Dengan langkah terpaksa, aku mengikuti kemauan Mas Haris, ke rumah Ibunya. Kalau aku tidak ikut, bisa-bisa belanja pakai uangku lagi. Segera kukunci rumah."Pakai motorku, Mas?" Mas Haris sudah nangkring di atas motor."Sudah, enggak usah debat. Lagian motormu kan sudah diisi bensin tadi.""Apa hubungannya?" tanyaku heran."Kalau pakai motorku, nanti cepat habis bensinnya. Aku minta uang bensin juga enggak kamu kasih, tadi pagi.""Mas sadar enggak barusan bilang apa?" tanyaku menahan emosi."Sadarlah, Rin," ujarnya santai.Aku membuang nafas kasar. Berharap emosiku ikut melebur lewat hembusan nafas."Mas, kamu itu enggak ngasih aku uang belanja, dengan tanpa malu, kamu minta aku uang bensin?" tekanku. "Lah, memang aku salah? Kamu 'kan juga kerja, kita sebagai suami istri itu harus saling pengertian, bukan perhitungan kayak gini.""Tau lah, Mas." Aku semakin emosi. "Ayo buruan, keburu malam!"Aku naik ke jok belakang tanpa berkata sepatah pun. Lelaki jengkelin bin nyebelin di depanku
Aku seorang wanita. Hatiku begitu rapuh. Aku berdiri lalu melangkah keluar dari rumah ini. Buat apa berlama-lama di sini, kalau hanya untuk dihina. Aku juga punya harga diri. "Dasar sombong, mentang-mentang udah kerja, gak menghargai suami. Pantesan mandul, durhaka sama suami sama Ibu mertua!" hardiknya.Reflek kuhentikan langkah begitu mendengar kata mandul. Lagi-lagi, aku yang disalahkan. Ya, di mata mereka, aku memang tak pernah benar."Ibuk, sudah!" Mas Haris akhirnya angkat bicara."Atas dasar apa, Ibuk bilang aku mandul?" Kini aku berbalik ke arahnya. Bukannya aku tak tahu etika, namun, aku paling benci jika ada yang mengatakanku mandul."Terus, bela saja istrimu itu. Ibuk itu mencoba menyadarkan kamu, bahwa kamu tak pantas dengan perempuan mandul itu." Telunjuknya mengarah ke wajahku.Kupandang Mas Haris, hanya terdiam. Tak berani menjawab perkataan Ibunya. Sekali lagi, kutatap wajahnya, meminta penjelasan. Namun, dia hanya terdiam, menatap balik tanpa mengatakan sepatah kata
Kepalang tanggung, ini suapan terakhirku, sayang kalau tidak dihabiskan. Kuabaikan sejenak Ibuk, menikmati suapan terakhir yang begitu nikmat. Kata guru mengajiku waktu kecil, berkah suatu makanan, terletak di suapan terakhir. Jadi, aku tak mau membuangnya sia-sia. Setelah semua tertelan, segera kuraih air putih, lalu menghabiskannya hingga tetes terakhir."Alhamdulillah," ucapku. Kuusap perutku yang agak membuncit karena kekenyangan. Kulihat, Ibuk mencebik kesal."Dasar mantu enggak peka!" sindirnya."Apa lagi, sih, Buk?""Kamu makan enak, enggak nawarin Ibuk. Enggak punya perasaan," gerutunya. Kutinggalkan Ibuk yang masih mengomel tak jelas. Setelah mencuci tangan dan mengelapnya, kuhampiri Ibuk kembali."Jadi, dari tadi Ibuk lihatin aku, karena pengen makan juga?""Hem," jawabnya sambil melengos. Ibu berlalu menuju dapur, layaknya majikan, beliau memeriksa keadaan dapurku."Kamu enggak masak apa-apa?" dibukanya tudung saji yang kosong melompong."Tidak, Buk.""Dasar boros, mauny
Mataku kian memanas. Hatiku semakin sesak, bagai dihimpit bongkahan batu raksasa. Tak pernah terbayangkan olehku, akan mengalami permasalahan rumah tangga seperti ini. Akankah semuanya berakhir saat ini? Mengingat Mas Haris tetap kekeh mempertahankan egonya."Mas harus ambil keputusan. Kalau kamu lebih memilih Ibumu, lebih baik lepaskan aku." Air mata bergulir di pipi."Rin, kita bisa memperbaiki semuanya." Kutatap matanya, ada kesungguhan di sana. "Jangan cuma bicara, aku butuh bukti!"Mas Haris menghela nafas."Bukti apa lagi, aku masih menyayangimu, Rin." Digesernya kursi mendekatiku.Aku berdecih. Sayang, dia bilang. Apa selama ini yang dilakukan padaku, bukti kasih sayangnya?"Sayang yang bagaimana, Mas? Selama ini aku tertekan oleh sikapmu dan Ibuk. Kamu lebih sayang Ibuk dan adikmu daripada aku. Bahkan, keuangan yang seharusnya kuatur, malah kamu limpahkan pada Ibuk. Kamu tak mempercayaiku sebagai istri. Rumah tangga kita sudah tidak sehat," ucapku tak tahan lagi. Selama ini,
Ibu dan Bulik memandangku bergantian, menanti jawaban dari mulut, yang terus terbungkam. Tak sanggup diriku, walaupun hanya mengangkat wajah. Mata kian memanas, seakan ingin kutumpahkan semuanya sekarang. Namun, aku tahu, ini bukan saat yang tepat. Aku tak mau gegabah."Suaminya Rini pasti masih di kantor. Iya, kan, Nduk?" Bulik tersenyum kearahku. Namun, serasa sebuah sindiran di telinga ini.Kuanggukan kepala agar mereka tak semakin curiga. Aku harus menunggu waktu yang tepat, untuk menceritakan semuanya."Nanti, kalau suamimu datang, bangunkan Ibuk ya. Ibuk mau bicara," ucapnya pelan, namun berhasil membuat jantungku berdetak tak karuan.Lagi-lagi, aku hanya menganggukan kepala. Sementara Bulik, memandangku dengan tatapan tak biasa, seolah tahu kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu. "Ibuk mau makan?" tanyaku mengalihkan perhatian."Perut Ibuk sakit, buat makan," ucapnya menggores hati."Kenapa Ibuk gak telfon Rini, kalau sakit. Kan Rini bisa rawat Ibuk."Ibuk hanya diam, sesekal
Aku mengusap bahu Ibuk pelan, mencoba menyalurkan kekuatan, tapi sepertinya mustahil, karena Ibuk masih tetap terisak.Bulik dan Paklik pun, tak kalah khawatir. "Apa ada yang dirasa, aku panggilkan dokter, ya," ujar Paklik panik."Cepat, Pak, panggil dokter." Bulik tak kalah panik."Gak usah, Yanto," cegah Ibuk. Paklik Yanto yang sudah sampai ambang pintu, mendadak berhenti. Bingung, antara mau kembali, atau tetap memanggil dokter."Sakitku tak akan bisa disembuhkan oleh dokter manapun.""Buk."Kucoba menenangkannya."Nduk, apa kamu bahagia, selama ini?" "Kenapa Ibuk tanya seperti itu?" "Jawab Nduk!" "Buk, pasti Rini mengadu, kan, sama kalian semua?" Tiba-tiba Mas Haris bak orang kepanasan. Mungkin, takut boroknya terbongkar."Apa maksudmu?" tanya Ibu sinis.Mas Haris semakin gelapan. Dia termakan omongannya sendiri. "Anak saya tidak seperti itu. Saya sudah tahu, semua kebohongan kamu selama ini," ujar Ibuk."Maksudnya apa tho, Mbakyu?" Paklik Yanto sudah tak tahan untuk tahu lebi
"Nduk."Ada yang menepuk pipiku lembut. Bau minyak kayu putih menusuk hidungku. Aku paling tidak suka, dengan bau minyak kayu putih. Perlahan, kesadaranku kembali. Aku terbaring di ranjang Ibuk. Ternyata, aku pingsan tadi. Cairan bening kembali menetes dari ujung mataku, begitu mengingat kata talak dari Mas Haris. Ternyata, rasanya sungguh sakit. Tak pernah kusangka, akan sepedih ini.Kulihat sosok Mas Haris masih berdiri di ruangan ini, namun agak menjauh. "Tekanan darahnya sangat rendah, jadi Mbak ini, drop. Tolong jangan dibebani banyak pikiran dulu." Suster melepas alat untuk mengukur tekanan darah. "Tapi tidak apa-apa, kan, Sus?" tanya Ibuk cemas."Tidak, tolong dijaga emosinya saja, jangan sampai terlalu banyak beban. Baik, saya permisi dulu," ucap suster sambil berlalu."Nak Haris, tolong kamu pergi dulu, mungkin Rini masih syok. Dengan melihatmu di sini, dia akan kepikiran terus." Paklik menasihati Mas Haris, seperginya suster yang memeriksaku tadi.Ah, rasanya aku sudah ma
"Rini," pekik sesosok manusia dengan pahatan begitu sempurna diwajahnya. Matanya yang teduh, dilengkapi bulu mata yang lentik, tengah memandangku. Bibirnya selalu dipenuhi dengan senyum yang menawan. Ibuk hanya tersenyum melihat kami berdua.Ibas, dia tetangga, sekaligus teman masa kecilku. Kami berteman sejak dari TK, sampai SMA. Kemana-mana, kami selalu berdua. Banyak yang mengira, kalau kami pacaran. Bahkan, dia rela memilih SMA negri, demi bisa bersama denganku. Padahal, dia termasuk keluarga berada. Bahkan, tergolong keluarga paling kaya, di kampung ini. Meskipun dari keluarga berada, dia tidak pernah sombong. Keluarganya juga supel, sehingga banyak tetangga yang suka pada mereka. Kedua keluarga kami memang lumayan dekat, bahkan mamanya Ibas pernah memberikanku biaya pendidikan, namun ditolak oleh Ibuk, karena takut berhutang budi.Awal perpisahan kami, ketika dia dan keluarganya, pindah kota. Entah kota mana, dia juga tidak memberi tahuku. Rasanya berat sekali, waktu itu. Kehil
"Kenapa lagi?" tanyaku."Nanti malam, aku ke rumah ya, sama mama dan papa?" tanyanya setengah memaksa."Dalam rangka apa? Bukankah sudah kubilang, jangan temui aku dulu, sebelum hakim ketuk palu," ucapku semakin grogi, tapi juga senang. "Aku ingin, orang tua kita tahu, kalau aku serius denganmu. Boleh, ya?" "Kamu nanya, atau maksa?" ejekku geram, namun hatiku sungguh berbunga-bunga. "Pokoknya, nanti habis Isya, aku ke sana. Mama juga sudah kangen sama kamu, katanya." Aku senyum-senyum sendiri, merasakan bunga-bunga bermekaran di hati. Seumur-umur, belum pernah aku mendengar kata rindu dari mertua. Ah, aku sudah berlebihan, menyebut mama Ibas, sebagai mertua. "Yuk buruan, aku sebentar lagi ada meeting!" Ajaknya, setelah membayar di kasir."Bas, apa mamamu sudah tahu, kalau aku ...," ucapku terjeda."Sudah ribuan kali kubilang, aku tidak mempermasalahkan statusmu. Jadi kumohon, jangan bahas ini lagi. Aku mencintai dan menyayangimu apa adanya." Ucapnya seraya memandangku lekat, bah
"Halo, Alvin ...!"TutPanggilan terputus. Dasar bocah, belum selesai bicara, sudah dimatikan. Ada masalah apa, sebenarnya? Apa jangan-jangan, niatnya sudah diketahui Ibuk mertua."Kenapa dimatikan, kan belum selesai bicara?" semburku begitu Alvin angkat telpon."Anu, Mbak, pulsaku habis," jawabnya malu-malu, membuatku ingin tertawa. Mau tertawa tapi kasihan, akhirnya aku tertawa dalam hati. "Oh ya, bagaimana dengan BPKBnya?" cecarku tak sabar. Bagaimanapun juga, aku harus bisa mengambil BPKB itu. "Katanya Suci, BPKB dibawa Ibunya, dan gak tahu disimpan di mana."Huft. Aku menghembuskan nafas kecewa. Kalau barang dibawa Ibuk, pasti akan sangat susah didapat. Aku harus memutar otak, bagaimana caranya mendapatkan BPKBnya."Terus, kamu gak berusaha lebih gitu, misalnya merayu Suci kah, agar bisa ambil BPKBnya?" "Merayu gimana, Mbak?" tanya Alvin polos."Haduh, kamu pernah pacaran gak sih sebelumnya? Masa merayu saja gak bisa. Sadar Vin, kamu itu hanya dimanfaatkan Suci!" Ucapku geram,
"Astaghfirullah!" aku menutup mulut tak percaya.Haris dan wanitanya, melaju kencang, saat lampu masih merah. Sedangkan dari arah kiri, ada juga motor yang sedang melaju. Alhasil, untuk menghindari tabrakan, Haris malah menabrak tiang listrik yang, tak salah apa-apa. Aku begitu shok, melihat Haris kecelakaan tunggal, yang melibatkan tiang listrik. Beberapa orang berkerumun, aku ikut mendekat, setelah lampu berganti warna hijau."Makanya, Mas, kalau masih lampu merah, jangan ngebut. Untung yang ditabrak tiang listrik," suara sumbang seseorang, sambil membantunya berdiri."Makanya, jangan pacaran di jalan!" Entah suara siapa lagi itu, aku tidak begitu peduli."Kalau nabrak kasur mah enak, lah ini malah tiang listrik," kelakar sesebapak, mengundang tawa orang lain.Kulihat, mereka berdua selamat, hanya lecet sedikit. Motornya pun, tidak ada kerusakan yang berarti, hanya bagian depan, yang pecah."Lain kali, hati-hati. Aku duluan," pamitku, setelah berhasil menyibak kerumunan Kupastikan
"Aha, aku ada ide."Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang melintas di otakku, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan, betapa sakitnya Suci, kalau ideku berhasil. Bahkan, bukan hanya Suci, seluruh keluarganya pun, akan merasakan. "Kenapa kamu?" tanya Ibas mengagetkanku. "Apa, sih. Orang lagi berpikir, malah diganggu, jadi ambyar kan!" sungutku. Tak lama, mobil sudah memasuki kawasan Pengadilan Agama. Kulirik jam tangan, sudah lewat dari jam sebelas. "Maaf ya, aku gak bisa nganter ke dalam." Ibas tampak sibuk dengan gawainya. "Iya, gak masalah. Betewe, terima kasih sudah diantar," biar bagaimanapun, aku tidak enak, kalau merepotkannya terus menerus."Pulangnya nanti gimana? Atau biar dijemput Alvin?" usulnya."Kalau gak merepotkan.""Baik, biar dia yang jemput. Aku pergi dulu, ya. Maaf gak bisa nemenin," pamitnya.Perlahan, mobil Ibas sudah meninggalkanku, yang mematung seorang diri, di tempat parkir. **Aku keluar dari gedung ini, tepat tengah hari. Aku celingukan, mencari k
Marah, jengkel, kecewa melebur jadi satu. Aku merutuki ban yang bocor, tanpa kompromi. Dengan terpaksa aku mendorong motor, mencari bengkel yang ada. Banyak orang lalu lalang, namun tak ada yang peduli denganku. Apakah benar-benar sudah krisis, rasa kemanusian di abad ini, sampai ada seorang wanita yang kesusahan, dibiarkan saja.TiinAku terlonjak kaget, ketika klakson mobil hitam mengkilat, berbunyi nyaring tepat di sampingku. Kalau dipikir, aku sudah berjalan di pinggir, tapi kenapa masih diklakson. Sepertinya, memang pengendara mobil ini sengaja, mengagetkanku."Gak punya akhlak!" rutukku kesal.Aku kembali melanjutkan mendorong motor, yang kurasa semakin berat. Ditambah, matahari siang ini, terasa begitu menyengat. Peluh sudah dari tadi membanjiri dahi, melewati pipi, dan hampir jatuh lewat daguku. Ujung jilbab, kujadikan sebagai lap keringat, karena tidak ada stok tisu di dalam tas.Namun, ada yang aneh, mobil ini seakan mengikutiku. Dari tadi, tidak juga melambung, malah melaju
Kami kompak berhenti, saat Haris bilang tidak akan menceraikanku. Apa aku takut? Tidak. Aku tahu, dia hanya menggertak saja. "Aku yang akan menggugatmu!" Ancamku tidak main-main."Semua keputusan ada di tanganku, kalau aku bilang tidak, hakim tidak akan menyetujui gugatan ceraimu," ucapnya pongah. "Hem, kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang," aku tersenyum mengejek, lalu pergi meninggalkannya. Tak ada gunanya juga, lama-lama di sini.Mungkin dikira aku takut, kalau tidak bisa bercerai dengannya. Pikirannya sungguh sempit sekali. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah pergi, diikuti Paklik dan Bulik. Terlihat, Ibuk masih mengomel tak jelas, sampai mobil yang kami naiki, meninggalkan halaman rumah Haris. Tak butuh waktu lama, kami sampai rumah. Jalanan memang sedikit lengang, karena ini hari libur. Aku dan Bulik bergegas turun, sementara Ibuk, langsung keluar, begitu mendengar deru mesin mobil, berhenti."Banyak sekali, Nduk?" Ibuk keheranan, melihat barang hampir satu pick up
"Astaghfirullah, Ibuk!" Aku terkejut, melihat Ibuk limbung ke lantai. Suci dan Haris, sibuk mengangkat tubuh Ibuk yang bongsor. Mereka terlihat sangat kewalahan, karena tenaganya tidak seimbang. "Bulik, Ibuk pingsan," teriakku panik, di ambang pintu.Semua yang ada di rumah ini, langsung menuju kamar. Mereka berbondong-bondong, melihat keadaan Ibuk. "Nduk, tolong ambilkan minyak kayu putih!" perintah Bulik dengan nada cemas.Aku pun bergegas mencarinya, di tempat biasa aku meletakan. Meskipun hatiku masih sakit, atas ucapan Ibuk, namun aku juga masih punya hati. Biar bagaimanapun, sisi kemanusiaanku terketuk."Lama amat sih, Mbak," sungut Suci.Andai saja tidak dalam kondisi begini, sudah kujitak, kepalanya dari tadi. Mulutnya luwes sekali, kalau untuk mencari kesalahan orang lain. "Haris ..., Suci ...," ucap Ibuk pelan.Akhirnya beliau sadar juga, setelah Haris memberikan minyak kayu putih, tepat di bawah hidungnya."Ibuk mau minum?" tanya Haris. Dia begitu perhatian pada Ibunya.
"Eh ...eh ..., kenapa perabotan anakku di maling?" Suara khas yang sangat kukenal, tiba-tiba masuk, diikuti anak perempuannya. Sontak, Bulik menghentikan aktivitasnya. "Rin, kamu cerai, mah, cerai aja, gak usah bawa-bawa barang anak saya!" cerocos Ibu mertua.Aku yang sudah kebal, tak terlalu menggubrisnya. Namun, Bulik terlihat agak takut, terlihat dari wajahnya, yang mulai pias."Nduk, bagaimana, ini?" tanya Bulik lirih. Aura ketakutan jelas sekali nampak dari wajahnya."Tenang Bulik, ada Rini." Aku mencoba menghiburnya, walau hatiku juga tidak tenang."Rin, jangan kurang ajar. Sudah minta cerai, sekarang malah maling di rumah suaminya," hardiknya."Iya, nih, Mbak. Jangan bikij malu!" Suci ikut menambahi.Seketika, aku begitu marah. Kuhentikan aktivitasku, lalu melangkah ke depan. Kuhampiri mereka berdua, dengan tangan masih memegang spatula. "Maaf Ibuk mertua yang terhormat, tolong disaring dulu, kalau mau berbicara. Anda sebagai orang tua, tentunya tahu, mana yang baik dan tidak
Setelah semua selesai, kami akhirnya memutuskan pulang. Kasihan juga Ibuk, kalau lama-lama di luar, terkena angin malam. Udang asam manis, yang belum habis tadi, jadi kami bungkus. Sesuai janji, Ibas yang membayarkan semuanya. Setelah membayar, kami beriringan menuju mobil Ibas, yang berjejer dengan mobil-mobil pengunjung lainnya. Pulangnya, kami lebih banyak diam, terutama aku, mungkin efek kekenyangan. Semuanya hening, larut dalam pikirannya masing-masing. "Gak mau turun?" Ibas membangunkanku. Ternyata tadi aku ketiduran, efek kekenyangan, mata juga ikut kelelahan."Mau kemana, kita?" kukucek mata, saat menoleh ke belakang, Ibuk sudah tidak ada."Ke rumah, lah, kemana lagi? Mau diajak ke pelaminan sekalian?" tanyanya seraya tersenyum mengejek. "Apaan sih, gak lucu tahu," sungutku kesal. Orang tanya serius, malah diajak bercanda.Dengan menahan kantuk, akhirnya aku ikut turun, setelah pintu dibukakan oleh Ibas."Kenapa gak bilang dari tadi, kalau sudah sampe rumah?" aku menoyor ke