumah Raga. Rumah yang dulu saat masih sekolah sering dia kunjungi hanya sekedar untuk bermain. "Menepi di pinggir jalan sana saja, ya, Pak," pinta Zaki sambil menunjuk ke arah kanan di seberang rumah Raga. Zaki kembali menunggu di dalam taksi sambil mengamati pergerakan dari rumah Raga. Dia benar-benar penasaran dengan kondisi Raga saat ini. "Memangnya rumah siapa lagi ini, Mas?" tanya sopir taksi yang kepo dengan urusan penumpangnya."Teman lama saya,
Tak banyak berpikir, Zaki langsung mengambil penerbangan tercepat. Zaki berharap dia sampai terlebih dahulu daripada Nirmala. Dia akan menunggu di pelabuhan yang biasa dipakai para wisatawan jalur darat. "Semoga saja aku lebih cepat daripada Nirmala," batin Zaki sembari mengemudi mobil.Tak penting bagi dia masalah baju. Nanti bisa dibeli saat di Bali, begitu pikirannya. Yang terpenting untuknya, dia bisa segera tiba di Bali dan bertemu dengan Nirmala. Sepertinya momen yang sangat tepat untuk kembali mengungkapkan niatan hatinya dulu di sana. "Semoga kali ini kamu mau membuka hatimu untukku, La. Aamiin!"Gelisah. Zaki sangat gelisah ketika berada di pesawat. Berulang kali dia membenarkan posisi duduknya sampai orang yang duduk di sebelahnya merasa risih. "Kenapa duduknya begitu, sih, Mas? Saya capek lihatnya," keluh ibu-ibu di sebelah Zaki.Namun Zaki tidak menghiraukan keluhan itu. Dia hanya melihat ibu itu sekilas, lalu memalingkan mukanya kembali ke arah yang berlawanan dengan i
Mereka berdua saling tatap untuk waktu yang agak lama. Hingga sampai sebuah panggilan dari karyawan Nirmala menyadarkan keduanya. "Bu, ayo kita pindah tempat!" ajak karyawan itu. Nirmala menoleh dan berkata, "Iya, tunggu sebentar, ya.""Mas Zaki liburan juga?" tanya Nirmala setelah karyawannya pergi. "I—ya. Gak nyangka ketemu kamu di sini, La," jawab Zaki berbohong.Penampilan Nirmala jauh berbeda dari yang dulu. Kulitnya sekarang terawat dan juga jauh lebih bersih dibandingkan saat menjadi istri Arga. Jelas saja, Nirmala rutin perawatan wajah dan juga tubuh. Dia sadar jika perempuan itu juga harus menjaga penampilan."Boleh aku ikut bersama rombonganmu, La? Aku liburan sendiri soalnya," kata Zaki lagi."Boleh, Mas. Ayo ikut aku, Mas!" jawab Nirmala bersemangat. "Memangnya Mas Zaki liburan sendirian?" sambung Nirmala yang berjalan beriringan menuju bus dengan Zaki."Iya. Lama banget aku gak liburan, La. Belum lama ini aku baru balik ke Indonesia," jawab Zaki dengan mata terus men
"Apa ini, Mas?" Nirmala sontak berdiri dan mundur ketika Zaki berlutut dihadapannya. "Maukah kamu menikah denganku, La?" kata Zaki. Kini adalah lamaran keduanya pada Nirmala. Nirmala masih tak percaya dengan lamaran Zaki. Walaupun hatinya sebenarnya senang, tapi Nirmala juga tidak gegabah dengan langsung menjawabnya. Dia paham sekali kalau antara Zaki dan dia sangatlah beda kasta. Nirmala hanya seorang tukang 'cuci', sedangkan Zaki dokter yang sangat hebat dan punya rumah sakit yang besar. Apalagi sebelumnya, Mama Zaki sempat bersitegang dengan Nirmala. "Segala cara sudah aku coba untuk melupakanmu, La. Tapi, cinta ini selalu ada di hatiku. Saat tahu ternyata kamu belum menikah lagi, aku memberanikan diri untuk melamarmu lagi. Aku tak menuntutmu untuk menjawab sekarang juga jika kamu memang belum punya jawaban," kata Zaki panjang lebar. Nirmala benar-benar tak bisa berkata-kata. Ingin sekali menjawab iya, tapi lidahnya kelu. Tanpa disadari, Nirmala mengambil cincin yang disodorka
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal