"Ibu dari mana saja? Di cari dari tadi!" ucap Ilham saat melihat ibunya baru datang dari arah pintu."Dari klinik, kamu nggak tahu ya? Adikmu tadi habis nyemplung empang," jawab ibu."Oh." Hanya kalimat pendek yang keluar dari bibir Ilham karena ia masih jengkel pada Joko dan Vita akibat masalah ikan gabus kemarin."Kamu kenapa cari Ibu?""Ini, Bu! Rumah ini ada yang nawar dua ratus juta. Mahal kan, Bu? Jual saja ya, Bu! Ilham butuh modal ini buat membuka toko cabang baru di Pasar Biru. Nanti, kalau toko Ilham rame, Ibu juga akan dapet enaknya." Ilham kembali membujuk Ibu Joko untuk segera menjual aset peninggalan ayah yang hanya tersisa rumah ini."Kalau di jual, Ibu mau tinggal di mana?" ucap Ibu."Kan Ibu bisa tinggal sama aku atau Joko. Ibu nggak usah lagi pusing-pusing mikir biaya makan dan lain-lain. Pokoknya, tinggal enaknya saja lah," bujuk Ilham."Coba nanti kita bicarakan lagi sama Joko. Ibu nggak mau jika Ibu nanti sengsara gara-gara jual rumah ini. Rumah ini tinggal satu-s
"Ealah, bagus-bagus kok ambekan. Ya sudah! Ibu ke rumah Joko. Kamu tunggu di sini!" Bu Joko berjalan ke luar rumahnya untuk meminta makan ke rumah Joko. Walau Vita sering mengomel padanya, namun jarang sekali mereka menolak jika Ibunya meminta sesuatu darinya."Assalamualaikum," sapa Ibu dari luar rumah Joko. Vita yang sedang memasak makan malam terus melanjutkan acara maaknya tanpa menyambut ibu di depan."Waalaikumsalam," sahut Vita dari dapur.Bu Joko masuk ke rumah Vita dengan perasaan senang karena tahu Vita sedang memasak. Tercium dari aromanya saja ia sudah tahu, jika masakan Vita memanglah enak."Ngapain balik lagi, Bu?" tanya Vita ketus."Kamu ini, kayak nggak senang saja jika Ibu datang ke rumahmu," sungut ibu tak terima dengan nada bicara Vita."Mau makan?" tanya Vita sengana mengalihkan pembicaraan."Sudah! Nggak usah tanya, berikan saja makan buat ibu di rumah. Dari tadi di klinik, Ibu kelaparan. Kamu nggak mau belikan Ibu makan. Sekarang kamu harus tanggung jawab karena
Hari ini aku sangat lelah sekali. Pekerjaan mencari nafkah bagi wanita sungguh sangat berat, ditambah kedatangan tamu bulanan yang membuatku sedikit merasakan nyeri di perut. Aku keluar dari pabrik menuju parkiran motor dengan langkah pelan, dan beberapa orang yang melihat langkahku tak biasa menanyakan keadaanku."Kenapa, Vit?" tanya Anggi padaku."Nggak papa, cuma nyeri saja di perut. Biasa PMS melanda!" jawabku nyengir."Oh, baik banyak istirahat sama minum air putih," saran Anggi diiringi anggukan kecil dariku."Makasih," ujarku. "Aku duluan ya!" Anggi berlalu meninggalkanku. Aku memilih duduk dulu di pinggir parkiran untuk membuang rasa penat dan nyeri seperti ini. Aku juga sebel, kenapa harus seperti ini jika datang bulan. Sangat-sangat mengganggu aktivitasku. Yah, walaupun hanya paling dua atau tiga hari datangnya nyeri ini, tapi tetap saja aku risih. Biasanya aku memilih libur dan tidak berangkat jika sedang PMS begini, tapi jika aku memilih libur aku tidak bisa mendapatkan g
"Mamam akit?" tanya Azka padaku."Iya, Sayang! Kamu mandi sama Papap dulu ya, habis itu makan," perintahku pada Azka."Ciap, Mam!" Azka memang anak yang pengertian, dia bahkan tak pernah membuat aku bersedih. Dia jarang menuntut hal-hal yang aneh, paling sebatas minta jajan dan juga jalan-jalan. Bagiku, asal aku bisa aku pasti akan melakukan apapun demi dia.Sore telah berganti dengan malam, kini aku hendak mengisi perutku yang masih kosong karena belum makan sejak tadi siang. Biasanya aku makan sehabis pulang kerja, tapi tadi aku langsung merebahkan diri dan sekarang aku merasa sangat lapar.Ku buka tudung saji hendak makan makanan yang aku sisakan tadi pagi untuk aku makan sore hari. Tapi aku terkejut kala tak ada makanan sedikitpun tersisa di sana. Aku memanggil Mas Joko yang sedang asik nonton tv di ruang depan."Mas, makanan di dapur kemana? Habis kamu makan semua?" tanyaku."Memang ada makanan? Tadi Azka aja makan sama telor ceplok yang aku bikin." Aku kaget dengan jawaban Mas
"Vit, kamu mau berangkat kerja?" tanya ibu dengan senyum yang aneh. Napasnya ngos-ngosan, sepertinya ia terburu-buru dari rumah ke sini."Iya, Bu. Ini mau nganter Azka dulu ke rumah mbak Nuri," jawabku."Sini! Biar Azka Ibu yang ngemong! Kamu kerja saja. Joko tadi juga bilang, Azka suruh sama aku. Nggak enak katanya merepotkan kakakmu terus," imbuhnya.Aku menatap heran sosok mertuaku ini, tak biasanya dia berbicara lembut dan juga baik menawarkan dengan sukarela mengasuh Azka."Ibu kesambet setan dari mana? Aneh bener, tumben mau ajak Azka di rumah Ibu. Biasanya, banyak banget alasannya kalau mau dititipi Azka!" selorohku."Kamu ini, Azka kan cucuku. Masa ngajak Azka di rumah Ibu saja kamu keberatan," ucap Ibu tak suka dengan jawabanku."Nggak sih! Tapi coba tanyakan sendiri pada Azka, mau apa nggak!" saranku."Azka sama nenek, yok! Nanti nenek belikan permen," bujuk ibu. Azka menggelengkan kepalanya membuat ibu menatapku sinis."Kamu pasti yang ajarin Azka biar nggak mau sama nenekn
"Aduh kalian bikin aku iri! Pulang nanti aku mau juga lah di isengin gitu sama suami. Eh, Ren, lo mau nggak tukar tambah sama suami Vita?" Aku melototkan mataku ketika mendengar ucapan Anggi yang asal."Tukar tambah dengan yang model kaya dia mana bisa kuat. Pasti banyak modalnya!" ucap Rendy."Justru dia wanita yang minim modal. Lihat, makan saja sama sayur singkong tiap hari, kalau nggak bayam. Tapi anehnya, dia nggak kurus malah semok," ucap Anggi menimpali ucapan Rendi. Aku diam saja tak menaggapi ucapan mereka. Makan siangku sangat sayang untuk di lewatkan. Mengingat belum tentu nanti malam aku bisa makan di rumah."Nggak pernah perawatan aja cantik begitu, apalagi kalau ke salon. Mungkin bisa mirip artis Nikita wala." Ucapan Rendi membuat aku air yang sedang aku minum tersembur hingga membasahi baju Rendi."Maaf, maaf! Kamu sih ngomongnya ngawur, bikin aku kaget! Sini aku bersihkan, kamu bawa baju ganti? Nanti aku cuci dilondry!" ucapku asal. Aku hanya ingin bertanggung jawab ka
"Dari mana saja, Dek! Jam segini baru nyampe?" tanya Mas Joko dengan tatapan menyelidik."Kerja lah, dari mana lagi?" jawabku jujur. Aku langsung masuk dan melewati begitu saja Mas Joko yang berdiri di ambang pintu."Kerja kamu berduaan sama lelaki di luar sana?" bentak Mas Joko. Aku melihat muka marahnya yang seakan menuduhku yang tidak-tidak. Sepertinya, Mbak Yati sudah mengadu pada Mas Joko, gercep juga dia. Aku berusaha santai dan tak ikut emosi."Kamu kenapa, Mas? Marah? Cemburu? Aku ini kerja loh, cari uang halal! Nggak jual diri apalagi jual muka. Kaya yang ngadu sama Mas ini," sindirku."Kamu berani menjelek-jelekan kakakmu sendiri, Dek?" sungutnya."Oh, kakakmu toh yang sudah ngadu. Nggak heran si kalau dia ngomong gitu sama Mas, dia mungkin kalah saing sama aku karena dapet traktiran beli roti gratis tadi. Nih! Lumayan kan? Lagian, orang lain dipercaya, gimana sih jadi suami? Seharusnya bicara baik-baik, ngomong baik-baik. Nggak asal tuduh gitu," ucapku pada Mas Joko sambil
Hari ini hari minggu, aku memutuskan untuk tetap berangkat bekerja. Bagi kebanyakan buruh di sana, hari minggu mereka gunakan untuk me time bersama keluarga tercinta. Namun, aku harus mengabaikan hari liburku demi sesuap nasi. "Mas, hari ini kamu libur kan? Jagain Azka di rumah, ya? Soalnya aku mau berangkat kerja," pamitku."Nggak libur, Dek?" tanyanya."Memang kamu udah gajian buat kita makan?" ucapku. Mas Joko menatap ke depan sambil menarik sudut bibirnya."Kemarin aja, Mas nggak jadi kerja di koperasi. Males, harus keliling nagih uang," ucap Mas Joko santai. Sudah aku duga, palingan Mas Joko gitu, sok pilih-pilih pekerjaan. Akhirnya, jadi pengangguran lagi."Dah khatam aku sama kamu yang suka gitu, mana ada kerjaan gampang. Ngabisin duit aja yang kerjaan paling gampang, kayak yang di depanku ini," ucapku sebal. Mas Joko nyengir tanpa dosa di depanku, dan aku segera pamit berangkat."Baiklah, hati-hati, Sayang!" ucapnya aneh. Aku curiga dengan sikap Mas Joko yang tiba-tiba senang
Malam ini, malam terakhir aku menjanda. Besok harinya aku sudah akan berganti status menjadi istri seorang Rendi Prayoga. "Sudah siap, Dek menjadi istri kembali?" ucap Bang Radi mengatakan dengan penuh kasih saat aku sedang menidurkan Azka di kamar."Abang belum tidur?" tanyaku."Mana bisa tidur kalau begini, Abang merasa sedang jadi orangtua yang akan menikahkan anaknya. Pusing mikirin acara besok," ucap Bang Radi."Apa sih yang dipikirkan? Sudah, istirahat saja. Kan ada WO yang mengurusi pernikahan Vita, Abang dan MBak Nuri hanya duduk manis dan melihat adiknya yang comel ini berbahagia. Orang Vita yang nikah aja biasa aja, kenapa Abang yang deg-degan. Aneh," ucapku."Namanya juga orang tua, Vit. Terlebih suamimu itu bukan orang sembarangan, Abang hanya sedikit minder saja.""Kok minder? Kaya dan miskin sama saja. Lagian, keluarga Rendi itu baik-baik. Bahkan, keluarga yang dari Jakarta juga sudah hadir tiga hari yang lalu," ucapku mengabarkan kehadiran keluarga besar Bella yang men
"Mam, kita mau kemana?" tanya Azka saat di sadar jika ini bukan arah ke rumah Mbak Nuri."Coba tanya Ayah, mau kemana?" ucapku melirik Rendi."Kemana, Yah?" "Kemana yah? Azka maunya kemana?" tanya Rendi sengaja membuat Azka penasaran."Kita mau ke butik, Sayang.""Butik itu apa, Mam?" "Tempat memilih baju-baju bagus, nanti Azka juga bisa milih baju di sana. Ya kan, Yah?" Rendi mengangguk dan ia tersenyum. Kedekatan kami bahkan sudah lama, tapi aku tak menyangka jika jodohku bisa berubah dalam jangka waktu yang singkat. Aku dan Mas Joko menikah enam tahun lamanya, dan baru tiga bulan menikah aku dianugerahi anak. Tadinya bahagia namun semakin ke sini semakin kacau rumah tanggaku akibat campur tangan ipar dan mertuaku.Kini aku sedikit prihatin dengan keadaan Mas Joko, bahkan tadi pagi saat bertemu dengannya wajahnya amatlah murung. Pernah bersama pasti tahu, baik dan buruknya lelaki itu. Cinta? Bukan masalah cinta yang aku bicarakan. Aku hanya kasihan dan sedikit bersimpati. Aku hany
Mobil yang ditumpangi melewati Mas Joko begitu saja. Rendi tampak melirikku seakan takut aku berpaling darinya."Habis bicara apa?" "Hah?" tanyaku kaget. "Kamu! Habis ngobrolin apa sama mantan suami kamu?" tanya Rendi lembut."Nggak terlalu penting, hanya seputar pernikahanku saja. Dia nggak percaya aku nikah lagi, dia malah curhat bininya lebih parah sekarang!" "Kenapa emang bininya?""Aib, nggak usah di umbar. Bikin dosa, aku menyela pembicaraannya dan akhirnya memilih mengundang dia ke acara resepsi pernikahan kita bersama Arum istrinya. Nggak apa kan?" "Terserah kamu, sudah hak kamu mengundang siapapun. Yang penting jangan bikin rusuh saja, dan mungkin nanti acaranya di gedung Alazka punya Omku."Aku kaget saat Rendi akan menggelar resepsi di gedung, tadinya aku pikir hanya akan ada hajatan kecil-kecilan di rumah."Kok nggak tanya sama Vita?" tanyaku."Mana aku tahu? Ini pembicaraan orangtua dan kakakmu, aku manut saja Yang penting bagiku sah denganmu. Wes, nggak usah pake em
"Vit, hari ini jadi imunisasi calon pengantin?" tanya Mbak Nuri padaku."Jadi Mbak, nanti jam delapan. Nunggu Rendi jemput Vita," sahutku dari dalam kamar. Aku sedang memakaikan seragam sekolah Azka. Ya, bulan ini Azka sudah aku masukkan TK. Ia meminta masuk tahun ini karena semua temannya sudah masuk dari tahun yang lalu. Menyedihkan memang, tapi sekarang aku sudah sedikit lebih baik setelah berpisah dari Joko."Anak Mamam udah ganteng, sekolahnya yang semangat ya!" "Siap, Ma!" Azka tersenyum penuh energik saat sudah aku siapkan keperluan dari tas, sepatu hingga alat tulis. Tentu saja, ia yang membelinya bersama Rendi bulan lalu saat ia mengajakku malam mingguan ke alun-alun. Tahun ini, Azka masuk tahun ajaran pertengahan karena jika menunggu tahun depan ia tak mau. Malu katanya semua temannya sudah masuk duluan. Jika di TK desaku, masuk tidak harus di awal ajaran baru. Masuk pertengahan pun tak apa. Entah sistemnya nitip atau gimana aku juga nggak begitu paham, yang jelas aku sena
"Mbak, bagaimana penampilanku?" tanyaku selepas berdandan untuk menyambut kedatangan Rendi."Cantik. Kamu bahkan tak terlihat sudah punya Anak, Rendi mau ke sini jam berapa katanya?" tanya Mbak Nuri."Sebentar lagi sampai, mobil sudah masuk depan gang." Aku bersiap menetralkan perasaan tegang saat hendak bertemu Rendi. Meski ini bukan pernikahan pertamaku tapi aku benar-benar gugup. Azka yang sudah rapi dengan setelan kemeja putih dan dasi kupu-kupu di lehernya, tampak terlihat comel dan menggemaskan."Mam, Ayah mau datang ya?" Aku melipat keningku, mendengar Azka memanggil Ayah."Maksud Azka? Ayah?" tanyaku."Iya, Ayah Lendi. Kata Ayah balu Azka harus panggil Om Lendi, Ayah." Aku tersenyum mendengar panggilan lucu yang Rendi kenalkan untuk dirinya. Azka memang terlihat akrab akhir-akhir ini dengan Rendi, karena ia sering mampir ke rumahku hanya sekedar minum kopi dan mengajak Azka keluar.Tentu aku tak tahu jika itu caranya mendekatkan diri dengan Azka. Azka yang mulai terbiasa denga
"Vit, besok kamu berangkat ya! Aku udah bilang ada pak Direktur buat kamu kerja lagi di pabrik!" Rendi mengirimkanku pesan saat aku baru akan pulang dari PT penyalur tenaga kerja."Maaf, aku nggak bisa! Aku udah daftar kerja ke luar negeri. Dan besok rencananya sudah mulai masuk asrama. Maaf ya, Ren!" Sebenarnya aku juga sangat berat, meninggalkan Azka dan semua kenangan di tempat ini. Tapi aku harus bisa melanjutkan hidupku sebagai single parent, aku tak bisa mengandalkan kemampuanku yang hanya membuang bola sisa di pabrik."Bisa kita ketemu sekarang?" tanya Rendi. Aku melihat jam di pergelangan tangan menunjukan pukul jam tiga sore."Di mana?" tanyaku."Zero cafe!'"Baiklah, aku langsung menuju ke sana!" Aku sengaja langsung ke lokasi karena memang aku dekat dengan cafe yang Rendi sebutkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di Zero cafe. Tempat yang sudah lumayan ramai karena sudah menjelang sore. Banyak muda mudi berpasangan datang ke cafe ini sekedar membuang sebel atau berpa
"Mas Rendi, silahkan diminum tehnya. Maaf ya ada sedikit gangguan tadi di depan." Mbak Nuri menyuguhkan teh dan juga camilan di depan Rendi dan Anggi."Makasih, Mbak!" Mbak Nuri ke belakang meninggalkanku dengan Rendi dan Anggi."Vit, tadi mantan suamimu?" tanya Rendi penasaran."Iya!" jawabku tak enak."Masih berani dia bilang cinta padahal sudah menikah lagi, ngeri ya, Vit!" imbuh Anggi. Aku melirik Azka yang tampak asyik dengan ponsel milik Rendi."Azka, sama Mamam sini!" Ajakku pada Azka yang tampak nyaman di pangku Rendi. "Nggak apa, dia udah nyaman sama saya.""Nggi, kamu ke sini mendadak ada apa? Kenapa nggak kabarin aku?" tanyaku penasaran."Nggak apa! Kangen lama nggak ketemu kamu sama Rendi. Rendi bilang kalau kamu Resign, betul?" Aku melirik ke arah Rendi. Aku memang meminta libur berapa minggu padanya."Gini, Nggi! Vita ini meminta cuti. Ketika aku tanya alasannya, dia diem. Makanya aku bilang sama kamu kalau dia resign, ternyata dia sedang sedih. Maaf ya, Vit!" ucap Rend
Aku sedang menyirami bunga di depan rumah Bang Radi. Sekarang aku memilih tinggal di rumah abangku karena rumahku sudah aku jual seperti saran Bang Radi. Kulihat bunga yang bermekaran sangat indah, membuat suasana pagi ini juga indah."Mam, Aka mau itu siram bunga!" "Azka mau bunga?" Anakku mengangguk pertanda mengiyakan pertanyaanku."Oke, hati -hati ya! Awas bajunya basah.Saat sedang asik bermain air menyiram bunga, mobil fortuner putih berhenti di depanku. Tampak kaca jendela mobil terbuka, dan wajah Mas Joko menyembul dari dalam."Azka! Mau ikut Papap nggak?" ucap Mas Joko. Aku sengaja membiarkan Azka yang akan menjawabnya. Aku ingin tahu apakah anakku ini ingin dengan ayahnya atau tetap denganku."Nggak! Aka mau sama Mam ajah, Papap jahat."Mas Joko tampak melirik tajam dan menatap dengan tatapan yang menusuk. Mobil hitam lamborghini juga tampak berhenti di depan rumahku.Aku melihat Anggi dan suaminya serta Rendi yang datang ke rumahku. Tentu aku kaget bukan kepalang, mereka
Kupacu motor dengan pelan sambil berlinang air mata. Tangisku ini bukan karena ingin berpisah dengan Mas Joko, tapi lebih ke takut kehilangn Azka. Azka adalah hidupku, apapun ku pertaruhkan untuknya."Mam, Mamam kenapa? Jangan menangis, Mam! Fokus nyetirnya!" celetuk Azka."Siapa yang nangis, Mamam kena debu truk tadi. Azka sudah makan?" "Sudah, sama ayam goreng tadi. Tapi nggak Aka abisin, soalnya nggak ada Mamam nggak enak!"Aku tersenyum mendengar ucapan Azka, ia memang anak yang selalu ingat orang tuanya. Jika denganku pun ia juga teringat Mas Joko. Andai saja dia bisa sedikit berpikir waras, semua ini tak akan terjadi."Ude, assalamualaikum!" ucap Azka saat baru memasuki rumah Bang Radi."Waalaikumsalam, Azka! Gimana main sama Ayah? Senang?" tanya "Nggak, Mamam jadi angis. Aka nggak cuka sama nenek galak sama Papap." Bang Radi yang sedang menonton tv seketika menatapku penuh selidik."Azka main sama kak Dina ya!" ucap Mbak Nuri."Iya, Ude!" Azka masuk dengan Mbak Nuri menuju k