Tak berapa lama, mereka sampai di rumah Fandi dan Lia--orang tua Audrey--yang berada di sekitar persawahan. Mereka disambut dengan hangat. “MaasyaaAllaah. Cucuku. Sini-sini, Sayang,” sambut Lia, langsung merebut bayi yang digendong Ratmi. Setelah menyalami Audrey dan Edwin, Fandi tersenyum lebar ke arah cucunya. “Betapa lengkap kebahagiaan kita, Bu.“ Lia menoleh ke arah suaminya, sambil mengangguk dengan raut wajah sumringah. Edwin dan Audrey tampak kikuk, karena rumah tangga mereka baru saja terguncang. Apakah itu yang disebut dengan bahagia? Lebih baik merahasiakannya dari kedua orang tua, pikir Audrey. Ratmi masuk membawa tas besar berisi pakaian kotor milik majikannya. “Permisi, Bu. Saya izin mencuci di belakang, ya.“ “Iya. Pakai mesin cuci saja, Rat!” saran Lia. “Baik, Bu,” sahut Ratmi sambil tersenyum, yang memang sudah akrab dengan orang tua Audrey. “Edwin, mesin cuci yang kamu belikan, masih bagus sampai sekarang.“ Lia tersenyum pada menantunya. “Alhamdulillaah, Bu.“
Lia terbangun setelah beberapa saat. Dia dibaringkan di kursi ruang tamu oleh Fandi dan Audrey.“Bu! Ibu sudah sadar?“ panggil Fandi, tak sabar melihat keadaan istrinya.Audrey mengusap air matanya. Dia sedih sekaligus panik kalau sampai ibunya sakit, karena kejujurannya tadi.“Iya, Pak. Aku ….“ Lia mengumpulkan kesadaran dalam beberapa menit, lalu ingat tentang kenyataan kalau Audrey telah dicampakkan oleh keluarga besannya.“Ibu … maafkan aku, terpaksa jujur. Seharusnya, aku bisa menutupi keburukan keluarga suamiku, dan menghadapi masalah sendiri, tanpa melibatkan Ibu dan Bapak,” keluh Audrey, merasa bersalah.Lia menggeleng cepat, sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi sang putri. “Tidak, Nak. Kamu tidak salah. Ibu hanya syok, anak yang kami besarkan dan kami rawat dengan sangat baik … bisa-bisanya diperlakukan seperti ini! Ibu tidak terima, Nak!"“Sudah, Bu. Sabar, sabar!“ pinta Fandi, yang sepertinya tak didengar oleh Lia.“Pak, bagaimana Ibu bisa sabar? Mereka nggak pernah
“Ada apa, Bu?“ tanya Ratmi yang baru selesai Salat Subuh dan hendak mencuci.Audrey menyembunyikan anting-anting itu di balik sakunya. “Enggak apa-apa, Rat. Jasnya Mas Edwin yang ini nggak begitu kotor. Lagi pula mencucinya pakai tangan, besok aku aja, ya.“"Oh. Iya, Bu.“ Ratmi mengembangkan senyum di bibirnya.“Ya udah, tolong rebuskan air untuk minum!“ perintah Audrey, lalu berjalan ke kamar.Audrey mendapati suaminya sedang mengelus rambut Dianti dengan penuh kasih sayang.Perempuan itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Berusaha untuk menepis pikiran negatif yang sempat muncul.“Mama datang, Sayang!“ seru Edwin, yang melihat kedatangan istrinya, lalu kembali memperhatikan Dianti.Langkah Audrey semakin mendekat. “Mas, aku mau tanya sesuatu.““Tanya apa?“ Edwin mengerutkan dahi.“Kamu beli anting?“ tanya Audrey, sambil duduk di samping Edwin.“Anting? Enggak,” jawab suaminya, dengan mengerutkan dahi.Audrey menunjukkan anting di tangannya. “Aku menemukan ini di ka
Edwin tersadar dari lamunannya, lalu menyusul Audrey ke kamar. Namun, pintunya tertutup."Sayang! Tolong buka pintunya! Aku mau bicara," panggilnya, sambil mengetuk-ngetuk pintu."Mau bicara apa lagi, Mas? Aku butuh waktu sendiri!" sahut Audrey, dengan suara serak.Edwin menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Aku mau siap-siap ke kantor."Tak berapa lama, Audrey membuka pintu, lalu langsung berlari dan berbaring di kasur dengan menangkupkan bantal di wajahnya.Edwin menyiapkan segala keperluannya sendiri, karena tahu Audrey sedang sedih dan tak mau diajak bicara.Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, dia sarapan sendiri tanpa Audrey.Makanan memang sudah disiapkan oleh Ratmi, tetapi terasa sepi karena tak ada sang istri yang menemani.Edwin segera berangkat ke kantor seperti biasa. Dia menyapa para karyawannya, lalu masuk ke ruangannya. Di tengah-tengah bekerja, dia memikirkan kejadian kemarin.“Aneh. Kenapa anting itu bisa ada di kantong jasku, ya? Lagi pula, aku
“Ya Allah!“ seru Edwin sambil membantu ibu itu hingga bisa berdiri, juga merapikan sayuran mentah yang berjatuhan ke dalam kotak kecil di atas sepeda kayuh.Ibu penjual sayur itu tersenyum. “Terima kasih banyak, ya, Nak. Kamu baik sekali."Edwin mengangguk sambil membalas senyuman beliau. “Sama-sama, Bu. Tadi kenapa bisa jatuh?““Begini, loh, Nak. Tadi, saya lewat jalan yang agak menanjak ini buat menuju kampung, jualan sayur. Biasanya aman-aman saja. Terus nabrak batu kecil. Sepedanya goyang-goyang, dan karena saya nggak bisa imbangin, terus jatuh. Sayurannya juga berceceran gini," jelas Ibu itu, sambil meringis kesakitan."Mari saya bantu, Bu," sahut Edwin, dengan sigap membantu perempuan paruh baya itu, sehingga sayuran-sayuran tertata kembali seperti semula.Ibu itu mengembangkan senyum, membuat guratan di wajahnya semakin jelas. "Terima kasih, Nak.""Sama-sama, Bu. Saya permisi dulu," sahut Edwin, lalu mendekati mobilnya lagi.CEO itu agak terkejut, melihat Athena ada di sana."
"Hah! Ini pasti kerjaan si Athena!" gumam Edwin kesal, lalu keluar dari taksi, tak lupa membawa tas kerjanya. Di teras rumah, Audrey sedang menggendong Dianti, ditemani Fandi dan Lia. Edwin menarik napas dalam-dalam, sebelum mendekat. "Assalamu'alaikum." Mereka menjawab salam secara serempak. "Loh, Mas? Jam segini, kok, sudah pulang? Terus kenapa kamu berkeringat kayak gini, sih? Abis lari-lari?" tanya Audrey. Suaminya menjawab, "Athena menjebakku lagi, Sayang." Audrey terbelalak. "Apa?" Kedua orang tuanya terkejut, karena belum tahu siapa itu Athena. Lia mengambil Dianti dari gendongan Audrey. Sepertinya ada hal penting yang harus mereka bicarakan. "Maaf, Bapak, Ibu. Saya meminta izin untuk bicara berdua dengan Audrey," pinta Edwin, sopan Setelah diizinkan, Edwin dan Audrey menuju kamar. Tiba-tiba ada pesan dari nomor tak dikenal di ponsel Audrey. [Kamu yakin suamimu itu setia, Audrey? Coba cek ponselnya.] Istri Edwin itu tercengang. "Sayang, tadi Athena ...." Audrey me
Edwin sedang membiarkan badannya yang masih berpakaian kemeja dan celana kerja, terguyur air shower di toilet dalam sebuah kamar hotel yang disewanya. Dia merasa hancur saat Audrey mengusirnya dan tak percaya padanya. "Athena benar-benar licik! Apa yang bisa kulakukan untuk mengembalikan kepercayaan Audrey? Aku sangat mencintainya. Kami baru saja bisa berdamai setelah badai rumah tangga yang menimpa. Lalu, Athena dengan begitu mudahnya, memutar balikkan fakta!" Edwin bicara sendiri. Beberapa menit berlalu. Edwin masih meratapi nasibnya yang tak lagi dipercaya oleh Audrey. "Bagiku, Audrey itu perempuan luar biasa. Dia berhati baik, lembut, amanah dalam segala hal, penyayang, tak pernah sombong, dan setia. Karena hal itulah, aku dulu menikahinya. Aku tidak boleh kalah oleh Athena! Perjuanganku mendapatkan Audrey sangat berat, jadi harus dipertahankan apa pun yang terjadi!" Kata-kata yang keluar dari mulut Edwin begitu lantang, untuk menyemangati dirinya sendiri. Tak ada orang lain y
"Ya Allah, ternyata perbuatan itu sama dengan perbuatan setan yang selalu menginginkan perceraian antara sepasang suami-istri, ya, Pak? Berarti, saya harus bisa mengalahkan setan itu dan mempertahankan rumah tangga saya?" tanya Edwin, sangat penasaran. Pak Ridwan menimpali, "Sungguh tak beradab apa yang dilakukan perempuan yang ingin merebut suami orang!""Benar," imbuh Pak Amar, "saran saya, cari tahu dan kumpulkan bukti yang bisa mematahkan fitnah wanita bernama Athena, Pak, lalu segera berikan pada istri Bapak dan kedua mertua Anda. O ya, satu lagi, lebih baik rahasiakan dulu masalah ini dari kedua orang tua, supaya mereka tidak memperkeruh suasana."Edwin menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Alhamdulillah. Terima kasih, Pak. Akhirnya saya menemukan solusi dari permasalahan ini. Jujur, awalnya saya merasa buntu, sebab cinta terhadap Audrey yang begitu dalam. Sakit hati ini diusir dari rumahnya begini, Pak."Pak Amar mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Sama-s
Di rumah sakit, Arumi sadar. Evan sudah membayar semua biaya perawatannya, serta meminta suster untuk menjaganya. Kini dia berbaring sendirian dalam ruangan serba putih.Arumi mengirimkan pesan pada Evan dan Sinta, bahwa dia tidak jadi mengungkit permasalahan tentang uang senilai tanah hak miliknya. Semua sudah dia ikhlaskan, karena tak mau rasa tamak menguasainya.Adik almarhum Juna takut, kalau itu akan mempengaruhi kesehatannya dan mendatangkan penyakit fisik, ataupun penyakit hati. Dia ingin sehat, hidup bahagia dan tak ada rasa benci, apalagi pada saudara sendiri. Zofia lega mendengarnya.Sejak sebulan lalu, sebenarnya perusahaan milik almarhum Juna mengalami penurunan omset. Gaya hidup Zofia dan keluarganya kini tak semewah dulu. Semua kebutuhan hidup yang bisa dipangkas, mereka kurangi sebisa mungkin. Mereka pun tak bisa menyombongkan harta lagi, seperti saat Juna masih hidup.Para tetangga seolah bahagia melihat mereka yang kini tak bisa menghina orang lain lagi, hanya karena
Satu pekan kemudian, Arumi kembali datang. Kali ini, ada Evan, Natasha dan Sinta yang menemani Zofia, agar tidak khawatir ketika menghadapi adik almarhum Juna."Aku tahu, Mbak Zofia tidak memberikan uang yang aku minta, karena tanah yang seharusnya menjadi milikku itu, tidak Mbak jual, tetapi justru dibagi rata pada anak-anak, yakni Evan, Sinta dan Edwin. Iya, kan?" tanya Arumi, membuat semua yang mendengarnya pun kaget setengah mati."Halah! Itu cuma akal-akalan kamu saja karena ada dendam tertentu sama kami. Iya, kan? Jangan fitnah, dong!" kesal Zofia.Arumi menyunggingkan senyum miring. "Kenapa, Mbak? Takut? Aku sudah punya banyak buktinya. Mulai dari foto-foto, terus salinan kepemilikan surat tanah dan juga sebuah flashdisk berisi banyak video saat pembagian itu. Kenapa Mas Juna memberikan sesuatu yang bukan haknya?"Wanita berjilbab itu menaruhsebuah map bersampul hijau dan sebuah flashdisk ke atas meja.Zofia menggertakkan gigi, lalu membuka dokumen itu. Semua bukti itu asli, te
Audrey sedang duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Dianti dan Dino. "Alhamdulillaah, kalian kini bisa sadar bahwa perbuatan kalian itu salah. Mama sudah memaafkan kalian berdua.""Makasih, Ma," sahut Dianti."Terima kasih, Mama. Maafkan Dino yang selama ini mengekang Dianti. Kami sungguh anak yang durhaka," timpal Dino, dengan wajah tertunduk dalam.Sang Mama mangut-mangut. "Sudah, nggak perlu disesali. Mulai sekarang, Dino harus berbakti pada orang tua. Dianti juga, jangan mengulangi perbuatan yang salah!" "Iya, Ma. InsyaaAllaah," jawab keduanya, bersamaan.Dianti beranjak dari kursi, lalu memeluk Audrey dengan erat. Mulai terdengar tangisan keduanya. Sementara itu, air mata mulai menggenang di kedua netra Dino karena merasa sangat menyesal. Dari ruang tengah, Fandi muncul bersama Lia yang membawa tiga gelas minuman."Alhamdulillaah, akhirnya kalian semua berdamai. Kakek harap, kalian akan terus seperti ini dan tak ada lagi sandiwara atau sejenisnya, hanya karena silau harta," na
Pagi menjelang siang, cuaca cukup cerah. Galang mematut diri di depan cermin."Meskipun gue udah sedikit tua, tapi masih ganteng. Ya, siapa tahu, Audrey mau melabuhkan hatinya sama gue, meskipun kemarin sempat memuji-muji suaminya." Pria itu bergumam. Memang, dia belum menikah sampai sekarang. Dari sekian banyak perempuan yang pernah dekat dengannya, belum juga ada yang cocok dan klik di hati. Galang segera memacu mobilnya, setelah menyuruh satpam untuk menjaga rumah baik-baik.Sampai di depan rumah almarhum Edwin, semua sudah berkumpul. Kedatangan Galang berbarengan dengan Audrey, Fandi, dan Lia yang datang menggunakan taksi online. "Assalaamu'alaikum, Pak, Bu," sapa Galang.Fandi dan Lia menjawab salam. Mereka berbasa-basi sebentar. Sementara itu, Audrey mengembuskan napas kasar karena jenuh dan mulai merasa bahwa Galang sedang menarik simpatinya."Mari masuk, supaya bisa segera dimulai rapatnya," ajak Audrey, yang langsung disetujui oleh orang tuanya.Galang memandang punggung m
Hari terus berlalu. Audrey berusaha menghilangkan sakit hati karena tak diajak untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Ya, meskipun dapat kiriman foto atau videonya, tetapi masih ada rasa sedih karena tak bisa memberikan restu secara langsung pada Dianti.Dia memilih untuk melanjutkan aktivitasnya berjualan baju di toko bersama Hana. Penghasilannya semakin meningkat begitu pesat, sampai bisa mendaftarkan haji plus, bertiga bersama Fandi dan Lia.Namun, hal itu tak diketahui oleh Zofia atau kakak-kakak iparnya. Para tetangga sekitar rumah almarhum Edwin pun tak ada yang mendengar tentang kabar tersebut. Selama ini, Audrey selalu bersedekah serta membayar zakat secara diam-diam, kepada orang fakir-miskin yang berhak menerimanya. 'Alhamdulillaah, tak menyangka bisa sampai di titik ini. Dulu, mau daftarkan Dianti kuliah aja nggak bisa. Andai anak itu nurut sama orang tua, pasti aku akan sekolahkan dia di perguruan tinggi, demi meraih apa yang menjadi cita-citanya. Bukan malah menikah dini
Audrey sedang istirahat sesudah melayani pembeli toko baju, yang memang ramai seperti biasa. Dia bersyukur bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan kedua orang tua. Sebagian lagi disisihkan untuk orang yang tidak mampu.Ponselnya berdering berulang kali. Dia penasaran, lalu segera dicek.[Kasihan sekali, ya, Bu. Ternyata kita dulu sudah salah sangka, bukan Bu Audrey yang durhaka, melainkan mertua dan kakak-kakak ipar beliau yang kejam.] Isi pesan di grup warga komplek.[Saya benar-benar nggak menyangka, masa iya ada mertua sejahat itu? Memisahkan anak gadis bernama Dianti dari Mamanya sendiri?][Astagfirullaah. Kakak-kakaknya juga kejamnya minta ampun.][Benar pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Alias sama aja! Andai kita orang kaya, mungkin bisa bela Bu Audrey, supaya mendapatkan Dianti kembali. Diajak pulang kampung, biar nggak ketularan kejam!]Tanpa sadar, Audrey menitikkan air mata membaca pesan-pesan di grup ibu-ibu tersebut. Antara sedih meratapi keadaan, tetapi juga se
Beberapa hari kemudian, Audrey mendapat kabar bahwa Juna meninggal. Semua kembali berduka. Audrey, Fandi dan Lia hanya melayat sebentar karena masih sakit hati dengan perlakuannya dulu. Zofia pun tidak memintakan maaf pada mereka. Dianti bersalaman dengan mereka bertiga, tetapi hanya terdiam saat ditinggal mereka pergi.**Lima bulan kemudian. Zofia kini sakit-sakitan dan sedikit linglung. Semua paman-bibi Dianti mulai mempersiapkan pernikahan Dianti. Audrey tak pernah diajak setiap kali kedua mertua dan semua kakak ipar membahas persiapan acara pernikahan anaknya sendiri.Pernikahan Dianti akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Audrey tahu bahwa semua anggota keluarga almarhum Edwin dibelikan kain seragam, kecuali dia.Akhirnya, Audrey membeli kain sendiri yang agak mirip, lalu menjahitkannya di tempat tetangganya dulu, bernama Nurin. "Jadi, Mbak beli kain sendiri buat gamis di hari pernikahan anak Mbak sendiri?" tanya Nurin."Iya. Sudah nasib. Entah, kapan kebahagiaan itu akan
Satu bulan berlalu. Audrey menjalani rutinitasnya berjualan di toko baju bersama Hana. Zofia sudah tak mau peduli lagi pada menantunya itu, serta semakin ketat melarang Dianti untuk menemui Audrey, karena khawatir menantunya itu akan menghalangi perjodohan Dianti dengan Dino.Tak hanya itu, Juna juga meminta mobil Edwin yang terparkir di garasi rumah putranya. Audrey mempersilakan karena memang itu bukan miliknya, sekaligus legowo menyerahkan kunci, BPKP, STNK dan SIMnya tanpa meminta syarat apapun. Harta dunia memang titipan dan tak bisa dimiliki selamanya, sehingga Audrey ikhlas dan tidak melakukan protes apapun. Kini, mobil itu digunakan oleh Natasha dan Sinta secara bergantian jika ingin pergi ke manapun. Audrey tak pernah ambil pusing bagaimana sikap Juna, Zofia dan kakak-kakak iparnya, melainkan lebih fokus pada perkembangan tokonya. Modal dari uang Edwin, dia gunakan untuk memperbarui produk baju dan promosi di media sosial. Dalam tiga bulan, omsetnya pun naik pesat.Saat hari
Audrey menghitung uang yang jumlahnya cukup banyak milik almarhum suaminya di lemari, yang merupakan hasil dari perusahaan Juna dalam beberapa hari terakhir. Penghasilan itu dikirimkan langsung ke rumah oleh seorang bendahara kantor.Beberapa hari kemudian, ada dua orang rekan kerja Edwin yang datang untuk menagih utang. Besoknya ada lagi, lalu beberapa hari berikutnya.Audrey menggunakan uang Edwin untuk melunasi hutang-hutang itu. Setelah lewat dua pekan, tak ada lagi yang menagih, Audrey membagi-bagi uang di dalam tas milik almarhum suaminya.Sepertiga untuk membayar hutang pada Rudi, sepertiga lagi untuk Dianti dan sepertiga sisanya Audrey pakai untuk menyambung hidup.Sementara surat tanah tempat berdiri rumah megah milik Edwin, Audrey biarkan supaya diambil oleh Juna, karena ada bagian warisan untuk keluarga almarhum suaminya.Beberapa hari kemudian, Rudi memberi pesan ke Audrey bahwa dia ingin datang ke rumah. Mamanya Dianti pun mengundang Hana untuk datang juga, supaya terhind