"Ada apa, nih ribut-ribut?" Mas Fariz tiba-tiba datang.Entah kenapa aku bersyukur kehadirannya seketika meleyapkan atmosfir suram yang sempat tercipta di antara kita bertiga."Nggak ada," ucap Mas Ali sembari menatapnya datar. "Ngomong-ngomong makasih udah anterin Hafiz dan bantu bawa barang-barangnya. Kalau dirasa sibuk, kalian bisa pergi lagi!" tambahnya kemudian."Lu ngusir kita?" Mas Faris mulai ngegas."Saya nggak bermaksud kayak gitu. Mungkin Mas Fariznya aja yang ngerasa," balas Mas Ali masih dengan nada yang sama datarnya. Hal itu jelas membuat Mas Fariz semakin terpancing."Kelakuan lu makin lama, makin menggemaskan kepalan tangan aja, ya, Li." Dia mulai meradang. "Mau yang sebelah mana? Kanan atau kiri?" Mas Fariz mulai mengepalkan tangannya."Nggak dua-duanya.""Anj--""Mas!""Fariz!"Suara kami serempak memanggil orang yang sama. Namun, semuanya kalah dengan suara Papa yang jauh lebih lantang dan menggema.Pria patuh baya yang terlihat sangat berwibawa dengan tubuh tinggi
Mas Fariz melengos, menghampiri sekumpulan orang yang sejak tadi hening memerhatikan. Dia salami orangtua Mas Ali, lalu adik laki-lakinya yang kuketahui dulu baru masuk SMP, sepertinya sekarang Thoriq--adik laki-lakinya Mas Ali itu sudah menginjak akhir sekolah menengah. Waktu memang berlalu begitu cepat. Memang banyak yang terjadi lima tahun terakhir ini. Bahkan yang sebelumnya dekat, bisa tersekat. Sebelumnya akrab, bisa jadi pura-pura tak saling kenal. Kadang hidup memang selucu itu.Aku mengikuti di belakang. Sembari membatin mengagumi attitude Mas Fariz yang tak perlu diragukan. Bagaimana pun hubungannya dan Mas Ali, dia masih bisa begitu sopan pada orangtuanya."Bu!" Aku mencium tangan Hj. Risma. Wanita paruh baya berjilbab lebar yang hampir menjadi mentuaku itu hanya tersenyum tipis, nyaris meringis."Ci!" Hanya itu kata yang keluar. Mungkin bingung harus menyapaku bagaimana. Mengingat apa yang pernah terjadi di antara aku dan anaknya.Mereka bertingkah persis seperti Mas Ali,
Setelah menginap sehari semalam, bersama dengan anggota keluarga yang lain. Tepatnya pagi ini acara syukuran tujuh bulanan Farah akan segera dilaksanakan. Masih di dalam kamar yang sama, aku dan Mas Fariz tengah bersiap-siap. Berdandan seadanya agar terlihat lebih rapi dan enak dipandang. Sementara di luar sudah terdengar suara seseorang tengah mengecek sound melalui microfoon, mengingat beberapa tamu undangan satu per satu mulai berdatangan."Kemarin malem Bobby nganterin apa, Mas? Kayaknya dia ngomel-ngomel sepanjang obrolan kalian." Aku bertanya saat Mas Faris tengah berdiri di depan cermin yang menempel di lemari hanya dengan handuk yang melingkar di pinggang, hingga menutup bagian bawah tubuhnya. Dia terlihat tengah menata rambut gondrongnya agar terlihat rapi diikat menggunakan gel. "Dia nganterin baju kita, Ci. Noh, udah gue simpen di lemari ini. Ambil, gih, terus langsung pake!" jawabnya masih dengan pandangan yang belum beralih dari cermin di hadapan. Dia hanya menatap pantu
Berbagai kecamuk perasaan benar-benar kurasakan selama dua bulan terakhir, sejak pernikahan pertama kali dilakukan dalam keadaan hati yang benar-benar berantakan. Selama menjadi istri Seorang Fariz Darmawan aku merasakan bagaimana diperlakukan spesial, dituruti segala kemauan, bahkan dimanjakan kapan pun ada kesempatan.Tak pernah lelah dia bertanya, apa aku nyaman? Apa Mama dan Papa memperlakukanku dengan baik? Atau ada sesuatu yang membuatku tertekan?Sepanjang dua bulan, tiap pulang kerja dia selalu menanyakan hal yang sama. Bahkan dengan limpahan perhatiannya aku lupa bagaimana rasanya kekurangan.Dia sangat sabar, pengertian, dan tak henti menyemangati saat aku merasa kecewa bahwa usaha yang sudah kami lakukan selama dua bulan terakhir masih belum juga berbuah manis, saat test pack yang beberapa kali kugunakan masih menunjukkan hasil yang sama. Negatif. Ternyata Allah masih menguji kesabaran kita dalam penantian menunggu sang buah hati datang."Packingnya udah selesai, Ci?" Kepa
Kami tiba di Bandara Juanda Surabaya setelah menempuh kurang lebih satu jam dua puluh menit melalui perjalanan udara. Di lokasi jemputan, sudah terdapat taksi yang akan mengantar kami langsung ke Lumajang. Rupanya tanpa sepengetahuanku Mas Faris sudah lebih dulu menyiapkan kendaraan jemputan yang dia pesan melalui aplikasi online.Karena acara pulang kampung mendadak ini sama sekali tak kami persiapkan. Walhasil, aku dan Mas Fariz hanya membawa satu koper ukuran sedang yang isinya barang kami berdua.Sepanjang perjalanan genggaman tanganku tak pernah Mas Fariz lepas. Sampai tangan kami berkeringat dan memerah pun dia seolah tak peduli selama memastikan hal itu cukup mampu untuk membuatku tenang.Perjalanan dua setengah jam pun kami lalui, melewati jalan Probolinggo-Wonorejo, hingga kami sampai di lokasi Rumah Sakit di mana Bapak dirawat."Minum dulu!" Mas Fariz menyodorkan botol air mineral yang sudah dia buka ke hadapanku, saat kami sampai di dalam lift menuju lantai lima.Tanpa kat
"Jadi, sekarang di mana mesinnya? Biar gue liat." Mas Fariz bertanya selepas kami menunaikan sholat Ashar di rumah. Setelah tahu tujuan baik menantunya untuk membantu, Ibu langsung meminta kami pulang lebih dulu agar bisa istirahat, sebelum besoknya disibukkan dengan segala kegiatan panen."Ada di gudang belakang. Mesinnya udah dua tahun nggak dipake, nggak tahu rusak apanya. Mau dibawa ke bengkel juga bingung. Soalnya nggak ada yang ngerti mesin kayak gitu di daerah sini. Padahal kalau pake Combine harvester (mesin panen multifungsi) mungkin bisa lebih cepet," tuturku sembari melipat mukena, lalu mengenakan jilbab instan yang tersedia."Bisa minta tolong tunjukkin?" pinta Mas Fariz.Aku mengangguk, lalu bangkit lebih dulu. Setelah mengganti sarung dengan celana panjang dia berjalan mengekori, hingga kami sampai di gudang belakang rumah. Tempat peralatan pertanian dan barang-barang Bapak biasa disimpan."Ini!" Kusibak terpal besar yang semula menutupi mesin seukuran mobil pikap terse
Menjelang Maghrib aku kembali, tak ada lagi suara besi yang ditalu, ataupun segala macam bunyi yang sebelumnya terdengar di gudang ini. Kulihat di atas sofa yang bahkan tak cukup untuk menambung tubuhnya, Mas Fariz terbaring. Lelap dia tidur meski di dalam tempat seperti ini. Setelah memindai seisi ruangan aku tak bisa menemukan Doni, sepertinya bocah itu sudah kembali. Yang tersisa dari keduanya hanya piring yang berisi kulit ubi, dengan dua cangkir yang sudah tergeletak, serta air teh hangat yang semula kusajikan hanya menyisakan ampasnya.Aku berjalan menghampiri. Lalu berjongkok menyejajar tubuh tepat menghadap kepalanya. Sudah hampir waktu Maghrib, tapi aku benar-benar tak tega membangunkannya. Mas Fariz terlihat begitu lelah saat ini.Entah dorongan dari mana tanganku tiba-tiba bergerak impulsif menuju wajahnya. Menelusuri mulai dari dahi, hidung, sampai rahang tegasnya yang dipenuhi jambang.Sejauh apa pun ditelusuri, sedalam apa pun diselami, aku benar-benar nyaris tak bisa me
Setelah melewati berbagai macam perdebatan dan Bobby puas melampiaskan kekesalan sepanjang perjalanan. Akhirnya dia dan yang lainnya pasrah saat kami sampai di hamparan sawah milik keluarga yang terbentang seluas satu hektare. Jaket yang semula dikenakan kini sudah mereka tanggalkan hingga hanya menyisakan kaus dalam.Tubuh mereka yang rata-rata sekekar Mas Fariz dan juga bertato, jelas menjadi pusat perhatian seisi kampung. Banyak yang dengan sengaja mengikuti hanya karena penasaran apa yang akan dilakukan para lelaki berwajah sangar ini. Mereka mungkin tak percaya kalau setelahnya kelima orang yang diketuai suamiku itu langsung terjun ke sawah."Seumur-umur gue idup di dunia, baru kali ini ngerasain nginjek sawah," cetus Bobby."Daripada nginjek taik!" celetuk Mas Fariz yang membuat Bobby refleks menoyor kepalanya.Dia yang seolah tak peduli, melanjutkan lagi. "Dahlah, terima aja, itung-itung rekreasi," tambahnya sembari merangkul bahu Bobby."Rekreasi gundul, lo!" sentak Bobby emos
"Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam
DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat
Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang
Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me
"Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini
Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu
Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me
Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz
Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"