“Tahu dari mana kamu?“ tanya Audrey, dengan suara melemah, dan mulai meneteskan air mata.
“Dulu, dia bilang seperti itu saat kita akan berangkat bulan madu. Galang memintaku untuk menceraikanmu, karena baru sadar punya rasa sama kamu setelah kita menikah!“ jelas Edwin, membuat Audrey sangat kaget.
“Tidak mungkin!“
Edwin berbalik badan, hendak pergi. “Itu kenyataannya, Audrey. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mempertahankanmu.“
Audrey menelan salivanya sendiri. “Mengapa jadi seperti ini?“
“Entah. Yang jelas, aku masih sangat cemburu karena kejadian tadi.“ Edwin melangkah menuju pintu.
“Aku tak tahu. Mungkin ini semua rekayasa dari Mamamu?“ seru istrinya, dengan suara serak.
“Maafkan aku. Sepertinya kita butuh waktu untuk menjaga jarak,” sahut Edwin.
Audrey menitikkan air mata. “Aku baru saja melahirkan, dan kamu mau pergi? Bahkan kamu belum melihat bayi itu sama sekali.“
Edwin diam saja, lalu pergi meninggalkan ruang rawat inap istrinya. Dia merasa gagal menjadi imam yang baik, sekaligus cemburu karena ada pria lain yang mencintai Audrey, justru datang tepat waktu untuk menolong.
**
Sore hari tiba. Audrey masih belajar menyusui bayinya dengan susah-payah.
“Ternyata nggak semudah yang dibayangkan ya, Rat?“ ucapnya, seraya menyeka keringat di balik hijab
Ratmi yang berdiri di samping ranjang, memijat tengkuk majikannya. “Sabar, Nyonya. Ini semua tak akan lama. Beberapa pekan lagi, insya Allah, Nyonya sudah mahir menyusui dedek.“
Audrey membuang napas panjang. “Iya, semoga saja.“
“Mm, kira-kira, dedeknya mau dikasih nama siapa, Nyonya?“ tanya Ratmi.
“Entahlah. Kita tunggu sampai Mas Edwin tidak terbakar cemburu lagi,” jawab Audrey.
Ratmi mengangguk, sambil terus memijat pundak Audrey. Tiba-tiba terdengar derap langkah sepatu berhak tinggi yang mendekat. Dari balik pintu, muncul seorang perempuan berbaju seksi dan riasan yang cantik.
“Kasihan sekali, nasib perempuan yang kata orang, statusnya adik iparku, tetapi sama sekali tidak dinggap!“ celetuk perempuan itu, sambil berkacak pinggang.
Audrey menatap wanita itu dengan tatapan penuh kebencian. “Mau apa kamu datang ke sini, Kak Sinta?“
Ratmi merasa sebal, lalu menggendong bayinya Audrey.
Perempuan bernama Sinta itu tersenyum sinis. “Tentu saja buat melihat keadaan lu. Audrey yang malang. Saat mau melahirkan, tetapi malah diantar pria lain. Edwin jadi cemburu, marah, dan pergi begitu saja. Nggak dapet perhatiannya suami! Ha ha!“
“Tak perlu kamu jelaskan keadaanku! Jangan datang ke sini kalau hanya untuk menghinaku!“ bentak Audrey.
Sinta mendekat ke arah Audrey, lalu menepuk pipi adik iparnya yang tak dianggap. “Jangan teriak-teriak! Simpan tenaga lu buat menghadapi sesuatu yang akan terjadi. Cek ponsel, setengah jam lagi!“
Audrey melempar tangan Sinta dengan kasar. “Gak usah sentuh-sentuh! Aku nggak takut sama ancamanmu!"
"Gue gak yakin, apa setelah ini, kalian nggak bertengkar?" Sinta tertawa sumbang.
“Maaf, Mbak. Kalau tidak ada keperluan lagi, silakan keluar. Majikan saya mau istirahat,” protes Ratmi, yang sudah tak tahan mendengar ocehan Sinta.
Sinta mengalihkan pandangannya ke arah bayi yang digendong Ratmi. “Anak yang malang. Gue cuma mau mengucapkan prihatin, karena ibu lu mungkin akan terus menangis dan lupa sama lu!"
Audrey memilih tak peduli pada Sinta, yang keluar dengan langkah angkuh.
“Baru kaya saja sudah sombong! Dibalas sama Allah baru tahu rasa!“ kesal Ratmi pelan, tetapi masih bisa didengar Audrey.
“Ssuut! Ratmi! Hati-hati bicara di depan bayiku,” tegur Audrey, “lebih baik, siapkan sayur daun katu buat aku, biar ASI bisa lancar dan putriku gak rewel.“
Ratmi mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Nyonya. Saya sudah pesan lewat aplikasi. Kebetulan ada yang jual, dan lokasinya dekat.“
“Ya sudah. Aku mau tidur dulu sebentar. Lelah sekali rasanya.“ Audrey mengubah posisi menjadi berbaring.
“Baik, Nyonya. Saya jagain dedeknya,” sahut Ratmi yang paham dengan kondisi Audrey.
**
Audrey terkejut mendengar nada dering ponselnya, tanda panggilan masuk. Dia terbangun, lalu perlahan mengubah posisinya menjadi duduk.
“Siapa telepon malam-malam begini?“ gumamnya, saat melihat jam dinding menunjukkan pukul delapan malam.
Nomor tak dikenal dengan foto profil wanita berbaju modis, muncul di layar. Ratmi sudah tertidur di sofa. Putrinya juga tampak pulas di box bayi.
“Assalamualaikum,” salam Audrey, dengan suara serak.
“Sudah lihat foto dan videoku sama suamimu? Ingat! Cantik saja tidak cukup, tetapi harus pintar dan kaya!“ Suara perempuan di seberang telepon, mengejutkan Audrey.
“Apa maksudmu?“ tanya Audrey, tetapi kemudian sambungan telepon diputus. “Halo!“
Audrey menatap layar ponselnya, seketika terbelalak. Tampak Edwin seperti pingsan di sofa sebuah diskotik, dengan berbagai macam minuman alkohol di meja, lalu wanita yang ada di foto profil penelepon tadi tampak berpakaian minim dan menyandarkan tubuhnya di pundak Edwin.
“Astagfirullah! Mas Edwin!“ Audrey menutup mulutnya yang terbuka.
Ponsel Audrey terjatuh di kasur. Hatinya seperti tercabik-cabik. Dia baru saja melahirkan, sedangkan Edwin tadi malah menyalahkannya, dan sekarang? Apakah Edwin selingkuh?
Tiba-tiba ponsel Audrey berdering lagi.
“Halo, Mas?“ sapa Audrey.
“Athena … I love you.“
“Mas?“ bisik Audrey, hampir tak terucap. Hanya ada tangisan yang keluar dari bibirnya.
**
Edwin terbangun, mendapati dirinya berada di kamarnya. Tak ada siapa-siapa.
“Ya Allah, aku kenapa?“ gumamnya, sambil duduk.
Kepala Edwin terasa pusing sekali. Dia segera mandi. Setelah selesai, CEO itu mengecek ponsel. Betapa kagetnya Edwin mendapati foto dan videonya bersama Athena.
“Astagfirullah! Apa ini?“ pekiknya, segera menuruni tangga, menuju rumah Juna.
Edwin merasa tak sabar, menggedor pintu rumah Papanya dengan keras. “Pa! Ma! Buka pintunya!“
Tak lama kemudian, tampak Juna dan Zofia keluar.
“Ada apa masih pagi, marah-marah?“ tanya Juna, yang sudah memakai pakaian rapi untuk ke kantor.
“O ya, gimana keadaan istrimu?“ Zofia pura-pura peduli.
Edwin tak menjawab. Dia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan fotonya sedang pingsan di atas sofa sebuah bar bersama Athena.
Zofia tersenyum sinis. “Jadi, kamu mulai menikmati kebersamaanmu dengan Athena?“
“Ma, ini apa? Terus, foto ini juga dikirimkan ke Audrey?“ tanya Edwin, dengan napas memburu.
“Gak tahu. Tanya saja sama dia!“ sahut Zofia, tampak santai.
“Fitnah apalagi yang Mama ciptakan? Hati Audrey pasti sakit sekali, padahal aku sama sekali tak sadar tadi malam!“ seru Edwin, dengan muka memerah.
Juna merasa malas mendengar itu semua. Dia berlalu menuju garasi, tanpa memedulikan putranya.
“Pa!“ panggil Zofia, tetapi tak digubris oleh suaminya.
Diam-diam, Edwin menghidupkan fitur perekam suara di ponselnya.
Zofia membuang napas kasar. “Sudah, lah! Istrimu itu tak berguna! Sudah miskin, manja lagi. Mending Athena daripada dia. Cantik, kaya, dan pekerja keras.“
"Aku sudah menikah dengan Audrey, Ma! Bukankah pernikahan itu akan terjadi, sekali saja seumur hidup?“ Mata Edwin melotot, tampak menakutkan sekali. “Masih ada kemungkinan. Mama ingin kamu cerai sama dia! Anaknya sudah lahir, kan?“ bentak Zofia. Edwin menggeleng, tak percaya dengan ucapan Zofia. “Tega Mama bilang seperti itu? Aku tidak akan menceraikan Audrey! Aku sangat mencintainya.“ “Percuma! Dia tak akan percaya lagi padamu. Lagi pula, siapa yang bisa mengira kalau ini akal-akalan Mama saja dengan Athena?“ Akhirnya Zofia mengaku. “Aku yakin dia lebih percaya padaku,” sahut Edwin, lalu melangkah mundur. “Semua sudah aku rekam, Ma.“ CEO itu menunjukkan layar ponselnya. Zofia melotot, rencananya untuk menciptakan fitnah dalam rumah tangga Edwin mungkin akan gagal lagi. ** Rumah sakit tampak sepi. Bau obat-obatan begitu menyengat. Langkah kaki Edwin sangat cepat, tujuannya hanya satu. Ruangan Audrey. “Assalamualaikum!“ salamnya seraya memutar knop pintu, tetapi terkunci. Edwi
Tak berapa lama, mereka sampai di rumah Fandi dan Lia--orang tua Audrey--yang berada di sekitar persawahan. Mereka disambut dengan hangat. “MaasyaaAllaah. Cucuku. Sini-sini, Sayang,” sambut Lia, langsung merebut bayi yang digendong Ratmi. Setelah menyalami Audrey dan Edwin, Fandi tersenyum lebar ke arah cucunya. “Betapa lengkap kebahagiaan kita, Bu.“ Lia menoleh ke arah suaminya, sambil mengangguk dengan raut wajah sumringah. Edwin dan Audrey tampak kikuk, karena rumah tangga mereka baru saja terguncang. Apakah itu yang disebut dengan bahagia? Lebih baik merahasiakannya dari kedua orang tua, pikir Audrey. Ratmi masuk membawa tas besar berisi pakaian kotor milik majikannya. “Permisi, Bu. Saya izin mencuci di belakang, ya.“ “Iya. Pakai mesin cuci saja, Rat!” saran Lia. “Baik, Bu,” sahut Ratmi sambil tersenyum, yang memang sudah akrab dengan orang tua Audrey. “Edwin, mesin cuci yang kamu belikan, masih bagus sampai sekarang.“ Lia tersenyum pada menantunya. “Alhamdulillaah, Bu.“
Lia terbangun setelah beberapa saat. Dia dibaringkan di kursi ruang tamu oleh Fandi dan Audrey.“Bu! Ibu sudah sadar?“ panggil Fandi, tak sabar melihat keadaan istrinya.Audrey mengusap air matanya. Dia sedih sekaligus panik kalau sampai ibunya sakit, karena kejujurannya tadi.“Iya, Pak. Aku ….“ Lia mengumpulkan kesadaran dalam beberapa menit, lalu ingat tentang kenyataan kalau Audrey telah dicampakkan oleh keluarga besannya.“Ibu … maafkan aku, terpaksa jujur. Seharusnya, aku bisa menutupi keburukan keluarga suamiku, dan menghadapi masalah sendiri, tanpa melibatkan Ibu dan Bapak,” keluh Audrey, merasa bersalah.Lia menggeleng cepat, sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi sang putri. “Tidak, Nak. Kamu tidak salah. Ibu hanya syok, anak yang kami besarkan dan kami rawat dengan sangat baik … bisa-bisanya diperlakukan seperti ini! Ibu tidak terima, Nak!"“Sudah, Bu. Sabar, sabar!“ pinta Fandi, yang sepertinya tak didengar oleh Lia.“Pak, bagaimana Ibu bisa sabar? Mereka nggak pernah
“Ada apa, Bu?“ tanya Ratmi yang baru selesai Salat Subuh dan hendak mencuci.Audrey menyembunyikan anting-anting itu di balik sakunya. “Enggak apa-apa, Rat. Jasnya Mas Edwin yang ini nggak begitu kotor. Lagi pula mencucinya pakai tangan, besok aku aja, ya.“"Oh. Iya, Bu.“ Ratmi mengembangkan senyum di bibirnya.“Ya udah, tolong rebuskan air untuk minum!“ perintah Audrey, lalu berjalan ke kamar.Audrey mendapati suaminya sedang mengelus rambut Dianti dengan penuh kasih sayang.Perempuan itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Berusaha untuk menepis pikiran negatif yang sempat muncul.“Mama datang, Sayang!“ seru Edwin, yang melihat kedatangan istrinya, lalu kembali memperhatikan Dianti.Langkah Audrey semakin mendekat. “Mas, aku mau tanya sesuatu.““Tanya apa?“ Edwin mengerutkan dahi.“Kamu beli anting?“ tanya Audrey, sambil duduk di samping Edwin.“Anting? Enggak,” jawab suaminya, dengan mengerutkan dahi.Audrey menunjukkan anting di tangannya. “Aku menemukan ini di ka
Edwin tersadar dari lamunannya, lalu menyusul Audrey ke kamar. Namun, pintunya tertutup."Sayang! Tolong buka pintunya! Aku mau bicara," panggilnya, sambil mengetuk-ngetuk pintu."Mau bicara apa lagi, Mas? Aku butuh waktu sendiri!" sahut Audrey, dengan suara serak.Edwin menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Aku mau siap-siap ke kantor."Tak berapa lama, Audrey membuka pintu, lalu langsung berlari dan berbaring di kasur dengan menangkupkan bantal di wajahnya.Edwin menyiapkan segala keperluannya sendiri, karena tahu Audrey sedang sedih dan tak mau diajak bicara.Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, dia sarapan sendiri tanpa Audrey.Makanan memang sudah disiapkan oleh Ratmi, tetapi terasa sepi karena tak ada sang istri yang menemani.Edwin segera berangkat ke kantor seperti biasa. Dia menyapa para karyawannya, lalu masuk ke ruangannya. Di tengah-tengah bekerja, dia memikirkan kejadian kemarin.“Aneh. Kenapa anting itu bisa ada di kantong jasku, ya? Lagi pula, aku
“Ya Allah!“ seru Edwin sambil membantu ibu itu hingga bisa berdiri, juga merapikan sayuran mentah yang berjatuhan ke dalam kotak kecil di atas sepeda kayuh.Ibu penjual sayur itu tersenyum. “Terima kasih banyak, ya, Nak. Kamu baik sekali."Edwin mengangguk sambil membalas senyuman beliau. “Sama-sama, Bu. Tadi kenapa bisa jatuh?““Begini, loh, Nak. Tadi, saya lewat jalan yang agak menanjak ini buat menuju kampung, jualan sayur. Biasanya aman-aman saja. Terus nabrak batu kecil. Sepedanya goyang-goyang, dan karena saya nggak bisa imbangin, terus jatuh. Sayurannya juga berceceran gini," jelas Ibu itu, sambil meringis kesakitan."Mari saya bantu, Bu," sahut Edwin, dengan sigap membantu perempuan paruh baya itu, sehingga sayuran-sayuran tertata kembali seperti semula.Ibu itu mengembangkan senyum, membuat guratan di wajahnya semakin jelas. "Terima kasih, Nak.""Sama-sama, Bu. Saya permisi dulu," sahut Edwin, lalu mendekati mobilnya lagi.CEO itu agak terkejut, melihat Athena ada di sana."
"Hah! Ini pasti kerjaan si Athena!" gumam Edwin kesal, lalu keluar dari taksi, tak lupa membawa tas kerjanya. Di teras rumah, Audrey sedang menggendong Dianti, ditemani Fandi dan Lia. Edwin menarik napas dalam-dalam, sebelum mendekat. "Assalamu'alaikum." Mereka menjawab salam secara serempak. "Loh, Mas? Jam segini, kok, sudah pulang? Terus kenapa kamu berkeringat kayak gini, sih? Abis lari-lari?" tanya Audrey. Suaminya menjawab, "Athena menjebakku lagi, Sayang." Audrey terbelalak. "Apa?" Kedua orang tuanya terkejut, karena belum tahu siapa itu Athena. Lia mengambil Dianti dari gendongan Audrey. Sepertinya ada hal penting yang harus mereka bicarakan. "Maaf, Bapak, Ibu. Saya meminta izin untuk bicara berdua dengan Audrey," pinta Edwin, sopan Setelah diizinkan, Edwin dan Audrey menuju kamar. Tiba-tiba ada pesan dari nomor tak dikenal di ponsel Audrey. [Kamu yakin suamimu itu setia, Audrey? Coba cek ponselnya.] Istri Edwin itu tercengang. "Sayang, tadi Athena ...." Audrey me
Edwin sedang membiarkan badannya yang masih berpakaian kemeja dan celana kerja, terguyur air shower di toilet dalam sebuah kamar hotel yang disewanya. Dia merasa hancur saat Audrey mengusirnya dan tak percaya padanya. "Athena benar-benar licik! Apa yang bisa kulakukan untuk mengembalikan kepercayaan Audrey? Aku sangat mencintainya. Kami baru saja bisa berdamai setelah badai rumah tangga yang menimpa. Lalu, Athena dengan begitu mudahnya, memutar balikkan fakta!" Edwin bicara sendiri. Beberapa menit berlalu. Edwin masih meratapi nasibnya yang tak lagi dipercaya oleh Audrey. "Bagiku, Audrey itu perempuan luar biasa. Dia berhati baik, lembut, amanah dalam segala hal, penyayang, tak pernah sombong, dan setia. Karena hal itulah, aku dulu menikahinya. Aku tidak boleh kalah oleh Athena! Perjuanganku mendapatkan Audrey sangat berat, jadi harus dipertahankan apa pun yang terjadi!" Kata-kata yang keluar dari mulut Edwin begitu lantang, untuk menyemangati dirinya sendiri. Tak ada orang lain y
Di rumah sakit, Arumi sadar. Evan sudah membayar semua biaya perawatannya, serta meminta suster untuk menjaganya. Kini dia berbaring sendirian dalam ruangan serba putih.Arumi mengirimkan pesan pada Evan dan Sinta, bahwa dia tidak jadi mengungkit permasalahan tentang uang senilai tanah hak miliknya. Semua sudah dia ikhlaskan, karena tak mau rasa tamak menguasainya.Adik almarhum Juna takut, kalau itu akan mempengaruhi kesehatannya dan mendatangkan penyakit fisik, ataupun penyakit hati. Dia ingin sehat, hidup bahagia dan tak ada rasa benci, apalagi pada saudara sendiri. Zofia lega mendengarnya.Sejak sebulan lalu, sebenarnya perusahaan milik almarhum Juna mengalami penurunan omset. Gaya hidup Zofia dan keluarganya kini tak semewah dulu. Semua kebutuhan hidup yang bisa dipangkas, mereka kurangi sebisa mungkin. Mereka pun tak bisa menyombongkan harta lagi, seperti saat Juna masih hidup.Para tetangga seolah bahagia melihat mereka yang kini tak bisa menghina orang lain lagi, hanya karena
Satu pekan kemudian, Arumi kembali datang. Kali ini, ada Evan, Natasha dan Sinta yang menemani Zofia, agar tidak khawatir ketika menghadapi adik almarhum Juna."Aku tahu, Mbak Zofia tidak memberikan uang yang aku minta, karena tanah yang seharusnya menjadi milikku itu, tidak Mbak jual, tetapi justru dibagi rata pada anak-anak, yakni Evan, Sinta dan Edwin. Iya, kan?" tanya Arumi, membuat semua yang mendengarnya pun kaget setengah mati."Halah! Itu cuma akal-akalan kamu saja karena ada dendam tertentu sama kami. Iya, kan? Jangan fitnah, dong!" kesal Zofia.Arumi menyunggingkan senyum miring. "Kenapa, Mbak? Takut? Aku sudah punya banyak buktinya. Mulai dari foto-foto, terus salinan kepemilikan surat tanah dan juga sebuah flashdisk berisi banyak video saat pembagian itu. Kenapa Mas Juna memberikan sesuatu yang bukan haknya?"Wanita berjilbab itu menaruhsebuah map bersampul hijau dan sebuah flashdisk ke atas meja.Zofia menggertakkan gigi, lalu membuka dokumen itu. Semua bukti itu asli, te
Audrey sedang duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Dianti dan Dino. "Alhamdulillaah, kalian kini bisa sadar bahwa perbuatan kalian itu salah. Mama sudah memaafkan kalian berdua.""Makasih, Ma," sahut Dianti."Terima kasih, Mama. Maafkan Dino yang selama ini mengekang Dianti. Kami sungguh anak yang durhaka," timpal Dino, dengan wajah tertunduk dalam.Sang Mama mangut-mangut. "Sudah, nggak perlu disesali. Mulai sekarang, Dino harus berbakti pada orang tua. Dianti juga, jangan mengulangi perbuatan yang salah!" "Iya, Ma. InsyaaAllaah," jawab keduanya, bersamaan.Dianti beranjak dari kursi, lalu memeluk Audrey dengan erat. Mulai terdengar tangisan keduanya. Sementara itu, air mata mulai menggenang di kedua netra Dino karena merasa sangat menyesal. Dari ruang tengah, Fandi muncul bersama Lia yang membawa tiga gelas minuman."Alhamdulillaah, akhirnya kalian semua berdamai. Kakek harap, kalian akan terus seperti ini dan tak ada lagi sandiwara atau sejenisnya, hanya karena silau harta," na
Pagi menjelang siang, cuaca cukup cerah. Galang mematut diri di depan cermin."Meskipun gue udah sedikit tua, tapi masih ganteng. Ya, siapa tahu, Audrey mau melabuhkan hatinya sama gue, meskipun kemarin sempat memuji-muji suaminya." Pria itu bergumam. Memang, dia belum menikah sampai sekarang. Dari sekian banyak perempuan yang pernah dekat dengannya, belum juga ada yang cocok dan klik di hati. Galang segera memacu mobilnya, setelah menyuruh satpam untuk menjaga rumah baik-baik.Sampai di depan rumah almarhum Edwin, semua sudah berkumpul. Kedatangan Galang berbarengan dengan Audrey, Fandi, dan Lia yang datang menggunakan taksi online. "Assalaamu'alaikum, Pak, Bu," sapa Galang.Fandi dan Lia menjawab salam. Mereka berbasa-basi sebentar. Sementara itu, Audrey mengembuskan napas kasar karena jenuh dan mulai merasa bahwa Galang sedang menarik simpatinya."Mari masuk, supaya bisa segera dimulai rapatnya," ajak Audrey, yang langsung disetujui oleh orang tuanya.Galang memandang punggung m
Hari terus berlalu. Audrey berusaha menghilangkan sakit hati karena tak diajak untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Ya, meskipun dapat kiriman foto atau videonya, tetapi masih ada rasa sedih karena tak bisa memberikan restu secara langsung pada Dianti.Dia memilih untuk melanjutkan aktivitasnya berjualan baju di toko bersama Hana. Penghasilannya semakin meningkat begitu pesat, sampai bisa mendaftarkan haji plus, bertiga bersama Fandi dan Lia.Namun, hal itu tak diketahui oleh Zofia atau kakak-kakak iparnya. Para tetangga sekitar rumah almarhum Edwin pun tak ada yang mendengar tentang kabar tersebut. Selama ini, Audrey selalu bersedekah serta membayar zakat secara diam-diam, kepada orang fakir-miskin yang berhak menerimanya. 'Alhamdulillaah, tak menyangka bisa sampai di titik ini. Dulu, mau daftarkan Dianti kuliah aja nggak bisa. Andai anak itu nurut sama orang tua, pasti aku akan sekolahkan dia di perguruan tinggi, demi meraih apa yang menjadi cita-citanya. Bukan malah menikah dini
Audrey sedang istirahat sesudah melayani pembeli toko baju, yang memang ramai seperti biasa. Dia bersyukur bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan kedua orang tua. Sebagian lagi disisihkan untuk orang yang tidak mampu.Ponselnya berdering berulang kali. Dia penasaran, lalu segera dicek.[Kasihan sekali, ya, Bu. Ternyata kita dulu sudah salah sangka, bukan Bu Audrey yang durhaka, melainkan mertua dan kakak-kakak ipar beliau yang kejam.] Isi pesan di grup warga komplek.[Saya benar-benar nggak menyangka, masa iya ada mertua sejahat itu? Memisahkan anak gadis bernama Dianti dari Mamanya sendiri?][Astagfirullaah. Kakak-kakaknya juga kejamnya minta ampun.][Benar pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Alias sama aja! Andai kita orang kaya, mungkin bisa bela Bu Audrey, supaya mendapatkan Dianti kembali. Diajak pulang kampung, biar nggak ketularan kejam!]Tanpa sadar, Audrey menitikkan air mata membaca pesan-pesan di grup ibu-ibu tersebut. Antara sedih meratapi keadaan, tetapi juga se
Beberapa hari kemudian, Audrey mendapat kabar bahwa Juna meninggal. Semua kembali berduka. Audrey, Fandi dan Lia hanya melayat sebentar karena masih sakit hati dengan perlakuannya dulu. Zofia pun tidak memintakan maaf pada mereka. Dianti bersalaman dengan mereka bertiga, tetapi hanya terdiam saat ditinggal mereka pergi.**Lima bulan kemudian. Zofia kini sakit-sakitan dan sedikit linglung. Semua paman-bibi Dianti mulai mempersiapkan pernikahan Dianti. Audrey tak pernah diajak setiap kali kedua mertua dan semua kakak ipar membahas persiapan acara pernikahan anaknya sendiri.Pernikahan Dianti akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Audrey tahu bahwa semua anggota keluarga almarhum Edwin dibelikan kain seragam, kecuali dia.Akhirnya, Audrey membeli kain sendiri yang agak mirip, lalu menjahitkannya di tempat tetangganya dulu, bernama Nurin. "Jadi, Mbak beli kain sendiri buat gamis di hari pernikahan anak Mbak sendiri?" tanya Nurin."Iya. Sudah nasib. Entah, kapan kebahagiaan itu akan
Satu bulan berlalu. Audrey menjalani rutinitasnya berjualan di toko baju bersama Hana. Zofia sudah tak mau peduli lagi pada menantunya itu, serta semakin ketat melarang Dianti untuk menemui Audrey, karena khawatir menantunya itu akan menghalangi perjodohan Dianti dengan Dino.Tak hanya itu, Juna juga meminta mobil Edwin yang terparkir di garasi rumah putranya. Audrey mempersilakan karena memang itu bukan miliknya, sekaligus legowo menyerahkan kunci, BPKP, STNK dan SIMnya tanpa meminta syarat apapun. Harta dunia memang titipan dan tak bisa dimiliki selamanya, sehingga Audrey ikhlas dan tidak melakukan protes apapun. Kini, mobil itu digunakan oleh Natasha dan Sinta secara bergantian jika ingin pergi ke manapun. Audrey tak pernah ambil pusing bagaimana sikap Juna, Zofia dan kakak-kakak iparnya, melainkan lebih fokus pada perkembangan tokonya. Modal dari uang Edwin, dia gunakan untuk memperbarui produk baju dan promosi di media sosial. Dalam tiga bulan, omsetnya pun naik pesat.Saat hari
Audrey menghitung uang yang jumlahnya cukup banyak milik almarhum suaminya di lemari, yang merupakan hasil dari perusahaan Juna dalam beberapa hari terakhir. Penghasilan itu dikirimkan langsung ke rumah oleh seorang bendahara kantor.Beberapa hari kemudian, ada dua orang rekan kerja Edwin yang datang untuk menagih utang. Besoknya ada lagi, lalu beberapa hari berikutnya.Audrey menggunakan uang Edwin untuk melunasi hutang-hutang itu. Setelah lewat dua pekan, tak ada lagi yang menagih, Audrey membagi-bagi uang di dalam tas milik almarhum suaminya.Sepertiga untuk membayar hutang pada Rudi, sepertiga lagi untuk Dianti dan sepertiga sisanya Audrey pakai untuk menyambung hidup.Sementara surat tanah tempat berdiri rumah megah milik Edwin, Audrey biarkan supaya diambil oleh Juna, karena ada bagian warisan untuk keluarga almarhum suaminya.Beberapa hari kemudian, Rudi memberi pesan ke Audrey bahwa dia ingin datang ke rumah. Mamanya Dianti pun mengundang Hana untuk datang juga, supaya terhind