Setelah puas mengungsi di rumah Bang Radi, aku memutuskan menyudahi masa ngambekku. Aku pulang dengan Azka dengan mengendarai motorku malam hari. Azka yang sudah mengantuk aku suruh duduk di depan agar tak oleng saat ia ingin memejamkan matanya. Kasihan Azka, ia sering jadi korban keegoisan orang tuanya ini.
Motor berhenti di depan rumahku yang sederhana ini, rumah yang aku dapatkan dari peninggalan jaman purba alias jaman nenek moyangku. Walaupun kusam seperti penghuninya, yang penting masih bisa untuk berteduh.Ku lihat lampu rumah yang masih padam, pasti Mas Joko belum pulang kerumah setelah ku diamkan tadi di rumah Bang Radi. Ku gendong Azka dan kubuka pintu yang tak digembok ini. Berat badan Azka yang bertambah setiap bulannya membuat aku cepat lelah jika terlalu lama menggendongnya. Aku menidurkan Azka di ranjangnya dan menyelimutinya dengan bed cover yang aku dapatkan dari hadiah pernikahanku dulu.Aku berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, suara pintu terbuka terdengar dari arah depan. Sepertinya itu Mas Joko, yang sudah tahu jika aku sudah pulang.Aku segera merampungkan ritual mandiku dan bergegas keluar untuk memastikan siapa yang datang. Benar dugaanku, Mas Joko pulang dengan membawa kantong kresek hitam yang entah apa isinya.Aku berlalu di depannya dan masuk ke kamar untuk memakai baju tanpa menyapanya."Dek, ini Mas bawa ikan gabus kesukaanmu. Tadi Mas dapat dari mancing," ucapnya. Sepertinya ia sudah melupakan masalah rokoknya tadi siang yang gagal aku belikan."Mas masak sendiri saja, aku sudah kenyang tadi makan di rumah Bang Radi," desisku."Simpan saja buat besok, Mas juga sudah makan di rumah ibu." Mas Joko berlalu meninggalkanku dan meletakkan kantong kresek yang ia bawa tadi di lantai. Tampak raut wajah kecewanya akan sikapku kali ini, membuatku sedikit tak tega melihatnya.Kuambil kresek hitam itu dan ku lihat isi di dalamnya. Ada banyak ikan gabus beraneka ukuran dan aku membawanya ke belakang untuk aku cuci. Aku akan memasaknya saja karena aku tak ada kulkas untuk menyimpannya.Saat sedang membersihkan ikan, kulihat Mas Joko yang sedang mengipasi badannya dengan topi kebanggannya. Topi berlogo tim pesepakbola dunia yang ia pakai dari jaman aku pacaran dengannya. Topi yang merupakan hadiah pemberianku waktu itu untuknya.Suamiku tampak sedang berpikir, namun aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku berharap ia sedang memikirkan pekerjaan yang akan ia kerjakan besok untuk mendapatkan uang. Karena aku memang tak ada pegangan uang banyak. Hanya sisa selembar uang berwarna biru yang aku selipkan di ujung dompet kecilku buat jaga-jaga jika suatu saat aku atau Azka sakit.Suara pintu terbuka dengan keras membuatku dan Mas Joko menoleh pada sumber suara. Ternyata Mas Ilham datang dengan wajah sangarnya."Mana, Jok? Ikannya sudah dimasak belum?" Mas Joko menoleh ke arahku dan aku meninggalkan ikan yang tadinya akan aku goreng. Niat hati kasihan karena suami sudah ada niatan baik mencari lauk buat makan kita sekeluarga, sekarang aku jadi malas mengolahnya. Kubiarkan ikan itu tergeletak di sana dan mendekati Mas Ilham." Oh, itu ikan mas Ilham ternyata? Kalau begitu, suruh istrimu yang masak! Aku sedang nggak ada minyak, tuh ikan sudah aku bersihkan, Mas Ilham bawa saja! Kami sudah makan tadi." Mas Joko menatapku pilu, aku berpikir mungkin ia berbohong jika sudah makan tadi. Tapi aku tak ingin, ikan itu jadi alasan Mas ilham dan ibu untuk makan gratis di sini.Aku tahu akal bulusnya, ia sengaja memberikan ikan ini untukku masak, dan pasti nanti kakak ipar dan istrinya serta ibu mertua akan datang dan menghabiskan persediaan nasi dan juga lauk yang aku masak dengan susah payah. Mereka akan menghabiskan jatah makanku untuk sehari dalam sekejap, sehingga berakhir aku yang harus menahan lapar sampai pagi tiba.Mas Ilham menatapku sinis dan berlalu ke belakang menyambar ikan gabus yang tadi aku bersihkan. Untung belum aku masak, jika sudah aku bisa rugi bandar karenanya."Bilang saja kalau kamu nggak mau kita ikut makan di sini, pake alasan nggak ada minyak segala. Kamu memang adik ipar nggak tahu diri, sudah di beri saja, tinggal masak masih ogah. Pantas hidupmu begini saja, pelitmu kebangetan!" Hatiku bagai berkecamuk ingin mengobrak abrik mulutnya yang pedas itu. Ku majukan badanku dan ku tantang dia di depan Mas Joko. Mas Joko hanya ikut berdiri dan ingin menghalangiku agar tak memancing keributan dengan Mas Ilham, kakak kandungnya."Kamu bilang saya pelit?! Kamu dengar Mas ilham yang terhormat, saya itu tinggal di sini tidak geratis! Tiap hari, Ibu dan Istrimu merongrong uang belanjaku dan baru tadi pagi, baru banget! Ibu meminta semua jatah belanjaku selama seminggu. Mas masih bilang aku ini pelit? Memangnya selama ini Mas kasih apa buat ibu? Gaya sok kaya, tapi uang saja tidak ada. Pake acara nyuruh ibu jual rumahnya, kaca di pake! Jangan hanya ngomong tapi tak lihat bagaimana dirimu sebenarnya!" Aku benar-benar marah, baru kali ini aku merasa di injak-injak harga dirinya oleh orang di depanku yang berstatus iparku ini. "Sudah, Dek, Malu didengar tetangga!" tutur suamiku berusaha menenangkan keadaan yang kian memanas ini. Ku lihat Mas Ilham mengepalkan tangannya, aku tahu di sangat marah dan ingin memukulku jika aku ini bukan seorang wanita."Kamu ajari istrimu sopan santun pada yang lebih tua, Jok! Agar mulutnya ini tak asal bicara." Mas Ilham keluar rumah dengan membanting pintu rumahku ini dengan keras sampai Azka yang tertidur pun kaget dibuatnya. Beruntung pintu rumah ini terbuat dari jati asli, jadi tak langsung rusak karena bantingan keras Mas Ilham."Mami … hiks..hiks!" Azka anakku terlalu kaget hingga ia menangis begitu keras. Mas Joko menghampiri Azka dan menggendong dan mencoba untuk menenangkannya.Aku yang masih mencoba meredamkan amarahku memilih duduk di kursi tua peninggalan Nenek yang telah usang di ruang tamu.Aku pegangi kepalaku yang mendadak migrain dan juga dadaku yang terasa kehilangan oksigennya.Mas Joko membawa Azka duduk di pangkuannya dan menghadapkan dirinya padaku. Menatapku dengan tatapan ibanya. Sayang, tatapan itu tak berlaku untukku sekarang."Mami, ndong!" Rengek anakku memintaku untuk menggendongnya. Aku mengulurkan tanganku dan membawa Azka ke dalam pelukanku."Dek, maafin Mas, ya! Sudah membuat kamu harus dalam posisi begini! Tadinya Mas kira Mas Ilham memberikan ikan gabus itu cuma-cuma untuk kita makan. Ternyata ia datang ke sini untuk memintanya kembali," tukas Mas Joko sendu.Aku menarik nafas dalam, membuang emosiku untuk menjawab ucapan suamiku. Aku tak ingin memperkeruh suasana dan menambah masalahku dengan Mas Joko."Sekarang Mas tahu, bagaimana watak kakakmu itu. Dia hanya mau baik jika ada maunya, begitu pula dengan ibu. Aku tak keberatan jika harus membantumu mencari uang untuk kita makan, tapi coba Mas, hargai aku sedikit saja. Aku ini sudah lelah fisik ditambah lelah pikiran. Rasanya aku ingin menyudahi saja semua ini," ucapku lemas."Astaghfirullah, Dek! Nyebut! Nggak baik ngomong begitu, kamu lihat Azka. Dia akan menderita jika kamu benar-benar menyerah terhadap ujian yang Allah berikan pada rumah tangga kita. Mas minta maaf padamu sekali lagi, tolong jangan marah sama keluarga Mas. Mereka pasti hanya bercanda," sanggahnya.Bercanda? Bercanda macam apa seperti itu? Pergi dengan menutup pintu sangat keras dan meminta kembali apa yang sudah diberikan. Suamiku masih bilang bercanda? Terbiasa diperlakukan begitu jika marah, membuat ia menganggap hal semacam itu sebagai lelucon. Aku beranjak ke kamar membawa Azka yang kembali terlelap di pangkuanku tadi.Ku tidurkan di tengah agar aku bisa tidur tanpa berdekatan dengan Mas Joko. Mas Joko mengikutiku ke kamar dan membaringkan tubuhnya di sampingku."Mas, sempit! Kamu tidur di sebelah Azka, sana!" Mas Joko tak menggubris omonganku dan malah memelukku dari belakang. Alhasil, Gubrakk!!Badannya terpental ke bawah ranjang dan Mas Joko meringis menahan sakit karena pantatnya yang mengenai lantai.Aku melihatnya memegangi pinggangnya, hanya terkikik geli. Siapa suruh ngeyel tidur di dekatku. Sudah tahu ranjang sempit, masih memaksakan mendekatiku. Karma, Mas, karma! Aku mengumpat kecil dalam hatiku, biarkan saja aku tak menolongnya berdiri! Sekali-kali biarkan suamiku tahu diri!"Sakit, Bang? Rasain! Makannya jadi orang itu, dengerin apa kata istri! Sudah tahu ranjang sempit, masih paksain buat tidur di sini. Sekarang, enak, pinggangnya setelah merasakan kerasnya lantai? Sakit mana sama bercandaan kakakmu tadi?" sindirku.Mas Joko berdiri dan berjalan berjongkok-jongkok sambil memegangi pinggangnya. "Kamu ini, Dek! Suami jatuh bukannya ditolongin malah di ketawain," umpatnya.Mas Joko membaringkan badannya di sisi Kiri Azka dan mengurut pinggang dengan tangannya.Aku merasa tak tega, dan beranjak ke lemari mengambilkan balsam untuknya."Buka!" ucapku menarik baju Mas Joko."Pinggangku lagi sakit, Dek! Masa suruh buka-bukaan sekarang!" decitnya."Kalau mikir itu jangan mesum terus, mau aku tambahkan sakitnya?" Aku pukul pantatnya dengan telapak tanganku lirih agar ia tak menggodaku lagi.Inilah suamiku, terkadang ia sangat menyebalkan karena terlalu mementingkan keluarganya. Terkadang ia sangat romantis dan mampu membuat hatiku yang meradang karena masalah yang terjadi kembali seperti sedia kala."Mas, kemarin aku minta sama Bang Radi suruh carikan kerja buatmu, katanya ada noh, di sana! Berangkat bersama Mas Radi ya, pagi ini! Biar aku siapkan bekalnya untuk makan siang Mas." Aku sengaja tak memberi tahu Mas Joko tentang pekerjaan apa yang akan ia dapatkan di sana, karena pasti ia akan mempunyai sejuta alasan untuk menolaknya."Pekerjaan apa, Dek? Kalau panas-panasan, Mas nggak mau! Suka pusing kalau kerja terkena cahaya matahari," ungkapnya."Mas udah khitan apa belum?" sindirku. Ada-ada aja Mas Joko ini, lelaki kok kerja nya nggak mau panasan. Bagaimana mau dapat pekerjaan, di tawarkan saja masih pilih-pilih yang cocok dan pas sesuai dengan keinginanya. Sampai lebaran kucing pun kalau begini mana ada pekerjaan yang cocok buatnya. Mengingat dirinya hanya tamatan SMA seperti Abangku."Kok, Khitan? Apa hubungannya khitan sama pekerjaan Mas?" keluhnya."Laki-laki itu di mana-mana kerjaannya ya gitu, kalau nggak kepanasan ya kehujanan. Kalau nggak mau kepanasan, berarti Mas ba
"Nih, Dek!" Mas Joko memberiku uang lima lembar berwarna merah padaku membuat aku mendongak tak percaya."Dapat dari mana, Mas?" tanyaku penasaran. Wajar dong aku penasaran dari mana asal uang itu, secara Mas Joko selama ini tak bekerja. Di kasih kerjaan di balai desa, di tolaknya. Katanya nggak mau kepanasan, nyatanya pekerjaan rendahan pun tak ia terima. Nasib punya suami malesnya nggak ketulungan."Jual ponselku! Aku tak begitu membutuhkannya, pakai dulu untuk kita makan sampai kamu gajian. Mas harap cukup!" Aku melongo mendengar jawabannya. Ponsel adalah salah satu media komunikasiku dengan dia saat aku meninggalkan Azka di rumah bersamanya saat bekerja. Bagaimana mungkin ia menjualnya? Bahkan ponsel itupun aku yang beli sebagai hadiah pernikahan satu tahunku waktu itu."Kamu nggak bilang, Mas? Seharusnya kamu tanya dulu sama aku. Itu ponsel sangat penting untuk kita berkomunikasi jika aku sedang di luar. Bagaimana nanti aku tahu kabar Azka jika aku bekerja?" sergahku."Beli lagi
"Joko!" teriak ibu histeris melihat anaknya yang terbaring di klinik. Biasa aja bu, nggak usah lebay gitu. Aku aja yang istrinya biasa saja, walau sedikit panik tapi tak langsung lari seperti drama-drama di tv. Ku lihat mas Joko tersenyum melihat kedatanganku."Kamu nggak papa, Ko? Ibu kan sudah bilang, kamu itu nggak cocok kerja rendahan?" papar ibu.Aduh, pantas saja anaknya malas bekerja. Ibunya aja begitu modelnya. Aku hanya melirik pada Mas Joko yang menatapku sedih. Maaf Mas, nggak berlaku bagiku tatapan memelas mu itu. Aku jadi nggak bisa ikut lembur kalau begini kan. Apes bener dah."Vit, Joko sepertinya lapar. Kamu beli makanan sana! Kasihan dia pasti butuh asupan biar cepet sembuh," ucap ibu."Baiklah, sini uangnya!" jawabku menyodorkan tanganku pada ibu."Kamu kok begitu, Vit! Sama suami sendiri perhitungan, jangan pelit-pelit jadi istri. Kamu mau kuburannya sempit?" sentak ibu."Sudah khatam, Bu, dengan kuburan yang sempit. Lain lagi napa? Misal doain ya, gini! Jangan peli
Ada apa dengan suamiku ini? Masih sakit saja dia masih memikirkan ibunya."Mas niat nggak sih mau kasih uang itu sama aku? Jika Mas ikhlas, semuanya nggak akan seperti ini. Uang yang Mas kasih sama aku tadi pagi, habis sudah!Kalau Mas mau membayarnya sendiri silahkan, tapi kalau tidak baik kita pulang hari ini. Terlalu lama tinggal di klinik, bisa-bisa motorku lenyap untuk membayar semua biaya pengobatanmu," ucapku. Bukan aku pelit pada Mas Joko, tapi dia teramat keenakan jika aku biarkan seperti ini. Aku juga sudah menemui dokter tadi jika keadaan Mas Joko baik-baik saja dan boleh pulang hari ini."Bu, Mau pulang diantar Vita atau mau pulang naik angkot?" tanyaku pada Ibu."Siapa yang mau pulang? Ibu masih mau menemani Joko di sini!" ucap Ibu. Sebenarnya tak baik jika aku mengerjai ibu, akhirnya aku memutuskan berterus terang saja."Bu, Mas Joko akan pulang nanti sore. Kalau Ibu ngeyel di sini, ya silahkan! Tapi kalau Ibu mau pulang, Vita berbaik hati mengantarkan Ibu!" ucapku."Mem
"Ibu dari mana saja? Di cari dari tadi!" ucap Ilham saat melihat ibunya baru datang dari arah pintu."Dari klinik, kamu nggak tahu ya? Adikmu tadi habis nyemplung empang," jawab ibu."Oh." Hanya kalimat pendek yang keluar dari bibir Ilham karena ia masih jengkel pada Joko dan Vita akibat masalah ikan gabus kemarin."Kamu kenapa cari Ibu?""Ini, Bu! Rumah ini ada yang nawar dua ratus juta. Mahal kan, Bu? Jual saja ya, Bu! Ilham butuh modal ini buat membuka toko cabang baru di Pasar Biru. Nanti, kalau toko Ilham rame, Ibu juga akan dapet enaknya." Ilham kembali membujuk Ibu Joko untuk segera menjual aset peninggalan ayah yang hanya tersisa rumah ini."Kalau di jual, Ibu mau tinggal di mana?" ucap Ibu."Kan Ibu bisa tinggal sama aku atau Joko. Ibu nggak usah lagi pusing-pusing mikir biaya makan dan lain-lain. Pokoknya, tinggal enaknya saja lah," bujuk Ilham."Coba nanti kita bicarakan lagi sama Joko. Ibu nggak mau jika Ibu nanti sengsara gara-gara jual rumah ini. Rumah ini tinggal satu-s
"Ealah, bagus-bagus kok ambekan. Ya sudah! Ibu ke rumah Joko. Kamu tunggu di sini!" Bu Joko berjalan ke luar rumahnya untuk meminta makan ke rumah Joko. Walau Vita sering mengomel padanya, namun jarang sekali mereka menolak jika Ibunya meminta sesuatu darinya."Assalamualaikum," sapa Ibu dari luar rumah Joko. Vita yang sedang memasak makan malam terus melanjutkan acara maaknya tanpa menyambut ibu di depan."Waalaikumsalam," sahut Vita dari dapur.Bu Joko masuk ke rumah Vita dengan perasaan senang karena tahu Vita sedang memasak. Tercium dari aromanya saja ia sudah tahu, jika masakan Vita memanglah enak."Ngapain balik lagi, Bu?" tanya Vita ketus."Kamu ini, kayak nggak senang saja jika Ibu datang ke rumahmu," sungut ibu tak terima dengan nada bicara Vita."Mau makan?" tanya Vita sengana mengalihkan pembicaraan."Sudah! Nggak usah tanya, berikan saja makan buat ibu di rumah. Dari tadi di klinik, Ibu kelaparan. Kamu nggak mau belikan Ibu makan. Sekarang kamu harus tanggung jawab karena
Hari ini aku sangat lelah sekali. Pekerjaan mencari nafkah bagi wanita sungguh sangat berat, ditambah kedatangan tamu bulanan yang membuatku sedikit merasakan nyeri di perut. Aku keluar dari pabrik menuju parkiran motor dengan langkah pelan, dan beberapa orang yang melihat langkahku tak biasa menanyakan keadaanku."Kenapa, Vit?" tanya Anggi padaku."Nggak papa, cuma nyeri saja di perut. Biasa PMS melanda!" jawabku nyengir."Oh, baik banyak istirahat sama minum air putih," saran Anggi diiringi anggukan kecil dariku."Makasih," ujarku. "Aku duluan ya!" Anggi berlalu meninggalkanku. Aku memilih duduk dulu di pinggir parkiran untuk membuang rasa penat dan nyeri seperti ini. Aku juga sebel, kenapa harus seperti ini jika datang bulan. Sangat-sangat mengganggu aktivitasku. Yah, walaupun hanya paling dua atau tiga hari datangnya nyeri ini, tapi tetap saja aku risih. Biasanya aku memilih libur dan tidak berangkat jika sedang PMS begini, tapi jika aku memilih libur aku tidak bisa mendapatkan g
"Mamam akit?" tanya Azka padaku."Iya, Sayang! Kamu mandi sama Papap dulu ya, habis itu makan," perintahku pada Azka."Ciap, Mam!" Azka memang anak yang pengertian, dia bahkan tak pernah membuat aku bersedih. Dia jarang menuntut hal-hal yang aneh, paling sebatas minta jajan dan juga jalan-jalan. Bagiku, asal aku bisa aku pasti akan melakukan apapun demi dia.Sore telah berganti dengan malam, kini aku hendak mengisi perutku yang masih kosong karena belum makan sejak tadi siang. Biasanya aku makan sehabis pulang kerja, tapi tadi aku langsung merebahkan diri dan sekarang aku merasa sangat lapar.Ku buka tudung saji hendak makan makanan yang aku sisakan tadi pagi untuk aku makan sore hari. Tapi aku terkejut kala tak ada makanan sedikitpun tersisa di sana. Aku memanggil Mas Joko yang sedang asik nonton tv di ruang depan."Mas, makanan di dapur kemana? Habis kamu makan semua?" tanyaku."Memang ada makanan? Tadi Azka aja makan sama telor ceplok yang aku bikin." Aku kaget dengan jawaban Mas
Malam ini, malam terakhir aku menjanda. Besok harinya aku sudah akan berganti status menjadi istri seorang Rendi Prayoga. "Sudah siap, Dek menjadi istri kembali?" ucap Bang Radi mengatakan dengan penuh kasih saat aku sedang menidurkan Azka di kamar."Abang belum tidur?" tanyaku."Mana bisa tidur kalau begini, Abang merasa sedang jadi orangtua yang akan menikahkan anaknya. Pusing mikirin acara besok," ucap Bang Radi."Apa sih yang dipikirkan? Sudah, istirahat saja. Kan ada WO yang mengurusi pernikahan Vita, Abang dan MBak Nuri hanya duduk manis dan melihat adiknya yang comel ini berbahagia. Orang Vita yang nikah aja biasa aja, kenapa Abang yang deg-degan. Aneh," ucapku."Namanya juga orang tua, Vit. Terlebih suamimu itu bukan orang sembarangan, Abang hanya sedikit minder saja.""Kok minder? Kaya dan miskin sama saja. Lagian, keluarga Rendi itu baik-baik. Bahkan, keluarga yang dari Jakarta juga sudah hadir tiga hari yang lalu," ucapku mengabarkan kehadiran keluarga besar Bella yang men
"Mam, kita mau kemana?" tanya Azka saat di sadar jika ini bukan arah ke rumah Mbak Nuri."Coba tanya Ayah, mau kemana?" ucapku melirik Rendi."Kemana, Yah?" "Kemana yah? Azka maunya kemana?" tanya Rendi sengaja membuat Azka penasaran."Kita mau ke butik, Sayang.""Butik itu apa, Mam?" "Tempat memilih baju-baju bagus, nanti Azka juga bisa milih baju di sana. Ya kan, Yah?" Rendi mengangguk dan ia tersenyum. Kedekatan kami bahkan sudah lama, tapi aku tak menyangka jika jodohku bisa berubah dalam jangka waktu yang singkat. Aku dan Mas Joko menikah enam tahun lamanya, dan baru tiga bulan menikah aku dianugerahi anak. Tadinya bahagia namun semakin ke sini semakin kacau rumah tanggaku akibat campur tangan ipar dan mertuaku.Kini aku sedikit prihatin dengan keadaan Mas Joko, bahkan tadi pagi saat bertemu dengannya wajahnya amatlah murung. Pernah bersama pasti tahu, baik dan buruknya lelaki itu. Cinta? Bukan masalah cinta yang aku bicarakan. Aku hanya kasihan dan sedikit bersimpati. Aku hany
Mobil yang ditumpangi melewati Mas Joko begitu saja. Rendi tampak melirikku seakan takut aku berpaling darinya."Habis bicara apa?" "Hah?" tanyaku kaget. "Kamu! Habis ngobrolin apa sama mantan suami kamu?" tanya Rendi lembut."Nggak terlalu penting, hanya seputar pernikahanku saja. Dia nggak percaya aku nikah lagi, dia malah curhat bininya lebih parah sekarang!" "Kenapa emang bininya?""Aib, nggak usah di umbar. Bikin dosa, aku menyela pembicaraannya dan akhirnya memilih mengundang dia ke acara resepsi pernikahan kita bersama Arum istrinya. Nggak apa kan?" "Terserah kamu, sudah hak kamu mengundang siapapun. Yang penting jangan bikin rusuh saja, dan mungkin nanti acaranya di gedung Alazka punya Omku."Aku kaget saat Rendi akan menggelar resepsi di gedung, tadinya aku pikir hanya akan ada hajatan kecil-kecilan di rumah."Kok nggak tanya sama Vita?" tanyaku."Mana aku tahu? Ini pembicaraan orangtua dan kakakmu, aku manut saja Yang penting bagiku sah denganmu. Wes, nggak usah pake em
"Vit, hari ini jadi imunisasi calon pengantin?" tanya Mbak Nuri padaku."Jadi Mbak, nanti jam delapan. Nunggu Rendi jemput Vita," sahutku dari dalam kamar. Aku sedang memakaikan seragam sekolah Azka. Ya, bulan ini Azka sudah aku masukkan TK. Ia meminta masuk tahun ini karena semua temannya sudah masuk dari tahun yang lalu. Menyedihkan memang, tapi sekarang aku sudah sedikit lebih baik setelah berpisah dari Joko."Anak Mamam udah ganteng, sekolahnya yang semangat ya!" "Siap, Ma!" Azka tersenyum penuh energik saat sudah aku siapkan keperluan dari tas, sepatu hingga alat tulis. Tentu saja, ia yang membelinya bersama Rendi bulan lalu saat ia mengajakku malam mingguan ke alun-alun. Tahun ini, Azka masuk tahun ajaran pertengahan karena jika menunggu tahun depan ia tak mau. Malu katanya semua temannya sudah masuk duluan. Jika di TK desaku, masuk tidak harus di awal ajaran baru. Masuk pertengahan pun tak apa. Entah sistemnya nitip atau gimana aku juga nggak begitu paham, yang jelas aku sena
"Mbak, bagaimana penampilanku?" tanyaku selepas berdandan untuk menyambut kedatangan Rendi."Cantik. Kamu bahkan tak terlihat sudah punya Anak, Rendi mau ke sini jam berapa katanya?" tanya Mbak Nuri."Sebentar lagi sampai, mobil sudah masuk depan gang." Aku bersiap menetralkan perasaan tegang saat hendak bertemu Rendi. Meski ini bukan pernikahan pertamaku tapi aku benar-benar gugup. Azka yang sudah rapi dengan setelan kemeja putih dan dasi kupu-kupu di lehernya, tampak terlihat comel dan menggemaskan."Mam, Ayah mau datang ya?" Aku melipat keningku, mendengar Azka memanggil Ayah."Maksud Azka? Ayah?" tanyaku."Iya, Ayah Lendi. Kata Ayah balu Azka harus panggil Om Lendi, Ayah." Aku tersenyum mendengar panggilan lucu yang Rendi kenalkan untuk dirinya. Azka memang terlihat akrab akhir-akhir ini dengan Rendi, karena ia sering mampir ke rumahku hanya sekedar minum kopi dan mengajak Azka keluar.Tentu aku tak tahu jika itu caranya mendekatkan diri dengan Azka. Azka yang mulai terbiasa denga
"Vit, besok kamu berangkat ya! Aku udah bilang ada pak Direktur buat kamu kerja lagi di pabrik!" Rendi mengirimkanku pesan saat aku baru akan pulang dari PT penyalur tenaga kerja."Maaf, aku nggak bisa! Aku udah daftar kerja ke luar negeri. Dan besok rencananya sudah mulai masuk asrama. Maaf ya, Ren!" Sebenarnya aku juga sangat berat, meninggalkan Azka dan semua kenangan di tempat ini. Tapi aku harus bisa melanjutkan hidupku sebagai single parent, aku tak bisa mengandalkan kemampuanku yang hanya membuang bola sisa di pabrik."Bisa kita ketemu sekarang?" tanya Rendi. Aku melihat jam di pergelangan tangan menunjukan pukul jam tiga sore."Di mana?" tanyaku."Zero cafe!'"Baiklah, aku langsung menuju ke sana!" Aku sengaja langsung ke lokasi karena memang aku dekat dengan cafe yang Rendi sebutkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di Zero cafe. Tempat yang sudah lumayan ramai karena sudah menjelang sore. Banyak muda mudi berpasangan datang ke cafe ini sekedar membuang sebel atau berpa
"Mas Rendi, silahkan diminum tehnya. Maaf ya ada sedikit gangguan tadi di depan." Mbak Nuri menyuguhkan teh dan juga camilan di depan Rendi dan Anggi."Makasih, Mbak!" Mbak Nuri ke belakang meninggalkanku dengan Rendi dan Anggi."Vit, tadi mantan suamimu?" tanya Rendi penasaran."Iya!" jawabku tak enak."Masih berani dia bilang cinta padahal sudah menikah lagi, ngeri ya, Vit!" imbuh Anggi. Aku melirik Azka yang tampak asyik dengan ponsel milik Rendi."Azka, sama Mamam sini!" Ajakku pada Azka yang tampak nyaman di pangku Rendi. "Nggak apa, dia udah nyaman sama saya.""Nggi, kamu ke sini mendadak ada apa? Kenapa nggak kabarin aku?" tanyaku penasaran."Nggak apa! Kangen lama nggak ketemu kamu sama Rendi. Rendi bilang kalau kamu Resign, betul?" Aku melirik ke arah Rendi. Aku memang meminta libur berapa minggu padanya."Gini, Nggi! Vita ini meminta cuti. Ketika aku tanya alasannya, dia diem. Makanya aku bilang sama kamu kalau dia resign, ternyata dia sedang sedih. Maaf ya, Vit!" ucap Rend
Aku sedang menyirami bunga di depan rumah Bang Radi. Sekarang aku memilih tinggal di rumah abangku karena rumahku sudah aku jual seperti saran Bang Radi. Kulihat bunga yang bermekaran sangat indah, membuat suasana pagi ini juga indah."Mam, Aka mau itu siram bunga!" "Azka mau bunga?" Anakku mengangguk pertanda mengiyakan pertanyaanku."Oke, hati -hati ya! Awas bajunya basah.Saat sedang asik bermain air menyiram bunga, mobil fortuner putih berhenti di depanku. Tampak kaca jendela mobil terbuka, dan wajah Mas Joko menyembul dari dalam."Azka! Mau ikut Papap nggak?" ucap Mas Joko. Aku sengaja membiarkan Azka yang akan menjawabnya. Aku ingin tahu apakah anakku ini ingin dengan ayahnya atau tetap denganku."Nggak! Aka mau sama Mam ajah, Papap jahat."Mas Joko tampak melirik tajam dan menatap dengan tatapan yang menusuk. Mobil hitam lamborghini juga tampak berhenti di depan rumahku.Aku melihat Anggi dan suaminya serta Rendi yang datang ke rumahku. Tentu aku kaget bukan kepalang, mereka
Kupacu motor dengan pelan sambil berlinang air mata. Tangisku ini bukan karena ingin berpisah dengan Mas Joko, tapi lebih ke takut kehilangn Azka. Azka adalah hidupku, apapun ku pertaruhkan untuknya."Mam, Mamam kenapa? Jangan menangis, Mam! Fokus nyetirnya!" celetuk Azka."Siapa yang nangis, Mamam kena debu truk tadi. Azka sudah makan?" "Sudah, sama ayam goreng tadi. Tapi nggak Aka abisin, soalnya nggak ada Mamam nggak enak!"Aku tersenyum mendengar ucapan Azka, ia memang anak yang selalu ingat orang tuanya. Jika denganku pun ia juga teringat Mas Joko. Andai saja dia bisa sedikit berpikir waras, semua ini tak akan terjadi."Ude, assalamualaikum!" ucap Azka saat baru memasuki rumah Bang Radi."Waalaikumsalam, Azka! Gimana main sama Ayah? Senang?" tanya "Nggak, Mamam jadi angis. Aka nggak cuka sama nenek galak sama Papap." Bang Radi yang sedang menonton tv seketika menatapku penuh selidik."Azka main sama kak Dina ya!" ucap Mbak Nuri."Iya, Ude!" Azka masuk dengan Mbak Nuri menuju k