Audrey sedang berjalan dengan menuntun Dianti, menuju warung penjual makanan matang untuk sarapan. Tampak dari kejauhan, antrian yang cukup banyak, didominasi oleh ibu-ibu termasuk Zofia. Sebenarnya istri Edwin berniat mencari warung lain, tetapi dia dipanggil oleh seorang tetangga."Eh, Mbak! Sini! Kamu duluan boleh, buat si kecil," seru seorang ibu-ibu. "He he. Bukan mau beli bubur, kok." Audrey beralasan.Ibu yang lain menyahut, "Kasihan anak kecil jam segini jalan pagi tapi perutnya belum terisi. Buruan, gih! Aku ngalah. Lagian, kita udah jarang ngobrol, kan?"Mau tak mau, Audrey menurut dan mendatangi kerumunan itu. Zofia tampak tak suka dengannya."Pagi, Ma." Audrey mencoba menyapa mertuanya, tetapi tak ada jawaban.Orang-orang merasa heran, lalu mulai menggunjing tentang Zofia dan Audrey.Penjual makanan bertanya, "Kamu lagi sariawan, Jeng?"Dengan cepat, Zofia menggeleng. "Aku lapar, makanya kurang fokus.""Itu, disapa mantumu, nggak dengar?" sahut yang lain.Istri Juna tak me
Malam pun tiba. Edwin pulang dari kantor. Terdengar keramaian di rumah sebelah, apalagi kalau bukan syukuran yang diadakan Zofia."Assalaamu'alaikum," salamnya, lalu masuk rumah.Dia menuju ruang tengah, melihat Audrey sedang membaca Alquran, sementara Ratmi di dalam kamar anak untuk menemani Dianti bermain.Edwin duduk di samping istrinya, tanpa sepatah kata pun karena tak mau mengganggu ibadahnya.Audrey mengakhiri kegiatan mengajinya, lalu menutup Alquran. "Wa'alaikumussalaam." Dia mengulas senyum, menaruh kitab suci di atas meja, lalu menjabat dan mencium tangan suaminya."Ada acara apa, sih, di rumah Mama?" tanya Edwin penasaran."Kamu nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu?" Audrey balik bertanya.Edwin menggeleng. "Aku benar-benar nggak tahu."Perempuan di sampingnya mengembuskan napas panjang. "Ada acara syukuran, katanya karena kamu udah balik ke rumah ini lagi.""Hah?" Suami Audrey terperanjat. "Syukuran kedatanganku, kenapa nggak kasih tahu kita, ya? Kamu nggak diundang?""Ya
Edwin melongok ke arah istrinya yang sudah terlelap di samping Dianti. Dia tersenyum melihat dua bidadari yang selalu dicintainya."Alhamdulillaah, ya Allah. Aku memiliki dua harta yang tak ternilai harganya dalam hidupku. Semoga mereka bahagia selalu dan aku bisa mengupayakan hal itu untuk keluarga kecil kami ini." Pria itu berdoa dengan suara lirih.Dia bangun perlahan supaya tidak menimbulkan suara, lalu mengendap-ngendap ke luar kamar. 'Aku harus memastikan apa benar Mama memfitnah Audrey lagi?' batinnya, lalu menuju teras rumah dan mengunci pintu.Tak butuh waktu lama, Edwin sampai di depan pintu rumah Zofia yang terbuka. Mamanya itu masih memfitnah Audrey habis-habisan. Para tetangga masih mengeluarkan caci-maki.Dia menguping sebentar untuk memastikan dugaannya. Setelah yakin, baru melangkah masuk, membuat semua orang menoleh ke arahnya."Stop, Ma! Kenapa Mama selalu memfitnah menantu sendiri? Apa salah Audrey?" tanyanya, tak terima.Zofia geram, lalu tiba-tiba tersenyum kecil
Audrey mencium pucuk kepala anaknya agar tenang, lalu mengembuskan napas panjang. Dia segera melangkah keluar."Maaf, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Ada apa ini?" tanyanya, bingung."Sekarang juga kamu pergi dari rumah ini, komplek kami! Kamu durhaka, nanti jadi maling kundang!" bentak salah seorang pria paruh baya.Audrey menutupi kedua telinga Dianti untuk meminimalisir rasa kaget karena bentakan itu. "Maaf, sebelumnya. Saya selama ini hanya diam. Bapak-Ibu tak menegur pun saya ikhlas menjalaninya. Namun, kenapa masih disalahkan?"Seorang ibu maju lalu berkata dengan nada keras, "Nggak usah pura-pura nggak tahu! Kamu sudah tidak menganggap mertuamu lagi. Kami takut dengan azab yang akan datang, kalau di komplek ini ada menantu durhaka sepertimu!""Ya, betul!" Semua kompak menyahut.Dianti menangis semakin kencang.Audrey kewalahan, hanya bisa menitikkan air mata, lalu menghapusnya cepat, karena merasa rapuh. "Maaf, sebelumnya. Ini rumah suami saya. Kami berhak tinggal di sini. Sebenarnya, bu
Seperti biasa, Dianti sudah terlelap usai Salat Isya' dan ditemani oleh Ratmi. Edwin sedang membuat kopi di dapur. Diam-diam, Audrey sudah berada di belakang suaminya, lalu melingkarkan tangan di pinggang pria itu."Sayang? Tumben, ikut ke belakang?" tanya CEO itu, lalu membalikkan badan.Audrey tersenyum lebar, lalu kembali menghambur memeluk suaminya. "Alhamdulillaah, Mas. Aku senang banget hari ini."Edwin mengerutkan kening. "O ya? Ada apa?""Tadi, kan, aku lagi belajar dari wirausahawan muslim yang share materi marketing lewat YouTu*e sama I*. Jadi pengen buka usaha sendiri, deh!" ujarnya, tanpa melepaskan pelukan."Bagus itu! Lakukan apa yang kamu mau, asal membuatmu bahagia dan nggak melanggar aturan Islam," sahut Edwin.Audrey pun menceritakan semua kejadian tadi, serta bersyukur karena kebenaran telah terungkap."Alhamdulillaah." Edwin mencium pucuk kepala istrinya. "Kesabaran memang akan selalu memetik hasil, meskipun kita harus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Namun, sem
Audrey yang masih memakai mukena langsung menggendong dan memeluk Dianti. Dia menitikkan air mata, tak habis pikir dengan apa yang diperbuat mertuanya."Ada apa, Nyonya?" tanya Ratmi yang tergopoh-gopoh dari dapur."Mas Edwin diajak sama Mama secara paksa, entah ke mana. Sampai membiarkan Dianti menangis sendirian," jawab Audrey, dengan suara parau.Ratmi langsung paham, hati majikannya sedang tidak baik-baik saja. Dia mengambil alih putri kecil berusia dua tahun yang masih menangis itu, lalu menenangkannya. Terdengar notifikasi pesan masuk di ponsel istri Edwin.Audrey berjalan cepat menuju ruang salat, melepas dan melipat mukena, lalu mengambil ponselnya yang ada di atas meja makan.[Aku masih di dalam mobil Mama, di depan rumah Papa. Entah beliau akan membawaku ke mana. Kata beliau, sedang siap-siap. Maaf, aku tak mau menjadi anak yang durhaka.] "Ya Allah," keluh Audrey, dengan air mata yang mengalir semakin deras.Ratmi menidurkan Dianti dalam gendongannya, lalu menghampiri majik
"Hai, Edwin! Ketemu lagi kita, setelah sekian lama aku pergi dari kehidupanmu. Rasanya, memang aku sudah jatuh cinta pada CEO di hadapanku ini, hingga tak bisa berpindah ke hati lainnya," kata Athena sok puitis, sepeninggal Zofia ke luar ruangan.Edwin masih diam. Athena berdiri, melangkah ke belakang kursi Edwin, lalu melingkarkan kedua lengan di pundak suami Audrey. "Lepas!" teriak Edwin, merasa jijik.Orang-orang kembali memandangi mereka."Tenang saja! Malam ini aku nggak akan berbuat aneh-aneh, asalkan kamu mau bicara dengan lembut dan sopan padaku. Kita nikmati makan malam bersama," bisik Athena di telinga Edwin, membuat pria itu sedikit merinding.Audrey menghentakkan kakinya, ingin sekali melabrak pelakor itu, tetapi dia harus menyusun rencana agar terlihat elegan dan tidak memalukan."Ya udah, kalau mau makan duduk di depanku! Jangan bikin gue teriak sampai dilihat orang kayak gini!" Edwin bicara dengan berbisik.Perempuan berpakaian seksi itu membelai pipi Edwin, membuat le
Setelah mengambil ponsel di meja nomor 10 dan menghentikan fitur live FB, Audrey kembali ke kursi yang tadi diduduki Edwin. Dia sangat bersyukur dengan rencana Allah untuk mereka, malam ini. Suasana restoran kembali kondusif dan para tamu melanjutkan kegiatan dinner.Edwin senyam-senyum ke arah istrinya. Mereka menikmati dinner romantis, yang sudah Audrey idamkan selama ini. Ternyata hasil penyelidikan tadi membuahkan hasil hingga Audrey merasa seperti pengantin baru."Makasih, ya, Dek. Kamu sudah menyelamatkan Mas dari perempuan itu. Aku deg-degan tadi, takut terjerumus dalam dosa," ujat Edwin dengan wajah teduh.Audrey mengembangkan senyum di pipi. "Iya, Mas. Tadi, perasaanku nggak enak. Jadi, ikutin aja. Untung kamu udah kasih nomor HP Pak sopir. Eh, maksudnya deg-degan apa, Mas?"Suaminya terlihat gugup. "Mmm, anu ... itu. Ya, Athena belai-belai pipiku tadi. Astagfirullaah.""Oh, kamu hampir tergoda sama kemolekan badannya? Aku juga bisa kayak dia, kalau mau diet terus rajin peraw
Di rumah sakit, Arumi sadar. Evan sudah membayar semua biaya perawatannya, serta meminta suster untuk menjaganya. Kini dia berbaring sendirian dalam ruangan serba putih.Arumi mengirimkan pesan pada Evan dan Sinta, bahwa dia tidak jadi mengungkit permasalahan tentang uang senilai tanah hak miliknya. Semua sudah dia ikhlaskan, karena tak mau rasa tamak menguasainya.Adik almarhum Juna takut, kalau itu akan mempengaruhi kesehatannya dan mendatangkan penyakit fisik, ataupun penyakit hati. Dia ingin sehat, hidup bahagia dan tak ada rasa benci, apalagi pada saudara sendiri. Zofia lega mendengarnya.Sejak sebulan lalu, sebenarnya perusahaan milik almarhum Juna mengalami penurunan omset. Gaya hidup Zofia dan keluarganya kini tak semewah dulu. Semua kebutuhan hidup yang bisa dipangkas, mereka kurangi sebisa mungkin. Mereka pun tak bisa menyombongkan harta lagi, seperti saat Juna masih hidup.Para tetangga seolah bahagia melihat mereka yang kini tak bisa menghina orang lain lagi, hanya karena
Satu pekan kemudian, Arumi kembali datang. Kali ini, ada Evan, Natasha dan Sinta yang menemani Zofia, agar tidak khawatir ketika menghadapi adik almarhum Juna."Aku tahu, Mbak Zofia tidak memberikan uang yang aku minta, karena tanah yang seharusnya menjadi milikku itu, tidak Mbak jual, tetapi justru dibagi rata pada anak-anak, yakni Evan, Sinta dan Edwin. Iya, kan?" tanya Arumi, membuat semua yang mendengarnya pun kaget setengah mati."Halah! Itu cuma akal-akalan kamu saja karena ada dendam tertentu sama kami. Iya, kan? Jangan fitnah, dong!" kesal Zofia.Arumi menyunggingkan senyum miring. "Kenapa, Mbak? Takut? Aku sudah punya banyak buktinya. Mulai dari foto-foto, terus salinan kepemilikan surat tanah dan juga sebuah flashdisk berisi banyak video saat pembagian itu. Kenapa Mas Juna memberikan sesuatu yang bukan haknya?"Wanita berjilbab itu menaruhsebuah map bersampul hijau dan sebuah flashdisk ke atas meja.Zofia menggertakkan gigi, lalu membuka dokumen itu. Semua bukti itu asli, te
Audrey sedang duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Dianti dan Dino. "Alhamdulillaah, kalian kini bisa sadar bahwa perbuatan kalian itu salah. Mama sudah memaafkan kalian berdua.""Makasih, Ma," sahut Dianti."Terima kasih, Mama. Maafkan Dino yang selama ini mengekang Dianti. Kami sungguh anak yang durhaka," timpal Dino, dengan wajah tertunduk dalam.Sang Mama mangut-mangut. "Sudah, nggak perlu disesali. Mulai sekarang, Dino harus berbakti pada orang tua. Dianti juga, jangan mengulangi perbuatan yang salah!" "Iya, Ma. InsyaaAllaah," jawab keduanya, bersamaan.Dianti beranjak dari kursi, lalu memeluk Audrey dengan erat. Mulai terdengar tangisan keduanya. Sementara itu, air mata mulai menggenang di kedua netra Dino karena merasa sangat menyesal. Dari ruang tengah, Fandi muncul bersama Lia yang membawa tiga gelas minuman."Alhamdulillaah, akhirnya kalian semua berdamai. Kakek harap, kalian akan terus seperti ini dan tak ada lagi sandiwara atau sejenisnya, hanya karena silau harta," na
Pagi menjelang siang, cuaca cukup cerah. Galang mematut diri di depan cermin."Meskipun gue udah sedikit tua, tapi masih ganteng. Ya, siapa tahu, Audrey mau melabuhkan hatinya sama gue, meskipun kemarin sempat memuji-muji suaminya." Pria itu bergumam. Memang, dia belum menikah sampai sekarang. Dari sekian banyak perempuan yang pernah dekat dengannya, belum juga ada yang cocok dan klik di hati. Galang segera memacu mobilnya, setelah menyuruh satpam untuk menjaga rumah baik-baik.Sampai di depan rumah almarhum Edwin, semua sudah berkumpul. Kedatangan Galang berbarengan dengan Audrey, Fandi, dan Lia yang datang menggunakan taksi online. "Assalaamu'alaikum, Pak, Bu," sapa Galang.Fandi dan Lia menjawab salam. Mereka berbasa-basi sebentar. Sementara itu, Audrey mengembuskan napas kasar karena jenuh dan mulai merasa bahwa Galang sedang menarik simpatinya."Mari masuk, supaya bisa segera dimulai rapatnya," ajak Audrey, yang langsung disetujui oleh orang tuanya.Galang memandang punggung m
Hari terus berlalu. Audrey berusaha menghilangkan sakit hati karena tak diajak untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Ya, meskipun dapat kiriman foto atau videonya, tetapi masih ada rasa sedih karena tak bisa memberikan restu secara langsung pada Dianti.Dia memilih untuk melanjutkan aktivitasnya berjualan baju di toko bersama Hana. Penghasilannya semakin meningkat begitu pesat, sampai bisa mendaftarkan haji plus, bertiga bersama Fandi dan Lia.Namun, hal itu tak diketahui oleh Zofia atau kakak-kakak iparnya. Para tetangga sekitar rumah almarhum Edwin pun tak ada yang mendengar tentang kabar tersebut. Selama ini, Audrey selalu bersedekah serta membayar zakat secara diam-diam, kepada orang fakir-miskin yang berhak menerimanya. 'Alhamdulillaah, tak menyangka bisa sampai di titik ini. Dulu, mau daftarkan Dianti kuliah aja nggak bisa. Andai anak itu nurut sama orang tua, pasti aku akan sekolahkan dia di perguruan tinggi, demi meraih apa yang menjadi cita-citanya. Bukan malah menikah dini
Audrey sedang istirahat sesudah melayani pembeli toko baju, yang memang ramai seperti biasa. Dia bersyukur bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan kedua orang tua. Sebagian lagi disisihkan untuk orang yang tidak mampu.Ponselnya berdering berulang kali. Dia penasaran, lalu segera dicek.[Kasihan sekali, ya, Bu. Ternyata kita dulu sudah salah sangka, bukan Bu Audrey yang durhaka, melainkan mertua dan kakak-kakak ipar beliau yang kejam.] Isi pesan di grup warga komplek.[Saya benar-benar nggak menyangka, masa iya ada mertua sejahat itu? Memisahkan anak gadis bernama Dianti dari Mamanya sendiri?][Astagfirullaah. Kakak-kakaknya juga kejamnya minta ampun.][Benar pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Alias sama aja! Andai kita orang kaya, mungkin bisa bela Bu Audrey, supaya mendapatkan Dianti kembali. Diajak pulang kampung, biar nggak ketularan kejam!]Tanpa sadar, Audrey menitikkan air mata membaca pesan-pesan di grup ibu-ibu tersebut. Antara sedih meratapi keadaan, tetapi juga se
Beberapa hari kemudian, Audrey mendapat kabar bahwa Juna meninggal. Semua kembali berduka. Audrey, Fandi dan Lia hanya melayat sebentar karena masih sakit hati dengan perlakuannya dulu. Zofia pun tidak memintakan maaf pada mereka. Dianti bersalaman dengan mereka bertiga, tetapi hanya terdiam saat ditinggal mereka pergi.**Lima bulan kemudian. Zofia kini sakit-sakitan dan sedikit linglung. Semua paman-bibi Dianti mulai mempersiapkan pernikahan Dianti. Audrey tak pernah diajak setiap kali kedua mertua dan semua kakak ipar membahas persiapan acara pernikahan anaknya sendiri.Pernikahan Dianti akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Audrey tahu bahwa semua anggota keluarga almarhum Edwin dibelikan kain seragam, kecuali dia.Akhirnya, Audrey membeli kain sendiri yang agak mirip, lalu menjahitkannya di tempat tetangganya dulu, bernama Nurin. "Jadi, Mbak beli kain sendiri buat gamis di hari pernikahan anak Mbak sendiri?" tanya Nurin."Iya. Sudah nasib. Entah, kapan kebahagiaan itu akan
Satu bulan berlalu. Audrey menjalani rutinitasnya berjualan di toko baju bersama Hana. Zofia sudah tak mau peduli lagi pada menantunya itu, serta semakin ketat melarang Dianti untuk menemui Audrey, karena khawatir menantunya itu akan menghalangi perjodohan Dianti dengan Dino.Tak hanya itu, Juna juga meminta mobil Edwin yang terparkir di garasi rumah putranya. Audrey mempersilakan karena memang itu bukan miliknya, sekaligus legowo menyerahkan kunci, BPKP, STNK dan SIMnya tanpa meminta syarat apapun. Harta dunia memang titipan dan tak bisa dimiliki selamanya, sehingga Audrey ikhlas dan tidak melakukan protes apapun. Kini, mobil itu digunakan oleh Natasha dan Sinta secara bergantian jika ingin pergi ke manapun. Audrey tak pernah ambil pusing bagaimana sikap Juna, Zofia dan kakak-kakak iparnya, melainkan lebih fokus pada perkembangan tokonya. Modal dari uang Edwin, dia gunakan untuk memperbarui produk baju dan promosi di media sosial. Dalam tiga bulan, omsetnya pun naik pesat.Saat hari
Audrey menghitung uang yang jumlahnya cukup banyak milik almarhum suaminya di lemari, yang merupakan hasil dari perusahaan Juna dalam beberapa hari terakhir. Penghasilan itu dikirimkan langsung ke rumah oleh seorang bendahara kantor.Beberapa hari kemudian, ada dua orang rekan kerja Edwin yang datang untuk menagih utang. Besoknya ada lagi, lalu beberapa hari berikutnya.Audrey menggunakan uang Edwin untuk melunasi hutang-hutang itu. Setelah lewat dua pekan, tak ada lagi yang menagih, Audrey membagi-bagi uang di dalam tas milik almarhum suaminya.Sepertiga untuk membayar hutang pada Rudi, sepertiga lagi untuk Dianti dan sepertiga sisanya Audrey pakai untuk menyambung hidup.Sementara surat tanah tempat berdiri rumah megah milik Edwin, Audrey biarkan supaya diambil oleh Juna, karena ada bagian warisan untuk keluarga almarhum suaminya.Beberapa hari kemudian, Rudi memberi pesan ke Audrey bahwa dia ingin datang ke rumah. Mamanya Dianti pun mengundang Hana untuk datang juga, supaya terhind