"Kira-kira Suci sama Si Jamal lagi ngapain, ya?" Bobby bertanya pada Sherly saat menyadari bukan hanya dia yang terjaga sampai dini hari ini. Lelaki berdarah Batak itu menatap langit-langit kamar kontrakan sembari menumpukan kedua tangan di bawah kepala, sebagai bantal dengan tubuh hanya beralaskan karpet bergambar bunga. "Menurut lo?" Di atas ranjang, Sherly balik bertanya. Wanita itu terlihat bergelung dalam selimut tebal hingga yang terlihat hanya sebagian sisi wajahnya saja. "Yakin mau tahu pendapat gue?" Bobby mengubah posisi menghadap Sherly. Kedua alis tebalnya naik turun beriringan. "Nggak jadi," pungkas wanita pemilik tinggi seratus delapan puluh senti tersebut, "gue tahu isi pikiran lo yang nggak pernah jauh dari selangkangan.""Ah, masa?" Bobby sengaja menggoda. Dia bangkit dari posisi berbaring. Kemudian menatap Sherly yang berbalut selimut tebal. "Jadi itu alasan kenapa badan lo dibuntel selimut udah kayak ulet nangka? Padahal kalau kita nggak sengaja tidur bertiga,
"Kita mau ke mana?" tanya Fariz di tengah perjalanan, saat Suci tiba-tiba mengajaknya pergi. Sudah dua hari sejak tragedi demam dan terjaga sampai dini hari, tubuh lelaki itu bahkan terlihat jauh lebih bugar dari sebelumnya. "Nanti juga kamu tahu. Dari pertigaan, tolong belok kiri!" titah Suci tanpa menjawab pertanyaan yang Fariz ajukan sebelumnya.Lelaki itu hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti interuksi. Kendaraan roda empat itu terus melaju dari Kabupaten Lumajang, menuju Surabaya, melewati Tugu Pahlawan dan beberapa tempat wisata hingga akhirnya berhenti di sebuah tempat makan yang cukup terkenal di daerah yang sama. Fariz memarkirkan mobilnya di depan sebuah Depot Gudeg yang berjarak sekitar lima menit jalan kaki dari Tugu Pahlawan. Lokasi tepatnya berada di Jalan Pasar Besar Wetan Nomor 1A, Alun-alun Contong, Bubutan. Tempat ini biasa buka dari pukul 06.00-15.30 WIB.Ada banyak sajian menu gudeg seperti, nasi gudeg pecel, nasi gudeg campur, nasi komplit, dan nasi campur deng
" ... apa pun hal buruk yang orang bilang tentang kamu. Bagiku kamu tetap suami terbaik di mataku."Fariz benar-benar kehilangan kata setelah mendengar semua penjelasan Betrand tentang apa yang dia dan Suci lakukan selama dua pekan terakhir ini. Fariz nyaris tak percaya, ternyata kala sang istri tak ada di sampingnya, Suci justru tengah memperjuangkan hak dan keadilan untuknya. Sementara dia malah menghabiskan waktu dengan meratapi nasib, sampai makan tak berselera, dunia terlihat tak lagi sama, hingga menggalau dengan membabibuta. Seketika rasa malu dan kagum berkecamuk menjadi satu. Tak ada yang lebih Fariz syukuri, selain memperistri seorang Suci Puspitasari. Dunianya tak lagi sama saat perempuan ini hadir dalam hidupnya. Dia mampu mengubah apa yang sebelumnya tak pernah bisa diubah. Dia bisa melelehkan bongkahan es yang mulanya sulit untuk mencair. Dia juga mampu merobohkan benteng kokoh yang bahkan tak bisa orang lain seberangi. Semua medan terjal yang harus dilewati, seolah Far
"Jadi, sekarang ceritanya kita reuni, nih?" Husein kembali membuka percakapan yang sempat terjeda acara makan. Di ruang tamu hanya tersisa dirinya, Fariz, dan Ali. "Elu aja kali. Gue mah udah eneg liat muka Si Ali," cetus Fariz sembari menyambar tusuk gigi. "Hahaha ... nggak nyangka, ya. Padahal dulu ente pernah nebak kalau jodohnya Si Ali nggak bakal jauh dari anak Sultan pemuja mantu idaman, biar nantinya bisa dibangga-banggakan. Terus ana pernah minta ente bayangin gimana kalau seandainya suatu saat nanti kalian beneran iparan. Padahal ente udah bilang imit-imit waktu itu. Eh, nggak tahunya malah keturutan." Tawa Husein meledak. Dia terbahak-bahak sembari memukuli paha Fariz yang terlihat begitu kesal. "Nggak usah dibahas. Gue masih ngenes kalau inget itu." Fariz melirik Ali yang hanya bisa tersenyum kecil menanggapi. "Sama halnya dengan takdir dan maut. Jodoh emang misteri illahi. Ana juga nggak pernah nyangka ente akhirnya bisa dapetin Suci." Tawa Husein mereda, dia tersenyum
Suasana di Lumajang tak pernah terasa seramai sekarang, tak setenang tahun-tahun belakangan. Rumah yang hanya dihuni tak lebih dari tiga orang tanpa kerabat itu selalu terlihat sama setiap harinya. Hampir dua puluh sembilan tahun tinggal, Suci mulai merasakan perbedaan yang sangat signifikan, saat keluarga dan teman dekat sang suami datang. Keheningan dan ketenangan yang selalu menjadi hal yang membosankan, tak lagi terasa ketika dua keluarga disatukan dalam sebuah ikrar pernikahan. Kehangatan yang dulu samar dirasakan, kini mulai nyata adanya. Bukan hanya dia yang merasakan, tetapi orang-orang di sekelilingnya juga. Betapa seorang Fariz Darmawan berhasil membawa perubahan yang sangat besar dalam hidup Suci Puspitasari. Sepekan hampir berlalu sejak kedatangan rombongan keluarga Fariz dari Jakarta. Berawal dari niat untuk meluruskan kesalahpahaman, ujungnya justru semakin mempererat silaturahmi antar keluarga besan, dengan menghabiskan waktu dalam berbagai kesempatan kebersamaan yang
"Mas, Ci! Bisa kita ngobrol sebentar?!" Panggilan Ali menginterupsi Fariz dan Suci yang baru saja hendak bergabung dengan yang lain setibanya di lokasi. Di sebelahnya terlihat Farah mengangguk, tanda menyetujui.Pasangan suami istri itu berpandangan. Kemudian mengangguk bersamaan. Mereka berempat pun masuk ke dalam masjid dan memutuskan untuk mengobrol di dalam. Setibanya di dalam. Fariz berhadapan dengan Ali, sementara Suci dengan Farah. Keduanya sempat saling melempar pandang sebelum memulai percakapan. "Karena Suci memutuskan untuk melahirkan di Lumajang, dan hari ini kita semua pulang. Saya hanya ingin meluruskan apa yang sempat terjadi, agar tak ada lagi kesalahanpahaman di antara kita." Ali sempat menghela napas panjang, sebelum melanjutkan. "Dengan tulus saya minta maaf pada kalian berdua atas semua yang pernah terjadi. Mau itu disengaja atau pun tidak. Berbulan-bulan ini saya banyak merenung dan interopeksi. Sadar bahwa ilmu yang saya miliki lebih mudah diterapkan pada orang
Saat keempat orang itu kembali, Bobby dan Sherly sudah menunggu di depan halaman. Keduanya terlihat sudah bersiap untuk pergi. "Ada apa?" tanya Fariz langsung ke inti. "Didip sama Febri, Riz!" cetus Sherly."Hah, gimana? Ngapain mereka nyusulin ke mari?""Bukan ke mari, tapi ke kantor polisi," sahut Bobby. "Siapa yang laporin?""Aku," timpal Suci. Semua orang menatap ke arah yang sama. "Tepatnya mereka datang memenuhi panggilan sebagai saksi," ujar Suci. "Tapi, kasus Fariz seharusnya diusut di Jakarta, kan? Bukan Surabaya?" Sherly kembali menimpali. "Bukan cuma kasus Mas Fariz, tapi kasus Ferry yang kembali dibuka setelah tujuh tahun lamanya. Aku udah minta pihak kepolisian sektor Jakarta dan Surabaya kerja sama, karena kedua kasus ini berkaitan.""Bukannya percuma kalau cuma melibatkan saksi, tapi tersangka utamanya masih buron di luar sana," tambah Bobby. "Aku kenal Bang Didip, begitu juga Lola. Kalau mereka datang sama-sama udah pasti Lola akhirnya nyerahin diri!"***"Tern
"Kenapa kamu lebih milih ngelahirin di Lumajang?" Fariz menumpukkan dagunya di salah satu bahu Suci. Tak terasa hari ini bertepatan dengan tujuh bulan usia kandungan Suci dan akan dilaksanakannya syukuran. Keluarga dari Jakarta baru datang esok hari, karena satu dan lain hal yang tak bisa ditinggal. Suci tertegun menatap wajan di mana beberapa potong tahu dan tempe tengah digoreng hingga berwarna kekuningan. Sejak Suci memutuskan untuk menghabiskan waktu kehamilan di tanah kelahiran, mereka menempati salah satu rumah kontrakan Pak Ahmad. Ini adalah bulan ketiga mereka tinggal. Kesibukan Fariz di desa istrinya pun tak lepas dari berkebun, mengolah tanaman, sesekali main ke bengkel salah satu kenalan di daerah yang sama. Sementara doorsmeer dan Toko Onderdil Fariz percayakan sepenuhnya pada teman-temannya. Setiap bulan dia hanya menerima laporan serta transferan. Persidangan tentang kasus Fitnah dan Ferry yang melibatkan Lola masih berjalan sampai sekarang. Pihak berwenang masih belu
"Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam
DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat
Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang
Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me
"Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini
Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu
Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me
Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz
Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"