"Kenapa kamu lebih milih ngelahirin di Lumajang?" Fariz menumpukkan dagunya di salah satu bahu Suci. Tak terasa hari ini bertepatan dengan tujuh bulan usia kandungan Suci dan akan dilaksanakannya syukuran. Keluarga dari Jakarta baru datang esok hari, karena satu dan lain hal yang tak bisa ditinggal. Suci tertegun menatap wajan di mana beberapa potong tahu dan tempe tengah digoreng hingga berwarna kekuningan. Sejak Suci memutuskan untuk menghabiskan waktu kehamilan di tanah kelahiran, mereka menempati salah satu rumah kontrakan Pak Ahmad. Ini adalah bulan ketiga mereka tinggal. Kesibukan Fariz di desa istrinya pun tak lepas dari berkebun, mengolah tanaman, sesekali main ke bengkel salah satu kenalan di daerah yang sama. Sementara doorsmeer dan Toko Onderdil Fariz percayakan sepenuhnya pada teman-temannya. Setiap bulan dia hanya menerima laporan serta transferan. Persidangan tentang kasus Fitnah dan Ferry yang melibatkan Lola masih berjalan sampai sekarang. Pihak berwenang masih belu
Tunggang-langgang langkah Fariz saat berjalan dari parkiran menuju rumah sakit di mana sang istri dirawat. Bidan terdekat yang saat itu menangani Suci dari mulai awal kehamilan sampai mengabarkan bahwa tumor jinak yang sudah diangkat kembali berkembang dalam rahim seiring perkembangan janin, langsung membuat surat rujukan saat mengetahui proses melahirkan tak bisa dilakukan secara normal, dengan nyawa yang dipertaruhkan.Seketika dunia di sekelilingnya berhenti berjalan. Harapan yang berkian tahun dia gantungkan nyaris karam ditelan ombak kenyataan. Fariz nyaris tak percaya di tengah semua cobaan yang ada, dia kembali dihadapkan dengan ujian yang sebenar-benarnya. Ketika kehidupan dan kematian hanya terhalang sehelai benang tipis yang membentang. Tentu tak berlebihan bila dia mengatakan bahwa Suci segalanya baginya. Butuh waktu lebih dari lima belas tahun agar perempuan itu ada dalam genggamannya. Namun, hanya kurang dari setahun Allah mampu membawanya. Dia tak yakin apakah sanggup
Lima tahun kemudian ...."Pak! Pak! Bapak!"Di atas ranjang king size itu Fariz menggeliat, matanya terbuka perlahan mencoba menyesuaikan cahaya yang ada, saat tubuhnya diguncang pelan oleh seseorang."Jam berapa ini?" Suaranya terdengar parau saat mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. "Setengah tujuh, Bapak!" pekik bocah yang ini tepat berusia lima tahun itu sembari menepis tangan Fariz yang meraba-raba ranjang, hingga ke sisi meja. "Astagfirullah." Barulah saat itu dia terlonjak bangun. "Celana bapak mana? Sarung mana?"Bocah yang hampir mewarisi seluruh paras dan sifat Fariz itu memutar bola mata, kemudian menunjuk bagian bawah ranjang orang tuanya."Kenapa, sih tiap tidur Bapak nggak pernah pake celana?" tanyanya polos. "Biar gampang. Nanti udah gede lu juga ngerti, Qih!"Bocah tampan bernama lengkap Faqih Malik Dermawan itu memutar bola mata saat melihat bapaknya yang hanya mengenakan celana dalam, meraih sarung dan melingkarkannya dengan asal. "Udah, sekara
"Pak!" Panggilan Faqih menarik Fariz dari lamunan. Lelaki itu tersenyum, lalu mengusap kepala Faqih."Tapi, akhirnya Allah berkehendak lain. Nggak ada vonis dokter yang mampu menandingi kuasa-Nya. Mungkin bapak emang nggak pernah menunjukkannya langsung di hadapan kamu. Tapi, kamu harus percaya kalau kasih sayang bapak sama kamu sama besarnya dengan ibu, walaupun kamu seringkali bikin bapak cemburu."Bibir mungil itu masih bergetar, walaupun Fariz sudah meyakinkan bahwa kehadirannya tak pernah dia sesali setelah apa yang terjadi. "Jadi, bapak nggak benci sama Faqih?"Fariz terkekeh. "Nggaklah. Ngapain benci?""Walaupun gara-gara Faqih ibuk nggak bisa hamil lagi?"Fariz tersenyum. Dia mengulurkan tangan, lalu mengacak rambut putranya. "Kamu sama ibumu aja udah lebih dari cukup."Bocah itu tersenyum, lalu memeluk erat bapaknya. "Dah, ah. Sekarang bapak mau masak telor, kamu cuci piring, ya!"Faqih mengangguk mantap. "Pak!""Ya?" Fariz menoleh, sebelum beranjak ke dapur. "Cucian y
"Bapak bawa motornya pelan banget, katanya mantan pembalap. Lebih enak juga dianter ibuk.""Ye nih anak. Lambat asal selamat, daripada cepet nyampenya ke akherat.""Ya udah masuk SD nanti Faqih minta motor, biar bisa berangkat sendiri.""Astagfirullah, Tong. Kagak sekalian aja lu minta helikopter? Emak nggak ada lu makin ngelunjak, yak!""Tauk, ah. Ibuk kapan pulang, sih? Bi Narti juga pake pulang kampung segala. Udah tiga hari makan sama telor mulu, kalau Faqih bisulan Bapak yang salah, ya!""Ebusyet, nih anak. Pan saban hari bapak udah nawarin makan di luar, lu-nya aja yang nggak mau.""Bapak, makan di luar itu nggak sehat. Kita nggak tahu apa yang orang olah buat jadi masakan. Enakan juga masakan ibuk yang langsung diolah dari kebun sendiri. Makanya Faqih lebih suka bekal daripada jajan.""Dih, makin lama lu makin mirip emak, ya, Qih! Perasaan bapak saban hari makan sembarangan, sehat-sehat aja, tuh.""Tapi, pikunan, kan?""Astagfirullah, nih anak.""Belum aja Faqih bilang ke ibuk
Sarapan pagi ini tak terasa seperti pagi-pagi sebelumnya. Terjadi keheningan yang mencekam dan rasa canggung berlebihan setelah Fariz dan Suci menyadari bahwa di rumah ini bukan hanya ada mereka dan Faqih yang lelap di kamar, melainkan dua mertua yang juga menginap semalam. Pasangan suami istri itu saling sikut, kemudian beradu pandang ketika tak satu pun dari keempatnya memulai percakapan."Sepi banget kayak di kuburan," celetuk Faqih akhirnya, sembari memasukan suapan pertama nasi goreng buatan neneknya. "Heh, makan, kan emang nggak boleh sambil berisik," sahut Fariz."Biasa juga Bapak bawel minta ini-itu. Tumben hari diem-dieman. Lagi musuhan?""Faqih!" Suci mengingatkan, seraya melempar tatapan tajam. Namun, bocah lima tahun itu tak mengindahkan dan malah beralih pada kakek dan neneknya yang duduk tepat di hadapan. "Nenek sama kakek nyenyak, kan tidur semalem?"Pak Jamal dan Bu Nurul berpandangan. "Se-sebenernya--uhuk!" Buru-buru Bu Nurul menyikut perut suaminya yang nyaris k
"Udah!" Suci merentangkan sebelah tangan, tetapi Faqih tak mengindahkan. "Anduk sering ketinggalan, keluar kamar mandi basah-basahan.""Udah." Dari pelipis tangan Suci turun ke tulang hidung. "Cucian kotor ditumpuk atas sofa, handuk basah di atas kasur.""Faqih." Suara Suci masih terdengar lembut. "Bekas snack dilelepin di kolong kursi, TV nyala sampe pagi.""Cukup!"Faqih dan Fariz terlonjak. Lalu bergeming setelahnya. Suci beralih pada Fariz yang tertunduk dalam. "Aku tahu kamu nggak sampe sejorok itu, Mas. Jelasin sama aku apa alasannya kamu ajarin Faqih hal yang nggak baik?""Ng--""Upaya pemberontakan, Buk," sahut Faqih cepat. "Apa?" Suci beralih. "Ya, Bapak ngambek sama Ibuk, karena ditinggal," tambahnya. Fariz mengepalkan tangan, lalu bergumam. "Sial, comel banget, nih, Bocah!""Faqih pernah mergokin Bapak tidur pake salah satu daster Ibuk!""Heh!" Fariz melotot. "Mau telepon, tapi gengsi.""Qih.""Seminggu rasa setahun.""Faqih!""Kangen, tapi nggak mau bilang. Lemah!
"Faqih! Bekelnya ketinggalan, Le!" Suci lari tergopoh-gopoh dari dalam dapur mengejar anaknya yang sudah berjalan keluar. "Faqih sama anak-anak udah janjian makan di Mekdi, Bu," ucap anak laki-laki itu begitu sang ibu berdiri di hadapannya. Faqih mengusap tengkuk. Hati-hati ucapannya agak tak menyinggung Suci. "Loh?" Dahi Suci berkerut. Bingung sendiri. Dia mulai bertanya-tanya apa yang salah di sini. "Dahlah, Bu. Dia udah naik kelas sembilan sekarang, mana mau bawa bekal yang kotaknya gambar eron men." Fariz menimpali. Duduk di teras sembari membawa koran adalah kebiasaan bapak satu anak itu di akhir pekan. "Tapi, kan dulu dia suka banget karakter ini," sanggah Suci. Sorot matanya meredup. Ada haru sekaligus pilu, mengingat beberapa tahun lalu anak lelakinya ini selalu memilih masakannya dibanding jajan di tempat makan siap saji manapun, bahkan kantin sekolahnya. "Ya, itu, kan dulu. Waktu pipisnya belon lurus," timbal Fariz lagi, pandangannya masih fokus menatap koran, dengan ka
"Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam
DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat
Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang
Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me
"Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini
Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu
Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me
Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz
Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"