"Temen lu masih lama?" Mas Fariz mondar-mandir di depan mobil. Sesekali dia melirik jam yang melingkar bersama dengan gelang kayu yang tak pernah lepas dari tangannya.Sudah sepuluh menit kami menunggu Lola di depan mini market pinggir jalan. Namun, ibu anak satu itu masih tak kunjung datang. Apalagi Mas Fariz tak mau pergi sebelum sahabat dekatku itu datang. Katanya dia khawatir meninggalkanku sendiri, padahal ini jalanan yang ramai, dekat pusat perbelanjaan juga. Tapi, dia masih juga ngotot kalau Jakarta itu berbahaya di mana pun tempatnya."Ah, itu dia!" Tak lama sebuah mobil Sedan merah berhenti di samping mobil kami. Lola keluar dengan heboh seperti biasanya."Sorry, sorry, sorry banget, Bestie!" Dia menggenggam tanganku. "Tadi Bapaknya Si Arka nggak mau ditinggal."Aku mengernyitkan dahi."Bapaknya?""Elah, kamu kek nggak tahu aja Betrand gimana."Aku meringis kecil."Kalau gitu gue pergi dulu, ya, Ci!" Mas Fariz tiba-tiba menginterupsi."Oh, iya, Mas. Hati-hati." Dia mengangguk
Kami sampai di rumah tepat saat Adzan Maghrib berkumandang. Mas Fariz memasukan motor yang ternyata milik Tebe itu ke garasi, sebelum merangkulku masuk ke dalam."Om Faiiiz!" Baru saja menginjakkan kaki ke dalam, suara bocah laki-laki berumur tiga tahunan menginterupsi kami.Dia menerjang tubuh Mas Fariz dan mengulurkan kedua tangan minta digendong."Heh, siapa yang bawa, nih tuyul ke mari?" Mas Fariz tampak mengedarkan pandangan menyisir sekitar."Ali yang bawa Hafiz, tapi habis itu dia langsung pamit pulang lagi," sahut Mama sembari berjalan menghampiri kami. "Dia kangen kamu katanya.""Uluh, uluh ... siapa yang kangen Om?Siapa anak tuyul?" Tanpa sadar senyumku tersungging saat melihat kedekatan Mas Fariz dan keponakannya. Ternyata bukan tanpa alasan dia mengharap segera hadirnya momongan. Mengingat lelaki ini bisa dibilang cukup menyukai anak-anak. Buktinya Hafiz datang jauh-jauh, karena merindukan sosoknya."Mau nginep atau dijemput lagi?" tanya Mas Fariz pada Hafiz, sembari men
"Kalian nggak polosan, kan? Pake baju, kan? Mama tutup mata Hafiz nih. Buruan!" Suara Mama masih terdengar."Aaargh!" Mas Fariz mengerang frustrasi. Dia bangkit meski enggan, lalu berjalan menuju pintu.Sementara aku hanya bisa duduk membeku, sembari mengaitkan kembali satu kancing piama yang sempat terbuka."Apa, sih, Ma?!" sentaknya sembari membuka pintu."Kan, kan, uring-uringan. Ya, maaf kalau kita ganggu. Habis nih bocah ngerengek mulu pengen ketemu kamu.""Om Faiiiz." Suara Hafiz terdengar. Lirih dan dalam, seperti menahan tangis.Mas Fariz menghela napas panjang. Dia menyisir rambutnya sejenak."Ya udah. Sini masuk!" Diulurkannya tangan yang langsung Hafiz genggam. Melihat wajah polos bocah berumur tiga setengah tahun itu Mas Fariz langsung melunak. Dia membawa Hafiz menghampiriku."Maaf ganggu, ya, Ci. Cuma hari ini aja, kok. Besok dia pulang." Mama melongokkan kepala di antara celah pintu. Tersenyum sungkan."Iya, nggak apa-apa, kok, Ma!" Aku membalas senyumnya. Perlahan Mama
Kami tiba di Tangerang Selatan, tepatnya salah satu perumahan yang sudah ditinggali Mas Ali dan Farah sejak lima tahun lalu. Mobil yang Mas Fariz kendarai berhenti di depan halaman rumah tingkat dua dengan gerbang setinggi tiga meter.Seorang asisten rumah tangga membantu menbukakan gerbang. Sementara Farah muncul dari balik pintu, tampak kepayahan dengan perutnya yang sudah membesar."Umiii ...!" Hafiz yang baru saja turun langsung berlari menerjang tubuh Farah. Aku mengekor di belakang, sementara Mas Fariz membantu asisten rumah tangga Farah menurunkan barang bawaan. "Maaf ngerepotin, ya, Mbak. Nggak tahu ada angin apa dia tiba-tiba pengen nginep sama Omnya. Mas Ali bahkan sampe kewalahan nanganinnya." Farah menggenggam tanganku, kentara sekali dia sungkan dan tak enak, karena Hafiz."Nggak apa-apa, santai aja, Far. Kayak ke siapa aja." Aku tersenyum lebar, meski terkesan dipaksakan. Entah kenapa masih ada yang berontak dalam diri saat mengetahui fakta bahwa lima tahun kulewati den
"Ada apa, nih ribut-ribut?" Mas Fariz tiba-tiba datang.Entah kenapa aku bersyukur kehadirannya seketika meleyapkan atmosfir suram yang sempat tercipta di antara kita bertiga."Nggak ada," ucap Mas Ali sembari menatapnya datar. "Ngomong-ngomong makasih udah anterin Hafiz dan bantu bawa barang-barangnya. Kalau dirasa sibuk, kalian bisa pergi lagi!" tambahnya kemudian."Lu ngusir kita?" Mas Faris mulai ngegas."Saya nggak bermaksud kayak gitu. Mungkin Mas Fariznya aja yang ngerasa," balas Mas Ali masih dengan nada yang sama datarnya. Hal itu jelas membuat Mas Fariz semakin terpancing."Kelakuan lu makin lama, makin menggemaskan kepalan tangan aja, ya, Li." Dia mulai meradang. "Mau yang sebelah mana? Kanan atau kiri?" Mas Fariz mulai mengepalkan tangannya."Nggak dua-duanya.""Anj--""Mas!""Fariz!"Suara kami serempak memanggil orang yang sama. Namun, semuanya kalah dengan suara Papa yang jauh lebih lantang dan menggema.Pria patuh baya yang terlihat sangat berwibawa dengan tubuh tinggi
Mas Fariz melengos, menghampiri sekumpulan orang yang sejak tadi hening memerhatikan. Dia salami orangtua Mas Ali, lalu adik laki-lakinya yang kuketahui dulu baru masuk SMP, sepertinya sekarang Thoriq--adik laki-lakinya Mas Ali itu sudah menginjak akhir sekolah menengah. Waktu memang berlalu begitu cepat. Memang banyak yang terjadi lima tahun terakhir ini. Bahkan yang sebelumnya dekat, bisa tersekat. Sebelumnya akrab, bisa jadi pura-pura tak saling kenal. Kadang hidup memang selucu itu.Aku mengikuti di belakang. Sembari membatin mengagumi attitude Mas Fariz yang tak perlu diragukan. Bagaimana pun hubungannya dan Mas Ali, dia masih bisa begitu sopan pada orangtuanya."Bu!" Aku mencium tangan Hj. Risma. Wanita paruh baya berjilbab lebar yang hampir menjadi mentuaku itu hanya tersenyum tipis, nyaris meringis."Ci!" Hanya itu kata yang keluar. Mungkin bingung harus menyapaku bagaimana. Mengingat apa yang pernah terjadi di antara aku dan anaknya.Mereka bertingkah persis seperti Mas Ali,
Setelah menginap sehari semalam, bersama dengan anggota keluarga yang lain. Tepatnya pagi ini acara syukuran tujuh bulanan Farah akan segera dilaksanakan. Masih di dalam kamar yang sama, aku dan Mas Fariz tengah bersiap-siap. Berdandan seadanya agar terlihat lebih rapi dan enak dipandang. Sementara di luar sudah terdengar suara seseorang tengah mengecek sound melalui microfoon, mengingat beberapa tamu undangan satu per satu mulai berdatangan."Kemarin malem Bobby nganterin apa, Mas? Kayaknya dia ngomel-ngomel sepanjang obrolan kalian." Aku bertanya saat Mas Faris tengah berdiri di depan cermin yang menempel di lemari hanya dengan handuk yang melingkar di pinggang, hingga menutup bagian bawah tubuhnya. Dia terlihat tengah menata rambut gondrongnya agar terlihat rapi diikat menggunakan gel. "Dia nganterin baju kita, Ci. Noh, udah gue simpen di lemari ini. Ambil, gih, terus langsung pake!" jawabnya masih dengan pandangan yang belum beralih dari cermin di hadapan. Dia hanya menatap pantu
Berbagai kecamuk perasaan benar-benar kurasakan selama dua bulan terakhir, sejak pernikahan pertama kali dilakukan dalam keadaan hati yang benar-benar berantakan. Selama menjadi istri Seorang Fariz Darmawan aku merasakan bagaimana diperlakukan spesial, dituruti segala kemauan, bahkan dimanjakan kapan pun ada kesempatan.Tak pernah lelah dia bertanya, apa aku nyaman? Apa Mama dan Papa memperlakukanku dengan baik? Atau ada sesuatu yang membuatku tertekan?Sepanjang dua bulan, tiap pulang kerja dia selalu menanyakan hal yang sama. Bahkan dengan limpahan perhatiannya aku lupa bagaimana rasanya kekurangan.Dia sangat sabar, pengertian, dan tak henti menyemangati saat aku merasa kecewa bahwa usaha yang sudah kami lakukan selama dua bulan terakhir masih belum juga berbuah manis, saat test pack yang beberapa kali kugunakan masih menunjukkan hasil yang sama. Negatif. Ternyata Allah masih menguji kesabaran kita dalam penantian menunggu sang buah hati datang."Packingnya udah selesai, Ci?" Kepa