"Ngapain nyusulin ke mari?!" pekik Mas Fariz saat melihatku menghampiri ke Kali sembari memeluk handuk kering yang dibawa dari rumah.Tergesa-gesa dia naik ke permukaan, setelah meraih kausnya yang nyaris hanyut tadi. Aku menghela napas saat melihat Doni yang semula sempat menggantikan mengangkat telepon sudah ikut terjun, berenang di dalam air Kali yang kebetulan arusnya memang tenang dan lumayan dangkal itu. Dua temannya yang lain juga melakukan hal yang sama. Hanya dengan celana boxer yang melekat mereka melompat dari batu ke batu, menyusuri sekitaran Kali yang biasa digunakan untuk tempat mancing ini."Doni bilang kamu nyebur, aku kira kelelep, makanya buru-buru aja ke sini," cetusku sembari menutupi kepalanya yang basah dengan handuk.Selesai menggosok rambut dan wajahnya, Mas Fariz langsung menatapku sembari menggigit bibir menahan tawa."Badan segede gini? Kelelep?" Dia membalikkan pertanyaan."Emang Gajah nggak akan kelelep kalau nyebur ke Kali?" Tak mah kalah, aku membalasnya
"Seumur-umur Bapak mancing di Kali, nggak pernah, tuh dapet Iwak atau Gurame sebesar ini. Hebat kamu, Riz." Pujian Bapak menjadi pembuka acara makan bersama kami sore ini.Aku yang tahu kebenarannya hanya bisa menoleh pada Mas Fariz yang tertunduk sembari mengusap tengkuk.Bapak tak tahu saja kalau Gurame yang beliau makan sebenarnya dapat beli dari Bu'de Wiwik, sementara hasil tangkapan Mas Fariz dan anak-anak tadi, sudah mereka lepas lagi."Ng, nganu, Pak. Sebenernya itu Gurame dapet beli dari Bu'denya Si Dodon, hasil mancing udah kita lepasin lagi."Aku tersenyum. Sudah kuduga Mas Fariz tak mungkin berbohong hanya untuk menyenangkan Bapak."Loh, kenapa dilepas lagi, to, Riz?" Kini, Ibu yang menimpali."Fariz kesenengan pas Suci nelepon kalau dia udah isi," akunya dengan telinga yang sudah memerah.Bapak dan Ibu berpandangan, setelahnya mereka menatapku."Oalah, ternyata ini penyebabnya." Aku menunduk dengan wajah yang sudah terasa menghangat."Kapan kalian mau chek up buat mastiin?
"Jangan nangis, gue cuma keseleo doang, kok. Nggak sampe patah tul--aw, aw, aw!" Kupukul lengannya yang diperban berkali-kali."Makanya jangan pecicilan jadi orang! Sehari aja anteng bisa nggak, sih, Mas? Hobi bener bikin orang jantungan!"Kuseka air mata dengan kasar, lalu kembali memukul kaki dan lengannya.Demi Tuhan saat Doni mengatakan bahwa Mas Fariz kecelakaan tadi, jantungku serasa pindah ke dengkul. Kaget bukan main. Namun, saat bocah itu menjelaskan kalau kecelakaannya melibatkan gedebong pisang ... seketika kekhawatiranku telah berubah menjadi dongkol."Kamu tahu nggak gimana takut dan kagetnya aku saat Doni bilang kamu kecelakaan? Hampir aja anak kita brojol sebelum waktunya! Mananabrak gedebong pisang doang pake pingsan lagi, malu-maluin!" pekikku sembari menumpahkan tangis yang tak bisa kucegah antara kesal dan prihatin."Iya, sorry, Suci Sayang. Gue ngaku salah, gue emang pecicilan. Tapi beneran nggak apa-apa, sumpah. Tadi pingsan juga cuma pura-pura doang, udah kadung
Hari ketiga setelah tragedi gedebong pisang. Aku mendapati Mas Fariz yang jauh lebih manja dari sebelum-sebelumnya. Dia meminta sesuatu yang kadang di luar nalar. Tangannya yang diperban bahkan dijadikan alasan hingga membuatku tak kuasa untuk melontarkan penolakkan. Kaus Mario Bros kesayangannya bahkan tak mau lelaki itu ganti meskipun sudah melekat di tubuhnya lebih dari dua hari, walhasil parfum bercampur keringat itu menguar dari tubuhnya. Untungnya aku tak merasa mual sama sekali. Entah kenapa aroma tubuhnya bahkan kusuka dalam keadaan berkeringat sekalipun.Sejujurnya aku masih tak mengerti, siapa yang hamil sebenarnya?"Ayolah, Ci. Gue pengen banget makan bubur tapi nggak pake bubur. Cuma ayam, kacang, sama kerupuknya aja." Baru saja dibicarakan, pagi ini, di atas ranjang yang masih membungkus tubuh tinggi besarnya dengan selimut tebal. Mas Fariz surah merengek seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan.Aku menghela napas panjang, kemudian bertanya."Bubur yang nggak pake
Seminggu telah berlalu, fase-fase menyebalkan Mas Fariz akhirnya telah berhasil kulewati. Mulai hari ini dia sudah kembali aktif dan berperilaku layaknya suami siaga lagi.Tangannya yang terkilir bahkan sudah kembali pulih. Sejak kemarin dia bahkan sudah ikut Bapak dan Ibu Doni untuk membajak sawah kami yang akan kembali ditanami.Dengan rantang berisi makanan aku bergegas untuk pergi ke Sawah. Sebenernya dia sudah lama melarang, karena masih dalam usia kandungan yang sangat muda Mas Fariz mulai selektif membatasi kegiatan apa saja yang boleh kulakukan di luar. Dia takut hal-hal yang tak diinginkan terjadi mengingat kondisiku yang rentan.Namun, sebagai seseorang yang juga aktif dan tak betah berlama-lama hanya diam di rumah. Beberapa larangannya tetap kulanggar, selama itu masih dalam batas wajar. Termasuk ini."Mbak Suci!" Suara seseorang yang memanggil, membuatku sontak menghentikan langkah, dan menoleh ke belakang.Kulihat wanita berdaster yang berlari tergopoh-gopoh menghampiri s
Pesawat baru saja landing di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta pukul 15.15 WIB. Kutatap punggung lebar Mas Fariz yang berjalan cepat di hadapan dengan berbagai pertanyaan yang menggelayut dalam benak sepanjang perjalanan ini.Baru pertama kali seumur tiga bulan pernikahan, aku merasakan seolah ada benteng menjulang yang menjadi penyekat di antara kami. Dekat yang terasa begitu jauh. Terikat, tapi tak tersentuh.Sebenarnya apa yang terjadi?Langkahnya tiba-tiba berhenti, saat menyadari aku tertinggal jauh di belakang. Lelaki itu berbalik lalu berlari kecil menghampiri."Maaf." Hanya itu kata yang terucap sebelum dia meraih tanganku dan menggenggamnya.Sampai saat kami menumpangi Taksi jemputan, mulut Mas Fariz masih terbungkam, tapi kuyakin pikirannya sedang melayang tak tentu tujuan."Tenang, banyak-banyak istigfar!" Kuletakkan tangan di atas pahanya yang bergetar, sebab berkali-kali sebelah kaki itu dia ketuk tak sabar.Mas Fariz menatapku. Mata pekatnya menyorot sayu. Seandainya bisa
Entah siapa yang bisa disalahkan dalam situasi ini. Prihatin sudah pasti, sedih, juga merasa bersalah tiba-tiba menyelimuti diri. Entah kenapa aku merasa ikut andil saat mendengar keterangan dari Mama bahwa Mas Ali tak pulang ke rumah sejak sepuluh hari lalu. Tepatnya setelah pertengkaran kami di Lumajang hari itu.Selama sepuluh hari Farah hanya tinggal bersama Hafiz, karena asisten rumah tangganya ada keperluan mendadak dan meminta cuti. Selama lebih dari seminggu adik kandung Mas Fariz itu bungkam dari orang tuanya tentang keberadaan sang suami yang entah di mana rimbanya. Sampai dini hari tadi, dia mengeluh nyeri dan mulas, bersamaan dengan itu air ketubannya pecah. Farah tergelincir air ketubannya sendiri dan jatuh dari tangga lantai dua.Hasil USG mengatakan bahwa bayi di kandungannya mengalami gegar otak, kemungkinan untuk selamat kecil. Hingga harapan seorang Ibu yang menanti kehadiran sang buah hati selama sembilan bulan lamanya benar-benar pupus, saat prosedur operasi caesar
Ada apa dengan tujuh tahun lalu?Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalaku. Bahkan setelah lelaki itu pergi beberapa saat lalu, aku masih terjaga dengan berbagai perasaan yang berkecamuk menjadi satu. "Suci!" Suara lembut itu menyentak lamunanku.Sebelum sempat aku berbalik, Mama sudah lebih dulu duduk di sampingku."Fariz udah pergi?" Beliau bertanya sembari meletakkan tangan di atas jemariku, lalu meremasnya pelan.Aku mengangguk."Terakhir kali kita liat Fariz kayak gitu sekitar dua atau tiga tahun lalu. Dia berantem sama Papa terus nggak pulang hampir dua minggu." Aku menoleh ke arah Mama, lalu tertegun dibuatnya. "Temperamennya masih belum berubah, tapi Mama tahu dia pasti punya alasan dibalik semua itu." Kini giliran Mama yang menatapku."Kasih dia waktu buat nenangin diri ya, Ci. Fariz pasti pulang. Jangan banyak pikiran, inget janin di perutmu!" Mama mengusap perutku yang sejauh ini masih tampak datar, mungkin beberapa bulan lagi baru terlihat perubahannya."Iya, M
"Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam
DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat
Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang
Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me
"Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini
Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu
Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me
Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz
Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"